Oleh - oleh

 Frasa ini muncul ketika kita kembali dari suatu perjalanan baik silahturahim, plesiran atau liburan, dinas atau lainnya. Saya juga tidak tahu apakah sudah ada yang pernah membahas mengenai frasa “oleh - oleh” ini. Semoga ada yang pernah tetapi sudut pandangnya berbeda. Mungkin memang tidak pernah ada yang membahasnya atau pernah meski dengan sudut pandang yang sama. Jika yang terakhir memang ada, semoga muatan yang akan disampaikan tidak sama. Semoga.

       Mari kita cek kembali mengenai frasa oleh - oleh ini. Jika kita cek di laman ini http://kbbi.web.id/oleh-oleh maka artinya adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian, buah tangan (kata benda). Kita  lihat sumber yang lain seperti di laman ini https://www.kamusbesar.com/oleh_oleh artinya tetap sama. Jadi oleh-oleh itu adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian atau buah tangan. Mari kita ingat kembali beberapa kejadian yang pernah kita alami terkait dengan oleh – oleh ini.

Ketika kita bepergian dari tempat bermukim, maka saat di tempat tujuan kita akan melakukan sesuatu di tempat tujuan baik dalam negeri maupun luar negeri. Saat kita akan kembali maka kita akan membawa sesuatu atau buah tangan yang disebut oleh – oleh. Kadang juga ada yang tidak membawa oleh – oleh karena setiap bepergian ke tujuan tertentu memang sudah seperi kampung halamannya. Jadi saat kembali dari suasana kampung halaman maka tidak membawa oleh – oleh. Itu terjadi jika kita bermukim di Jakarta dan berpergian ke tempat lain baik dalam maupun luar negeri dan sekembalinya membawa oleh – oleh untuk keluarga, kerabat, teman dan tetangga. Nah saya terpikir bagaimana jika tujuan berpergiannya adalah ke Jakarta dan para pelancongnya yang kembali dari Jakarta. Kira-kira apa ya yang akan dibawa dari Jakarta ?

Oleh – oleh di setiap kota di Indonesia sangat beragam. Misal oleh – oleh dari Bandung ada pisang Bollen Kartika Sari, Gepuk Nyonya Ong, Picnic Roll Prima Rasa, Surabi, Angklung, Sepatu Cibaduyut atau bisa tambahkan info yang ter-update. Kalau Yogyakarta ada Bakpia, Yangko, Geplak, Gudeg Kering, Coklat Monggo, Salak Pondoh, Batik, Kerajinan Perak, Gerabah Kasongan dan Kaos Dagadu dan bisa tambahkan untuk info yang ter-update. Kalau Makassar ada Kain Tenun, Minyak Tawon, Kue Kurma, Otak-otak Ikan, Kerupuk Jinten, Baruasa, Sirup DHT, Kopi Toraja, Kacang Sembunyi, Abon Raos dan Peci khas Makassar atau bisa tambahkan info yang ter-update. Kalau Ambon ada Mutiara, Aksesoris Sisik Ikan, Olahan Serba Ikan, Kerajinan Kulit Kerang, Kue Petak 10 atau bisa tambahkan info ter-update. Semua informasi diatas saya peroleh dari “paman gugel”, jika ada yang tidak pas silahkan dikoreksi karena ini hanya pemikiran saya sesaat. Masih banyak kota lain yang memiliki oleh-oleh yang beraneka ragam dan macam jenis dan bentuknya.

Sekarang saya mencoba mencari apa saja oleh-oleh khas kota Jakarta. Berdasarkan hasil pencarian di “paman gugel”, ada beberapa oleh-oleh khas Jakarta diantaranya adalah Kerak Telor, Kue Geplak, Roti Buaya, Kembang Goyang, Dodol Betawi, Bir Pletok, Keripik Buah KRIPIKITA, Kue Semprong Glory, Biji Ketapang, Tape Uli, Marquerite Nougat, Pepes Tulang Lunak Ikan Mas – Pe Tulu. Itu bersumber dari laman https://www.initempatwisata.com/wisata-indonesia/jakarta/oleh-oleh-khas-jakarta-paling-diminati-wisatawan/4189/ 

Beberapa laman yang saya kunjungi ternyata mempunyai kemiripan mengulas ragam oleh-oleh khas Jakarta yang sama. Jadi saya tidak lanjutkan pencarian karena sebagian besar hasilnya sama. Namun pertanyaannya adalah apakah yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh dari Jakarta adalah oleh-oleh seperti Kerak Telor, Kue Geplak, Roti Buaya atau lainnya? Ini hanya sebuah renungan sebagai warga Jakarta yang tumbuh dan besar di ibukota negara ini. Jika saya harus berpergian ke luar Jakarta, maka saya perlu membawa oleh-oleh untuk memperkenalkan apa yang menjadi cirri dan khas dari Jakarta. Salam oleh-oleh.


***


cerita ini dapat juga dilihat pada laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/oleh-oleh.html

Sudah Efektifkah Defisit APBN?

Utang Pemerintah Pusat sampai dengan Februari 2017 mencapai sebesar Rp3.589,12 triliun, angka ini meningkat sebesar 12,28% dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp3.196,61 triliun. Alasan pemerintah melakukan utang karena diperlukan untuk menutup defisit anggaran, yang kemudian akan digunakan sebagai stimulus bagi perekonomian.


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penjelasan dalam Pasal 12 disebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Melihat defisit APBN terhadap PDB selama tahun 2012 sampai dengan 2016, kecenderungannya terus mengalami peningkatan tetapi masih dibawah angka 3%. Khusus untuk tahun 2016, defisit APBN terhadap PDB turun sebesar 0,03% menjadi 2,20%.

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Pengeluaran Tahun 2012-2016



Sumber : Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik diolah

Penerapan defisit anggaran bukan merupakan suatu hal yang terlarang untuk dilakukan, bahkan negara maju pun menerapkan hal ini. Awal mula defisit anggaran diterapkan ketika terjadi peristiwa Great Depression dimana teori Klasik mapun Neo-Klasik tidak mampu menyelesaikan masalah ini. Atas peristiwa tersebut kemudian muncul teori Keynes yang memberikan solusi ketika terjadi resesi, anggaran berimbang atau surplus tidak dapat diterapkan sehingga pemerintah harus menerapkan defisit anggaran. Kebijakan defisit anggaran hingga saat ini banyak diterapkan hampir disetiap negara untuk menggairahkan perekonomian. Menurut Mankiw (2003), ada tiga alasan mengapa defisit dibutuhkan, pertama untuk stabilisasi, kedua untuk tax smoothing, ketiga untuk redistribusi intergenerasi.


Defisit anggaran juga diterapkan di Indonesia, tetapi apakah sudah efektif defisit yang diterapkan?

Perbandingan Sisa Pagu Dengan Defisit
Tahun 2012-2016

 

 Sumber : Kementerian Keuangan diolah

Apabila melihat data Pagu, Realisasi Pagu, Sisa Pagu, dan Defisit Anggaran, maka akan terlihat seberapa besar defisit yang diterapkan oleh pemerintah dibandingkan terhadap sisa anggarannya. Melihat data anggaran selama tahun 2012-2016, terlihat bahwa sisa anggaran pada akhir tahun ternyata masih cukup besar terutama tahun 2012-2015 dengan rata-rata penyerapan sebesar 88,62%.

Membandingkan antara sisa anggaran dengan defisit anggaran, terlihat bahwa besaran defisit yang dipenuhi melalui utang, tidak mampu terserap secara maksimal. Penerapan defisit anggaran masih belum efektif, untuk tahun 2012 sampai dengan 2015, inefektifitas defisit anggaran secara rata-rata sebesar 44,47%. Sedangkan untuk tahun 2016, inefektifitas defisit anggaran hanya sebesar 19,57%, anggaran mampu terserap dengan baik dan utang dapat digunakan secara lebih maksimal.

Mencermati kondisi tahun 2016, terdapat penerapan kebijakan pemotongan dan penghematan anggaran yang dampaknya mampu memaksimalkan realisasi anggaran sehingga defisit anggaran dapat lebih efektif. Pemerintah harus dapat memperkirakan kemampuannya untuk menyerap anggaran dan disesuaikan dengan perencanaan anggaran, sehingga kebijakan utang bisa saja tidak perlu diterapkan apabila memang tidak terlalu diperlukan. ^_^



















Diatur Ruwet, Gak Diatur Mumet

Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) seorang narasumber pernah membuat pernyataan bahwa carut-marutnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita lebih disebabkan oleh carut-marutnya peraturan di Indonesia. Pernyataan tersebut ada benarnya mengingat setiap rupiah dari ribuan triliun rupiah dalam APBN terikat dalam peraturan-peraturan yang sedemikian banyaknya. Dari level aturan yang mengatur dan mengikat seluruh warga negara sampai dengan aturan yang sifatnya hanya mengatur satu unit pemerintahan terkecil. Dengan banyaknya peraturan-peraturan tersebut, tak heran jika ditemukan banyak tumpang tindih pengaturan, duplikasi tugas fungsi dan sebagainya yang kalau diterjemahkan singkat menjadi “benang kusut”.
“Benang kusut” peraturan-peraturan di Indonesia bukannya tidak disadari, namun demikian belum tampak adanya upaya untuk mengurai “benang kusut” tersebut. Dalam kaitan dengan pernyataan di awal tadi, dapat dipahami bahwa “benang kusut” itulah yang menyebabkan carut- marutnya APBN. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila peraturan-peraturan tersebut tidak berbiaya, tetapi kenyataannya semua peraturan ber-biaya dan menjadi beban APBN bahkan dimulai dari saat penyusunannya. Biaya penyusunan peraturan bahkan seringkali tidak sebanding dengan solusi yang diharapkan dari adanya peraturan tersebut. Belum lagi biaya untuk mengimplementasikan peraturan dan biaya-biaya lain yang ditimbulkan untuk mematuhi peraturan tersebut.
Menghilangkan peraturan-peraturan yang ada tidaklah mudah, karena peraturan-peraturan tersebut merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa, karena dalam proses penyusunan kebijakan/peraturan dikenal suatu alat yang bernama Regulatory Impact Analysis (RIA). RIA dapat digunakan sebagai metodologi ataupun alat untuk menganalisa dampak dari suatu kebijakan/peraturan. Identifikasi masalah yang tepat dan alternatif solusi terbaik merupakan inti dari RIA. Setiap kebijakan yang diambil harus dianalisa untuk menentukan bahwa alternatif solusi terpilih adalah yang memberikan manfaat bersih lebih besar daripada biaya yang ditimbulkan/akan ditimbulkan.
Lalu apakah implementasi RIA dapat serta merta “membersihkan” APBN?. Seharusnya bisa, karena best practice di negara-negara lain RIA digunakan untuk melakukan efisiensi. Efisiensi tersebut dihasilkan dari adanya deregulasi peraturan yang umumnya dilakukan pada tahap-tahap awal implementasi RIA. Dalam tahapan selanjutnya, RIA digunakan untuk menilai semua usulan kebijakan/peraturan untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan akan memberikan manfaat yang lebih besar daripada biaya kepada semua pemangku kepentingan.
Di Indonesia, RIA bukanlah hal yang baru. Di awal tahun 2000-an Bappenas bahkan sudah menerbitkan pedoman RIA, tapi sampai saat ini RIA belum dilembagakan dan hanya berakhir dalam uji coba. Beberapa pemerintah daerah juga sudah menerapkan RIA, tapi sepertinya tidak menjadi masiv dan diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Dalam Undang-Undang tentang penyusunan peraturan perundangan, RIA tidak secara eksplisit diwajibkan, walaupun sebenarnya ruang untuk penerapannya terbuka pada saat pembuatan naskah akademis yang merupakan pra-syarat dalam setiap penyusunan peraturan perundang-undangan.
Kendala terbesar dalam implementasi RIA adalah pada komitmen politik. RIA harus menjadi suatu komitmen politik mengingat banyaknya pemangku kepentingan dan kepentingan itu sendiri yang tentunya harus dianalisa secara mendalam dalam proses RIA. RIA juga membutuhkan sumber daya yang memiliki kompetensi tinggi karena untuk melakukan analisa dampak, seorang penyusun RIA harus melakukan riset yang memadai dan mempunyai pemahaman yang komprehensif terhadap semua aspek permasalahan yang akan dicarikan solusinya.
Apakah RIA kemudian menjadi mission impossible?. Ya, bila hanya berhenti di tataran konsep. Hanya ada dalam pemikiran-pemikiran. RIA akan terimplementasi apabila ada upaya untuk mengimplementasikannya. Butuh waktu dan daya tahan tinggi, tetapi layak untuk dicoba, paling tidak bertahap dan dalam lingkup yang tidak terlalu luas. Efisiensi, potong anggaran sana-sini tidak akan efektif dalam jangka panjang jika peraturan-peraturan yang ada di republik ini masih seperti “benang kusut” yang mengikat setiap rupiah dalam APBN. RIA dahulu, efisiensi kemudian.

Baju Lebaran

"ih kamu ih... mama capek nyari-nyari kamu ga ketemu.. jangan keliling-keliling terus dong"

"jangan gitu atuh.. mamah ga suka deh.. nanti kalau kamu ilang gimana"

"dedek.. dedek.. sini jangan berdiri di tengah jalan, nanti ketabrak orang"

"Eh.. itu.. ada temennya.. tapi temennya ga nangis tuh... pinter... adek jgn nangis yah"

Suara-suara itu lalu lalang melintasi telinga kanan dan kiri. Terdengarnya tak jelas, banyak distorsi karena semuanya masuk secara bersamaan. Namun frekuensinya sama, nyaring dengan desibel tinggi. Bising memang tapi bukan salah mereka, salah saya memilih berada di sana.

Kerongkongan masih terlarang dari kucuran air, pun dengan asupan makanan, sedangkan mentari tetap setia membagi-bagikan sinar panasnya. Periode dibelenggunya setan ini sudah mendekati akhir yang seharusnya ditandai dengan ramainya orang ke masjid di saat malam. Di Indonesia, tanda itu ada tambahan, pasar dengan segala turunannya juga ikut menjadi ramai, bahkan di sepanjang hari.

Aku, yang masih terdaftar sebagai warga negara Indonesia juga terpaksa andil membuktikan kesahihan tambahan pertanda menjelang satu Syawal. Salah satu sudut pasar di wilayah Jakarta Barat menjadi pilihan. Istri dan anak sebagai pelanggan utama tak lupa ikut serta. Berjalan pelan menyusuri barisan pakaian berbagai ragam. Seperti orang menyeberang, senantiasa tengok kanan kiri untuk mencari yang mencuri perhatian.

Entah bagaimana ceritanya, di tengah kebisingan, kami terpisah oleh sapuan lautan manusia yang ombaknya bergerak ke segala arah. Anakku aman dalam gendongan ibunya, sedangkan aku mencoba mencari keberadaan mereka. Tumpukan baju menambah kesulitan pencarian, belum lagi seliweran manusia yang tak ada yang tahu kapan berhentinya.

Langkah terus melaju namun yang dicari belum juga ketemu. Ketika kaki terus berjalan, tiba-tiba pandangan tercekat pada sosok bapak yang tak lagi muda. Beliau dengan wajah datar sedang memandangi gaun untuk anak kecil yang tergantung. Sesekali nampak dia menggaruk kepala yang dihiasi sedikit rambut putih. Alam bawah sadar mengajakku bergerak mendekatinya meskipun tak tahu mau apa. Ketika jarak kami hanya terpaut sekitar dua meter, mulut Bapak itu mengeluarkan suara
"kalau untuk usia sepuluh bulan.. segini muat ga ya?"
Aku bertanya-tanya pada siapa dia bicara, tak ada orang di samping dan belakangnya. Sepertinya juga bukan berujar padaku.

"hmmh.. kayanya cukup deh Pak.. ini sampai usia satu tahun...tapi tergantung anaknya seberapa juga sih Pak"

Terlihat wajah yang familiar melongok sambil bergeser dari balik persembunyiannya. Ia menengadah memperhatikan gaun pilihan bapak tadi, sambil terus menggendong anak mungil yang mengoceh dengan kosakata yang belum jelas terdengarnya. Akhirnya pencarianku berakhir.

Meskipun kini kami kembali bertiga, tapi kedua mata tetap lekat ke sosok Bapak seorang diri tadi. Air mukanya masih saja datar, bajunya juga sudah sedikit kusam. Kulihat di tangannya sudah tergenggam gaun anak kecil yang ditanyakan tadi. Aku masih penasaran, dia membeli untuk anak atau untuk cucunya. Tapi tak mungkin aku tanyakan kepadanya.

Perburuannya tampaknya belum usai. Beberapa kali beliau memandangi beberapa model baju untuk anak-anak berkelamin perempuan. Wajahnya tetap datar, tidak menampakkan tanda-tanda kebahagiaan. Pikiran burukku berkata bahwa Bapak ini sebenarnya terpaksa membelikan baju baru untuk lebaran. Atau mungkin beliau kebingungan harus membeli baju model apa. Bisa juga beliau memikirkan label harga yang tak bisa dibilang murah. Ah, kenapa saya jadi berpikir macam-macam, mungkin memang raut muka Bapak itu begitu adanya.

Larut ke dalam perburuan kami sendiri, perhatianku lepas dari Bapak tadi. Sudah tidak sempat terlintas segala asumsi tentang si Bapak. Semua terhalang oleh pertanyaan semacam "bagus yang ini apa yang ini ya?" "kira-kira ini muat ga ya?" "mendingan yang ini apa yang ini?" "harga segini mahal ga ya?" "yang ini lucu kan ya?"

Antrian pembeli yang sudah cukup panjang membuatku geleng-geleng kepala. Terbayang lamanya waktu saat membayar nanti. Hingga pandanganku kembali terhenti pada sosok Bapak tadi. Ternyata beliau sudah antri menuju kasir. Aku lihat sudah ditenteng dua potong baju anak perempuan. Saat beliau berbalik selesai dari membayar, yang kulihat masih sama. Ekspresinya masih datar, senyumnya tidak tersungging, langkahnya juga masih perlahan. Tidak menampakkan kepuasan berhasil membelikan baju lebaran. Perlahan dia melangkah gontai menjauh hilang menembus keramaian.

Budaya baju baru lebaran memang bukan hal baru. Pernah aku bertanya kepada entah siapa, katanya itu pengejawantahan anjuran Nabi Muhammad menyambut idul fitri. Meskipun setelah ditelisik, anjuran yang ada hanya memerintahkan mengenakan pakaian yang terbaik. Pemaknaan terbaik ini mungkin memang beragam. Bisa dari yang sudah ada dipilih yang paling bagus. Bisa juga dengan membeli yang baru agar mutlak baju itu jadi yang paling bagus yang dipunya.
Yang paling penting adalah tidak berlebihan dan memaksakan diri. Dua hal itu bisa menggeser makna dari pengagungan menyambut hari yang fitri menjadi sombong diri atau malah penderitaan demi nafsu sehari.

Nyonya Tua Bergaun Putih*


"Tapi, saya sudah buatkan you kue kentang..."


Cuma kalimat itu yang mendorongku naik bus kota demi sekadar mengunjungi seseorang yang tidak kukenal di sore hari. Menelusuri kumpulan gedung apartemen dan membuka salah satu pintunya hanya untuk melihat seorang ibu yang sudah teramat sangat tua membuat kue... rasanya seperti di film The Matrix ketika tokoh Neo pertama kalinya bertemu dengan Nyonya Oracle yang bijaksana (itu kata adikku lho).

Minggu lalu, ibu ini menemukan nomor teleponku terselip di buku tabungan. Ia menelepon ke rumah, kemudian ke kantor, lalu mengingatkan bahwa aku pernah berkata akan berkunjung dan mengobrol dengannya. Tentu aku masih ingat itu semua. Hanya saja pertemuan kami terjadi lorong rumah sakit, ketika sama-sama menunggui keluarga yang dirawat inap. Setiap hari ia selalu mengenakan gaun putih, selendang putih, dan sepatu putih. Tampak seperti berusia 50 tahun, ia berkata sebenarnya sudah berusia lebih dari 80 tahun. Meski percakapan kami terasa menyenangkan dengan bahasa yang gado-gado, aku tak mengira akan berlanjut seperti ini. 

Aku selalu menyukai persahabatan. Hanya saja ... ketika bahasa menjadi tidak penting dan hati nurani yang lebih sering bersuara, terutama ketika aku merasa disayangi, ada semacam upaya terselubung untuk merasionalisasikan semuanya supaya menjadi masuk akal di kepalaku yang kecil ini. Ketika logika itu tidak kutemukan, aku pun menjadi makhluk penakut.

Jadilah aku datang mengunjungi Mrs. Lily sekadar membayar hutang atas janjiku itu. Yang benar saja, dari segi bahasa, ras, latar belakang kebudayaan, agama, dan usia ... begitu banyak perbedaan kami. Ada banyak perasaan bangga dan sedikit rasa takut ketika ia menyambutku dengan pelukan dan kecupan "I love you"... atau sewaktu ia memberitahu telah bercerita kepada satu putranya bahwa seorang 'anaknya' akan berkunjung hari ini.

Ia mengajakku ke dapur untuk melihatnya memanggang kue yang teksturnya seperti martabak. Sebelumnya, adonan yang terbuat dari kentang setengah matang itu telah dibiarkan Mrs. Lily tergeletak selama berjam-jam di meja makan selama menunggu kedatanganku.

Kami makan kue dan mengobrol di sofa sambil menonton saluran Star TV. Aku yang biasanya geli dan tidak tahan mencela film-film India kini berupaya mengalihkan dorongan itu dengan meminta Mrs. Lily untuk menerjemahkan dialog tokoh pria dan wanita di sela isak tangis dan lagu-lagu mereka. Ada saatnya ia menyeka setitik air di sudut matanya ketika memberitahuku bahwa tokoh wanita kasihan kepada suaminya karena telah dikucilkan oleh ibu mertua yang tidak merestui pernikahan meraka (aduh mak... jadi pingin nangis juga ni). Berikutnya adalah acara seperti Indonesian Idol, dengan artis-artis pendatang India yang unjuk kebolehan dari breakdance sampai striptease, diselingi iklan arisan berhadiah Maal Amaal dan iklan pembersih kloset.

Mrs. Lily mengajakku touring sekeliling apartemen. Dapur, ruang makan, ruang tamu, kamar putranya, kamarnya sendiri, sampai ke balkon yang menghadap ke lapangan badminton di pinggir jalan. Ia juga menunjukkan foto-foto lamanya. Ada foto ayahnya yang seorang haji besar di Candigarh, ada foto ayah dan ibu mertuanya, ada foto cucunya, dan di sudut ruang makan ada tempat sembahyang putranya yang beragama Hindu, dilengkapi dengan patung dewa mengenakan kalung bunga. Suaminya sendiri beragama Islam, sementara putrinya yang berprofesi sebagai dokter telah menikah dengan pria Iran dan juga beragam Islam. Sebenarnya aku sendiri juga kurang jelas mengenai kepercayaan Mrs. Lily ini karena di perkumpulan tempatnya bersembahyang juga bergabung rekan-rekannya dari Jepang dan Cina.

Ia bertanya apakah aku anggota suatu perkumpulan arisan. Kataku, ayah dan ibuku ikut arisan ... tapi aku sendiri kurang tertarik dengan aktivitas tersebut. Mrs. Lily meminta supaya diajak apabila aku mengikuti arisan juga, ia ingin menggunakan namaku. Bila kami menang, semua hadiahnya diberikan untukku.

Mrs. Lily tinggal di apartemen bertiga bersama seorang putra dan pembantu. Minggu sore ini, putranya pergi bermain golf dan akan pulang sekitar pukul tujuh malam. Biasanya, Mrs. Lily hanya berdua bersama pembantunya sembari menunggu putranya pulang kerja pukul delapan malam dari kantornya di Kuningan. Seorang putranya lagi tinggal di Kelapa Gading sementara yang lain ada yang tinggal di Kemang, Poncol, dan bagian barat Jakarta.

Aku bertanya padanya tentang Drupadi, film wayang teranyar yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo. Oh ya, ternyata betul, menurut Mrs. Lily, Drupadi adalah tokoh wayang yang mempunyai lima suami (wow keren...). Tapi, bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Apakah suami-suami Drupadi tidak cemburu? Mrs. Lily menjelaskan bahwa Drupadi di kehidupan pertamanya adalah manusia tanpa suami. Sewaktu ia dihidupkan kembali (yaitu reinkarnasi), Drupadi berdoa agar diberikan suami... dan ia mengulang doanya itu sampai lima kali. Arjuna adalah suaminya yang pertama, ia memenangkan Drupadi dari sebuah sayembara panahan. Arjuna pulang ke rumah dan memberitahu ibunya bahwa ia baru saja mendapatkan hadiah, lalu ibunya meminta agar hadiah itu dibagi berlima bersama saudara-saudaranya yang lain. Jadilah Arjuna membagi Drupadi dengan Yudhistira, Bima, dan tokoh-tokoh wayang lainnya yang aku tidak ingat namanya. Dari kelima suaminya itu, Drupadi mempunyai lima orang putra ... dan lagi-lagi aku tidak hapal penjelasan Mrs. Lily kecuali bahwa Gatutkach (bahasa india-nya Gatotkaca kali ya?) adalah putra Bima.

Aku pamit pada pukul lima sore, dibekali Mrs. Lily dengan oleh-oleh kain sari, satu tupperware penuh dengan kue kentang, dan satu botol baby powder buatan Malaysia. She asked me to step by and say hello on lunch break sometimes ... and I think I have no reason to say 'no' for her nice invitation.

* Catatan:
Versi asli tulisan ini dibuat pada bulan Agustus 2009 dengan judul "Meeting Oracle"

Midnight Sun in Mölnlycke



Last night was memorable. We had a dinner at a friend’s house in a suburban area, for a farewell, a welcoming, a set of vegetarian dish, and a little board game. This is summer. The sun still shining all the way until midnight ... that we almost missed the last bus to town. Ten of us ran through the hilly road amidst the purple sky and jumped over the terminal’s steel fences to catch the midnight bus. All sweating, heart racing, losing breath and feeling fool like Cinderella. Good we had our shoes on.


May 2014

Synchronicity


Have you ever experienced random things in your life which have no direct cause 
-and-effect relationships but somehow share a meaning?

You talked so much about an inspiring person in graphology you wanted to meet but unfortunately he had already died, suddenly your friend told you this person was actually her professor and thesis supervisor in architecture. So now you can imagine what it is like to meet and talk to the graphologist.
In other time, another friend told you about a mysterious dream of 3 questions, that you easily answered because someone had told you all of the answers long time ago. Thanks to an 80-year-old Indian lady in white. You both met in a hospital ward while waiting for a sick family. She invited you to her house, told you her life story which started long before your own country independence. Later taught you how to cook and baked a chocolate cake without electric appliances.

Strangely, now you never heard anything from her anymore as she had disappeared completely from your life without a trace. You knocked at the door, waited. But there was no one except the howling winds throughout the corridors. The house was completely empty that you started to doubt the person was actually a human being. Thus, all that’s left was not only mystery of your friend’s dream on 3 questions today; but also a mystery of your own life experience.
In a different time, you felt desperate for not knowing where to sleep in a foreign country 12,000 kilometers away from your own bedroom tomorrow night, since almost no one answered your 178 application emails looking for a place to dwell, aside of 200 abandoned applications on apartment rent sites. You had a good reason to be worried, as it would affect your life for the next 2 years. In the same moment right before your departure, you met a person in boarding room … going to the same destination like yours … taking the same airplane like yours … and offered a place for you to stay for a few days.
Call it coincidence, call it serendipity. But a notable icon in psychology, Carl Jung (who is also a friend plus rival of another notable psychologist, Sigmund Freud) has a scientific term for it: Synchronicity. Other names of it are acausal parallelism and meaningful coincidence. Relying on logic and evidence, we tend to think everything should always have cause and effect. It seems to us that in order to take care of our reputation, we need to have the ability to defend our argument with facts and figures. But to pretend that we are able make sense of everything would only bring us closer to fooling ourselves. For Jung, the meaning of an event is more important than its cause and effect.

Synchronicity is what connects our internal world with external circumstances.
Jung first thought about synchronicity when he met Albert Einstein and discussed about Relativity Theory, thus inspired him to think about the relativity of time and space as well. But he kept his thought for himself until he finally met another physicist, Wolfgang Pauli, 30 years later. Their correspondence was collected in a book called “Atom and Archetype”, while Jung himself wrote more extensively about his theory in “Synchronicity: An Acausal Connecting Principle.” Jung and Pauli coined a term “Unus Mundus” (One World) for the seemingly random events which are actually synchronized in deeper order.

How Do You Say "Mjölk"?





It is 11 noon.

I was on a tram. After asking for her permission, I took an empty seat beside an old lady. On my lap was a plastic bag covering two containers full of cooked pasta with pesto sauce, tuna, and turkey sausage … my potluck for a friend’s party. Then the white-haired and blue-eyed old lady wearing a beige overcoat and knitted shawl started this conversation.

Where do you come from?

Indonesia.

What are you doing here?

Study.

How long will you stay?

Two years, hopefully. I will return in 2015.

Would you work here?

I don’t think so.

Why?

My study is funded by my office. I need to get back to work after I am finish, otherwise, I have to return the money.

(A moment of silence, then the old lady sighed)

Well, I sent my son to study in London. Now he stays and works there, barely has breaks. He works so hard, until night, even in Sundays. It is different with here. Work in Sweden might be better, you know?

Yes, it could be.

(A moment of silence)

Oh, well. Now I am going to stop in a few minutes. How do you say “mjölk” in English?

Milk.

Yes, I think would stop and buy some milk in the grocery store. What is “milk” in Finnish?

I do not know, I am sorry. Are you Finnish?

No, I came from northern Sweden.

I see.

(Silence again)

Oh, dear … what is “milk” in German?

I do not know, I am sorry. Do you speak German?

No, I am just wondering. So many languages in my head I get confused.

Oh …

(The tram stopped. The door was opened)

Well, it’s up to you. I think you‘d better stay. You could work here, if you like. Bye (walked down, waved and smiled)

Bye (waved and smiled)


[So far that I remember, this is the third time I had an interesting conversation with a stranger in Sweden.]