Atribut Yang Bikin Ribut

"Dunia ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan"




Menjelang sholat Jumat saya iseng membuka BnD, ternyata ada tulisan yang sangat menarik dari Saung Kemangi (http://www.bukannotadinas.com/2017/10/di-mana-tuhan.html). Tulisan sederhana namun sangat "makjleb", karena terus terang seumur-umur saya pribadi tidak pernah bertanya seperti itu. Islam warisan, mungkin itu yang tepat menggambarkan kondisi keislaman saya. Tapi disini saya tidak akan mendiskusikan soal tersebut ataupun mencoba menjawab pertanyaan "Dimana Tuhan?". Tulisan Saung Kemangi tersebut menginsipirasi saya tentang pertanyaan-pertanyaan lain yang sering muncul yang mungkin pada akhirnya akan bermuara ke hal yang sama: dimana Tuhan?.

Manusia seringkali lupa bahwa mereka adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah. Apapun kondisinya, karena hal tersebut sudah tertulis di kitab-NYA. Fakta bahwa ada manusia yang tercipta tanpa anggota tubuh yang lengkap atau dengan kekurangan-kekurangan fisik lainnya bukan berarti manusia tersebut tidak sempurna. Tinggi-pendek, ganteng/cantik-jelek semua hanyalah atribut fisik yang oleh Allah tidak dijadikan ukuran kesempurnaan ciptaan-NYA. Tak ada satu kitab suci-pun yang mensyaratkan atribut-atribut tersebut untuk mendapat ridho Allah, untuk menjadi kesayangan-NYA. Tidak ada satupun.

Lalu mengapa atribut-atribut tersebut justru yang diributkan manusia? Bukan saja atribut fisik yang diributkan, bahkan semua atribut yang sifatnya asesoris juga diributkan. Setiap saat, setiap waktu bahkan di setiap tarikan nafas. "Keributan" yang melenakan, membuat kita lupa bahwa semua manusia adalah makhluk sempurna. Kesempurnaan luar biasa yang mustahil bila bukan diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Jutaan nyawa dihembuskan ke dalam raga setiap detiknya, lengkap dengan 'customized operating system' sesuai dengan 'janji yang tertulis dalam manual book' masing-masing. Sempurna. Lihatlah diri kita, lihat orang-orang di sekitar kita, itulah kesempurnaan yang tidak perlu diperbandingkan. Sama sekali tidak perlu, karena bukan itu yang dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Dunia ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan. Membandingkan kondisi fisik kita dengan teman sebelah, dengan artis Korea bahkan dengan saudara sedarah-daging kita. Membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang orang lain miliki. Membanding-bandingkan kemampuan diri dengan orang-orang lain. Membandingkan semua atribut yang ada, lalu ribut; "kok aku gak seganteng dia ya?", "kok mobilnya lebih bagus ya?", "kok dia lebih pintar ya?" dan kok kok yang lain yang memenuhi kepala dan menyesakkan rongga dada.

Bukannya tidak ada yang tahu tentang pentingnya rasa syukur. Bukannya tidak ada yang sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Hampir setiap hari viral tentang hal-hal ini berseliweran di seluruh whatsapp group kita. Tapi nyatanya? keributan tentang atribut selalu kita alami.

Iman memang bisa naik-turun, hati memang selalu dengan mudah dibolak-balikkan, tapi bukan berarti manusia hanya bisa pasrah. Kesempurnaan sebagai makhluk itulah yang diharapkan Allah mampu membuat kita menjaga iman dan menata hati. Kesempurnaan yang diharapkan Allah mampu menyadarkan kita bahwa tidak ada gunanya lagi semuanya tanpa diiringi dengan taqwa, tanpa pernah peduli Tuhan dimana. Wallahu'alam.

What to notice: Pick up your skin care and cosmetics products

Not everybody is born and grew with the same skin; the color tone, the appearance, the moisture, and the problem they face. A person might be having good and glowing natural, perfect skin, while the others face acne and big pores, drying, and oily ones. Talking about skin and appearance is like talking about love: very personal.
Thinking about our look is actually a form of selfishness. Yes, it’s a very normal for me (in the normal range) and even it’s in particular circumstance needed more than as an additional beautifer but as a way to be keeping “exist”, sometimes. It sounds too far to say that. Imagine you are an artist, your care of how your skin look will be expected higher than a nonpublic figure.
The way we love our skin and look is different in one person to another. Since everybody has their own priority and perspective in looking upon life. A woman might be loving to take care of her kids and households only and a bit ignoring her looks, while the other is very care of her skin and appearance. Its not a true of false matter, for me. It is more on choice and priority, as i am not a skin care and cosmetics mania as well :p
Then, when you choose to “do” something more to your beloved asset namely skin, there are some points that you might be considering:
First, if you are a moslem, you need to know whether the skin care or cosmetics product are halal certified or not. Some products are just so tempting yet they are not halal certified. You might be aware of, maybe gelatine, a  pure protein and a natural foodstuff which is made from the skins of pigs and cows or from demineralized animal bones. They contain the collagen protein that we use to manufacture gelatine[1]. Gelatine is not always not halal, yet it shall be know whether the gelatine used in the skin products are halal or not.

Second, we should be asking whether this is safe or not? For example, some products are said to contain over hydroquinon and also has mercury in it. Hydroquinon is used to lighten the skin and it is harmful if used overdose. Mercury is also found in many cosmetics products. It could give serious impact to health, not only for the person use that cosmetics, but also for their children who holds towel or handclothes that is contaminated with mercury[1]. Mercury in soaps, creams, and other cosmetics products also could contaminate the water. The wastewater enters the environment and the food chain as highly toxic methylmercury in fish. Pregnant women who consume fish containing methylmercury transfer the mercury to their fetuses, which can later result in neurodevelopmental deficits in the children[2]. In Indonesia, to be simple we could say that “safe measure” refers to whether the products are listed in the BPOM (Indonesia National Agency of Drug and Food Control). In 2017, there are more than 37 thousand cosmetics products got their distribution permit. You might be interested to check the BPOM registration number through this link: http://cekbpom.pom.go.id/. Be careful that the registration number has a chance to be faked too.

Third, it’s lovely to know before buying, whether the product presumably will match your skin or not. Some products are very attractive for its benefits offer, or might be from the cute packaging they have. However, if possible, its so lovely if we could ask for small sample of it or to seek for some reviews. Today, there are so many beauty blogger reviewing cosmetics and skin care products. Thanks a lot for internet access! Last but not least, if you can, please buy those products in the trusted seller to avoid falsification products.




Well, i am not a beautie junkie nor an expert. It was just a slight memo that i need to write for you, beautiful!

 

 

PS: I use Nu Skin, herbal product, wardah, and zoya







[1] https://www.gelita.com/en/knowledge/gelatine/what-is-gelatine
[2] https://www.fda.gov/ForConsumers/ConsumerUpdates/ucm294849.htm
[3] http://www.who.int/ipcs/assessment/public_health/mercury_flyer.pdf

Di Mana Tuhan?

Tetiba saya disergap pertanyaan itu oleh seseorang menjelang masuk elevator menuju ruang kerja. Kami hanya bertiga waktu itu, tapi pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuat saya sangat kikuk dan kaget. Ehh … serius atau bercanda nih? Berseloroh hal mendasar di lift?

Untuk meyakinkan, saya beri ‘umpan’, “Wahh buat apa bertanya begitu, Pak? Maqom saya belum sampe, kayaknya,” tidak lupa menebar senyum.”Lho … bukan soal maqom-maqoman, mbak. Supaya ibadah kita lebih khusyuk kalau kita tahu di mana Tuhan.” Nampaknya serius, tapi perjalanan lift kan tidak lebih cepat dari (sekitar) 5 kedipan mata.

Saya tidak bisa bermain voli, tapi saat itu saya merasa menjadi seorang tosser dadakan, melempar pertanyaan kepada muslimah anggun berhijab di sebelahnya, “Mungkin mbak Anggun bisa jawab, Pak … hehehe.” Si bapak menatap mbak Anggun sambil tetap melibatkan saya dan berujar, ”Pakai jilbab kan biasanya sudah punya ilmunya.” Ehmm… rasanya seperti kena smash. “Wah, jadi kita mau bicara di level apa nih? Syariat, tarikat, atau makrifat?” Saya berseloroh sok ‘punya ilmu’nya.

“Kita bicara di level PNS aja, lah yaa. Kita kan PNS.” Dan, saya merasa terselamatkan ketika pintu lift terbuka, bapak & mbak Anggun keluar di lantai yang berbeda dengan saya. Itu saja, dan saya lega.

Saya baru terfikir kira-kira jawab apa, justru saat pulang kantor, ‘terjebak’ menunggu hujan berhenti di musala Bxchange dari waktu maghrib sampai isya, sesekali melirik kedai ‘Marugame Udon’, berharap antrian mengularnya jadi pendek supaya saya bisa duduk di salah satu kursinya sembari menyesap ocha panasss. Alhamdulillah … enaknya jadi ibu bekerja kekinian, bisa menunggu hujan reda tanpa meninggalkan sholat, sambil cuci mata di mal. Eh...he...he...he.

Tapi saya kan bukan sufi, lagian, bacaan tentang tauhid sulit menarik minat saya (haddeuuhh… sambil tertunduk lemas).

Berkali-kali order ojek on line dengan gonta ganti provider gagal, membuat memori saya belasan tahun yang lalu tentang pertanyaan “di mana Tuhan” datang lagi lamat-lamat. Tepatnya, 2 minggu sebelum pernikahan saya. Mantan calon suami datang selepas pulang kerja mengantar kelengkapan dokumen nikah, diantar mas-mas yang katanya teman baiknya.

Mungkin supaya cair, si mas ‘teman baik’ mulai berbincang masalah agama. Karena saya berjilbab, kali yeee. Eh, ujungnya dia tanya,”Mbak tahu ga di mana Allah?” Pertanyaan macam apa itu? Saya membatin. “Wah, terus terang saya tidak pernah berfikir begitu.”

“Lho … gimana sih? Ini penting, menyangkut tauhid! Buat apa sholat kalau di mana Allah ga tahu?”

Ehm, jiwa muda saya terpancing. Siape elu menyepelekan sholat gue, “Saya sholat untuk ingat Allah, supaya saya tenang.”

“Emang ga belajar tauhid?” mantan calon suami saya diam, tidak berusaha menjawab sekedar membantu saya. Gue dites nih?? “Di atas langit, kalo berdasar al Baqarah 255. Toh, kita berdoa juga menengadahkan tangan ke atas.” Ahh…jangan tanya saya tentang dalil yang saya kutip. “Jauh amat. Padahal Allah jawab di ayat berikutnya,’Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat’. Jadi, di mana Allah?” It was getting me frustrated, tapi belum menemukan cara yang sopan untuk mengusir.

“Berarti di bawah? Kata Rasulullah, saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya kan saat sujud,” saya masih berusaha sopan.

“Itu lah kalo pemahaman masih tingkatan syariat. Allah itu sesungguhnya dekaaat, lebih dekat dari urat leher sendiri. Lihat surat Qaf ayat 16. Itu pemahaman kalau orang sudah mencapai tingkatan makrifat. Keberadaan Allah itu dekat sekali, bahkan menyatu dengan kita. Kalau sudah makrifat, orang ga perlu lagi amalan-amalan syariat seperti sholat.”

“Lho? Jadi engga sholat? Rasulullah saja yang begitu dicintai Allah tetap sholat!” Intonasi saya mulai naik. Alamak, sudah ngantuk nih jangan pula diajak diskusi berat.

“Rasulullah itu teladan, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa-bisa ditiru umatnya. Tidak sembarang orang ada di tingkatan makrifat,” kilah si mas.

“Tapi Rasulullah tidak pernah menyampaikan juga bahwa kalau sudah sampai tingkatan tertentu, orang boleh tidak sholat.”

“Ada buktinya. Tahu konsep mukjizat, karomah, maunah?” Entahlah, ilmu saya kali ya, yang belum sampai. Selebihnya, saya jadi ikutan diam dan mengangguk sesekali sekedar menghormati. Menjelang tengah malam, saya semakin shock, penat, dan merasa indoktrinasi ini tak berujung, saya tegas menyela,”Maaf mas-mas. Saya mau istirahat!” Mereka pulang meninggalkan saya yang panik. Kenapa gue baru tahu temennya sekarang ya? Dia juga ikut faham itu? Siapa imam gue kalo dia sudah merasa di tingkatan makrifat?

Keesokan harinya, sekejap dari salam terakhir sholat shubuh, saya marah-marah di telepon,”Mas menganut faham seperti itu? Kenapa teman dekat mas seperti ingin mendoktrin aku?” Berkali-kali mantan calon saya itu bilang, dia tidak terafiliasi dengan faham fanatik apa pun. Sholat tetap kewajiban buatnya, sampai maut menjemput!!! Dia hanya hendak mengenalkan lingkungan macam apa yang ada di dekatnya, supaya saya tidak kaget. Maklum, masih asing dengan plularisme (nahh kan.. menuliskannya saja salah). Sampai berkali-kali meyakinkan saya dengan sumpah, akhirnya jadi juga dia suami saya.

Setelah memutuskan menarik sauh untuk berlayar, mengarungi samudera kehidupan bersama suami, saya lalai lagi dengan esensi mencari di mana Tuhan? Buat saya, hidup itu macam menembus gelombang tinggi menuju badai, dari satu ke yang lainnya. Saya disibukkan dengan bagaimana mempertahankan bahtera agar tidak tenggelam saat ombak menghempas. Panik menjaga supaya tidak oleng meski digoyang riak-riak kecil. Yahhh … sering juga sih perjalanan seindah laut yang tenang di malam hari berhias gemintang.

Tapi, coba bayangkan! Pekerjaan beres, anak keluar masuk rumah sakit. Keluarga sehat, ekonomi terasa jauh dari pas-pasan. Keuangan mulai stabil, keluarga dekat minta perhatian. Pekerjaan dan keluarga terkendali, eh… mantan minta balikan (ha ha ha … bohong banget nihhh).

Saya benar-benar tidak ingat pentingnya mencari di mana Allah. Kalaupun kemudian saya sering-sering memanggil nama-Nya, hanya karena saya benar-benar perlu meyakinkan diri bahwa Dia bersama saya melewati gelombang dahsyat kehidupan. Kalau saya lantas banyak-banyak memohon ampun, hanya semata supaya Dia memaafkan khilaf saya saat salah bermanuver melintasi badai cobaan. Lalu, kalau pun harus bersujud dalam-dalam, lebih karena memohon bimbingan-Nya supaya saya tidak sesat mengambil haluan. Tapi, kalau ditanya di mana Allah, di mana Tuhan, saya menyerah menjawab.

Ahhh … kok jadi panjang ya? Biarlah saya tayangkan saja ke BnD. Setidaknya, saya bisa memohon, jangan tanya saya lagi, ya, di mana Tuhan. Kalau mau memberitahu dengan dalil yang mencerahkan, saya tidak menolak, malah belajar. Karena kalau saya diminta jawab, lagi-lagi hanya akan mengingatkan kejadian traumatis yang nyaris membuat saya gagal kawin. Mudah-mudahan, mbak Anggun sudah memberi jawaban yang memuaskan. 🌾

Berbagi Jalan, Berbagi Kehidupan

Beberapa waktu lalu terdengar lagi berita tentang seorang pesepeda yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Ini bukan kejadian pertama yang menimpa pesepeda. Sudah banyak kasus-kasus serupa, dari sekedar luka ringan sampai merenggut jiwa. Terlepas dari ajal yang bisa merenggut dimana saja dan dengan cara apa saja, kematian para pesepeda di jalan raya menunjukkan bahwa bersepeda di jalan raya bukanlah kegiatan yang aman. Harapan para pesepeda untuk memiliki infrastruktur yang memadai, aman dan nyaman bukannya tidak disuarakan dan diakomodir, tetapi memang belum bisa dikatakan memenuhi harapan yang paling minimal sekalipun. Jalur sepeda sudah ada di beberapa tempat, namun utilisasi-nya masih sangat minim. Okupasi jalur oleh pengendara kendaraan bermotor masih dominan. Diskusi mengenai hal ini berujung pada perdebatan tanpa akhir, seperti mempertanyakan mana lebih dulu? telur atau ayam?.

Harus diakui bahwa perilaku pengendara kendaraan bermotor belum sepenuhnya ramah terhadap pesepeda. Para penggiat bersepeda ke kantor pasti pernah mengalami tindakan "bullying" oleh pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Dari "sekedar" diklakson, dipepet bahkan sengaja ingin ditabrak. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran apabila tingkat kecelakaan yang menimpa pesepeda akan meningkat dari waktu ke waktu.
Kampanye berbagi jalan sudah kerap dilakukan oleh komunitas-komunitas sepeda di tanah air. Ya, berbagi jalan, artinya jalanan bukanlah dominasi kendaraan-kendaraan tertentu (kecuali diatur demikian). Ruang jalan milik bersama; pesepeda, pesepeda motor ataupun pengendara mobil. Semua memiliki hak yang sama. Namun lagi-lagi, efektivitas kampanye tersebut masih belum bisa dirasakan.

Negara-negara yang terkenal sebagai "bike friendly countries" seperti Denmark, Netherlands, Sweden, Finland, Germany, Belgium, Austria, Hungary, Slovakia dan UK, awalnya juga mengalami masalah-masalah tersebut di atas. Namun mereka bisa mendapatkan solusi yang tepat yang menjadikan sepeda sebagai jenis kendaraan yang aman dan mendapat prioritas di jalan-jalan raya mereka. Mereka mengalami perjalanan yang panjang, usaha yang keras dan terus menerus, dorongan masyarakat yang tiada henti yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan pemerintah yang cerdas dan solutif tanpa diskriminatif. Di Netherlands misalnya, ketika di tahun 1950-1960 jumlah pemilik mobil bertambah yang pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang tewas di jalan raya (lebih dari 3000 orang, 450 orang diantaranya anak-anak, di tahun 1971), masyarakat turun ke jalan meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, menyediakan infrastruktur yang lebih aman bagi pengguna jalan raya, khususnya pesepeda. Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Meskipun secara persentase tingkat kesibukan bersepeda lebih tinggi dibanding infrastruktur bersepeda, kota-kota di Netherlands adalah "surga" bagi para pesepeda, sampai-sampai memakai helm pun tidak wajib disana karena mereka sangat percaya akan keamanan infrastruktur dan sistem lalu lintasnya. Ketika ditanyakan kepada mereka; "are you a cyclist?" mereka dengan bangga menjawab "No, I am just a dutch". Kesadaran yang tinggi dari pengendara kendaraan bermotor disana untuk menghormati pesepeda juga berangkat dari hal tersebut. Empati karena mereka pun pesepeda, orang tua, istri./suami, saudara, anak, dan teman-teman mereka juga pesepeda. Empati yang menghasilkan sesuatu yang mungkin membuat takjub ketika bahkan pejalan kaki pun harus menunggu pesepeda lewat sebelum menyeberang jalan.

Apakah Indonesia bisa seperti itu? Menjadi salah satu bike friendly country?. Bisa, apabila kesadaran berbagi hak di jalan raya sudah tumbuh di masyarakat kita. Bisa, apabila infrastruktur sudah siap dan tersedia dengan sempurna. Bisa, apabila kebijakan transportasi pemerintah dapat secara komprehensif membenahi permasalahan-permasalahan yang ada. Sangat bisa, ketika semua orang sudah sadar bahwa berbagi jalan adalah berbagi kehidupan, setiap orang di jalan memiliki orang-orang yang dicintai, dikasihi yang menunggu kehadiran mereka di rumah.

*tulisan ini juga dimuat di https://wordpress.com/post/ikoerba.wordpress.com/830

Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾


Sweeping Tersukses

Secara formal, keikutsertaanku di diklat teknis komputer ketika itu menjadi titik awal karirku di bidang IT/Komputer, meskipun belajar pemrograman sudah aku mulai setahun sebelum ikut diklat. Waktu itu, diklat teknis komputer termasuk diklat paporit (sedikit penyesuaian dengan tempat aku tinggal sekarang : Bogor... hehe) bagi teman-teman. Wah, minat teman-teman ke dunia IT besar juga ya,  tapi tunggu dulu. :D
Hampir semua teman-teman yang ditempatkan di luar jawa, rajin cari info ada diklat apa saja yang bisa diikuti. Alasannya satu : biar bisa dekat dengan kampung halaman. Jadi tidak ada hubungannya dengan minat di dunia IT. Sssst... rahasia :P
Kebetulan diklat teknis komputer ini lamanya : 1 bulan plus 4 bulan. Lumayan bisa berkeliaran di jakarta dan kampung halaman selama total 5 bulan. Satu kesempatan yang harus diambil.


Ini jelas terlihat dari peserta yang lulus seleksi, lebih dari 80% dari luar jawa. Akibatnya hampir setiap akhir pekan, tempat penginapan selalu sepi, karena pada pulang kampung. Dan itu menjadi sesuatu banget pada waktu itu. 


Dan balik ke jakarta nya sebagian besar hari senin pagi. Tentu ada saja teman yang datang tidak tepat waktu, alias kesiangan. Ada yang masuk setelah coffee break pertama, atau bahkan setelah makan siang, kelakuan ya :D


Dari segi waktu, diklatnya cukup lama juga, tentu saja ini membuat  teman-teman semakin akrab, dan mulailah muncul aksi aneh-aneh yang bikin suasana makin meriah, dinamis dan tidak membosankan. Mulai dari ledekan yang kecil-kecil sampai ke aksi yang agak nekat, mengambil jatah makan teman lainnya, paling tidak buahnya sudah hilang duluan. Pisang menjadi buah yang paling sering hilang duluan. Kalau menjelang jam istirahat, ada yang pura-pura ke toilet, padahal sedang 'sweeping' buah di kotak nasi, hehe. Memang terkesan konyol, tapi justru ini yang membuat suasana tidak membosankan.


Adat istiadat atau keusilan yang dimaklumi ini makin lama makin menjadi, meskipun sebetulnya masih dalam batas yang wajar.


Sampai suatu saat teman kami, sebut saja nama samarannya Agung, ketika balik dari kampung terlambat datang. Alhasil dia tidak sempat mengikuti pelajaran sesi pagi. Karena datang kesiangan, tentu tidak enak kalau dipaksakan masuk kelas yang ketinggalan cukup lama.


Kebetulan senin pagi itu karena alasan teknis (sama seperti kalau ada penerbangan yang ditunda ya :D) kelas dipindah ke gedung utama, gedung B. Agung segera ke Gedung B untuk menunggu selesainya sesi pagi sambil melancarkan aksinya, 'sweeping' !!!


Yang agak mengherankan dalam benak Agung, kok tumben menunya tidak seperti biasanya. Keliatan lebih mewah. Maka sambil menunggu teman-teman istirahat, Agung tidak menyia-nyiakan waktunya untuk segera ber-'gerilya'. Ketika asyik melahap hasil 'sweeping' nya, mulailah yang ada di ruang belajar keluar satu per satu. Tapi ada yang aneh, "perasaan ada yang aneh dengan teman-temanku ya ?", batin Agung.


Setelah diperhatikan secara seksama, ternyata memang betul. Yang keluar dari ruang belajar bukan teman-temannya, tapi para pejabat yang sedang mengikuti diklat. Pantesan menunya tidak seperti biasanya. 


Yang sebelumnya merasa bangga karena bisa melakukan sweeping istimewa, ternyata justru menjadi sweeping yang paling memalukan karena salah tempat, hehe...

*makanya sms dulu donk, eh tapi waktu itu memang belum ada hp :D


***

Hujan Hari Ini

Berbulan-bulan kami menunggu kehadiranmu.. 
atau malah sudah hitungan tahun? 
entah lah.. yang pasti lama... 
sudah kami persiapkan segalanya menyambutmu.. 
berhias diri agar layak menemuimu... 
coba kuselipkan ruang-ruang baru untuk peraduanmu... 

Tiba-tiba hari ini dirimu hadir mendahului fajar... 
atau mungkin sudah hadir saat mata kami masih terpejam? 
sungguh kejutan yang tak terkirakan... 
di kala harapan kami mulai tergerus kenyataan.. 
engkau tiba..dan masih sama.. menyejukkan... 

Tapi semua ternyata tak berbeda... 
meskipun kami sudah bersiap dan berusaha sigap... 
suka cita akan datangmu tetap meluap-luap menutup jalanan.. 
ruang-ruang baru yang kami siapkan masih tak mampu membuatmu nyaman... 
basah... tapi bisa menghapus gelisah...

Bahagia dan syukur kami panjatkan... 
tak lupa lantunan doa serta menyelipkan secercah keinginan... 
Karena kehadiranmu adalah rezeki yang seiring dengan kemakbulan...
Bukan kata kami... itu sabda manusia terbaik sepanjang zaman.. 
Semoga engkau berkenan kembali hadir esok hari.. 
Supaya dunia kembali dapat karunia...
Dan kami dikunjungi kembali waktu diijabah doa..

Perhatian, Rani

sebuah cerita yang kudengar dari dosen pendidikan agama saat kuliah dulu.

Ada satu keluarga yang harmonis, terdiri atas seorang ayah, ibu, dan seorang anak perempuan (sebut saja Rani) yang beranjak dewasa  dan sudah saatnya belajar berpijar. Mereka hidup rukun penuh kebahagiaan. Terutama karena Rani, anak remaja satu-satunya itu tumbuh sebagai remaja yang cerdas, cantik, ceria, taat beribadah, serta sangat menyayangi, menghormati dan berbakti kepada kedua orang tuanya. (Mungkin jika divisualisasikan sosok Rani ini seperti Dr. Shindy Kurnia Putri, ngayal).

Namun, pada suatu saat, perangai sang anak mulai berubah drastis. Ia menjadi pemurung dan mulai berani membantah kedua orang tuanya.

Suatu hari, ketika sang ibu seperti biasa mengajak Rani untuk ikut menghadiri pengajian, Rani berkata dengan nada sinis. "Tak perlu ibu suruh-suruh, toh ibu hanya pura-pura saja kan?" hardiknya.
Mendengar kata-kata itu, sang ibu terhenyak. Ia  kaget karena baru kali ini kata-kata seperti itu terucap dari bibir manis anaknya. Terlebih ia berani melontarkansindiran dengan kata-kata tajam. Ibu muda tersebut terguncang hebat dan menangis seraya berkata, "Ya ampun Nak, Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?".

Tanpa sepatah kata pun, Rani menyodorkan secarik kertas kepada Ibunya, kemudian ia menagis sambil masuk ke dalam kamarnya.

Melalui secarik kertas yg diberikan Rani itu, ibunya  mengetahui dan mengingat kembali kesalahan masa lalunya.
Rani ternyata menemukan surat nikah orang tuanya. Di sana tertera denagn jelas tanggal pernikahan orang tuanya, yaitu 9 Juni 1995, sedangkan Rani tahu persis bahwa ia lahir pada tanggal 13 Oktober 1995.