Sekolah Kehidupan

Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa seseorang memutuskan untuk menempuh pendidikan sampai ke jenjang paling tinggi, namun tidak sedikit pula orang yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tentu semua memiliki konsekuensi atas pilihannya tersebut.

Yang terpenting adalah bukan seberapa tinggi pendidikan formal seseorang, namun seberapa besar kontribusi yang dapat dia sumbangkan dari ilmu dan pengetahuan yang telah ia dapatkan. Bagi orang yang mau mengosongkan gelasnya, perolehan ilmu dan pengetahuan inipun tidak terbatas pada pendidikan formal saja, dia dapat memperolehnya dari siapa saja, dimana saja, dan melalui media apa saja.

Sekolah kehidupan adalah sekolah yang tidak akan pernah tutup selama kehidupan ini berlangsung, tidak mengenal batas usia, menawarkan beragam cabang ilmu yang sangat luas. Lulusannya memiliki kompetensi yang mumpuni, karena dari sekolah kehidupan inilah yang akan melahirkan orang-orang yang bijak, orang-orang yang sabar, orang-orang yang tawadhu, orang-orang yang peduli dengan sekelilingnya, orang-orang yang memiliki empati yang tinggi, orang-orang yang memiliki semangat juang yang tinggi. Inilah sebagian hasil yang akan diperoleh dari sekolah kehidupan, yang mungkin, tidak akan kita dapatkan bila hanya mengandalkan sekolah formal.

Mari bertanya ke dalam diri : Seberapa besarkah kontribusi yang telah kita berikan dari ilmu dan pengetahuan yang telah kita peroleh selama ini.


Bintaro, 18 November 2017

Topeng

Sering manusia bangga dengan topeng-topengnya
Menyembunyikan bopeng dan koreng di balik topengnya
Pikirnya aman tak ada yang tahu rahasianya
Bahagia bila orang melihat dirinya lebih indah dari aslinya

Kepalsuan demi kepalsuan dijalani
Kebohongan demi kebohongan dilakoni
Kejujuran tiada lagi arti
Dalam menjalani kehidupannya di dunia ini

Lupa hidup di dunia hanya sementara
Mengumbar nafsu, yang tak pernah dikekangnya
Menjadi pemimpin dalam dirinya
Lupa menoleh siapa pemimpin sejatinya

Ada masanya kan tiba
Ruhani menjerit meronta-ronta
Bila tak pernah dipedulikannya
Untuk apa menyertainya, bila tak pernah melibatkannya


Bintaro, 18 November 2017

Jujur

Tidak ada seorang manusia pun yang luput dari dosa ataupun kesalahan. Hanya saja ada orang yang berani mengakui dosa/kesalahannya, namun ada orang yang tidak berani mengakui dosa/kesalahannya tersebut. Diperlukan jiwa yang besar untuk bisa mengakuinya dengan jujur.

Godaan untuk berbuat dosa/kesalahan sudah dimulai sejak dini, tentu saja tiap orang akan berbeda-beda memulai dosa/kesalahan tersebut. Mungkin sewaktu kecil kita pernah berbohong kepada orang tua kita, pernah mencuri uang milik orang tua, lalu ketika beranjak remaja pernah membully teman sekolah kita, pernah memakan makanan di warung sekolah tanpa membayar dll. Semakin dewasa godaan semakin kompleks menerpa kita, baik di rumah (dengan pasangan dan anak-anak) , di lingkungan tempat tinggal (dengan tetangga, dengan alam sekitar), maupun di kantor (dengan rekan kerja, atasan ataupun bawahan). Bila kita tidak pernah berupaya untuk menyisir kembali apa dosa/kesalahan yang pernah kita perbuat, maka itu akan menjadi titik kelam yang terus menerus membesar yang akan menutupi kefitrahan kita.

Ketika kertas kehidupan kita yang semula berwarna putih bersih, lalu perlahan kita goreskan noda-noda kelam di atasnya, bagaimana mungkin kita bisa melihat warna-warna cerah tergores pada lembar kehidupan kita, bila tak ada lagi ruang untuk menggoreskannya?

Semoga dengan kejujuran kita mengakui dosa dan kesalahan kita, memohon ampun kepadaNya dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti serta mengisi kehidupan kita dengan berbagai kebaikan yang mampu kita lakukan, Allah akan mengampuni kita dan membimbing kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Amin.



Bintaro, 18 November 2017

Pejuang Gondola Gedung Tinggi

Tertegun saya melihat para pejuang gondola gedung tinggi ini. Apakah mereka memang orang-orang yang terlatih untuk menjadi orang yang punya nyali? Saya pikir tidak. Apakah mereka sadar akan bahaya yang siap merengut nyawanya itu? Iya dan saya sangat yakin bahwa mereka melakukan dengan penuh pertimbangan. Apakah ada pilihan lain? Atau memang hobi? Saya belum survei, tetapi ketertegunan saya diawali dari kubikel tempat saya bekerja. Awalnya saya mungkin abai terhadap aktifitas di luar bangunan. Namun kok, setelah beberapa kali terusik dengan aktifitas mereka di luar, jadi saya ingin membuat kisah pekerjaan naik gondola gedung tinggi. Pekerjaan itu menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi orang tertentu. Memang saya belum melakukan proses wawancara yang cukup intens dengan para “Pejuang Gondola Gedung Tinggi” ini. Pendapat ini hanya merupakan buah pikiran jika seandainya mereka memiliki pilihan atau saya bertuker tempat dengan mereka dan mereka yang duduk di sisi dalam gedung Soetikno Slamet ini. 
Pikiran ini cukup mengelitik karena ada pekerjaan perawatan gedung kantor. Dalam rangka perawatan itu, banyak perbaikan dan pengecatan yang harus dilakukan tidak terkecuali sisi luar dari gedung itu yang memang menjadi target perawatan. Jika harus menggunakan bamboo yang saling diikatkan, maka paling tidak gedung itu tingginya maksimal 5 tingkat. Jika lebih biasanya memang sudah dibuatkan jalur gondola tersendiri sebagai bagian dari infrastruktur bangunan atau gedung tinggi. Daripada harus menggunakan bambu lagi, maka gondola digunakan secara maksimal agar pekerjaan perawatan gedung dapat selesai sesuai dengan kontrak.
Kondisi gondola secara umum masih cukup baik dengan cantolan kabel baja dan cukup mencengkram pada roda gondola berkenaan. Sementara para pekerja dengan asyiknya tetap bekerja dengan tali pengaman yang sudah diikatkan bukan ke gondola tetapi ke tali pengaman yang tersambung langsung dari atas. Saya sempat mengamati secara kasat mata, karena pengamatan saya berasal dari dalam gedung bukan ikut bersama dengan mereka. Hasil pengamatannya adalah bahwa kapasitas gondola sepertinya hanya mampu diisi hanya dengan 2 orang dengan berat kira-kira 60 kg. Jika bebannya lebih dari itu, saya gak tau apa yang terjadi. Tapi saya gak mau memikirkannya, tapi saya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa terhadap para pekerja itu. Mereka berada di gondola itu juga bukan karena hobi dan kemauan mereka. Saya sempat sedikit mendengar beberapa percakapan yang mereka ucapkan. Inti dari percakapannya adalah mereka lakukan ini karena gak ada pilihan lain selain pekerjaan ini. Mereka juga terkadang rindu dengan kampung halaman dan keluarga. Jika ada keahlian yang bisa mereka lakukan dan kerjakan, mereka tidak akan mengambil pekerjaan ini.
Mendengar percakapan mereka yang santai dan penuh makna cukup menampar saya sebagai pegawai negeri sipil yang hanya bisa duduk dan mengamati mereka dari dalam gedung. Mereka pun tidak bereaksi ketika dari sisi dalam ada yang melambaikan tangan ke mereka dan mereka sepertinya fokus untuk tetap mengerjakan agar cepat selesai. Karena mereka tahu bahwa waktunya sangat berharga dan jika semakin lama diatas dan pekerjaan tidak selesai maka nyawa adalah taruhannya. Saya cukup malu dan berpikir kembali, apakah ini sebuah sketsa hidup dalam setiap diri seseorang? Setiap diri kita ketika sedang tidak semangat dan banyak malas bekerja, apalagi kondisi tempat pekerjaan sangat nyaman dan bersih dan berada di dalam gedung, mungkin sekali-kali perlu berkaca kepada para pejuang gondola ini. Kalau ruangan agak panas kita dengan mudahnya protes. Bila ruangan terlalu dingin dengan mudahnya kita mengerutu “agak dingin ya ruangan.”. Itulah kita sebagai manusia. Coba seandainya kita berada di posisi mereka? Bisa komplen? Bisa menolak? Bisa protes? Bisa malas? Tanyakanlah kepada diri sendiri. Bagaimana nanti tiba-tiba kita terbangun dari tidur dan harus bekerja sebagai pejuang gondola itu? Saya yakin akan ada banyak pergulatan dalam diri kita.
Iya, saya menyebutnya mereka sebagai pejuang. Karena banyak yang mereka pertaruhkan dalam melakukan pekerjaan itu terutama nyawa. Waktu untuk keluarga, istri, anak dan berbicara dengan rekan kerja. Rekan kerja? Gak ada rekan kerja. Kalau rekan kerja di gondola hanya berdua. Kalau rekannya sakit, maka bekerja sendiri. Pantaslah kalau saya sebut mereka pejuang dibanding saya yang bekerja masih banyak malas, protes, mengobrolnya dan lain-lain. Sang pejuang gondola telah mengingatkan saya untuk tetap semangat dan bersyukur bahwa semua itu sudah ada suratan dan takdirnya. Maka nikmati momen yang telah diberikan dengan hal-hal yang positif tanpa harus banyak komplen dan bermalas-malasan. Selamat berkerja para pejuang gondola gedung tinggi, kami doakan yang terbaik untuk kalian. Doakan kami juga untuk selalu tetap semangat bekerja dengan hal-hal yang positif. Aamiin

Cerita ini dapat juga dilihat pada link berikut : 

Iteung vs Pak Bos

            “Iteung!” suara Pak Bos terdengar nyaring membuyarkan mimpi Iteung di siang itu. Setengah ngelindur, Iteung bangkit dari duduk sambil mencari sepatu yang ada di kolong meja kerja Iteung. Karena sepatunya ada di ujung meja, kaki Iteung kesulitan menjangkau sepatu kerja sampai nggak kerasa kepala Iteung kena meja. Sakitnya sih nggak seberapa tapi malunya yang nggak bisa diumpetin.
                “Sengaja, ngetes kekuatan kepala kalau dibenturkan ke meja,” ujar Iteung kepada teman-teman di ruangan kerja, walau sebenarnya mereka nggak peduli karena masing-masing asyik sama kerjaannya.
                “Iteung!” kembali teriakan Pak Bos  menggema, sampai semua orang di ruangan melotot ke arah Iteung. Gara-gara Iteung, suasana damai berubah jadi kisruh. Jangan-jangan semua orang di ruangan itu mengutuk Iteung.
“Iteung!”
“Ya, Pak. Sabar,”. Kursi Pak Bos yang kebesaran dibandingkan badannya yang kecil mulai bergoyang, pertanda si Bos akan berdiri dan kemungkinan menghampiri meja kerja Iteung. Jangan sampai terjadi. Nanti komik Tin Tin Iteung dirampas sama si Bos. Gawat kalau itu terjadi, bisa-bisa Iteung nggak bisa nyelesaiin baca petualang Tin Tin yang seru.
                Nggak peduli cuma pake sepatu sebelah, Iteung lari menuju meja Pak Bos. Kepala Iteung bergoyang ke kiri dan kanan mencari keberadaan Pak Bos. Pak Bos muncul dari sela dokumen bikin Iteung kaget sampai teriak ketakutan karena Pak Bos memasang muka angker bin serem. Pensilnya yang nyelip diantara telinga Pak Bos bikin Iteung nggak kuat nahan ketawa.
Dengan penuh kesadaran, Iteung cekikikan.
                “Nota yang saya minta tadi, sudah selesai belum?” tanya Pak Bos dengan bahasa yang formal.
                “Sudah,”
                “Lho, kok nggak diserahkan ke saya?” tanya Pak Bos dengan mata yang melotot.
                “Lha, Bapak kan nggak minta tadi,” jawab Iteung.
                “Juned, kasih tahu temanmu ini kalau selesai bikin nota ya diserahkan ke saya!” tiba-tiba Pak Bos berteriak ke Juned, teman yang duduk di samping Iteung.
                Juned melotot ke Iteung. Iteung cuma bisa mengangkat kedua tangan Iteung ke arah Juned.
                “Kenapa harus bilang ke Juned, Pak. Iteung kan ada di depan Bapak,” Iteung garuk-garuk kepala nggak ngerti apa maunya Pak Bos.
                Akhirnya Iteung serahin nota yang tadi Iteung bikin ke Pak Bos. Iteung duduk lagi di kursi. Juned marah-marah sama Iteung.
                “Gue udah bilang, lo jangan bikin masalah melulu. Nanti gue juga yang kena,”
                “Iteung mah heran ned, eh Jun,”
“Juned!” Juned memotong perkataan Iteung.
“Kenapa Pak Bos ngelibatin kamu di masalah Iteung. Mungkin dia ketuker antara kamu dan Iteung. Padahal kan kita dua mahluk yang jelas beda. Iteung mah cantik, kamu mah......,”
                “Stop!” lagi-lagi Juned memotong perkataan Iteung. Ah, Juned emang berbakat jadi tukang jahit seneng banget potong memotong.         
              “Jangan dilanjutin. Kerja aja yang bener. Kerja pake otak jangan pake dengkul!” Juned masih marah sama Iteung.
                “Iteung mah kerja pake tangan, Juned. Susah kalo pake otak mah apalagi dengkul. Keyboardnya nggak muat,”
                “Iteung, shut up your mouth!”
                Iteung langsung diam, takut kalau Juned tambah marah. Kalau Juned marah, siapa yang mau nemenin Iteung makan. Soalnya teman yang lain udah kapok nemenin Iteung.
                ******
               
                Tiba-tiba Pak Bos udah ada di depan meja Iteung sambil menyerahkan nota yang Iteung bikin tadi.
                “Itu koreksi dari saya, selesaikan hari ini ya. Jangan lelet kalau kerja!” ujar Pak Bos dan secepat kilat berlalu dari pandangan Iteung.
                Iteung memandang coret-coretan di nota dan berpikir, waktu Pak Bos sekolah dulu, apa gurunya nggak cepet migrain ya baca tulisan Pak Bos. Benang kusut aja kalah kusut dari tulisannya Pak Bos. Rasanya bakalan kumat nih sesak nafas Iteung baca tulisan Pak Bos.
                Bolak-balik Pak Bos mengoreksi nota Iteung  sampai Iteung hitung ini sudah yang kesepuluh kalinya. Sampai Iteung berjanji kalau sampai Pak Bos masih mengoreksi nota sampai sebelas kali, Iteung akan mengutuk Pak Bos menjadi anak SD lagi buat belajar menulis yang baik dan benar.
                Iteung baca koreksi nota yang kesebelas kali. Kepala Iteung langsung nyut-nyut ditambah dada berdebar kencang. Kalau dada berdebar kencang sih lebih karena ada bule ganteng yang datang ke kantor. Perasaan Iteung hapal isi nota setelah dikoreksi. Iteung datangi meja Pak Bos.
                “Pak, Bos! Apa yang Bapak lakukan ke Iteung sungguh jahat. Iteung bisa saja lapor ke polisi karena perbuatan tidak menyenangkan. Masak Iteung disuruh bolak-balik perbaiki nota,” suara Iteung sungguh lantang bagaikan orang yang sedang berorasi.
                “Setelah Iteung baca dengan seksama, maka Iteung mengambil kesimpulan kalau nota yang kesebelas ini isinya sama persis dengan nota pertama yang Iteung bikin. Iteung minta ganti rugi waktu dan tenaga yang terbuang percuma!”
                “Kamu harusnya berterima kasih ke saya. Dari situlah kamu belajar sabar dan belajar membaca tulisan saya,” jawab Pak Bos tanpa rasa bersalah. Iteung manyun nggak sanggup berkata-kata lagi.
                “Oya, satu lagi. Karena saya juga, hari ini kamu berolah raga. Bolak-balik ke meja saya. Biar nggak gendut,”
                Iteung pengen nangis guling-guling.....

Titik NOL

Ada siang-ada malam, ada terang-ada gelap, ada baik-ada buruk, ada sehat-ada sakit. Allah menciptakan semua berpasang-pasangan, salah satunya untuk mengingatkan kita bahwa semua ada pengurangnya agar kita kelak bisa kembali dalam keadaan titik nol, tidak berhutang apapun pada Allah. Titik nol, kembali fitrah, sebagaimana kita saat pertama dilahirkan oleh ibunda kita, tidak memiliki suatu apapun, tidak mengetahui apapun, hanya pasrah pada Allah, maka seluruh kebutuhan sang bayi akan dicukupkanNya.


Namun, seiring dengan bertambahnya usia kita, kadang kita menjadi seorang yang pemilih, tidak mau menerima keadaan tertentu. Kadang kita hanya mau menerima bagian senangnya saja, tanpa mau menerima bagian susahnya. Menghindar dan menghindar hingga grafik terus meningkat, tanpa ada titik balik untuk menukik menuju titik nol.


Ketika jatah usia semakin menipis dan akhirnya menjadi habis, apakah kita mampu berada di titik nol? Titik fitrah untuk kembali kepadaNya, bila kita tidak pernah sekalipun mengupayakan mencapai titik nol tersebut selama kita hidup di dunia ini.


Jakarta, 13 November 2017

Korean Wave

Ketika Korean Wave melanda anak muda negeri ini, tak pelak, anak kami yang beranjak remaja pun terkena imbasnya. Nama grup band, personelnya, hobbynya, makanan favoritnya, jadwal manggungnya, dan hal-hal detail lainnya dia hafal di luar kepala. Bahasa Korea dan Huruf Hanggeul dipelajarinya secara otodidak dari berbagai sumber dengan gairah yang menyala. Semua yang berbau Korea tampak indah bagi dirinya. Sampai-sampai ketika dia memilih jurusan untuk studinya di Universitas, bisa ditebak : Sastra Korea. Berbagai Universitas Negeri dia coba, namun tetap dengan satu jurusan yang menjadi pilihannya.

Sebagai orang tua, kami tidak ingin mematahkan semangat anak-anak kami, apapun yang menjadi passionnya selama itu baik-baik saja. Jadi kami biarkan dia berpetualang mendaftarkan diri ke berbagai Universitas Negeri sesuai minatnya. Namun ketika pengumuman demi pengumuman tiba dan dia selalu tidak lolos saringannya, anak kami mulai menangis dan gelisah berkepanjangan.

Di titik ini, sebagai orang tua kami mulai memberikan pandangan-pandangan dan pancingan agar dia kembali merenungkan pilihannya tersebut. “Kakak, boleh jadi kakak sangaaaaattt suka dengan Sastra Korea, tetapi apakah itu pula yang menjadi kehendak Tuhan untuk kakak pelajari? Coba kakak renungkan lagi, mengapa sepertinya sulit sekali untuk diterima di jurusan tersebut? Boleh jadi apa yang kita sukai bukanlah hal terbaik bagi kita, jadi carilah iradat Allah dalam menentukan segala sesuatu dalam menjalani hidup ini”. Begitulah kira-kira wejangan-wejangan kami sebagai orang tua.

Demikianlah, dari hasil perenungannya, Alhamdulillah, kakak menemukan jawabannya. Kini dia tengah menempuh studi di FIB UNDIP jurusan : Sastra Indonesia semester lima. Berbahagia melalui hari-harinya sebagai mahasiswa dan mendapat banyak kesempatan luar biasa yang Tuhan anugerahkan kepadanya karena mengikuti IradatNya.


Jakarta, 10 November 2017

KRL Mania (2)



“Bu, geser dong!” kulirik seorang ibu yang berdiri tepat didepanku sambil kupandangi wajah ibu-ibu yang usianya sepertinya tidak terpaut jauh dariku. Kulirik kanan dan kiriku, tak ada satupun orang yang bereaksi atas perintah ibu tersebut.
                “Saya, bu?” tanyaku sambil memandangi wajahku. Kebetulan saat itu aku mencoba peruntungan memburu tempat duduk dengan menaiki kereta melawan arah terlebih dahulu untuk kemudian menunggu jadwal keberangkatan menuju tempat tinggalku. Saat itu badanku agak meriang sehingga kuputuskan untuk ikut dulu naik kereta menuju arah sebaliknya dari Bogor.
Aku bersaing dengan banyak orang sampai aku mendapatkan tempat duduk di bangku panjang kereta jurusan Jakarta  Kota- Bogor, ketika aku hendak pulang dari kantor ke rumah. Bisa dibayangkan betapa panjangnya perjalanan yang kutempuh sore itu.
                “Cepetan geser, saya capek nih berdiri!” tiba-tiba tangan ibu tersebut bergerak menggeser pahaku padahal kondisi saat itu tidak memungkinku untuk menggeser badanku karena bangku sangat penuh. Saat itu, kereta yang kutumpangi baru saja melewati dua stasiun dari stasiun keberangkatan.
                Tanpa basa basi lagi, ibu tersebut langsung mendaratkan bokongnya di bangku panjang. Sepertinya ibu ini memaksakan diri walaupun bangku sudah tidak bisa lagi menampung orang yang duduk. Setengah pahanya menindihku.
                “Aww....” tanpa sadar aku menjerit kecil karena lumayan sakit ditindih ibu tersebut. Badannya lumayan besar.
                “Makanya geser mbak!” ibu tersebut masih ngotot.
                Aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Niatku mau mengalah karena tak sanggup meladeni kecerewetan ibu tersebut. Ternyata, berdiripun sulit karena saat itu kondisi kereta sangat padat sehingga kakipun hanya sebelah yang bisa menapak dan kemungkinan bisa tertukar dengan kaki orang lain.
                Akhirnya aku menerima nasib untuk membiarkan ibu tersebut duduk di sampingku. Perasaanku saat itu campur aduk antara kesal dan sakit pahaku tergencet ibu tersebut.
                Sepanjang perjalanan aku mencoba tabah dan sesekali menghalau pergelangan tangan si ibu karena ternyata ibu tersebut bolak-balik mengambil ponsel dari tasnya. Tangannya lincah menulis pesan yang entah ditujukan kepada siapa. Sialnya lagi setiap selesai menuliskan pesan, dia memasukkan kembali ponsel kedalam tasnya. Berulang kali dilakukannya. Sempat kutegur dengan agak keras, tapi tetap tak berdaya aku dibuatnya.
                “Ini penting banget, Mbak,” ujarnya sambil menggeser badannya ke belakang. Kalau dalam istilah para roker (rombongan kereta), seseorang yang terus menggeserkan badannya ke belakang disebut ngebor. Aku hanya terdiam dan tak habis pikir kenapa nggak dia pegang saja ponselnya, daripada menyenggol orang lain.
                Tapi, dibalik kekesalanku aku salut dengan kegigihan ibu tersebut. Wajahnya tak sedikitpun menampakkan perasaan bersalah telah menyusahkan orang lain. Bukan cuma aku yang merasakan akibat kegigihan ibu tersebut, tapi juga kulihat seorang perempuan muda beberapa melotot ke arah ibu tersebut. Dan, tetap raut muka ibu itu tak menampakkan ekspresi apapun selain ekspresi datar.
                Penderitaanku sore itu sepertinya nggak ada habisnya. Nasib baik hanya sebentar berpihak kepadaku. ketika kakiku terinjak orang yang berdiri di depanku. Aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menggerutu tanpa solusi. Ingin untung malah buntung.