Endapkanlah

Pagi ini saya berkesempatan mengobrol dengan seorang teman di kantin, kami saling bertukar kabar setelah lama tidak bertemu, membahas banyak hal yang menarik bagi kami. Ada satu tema yang menarik yang membuat saya tergelitik untuk menuliskannya di sini.

Ketika suatu bak baru saja diisi oleh air, maka bisa jadi masih bercampur dengan kotoran-kotoran yang terbawa dari air tersebut ataupun memang kondisi bak itu sendiri yang tidak sepenuhnya bersih, sehingga tentu saja air yang ada di bak tersebut terlihat keruh, tidak jernih. Air yang tidak jernih akan mengganggu pandangan kita dan bisa jadi menimbulkan kesalahan dalam memberikan pandangan/opini bila kita diminta untuk memberikannya.

Demikian pula halnya bila kita baru saja mengalami suatu kejadian yang menimbulkan banyak rasa di dalamnya.  Kita perlu mengendapkan dulu agar perasaan dan fikiran kita tidak bercampur aduk tidak menentu. Setelah mengendap dan kita mampu melihat dengan jernih, barulah pengalaman itu bisa dibagikan dengan menyarikan hikmahnya terlebih dahulu. Tentu saja hasilnya akan menjadi lebih baik daripada bila kita membagikannya ketika tahapan prosesnya belum selesai. Ibarat barang jadi vs barang setengah jadi.

Terima kasih atas inspirasinya kawan.


Jakarta, 21 November 2017

Guru VS Murid

Suatu hari, di kelas presentasi :


Guru :
Bapak ibu, hari ini kita akan mempraktekkan teori-teori yang telah kita pelajari. Untuk menghemat waktu, saya akan bagi menjadi 4 kelompok, masing masing anggota kelompok akan mempresentasikan sesuatu kepada kelompok yang saya tunjuk, sementara anggota lain menilai orang-orang yang mempresentasikan sesuatu di kelompok tersebut. Tema presentasi bebas, putaran pertama silakan Bapak Ibu memilih yang terbaik dari masing-masing kelompok yang dinilai untuk tampil ke depan kelas, dan pada putaran kedua Bapak Ibu dipersilakan memilih 2 terbaik untuk tampil di depan kelas.
Maka secara bergiliran murid-murid mempresentasikan tema bebas yang dipilihnya dan dinilai oleh kelompok lain. Tibalah pengumunan penampil terbaik pilihan kelompok.
Guru :
Kelompok I memilih siapa?
Murid :
A
Guru :
Kelompok II memilih siapa?
Murid :
B
Guru :
Kelompok III memilih siapa?
Murid :
C
Guru :
Kelompok IV memilih siapa?
Murid :
D
Para penampil terbaik pilihan kelompok pun tampil ke depan mempresentasikan tugas mereka. Lalu dilakukan putaran kedua tampil di kelompok lain. Ada murid yang masih tetap menampilkan materi dengan tema yang sama, namun ada pula yang mengganti tema mereka. Setelah semua selesai mempresentasikan materinya, tibalah pengumunan penampil terbaik, kali ini Sang Guru meminta untuk memilih dua orang sekaligus dari tiap kelompok.
Guru :
Kelompok I memilih siapa?
Murid :
E dan F
Guru :
Kelompok II memilih siapa?
Murid :
G dan H
Guru :
Kelompok III memilih siapa?
Murid :
I dan J
Guru :
Kelompok IV memilih siapa?
Murid :
K dan L
Setelah peserta pilihan kelompok putaran kedua selesai tampil semua, seluruh kelas mengira bahwa saringan sudah selesai dan akan masuk ke tahap berikutnya, namun ternyata Sang Guru mendekati salah satu murid yang tidak terpilih oleh kelompok, untuk tampil ke depan menyampaikan presentasinya.

Seluruh kelas terdiam menunggu apa yang akan dipresentasikan oleh murid pilihan Sang Guru.
Murid :
Pak, bolehkan saya mengganti tema ?
Guru :
Boleh, silakan
Sang Murid pun mempresentasikan materinya dengan mengubah tema yang dia sampaikan pada presentasi kelompok. Dia menyadari bahwa tema yang disampaikan sebelumnya bukanlah tema yang dibutuhkan oleh kawan-kawannya di kelas tersebut. Di akhir penampilannya tepuk tangan bergemuruh terdengar dari seisi kelas.

Ketika diadakan voting pemilihan penampil terbaik di depan kelas, murid pilihan Sang Guru terpilih menjadi terbaik kedua, meninggalkan beberapa kawannya di belakang.
Ketika Sang Guru berpamitan untuk pulang, dengan rasa penasaran, murid pilihan Sang Guru pun bertanya :
Murid :
Pak, boleh tahu, mengapa Bapak memilih saya untuk tampil ke depan?
Sambil tersenyum Sang Guru menjawab :
Guru :
Saya melihat potensi.
Demikianlah, Sang Guru mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh murid-muridnya. Meskipun di awal Sang Guru telah menyampaikan sistem yang akan dipakainya, namun ketika ada hal yang perlu diubah dari sistem tersebut, dia melakukannya karena dia melihat sesuatu yang luput dilihat oleh orang lain.
Bintaro, 19 November 2017


Sekolah Kehidupan

Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa seseorang memutuskan untuk menempuh pendidikan sampai ke jenjang paling tinggi, namun tidak sedikit pula orang yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tentu semua memiliki konsekuensi atas pilihannya tersebut.

Yang terpenting adalah bukan seberapa tinggi pendidikan formal seseorang, namun seberapa besar kontribusi yang dapat dia sumbangkan dari ilmu dan pengetahuan yang telah ia dapatkan. Bagi orang yang mau mengosongkan gelasnya, perolehan ilmu dan pengetahuan inipun tidak terbatas pada pendidikan formal saja, dia dapat memperolehnya dari siapa saja, dimana saja, dan melalui media apa saja.

Sekolah kehidupan adalah sekolah yang tidak akan pernah tutup selama kehidupan ini berlangsung, tidak mengenal batas usia, menawarkan beragam cabang ilmu yang sangat luas. Lulusannya memiliki kompetensi yang mumpuni, karena dari sekolah kehidupan inilah yang akan melahirkan orang-orang yang bijak, orang-orang yang sabar, orang-orang yang tawadhu, orang-orang yang peduli dengan sekelilingnya, orang-orang yang memiliki empati yang tinggi, orang-orang yang memiliki semangat juang yang tinggi. Inilah sebagian hasil yang akan diperoleh dari sekolah kehidupan, yang mungkin, tidak akan kita dapatkan bila hanya mengandalkan sekolah formal.

Mari bertanya ke dalam diri : Seberapa besarkah kontribusi yang telah kita berikan dari ilmu dan pengetahuan yang telah kita peroleh selama ini.


Bintaro, 18 November 2017

Topeng

Sering manusia bangga dengan topeng-topengnya
Menyembunyikan bopeng dan koreng di balik topengnya
Pikirnya aman tak ada yang tahu rahasianya
Bahagia bila orang melihat dirinya lebih indah dari aslinya

Kepalsuan demi kepalsuan dijalani
Kebohongan demi kebohongan dilakoni
Kejujuran tiada lagi arti
Dalam menjalani kehidupannya di dunia ini

Lupa hidup di dunia hanya sementara
Mengumbar nafsu, yang tak pernah dikekangnya
Menjadi pemimpin dalam dirinya
Lupa menoleh siapa pemimpin sejatinya

Ada masanya kan tiba
Ruhani menjerit meronta-ronta
Bila tak pernah dipedulikannya
Untuk apa menyertainya, bila tak pernah melibatkannya


Bintaro, 18 November 2017

Jujur

Tidak ada seorang manusia pun yang luput dari dosa ataupun kesalahan. Hanya saja ada orang yang berani mengakui dosa/kesalahannya, namun ada orang yang tidak berani mengakui dosa/kesalahannya tersebut. Diperlukan jiwa yang besar untuk bisa mengakuinya dengan jujur.

Godaan untuk berbuat dosa/kesalahan sudah dimulai sejak dini, tentu saja tiap orang akan berbeda-beda memulai dosa/kesalahan tersebut. Mungkin sewaktu kecil kita pernah berbohong kepada orang tua kita, pernah mencuri uang milik orang tua, lalu ketika beranjak remaja pernah membully teman sekolah kita, pernah memakan makanan di warung sekolah tanpa membayar dll. Semakin dewasa godaan semakin kompleks menerpa kita, baik di rumah (dengan pasangan dan anak-anak) , di lingkungan tempat tinggal (dengan tetangga, dengan alam sekitar), maupun di kantor (dengan rekan kerja, atasan ataupun bawahan). Bila kita tidak pernah berupaya untuk menyisir kembali apa dosa/kesalahan yang pernah kita perbuat, maka itu akan menjadi titik kelam yang terus menerus membesar yang akan menutupi kefitrahan kita.

Ketika kertas kehidupan kita yang semula berwarna putih bersih, lalu perlahan kita goreskan noda-noda kelam di atasnya, bagaimana mungkin kita bisa melihat warna-warna cerah tergores pada lembar kehidupan kita, bila tak ada lagi ruang untuk menggoreskannya?

Semoga dengan kejujuran kita mengakui dosa dan kesalahan kita, memohon ampun kepadaNya dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti serta mengisi kehidupan kita dengan berbagai kebaikan yang mampu kita lakukan, Allah akan mengampuni kita dan membimbing kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Amin.



Bintaro, 18 November 2017

Pejuang Gondola Gedung Tinggi

Tertegun saya melihat para pejuang gondola gedung tinggi ini. Apakah mereka memang orang-orang yang terlatih untuk menjadi orang yang punya nyali? Saya pikir tidak. Apakah mereka sadar akan bahaya yang siap merengut nyawanya itu? Iya dan saya sangat yakin bahwa mereka melakukan dengan penuh pertimbangan. Apakah ada pilihan lain? Atau memang hobi? Saya belum survei, tetapi ketertegunan saya diawali dari kubikel tempat saya bekerja. Awalnya saya mungkin abai terhadap aktifitas di luar bangunan. Namun kok, setelah beberapa kali terusik dengan aktifitas mereka di luar, jadi saya ingin membuat kisah pekerjaan naik gondola gedung tinggi. Pekerjaan itu menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi orang tertentu. Memang saya belum melakukan proses wawancara yang cukup intens dengan para “Pejuang Gondola Gedung Tinggi” ini. Pendapat ini hanya merupakan buah pikiran jika seandainya mereka memiliki pilihan atau saya bertuker tempat dengan mereka dan mereka yang duduk di sisi dalam gedung Soetikno Slamet ini. 
Pikiran ini cukup mengelitik karena ada pekerjaan perawatan gedung kantor. Dalam rangka perawatan itu, banyak perbaikan dan pengecatan yang harus dilakukan tidak terkecuali sisi luar dari gedung itu yang memang menjadi target perawatan. Jika harus menggunakan bamboo yang saling diikatkan, maka paling tidak gedung itu tingginya maksimal 5 tingkat. Jika lebih biasanya memang sudah dibuatkan jalur gondola tersendiri sebagai bagian dari infrastruktur bangunan atau gedung tinggi. Daripada harus menggunakan bambu lagi, maka gondola digunakan secara maksimal agar pekerjaan perawatan gedung dapat selesai sesuai dengan kontrak.
Kondisi gondola secara umum masih cukup baik dengan cantolan kabel baja dan cukup mencengkram pada roda gondola berkenaan. Sementara para pekerja dengan asyiknya tetap bekerja dengan tali pengaman yang sudah diikatkan bukan ke gondola tetapi ke tali pengaman yang tersambung langsung dari atas. Saya sempat mengamati secara kasat mata, karena pengamatan saya berasal dari dalam gedung bukan ikut bersama dengan mereka. Hasil pengamatannya adalah bahwa kapasitas gondola sepertinya hanya mampu diisi hanya dengan 2 orang dengan berat kira-kira 60 kg. Jika bebannya lebih dari itu, saya gak tau apa yang terjadi. Tapi saya gak mau memikirkannya, tapi saya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa terhadap para pekerja itu. Mereka berada di gondola itu juga bukan karena hobi dan kemauan mereka. Saya sempat sedikit mendengar beberapa percakapan yang mereka ucapkan. Inti dari percakapannya adalah mereka lakukan ini karena gak ada pilihan lain selain pekerjaan ini. Mereka juga terkadang rindu dengan kampung halaman dan keluarga. Jika ada keahlian yang bisa mereka lakukan dan kerjakan, mereka tidak akan mengambil pekerjaan ini.
Mendengar percakapan mereka yang santai dan penuh makna cukup menampar saya sebagai pegawai negeri sipil yang hanya bisa duduk dan mengamati mereka dari dalam gedung. Mereka pun tidak bereaksi ketika dari sisi dalam ada yang melambaikan tangan ke mereka dan mereka sepertinya fokus untuk tetap mengerjakan agar cepat selesai. Karena mereka tahu bahwa waktunya sangat berharga dan jika semakin lama diatas dan pekerjaan tidak selesai maka nyawa adalah taruhannya. Saya cukup malu dan berpikir kembali, apakah ini sebuah sketsa hidup dalam setiap diri seseorang? Setiap diri kita ketika sedang tidak semangat dan banyak malas bekerja, apalagi kondisi tempat pekerjaan sangat nyaman dan bersih dan berada di dalam gedung, mungkin sekali-kali perlu berkaca kepada para pejuang gondola ini. Kalau ruangan agak panas kita dengan mudahnya protes. Bila ruangan terlalu dingin dengan mudahnya kita mengerutu “agak dingin ya ruangan.”. Itulah kita sebagai manusia. Coba seandainya kita berada di posisi mereka? Bisa komplen? Bisa menolak? Bisa protes? Bisa malas? Tanyakanlah kepada diri sendiri. Bagaimana nanti tiba-tiba kita terbangun dari tidur dan harus bekerja sebagai pejuang gondola itu? Saya yakin akan ada banyak pergulatan dalam diri kita.
Iya, saya menyebutnya mereka sebagai pejuang. Karena banyak yang mereka pertaruhkan dalam melakukan pekerjaan itu terutama nyawa. Waktu untuk keluarga, istri, anak dan berbicara dengan rekan kerja. Rekan kerja? Gak ada rekan kerja. Kalau rekan kerja di gondola hanya berdua. Kalau rekannya sakit, maka bekerja sendiri. Pantaslah kalau saya sebut mereka pejuang dibanding saya yang bekerja masih banyak malas, protes, mengobrolnya dan lain-lain. Sang pejuang gondola telah mengingatkan saya untuk tetap semangat dan bersyukur bahwa semua itu sudah ada suratan dan takdirnya. Maka nikmati momen yang telah diberikan dengan hal-hal yang positif tanpa harus banyak komplen dan bermalas-malasan. Selamat berkerja para pejuang gondola gedung tinggi, kami doakan yang terbaik untuk kalian. Doakan kami juga untuk selalu tetap semangat bekerja dengan hal-hal yang positif. Aamiin

Cerita ini dapat juga dilihat pada link berikut : 

Iteung vs Pak Bos

            “Iteung!” suara Pak Bos terdengar nyaring membuyarkan mimpi Iteung di siang itu. Setengah ngelindur, Iteung bangkit dari duduk sambil mencari sepatu yang ada di kolong meja kerja Iteung. Karena sepatunya ada di ujung meja, kaki Iteung kesulitan menjangkau sepatu kerja sampai nggak kerasa kepala Iteung kena meja. Sakitnya sih nggak seberapa tapi malunya yang nggak bisa diumpetin.
                “Sengaja, ngetes kekuatan kepala kalau dibenturkan ke meja,” ujar Iteung kepada teman-teman di ruangan kerja, walau sebenarnya mereka nggak peduli karena masing-masing asyik sama kerjaannya.
                “Iteung!” kembali teriakan Pak Bos  menggema, sampai semua orang di ruangan melotot ke arah Iteung. Gara-gara Iteung, suasana damai berubah jadi kisruh. Jangan-jangan semua orang di ruangan itu mengutuk Iteung.
“Iteung!”
“Ya, Pak. Sabar,”. Kursi Pak Bos yang kebesaran dibandingkan badannya yang kecil mulai bergoyang, pertanda si Bos akan berdiri dan kemungkinan menghampiri meja kerja Iteung. Jangan sampai terjadi. Nanti komik Tin Tin Iteung dirampas sama si Bos. Gawat kalau itu terjadi, bisa-bisa Iteung nggak bisa nyelesaiin baca petualang Tin Tin yang seru.
                Nggak peduli cuma pake sepatu sebelah, Iteung lari menuju meja Pak Bos. Kepala Iteung bergoyang ke kiri dan kanan mencari keberadaan Pak Bos. Pak Bos muncul dari sela dokumen bikin Iteung kaget sampai teriak ketakutan karena Pak Bos memasang muka angker bin serem. Pensilnya yang nyelip diantara telinga Pak Bos bikin Iteung nggak kuat nahan ketawa.
Dengan penuh kesadaran, Iteung cekikikan.
                “Nota yang saya minta tadi, sudah selesai belum?” tanya Pak Bos dengan bahasa yang formal.
                “Sudah,”
                “Lho, kok nggak diserahkan ke saya?” tanya Pak Bos dengan mata yang melotot.
                “Lha, Bapak kan nggak minta tadi,” jawab Iteung.
                “Juned, kasih tahu temanmu ini kalau selesai bikin nota ya diserahkan ke saya!” tiba-tiba Pak Bos berteriak ke Juned, teman yang duduk di samping Iteung.
                Juned melotot ke Iteung. Iteung cuma bisa mengangkat kedua tangan Iteung ke arah Juned.
                “Kenapa harus bilang ke Juned, Pak. Iteung kan ada di depan Bapak,” Iteung garuk-garuk kepala nggak ngerti apa maunya Pak Bos.
                Akhirnya Iteung serahin nota yang tadi Iteung bikin ke Pak Bos. Iteung duduk lagi di kursi. Juned marah-marah sama Iteung.
                “Gue udah bilang, lo jangan bikin masalah melulu. Nanti gue juga yang kena,”
                “Iteung mah heran ned, eh Jun,”
“Juned!” Juned memotong perkataan Iteung.
“Kenapa Pak Bos ngelibatin kamu di masalah Iteung. Mungkin dia ketuker antara kamu dan Iteung. Padahal kan kita dua mahluk yang jelas beda. Iteung mah cantik, kamu mah......,”
                “Stop!” lagi-lagi Juned memotong perkataan Iteung. Ah, Juned emang berbakat jadi tukang jahit seneng banget potong memotong.         
              “Jangan dilanjutin. Kerja aja yang bener. Kerja pake otak jangan pake dengkul!” Juned masih marah sama Iteung.
                “Iteung mah kerja pake tangan, Juned. Susah kalo pake otak mah apalagi dengkul. Keyboardnya nggak muat,”
                “Iteung, shut up your mouth!”
                Iteung langsung diam, takut kalau Juned tambah marah. Kalau Juned marah, siapa yang mau nemenin Iteung makan. Soalnya teman yang lain udah kapok nemenin Iteung.
                ******
               
                Tiba-tiba Pak Bos udah ada di depan meja Iteung sambil menyerahkan nota yang Iteung bikin tadi.
                “Itu koreksi dari saya, selesaikan hari ini ya. Jangan lelet kalau kerja!” ujar Pak Bos dan secepat kilat berlalu dari pandangan Iteung.
                Iteung memandang coret-coretan di nota dan berpikir, waktu Pak Bos sekolah dulu, apa gurunya nggak cepet migrain ya baca tulisan Pak Bos. Benang kusut aja kalah kusut dari tulisannya Pak Bos. Rasanya bakalan kumat nih sesak nafas Iteung baca tulisan Pak Bos.
                Bolak-balik Pak Bos mengoreksi nota Iteung  sampai Iteung hitung ini sudah yang kesepuluh kalinya. Sampai Iteung berjanji kalau sampai Pak Bos masih mengoreksi nota sampai sebelas kali, Iteung akan mengutuk Pak Bos menjadi anak SD lagi buat belajar menulis yang baik dan benar.
                Iteung baca koreksi nota yang kesebelas kali. Kepala Iteung langsung nyut-nyut ditambah dada berdebar kencang. Kalau dada berdebar kencang sih lebih karena ada bule ganteng yang datang ke kantor. Perasaan Iteung hapal isi nota setelah dikoreksi. Iteung datangi meja Pak Bos.
                “Pak, Bos! Apa yang Bapak lakukan ke Iteung sungguh jahat. Iteung bisa saja lapor ke polisi karena perbuatan tidak menyenangkan. Masak Iteung disuruh bolak-balik perbaiki nota,” suara Iteung sungguh lantang bagaikan orang yang sedang berorasi.
                “Setelah Iteung baca dengan seksama, maka Iteung mengambil kesimpulan kalau nota yang kesebelas ini isinya sama persis dengan nota pertama yang Iteung bikin. Iteung minta ganti rugi waktu dan tenaga yang terbuang percuma!”
                “Kamu harusnya berterima kasih ke saya. Dari situlah kamu belajar sabar dan belajar membaca tulisan saya,” jawab Pak Bos tanpa rasa bersalah. Iteung manyun nggak sanggup berkata-kata lagi.
                “Oya, satu lagi. Karena saya juga, hari ini kamu berolah raga. Bolak-balik ke meja saya. Biar nggak gendut,”
                Iteung pengen nangis guling-guling.....

Titik NOL

Ada siang-ada malam, ada terang-ada gelap, ada baik-ada buruk, ada sehat-ada sakit. Allah menciptakan semua berpasang-pasangan, salah satunya untuk mengingatkan kita bahwa semua ada pengurangnya agar kita kelak bisa kembali dalam keadaan titik nol, tidak berhutang apapun pada Allah. Titik nol, kembali fitrah, sebagaimana kita saat pertama dilahirkan oleh ibunda kita, tidak memiliki suatu apapun, tidak mengetahui apapun, hanya pasrah pada Allah, maka seluruh kebutuhan sang bayi akan dicukupkanNya.


Namun, seiring dengan bertambahnya usia kita, kadang kita menjadi seorang yang pemilih, tidak mau menerima keadaan tertentu. Kadang kita hanya mau menerima bagian senangnya saja, tanpa mau menerima bagian susahnya. Menghindar dan menghindar hingga grafik terus meningkat, tanpa ada titik balik untuk menukik menuju titik nol.


Ketika jatah usia semakin menipis dan akhirnya menjadi habis, apakah kita mampu berada di titik nol? Titik fitrah untuk kembali kepadaNya, bila kita tidak pernah sekalipun mengupayakan mencapai titik nol tersebut selama kita hidup di dunia ini.


Jakarta, 13 November 2017