Efisiensi Pak Jokowi (Tanggapan atas tulisan SuamiSIAGA)

Sedikit tergelitik untuk menanggapi tulisan SuamiSIAGA disini. Dalam tulisannya disebutkan bahwa berdasarkan analisa data yang ada, kegiatan-kegiatan Kementerian/Lembaga masih tergolong kegiatan produktif; dalam artian komposisi biaya utama dan biaya pendukung masih dalam rasio yang wajar. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan daripada belanja inti, dengan memberikan contoh kasus biaya pemulangan TKI. Meskipun hal tersebut merupakan pendapat pribadi si penulis, tapi menurut saya pendapatnya menarik untuk dikritisi.
.
Pertama, tentang data. Pak Jokowi secara gamblang membandingkan antara biaya pemulangan TKI yang hanya 500 milyar dengan biaya rapat dan lain-lain yang berjumlah 2,5 milyar. Data ini menurut penulis adalah data di tingkatan komponen dalam artian berbicara di level input.  Masih menurut penulis, sesuai konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya kita tidak berbicara di level input lagi;
.
Kedua, tentang sudut pandang. Masih terkait dengan hal yang pertama, dalam pendapatnya, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Pak Jokowi. Penulis secara tersirat mengharapkan agar kasus pemulangan TKI tidak hanya dilihat dari perbandingan biaya pemulangan dengan biaya rapat dan lain-lain, tetapi seyogyanya juga dilihat ke dampak yang lebih besar dari sekedar perbandingan tersebut;
.
Menanggapi hal tersebut di atas, menurut saya apa yang disampaikan Pak Jokowi sudah tepat. Meskipun apa yang disampaikan beliau ada di dalam komponen/level input namun saya yakin beliau sudah mengetahui dan mempertimbangkan kasus pemulangan TKI tersebut secara komprehensif. Ketika beliau membandingkan biaya pemulangan TKI (yang menurut beliau biaya inti) dengan biaya rapat dan lain-lain, seharusnya Kementerian/Lembaga menangkap keinginan dan pesan beliau tentang efisiensi, tentang rasionalisasi belanja untuk menghasilkan suatu output dan outcome.  Sehingga saya berkesimpulan bahwa pendapat beliau tersebut hanyalah penyederhanaan permasalahan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
.
Terlepas dari hal tersebut di atas, saya mengapresiasi tulisan kritis SuamiSIAGA karena hal tersebut dapat membuka suatu diskusi baru mengenai justifikasi biaya utama dan biaya pendukung beserta komposisi yang ideal-nya. Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, komposisi tersebut ditetapkan melalui suatu perhitungan statistika dengan asumsi-asumsi tertentu.

Semoga bermanfaat.


Jakarta, 28 Desember 2017

   

Membeli Masa Lalu

Kemarin, ketika sedang beres-beres rumah, saya menemukan sebuah walkman milik istri saya. Sepanjang ingatan saya, saya belum pernah melihat istri saya memakai benda tersebut, baik ketika pacaran maupun setelah menjadi istri saya. Benda itu tergeletak begitu saja bersama handphone-handphone bekas, kamera lama dan berbagai perangkat elektronik tidak terpakai lainnya. Penasaran apakah benda tersebut masih berfungsi, iseng saya cari kaset lama, headset dan masukkan baterai....voilaaaa, ternyata walkman tersebut masih berfungsi dengan baik. Istri saya kelihatan senang sekali dan penasaran apa yang sudah saya lakukan untuk membuat salah satu benda kesayangannya kembali berfungsi. Meskipun yang saya lakukan hanya memasukkan 2 buah baterai, tapi saya merahasiakan hal tersebut agar istri saya tetap percaya bahwa saya punya magic hands dalam memperbaiki benda-benda di rumah.
.
Seumur-umur punya mobil, saya hanya punya mobil tua. Mungkin ini pengaruh dari orang tua dan abang-abang saya. Waktu saya kecil, mobil yang saya kenal ya Fiat, Jeep Wilys, Volkswagon, Taft, Corolla. Pada jamannya mobil-mobil tersebut memang tergolong mobil baru, tapi entah mengapa, ketika saya memiliki kemampuan untuk membeli mobil, yang terbayang di kepala saya hanya mobil-mobil tersebut. Buat saya, memiliki mobil-mobil tersebut bagai mengembalikan kenangan masa lalu saya. Meskipun tidak mudah merawat sebuah mobil tua, tapi memiliki dan mengendarainya di jalan raya adalah sebuah prestige tersendiri. Pemilik mobil tua pun memiliki nilai lebih sendiri. Umumnya sangat mengerti dengan segala kondisi mobilnya. Buat saya pribadi, memiliki manual book seri mobil yang saya miliki adalah hal utama, karena dari situ saya bisa memecahkan masalah-masalah di mobil saya. Ini pun saya pelajari dari Bapak saya. Dulu beliau bisa 'menghidupkan' sebuah bangkai volkswagon hanya dengan bermodalkan manual book volkswagon yang beliau beli di pasar onderdil senen.
.
Saya punya teman yang hampir setiap hari ada acara reuni. Reuni sekolah, kuliah, diklat, grup lari, komplek perumahan, umroh dan masih banyak lagi. Saking penasarannya saya pernah bertanya tentang apa yang dia obrolkan dalam setiap acara. "Ya masa lalu lah, Bang, trus bikin-bikin rencana baru lagi...begitu" jawabnya.
.
Di jaman now dimana kata-kata move on  menjadi mantera dimana-mana, ternyata masa lalu masih menjadi sesuatu yang dirindukan, bahkan kalau ada yang jual, orang pasti mau membeli masa lalu-nya. Membeli masa lalu?. Ya, bukankah apa yang kita syukuri hari ini kebanyakan adalah hal-hal yang dulu kita tangisi?. Bukankah apa yang sekarang kita tangisi adalah hal-hal yang dulu kita syukuri dan membuat kita bahagia?. Disukai atau tidak, semua orang pasti mempunyai masa lalu dan merindukannya, bahkan mau membayar berapa saja untuk kembali ke masa itu. Nyatanya, yang sudah berlalu tetap akan berlalu, tidak pernah akan kembali dan tidak akan terbeli.
.
Walkman bekas, mobil tua, nostalgia sekolah hanyalah sedikit cara kita membeli masa lalu. Hanya mengenang untuk apa yang pernah terjadi dan tak mungkin untuk diganti. Apakah masa lalu memiliki pengaruh ke masa depan?. Di salah satu serial film James Bond yang berjudul The World Is Not Enough ada satu percakapan yang menurut saya sangat inspiratif. Saat itu Bond bertanya kepada Elektra, putri seorang konglomerat dan pengusaha minyak, mengapa dia (Elektra) tidak meneruskan saja proyek pembangunan pipa minyak meskipun diprotes oleh masyarakat setempat. Elektra punya kekuasaan yang besar yang dapat membungkam semua protes tersebut. Atas pertanyaan tersebut Elektra menjawab singkat "daerah dan masyarakat di sini adalah masa lalu saya, saya tidak akan pernah menggapai sukses masa depan saya dengan merusak/mengorbankan masa lalu saya".
.
Jawaban Elektra tersebut di atas membuat saya berfikir apakah masa lalu sedemikian penting sehingga tidak boleh diganggu gugat meskipun itu berarti pengorbanan yang lebih mahal, waktu yang lebih panjang. Entahlah. Satu yang pasti adalah kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan masa lalu-masa lalu yang layak dikenang dengan senyuman, tawa bahagia, kepala tegak dan lapang dada, sehingga kita hanya perlu membayarnya dengan rasa syukur atas apa yang kita punya dan nikmati di masa kini.


Jakarta, 27 Desember 2017 

Sedikit Pendapat Untuk Pidato Presiden Joko Widodo Dalam Acara Penyerahan DIPA TA 2018

Entah kenapa jadi ada ide buat nulis lagi walaupun peristiwanya sudah beberapa minggu yang lalu, tapi baru sempat ditulis sekarang. Awal mulanya karena rekan diruangan ada yang lagi ngobrolin pidatonya Presiden Joko Widodo saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 6 Desember 2017 di Istana Kepresidenan Bogor. Sebelumnya saya sudah sempat lihat video itu, tapi jadi semakin penasaran mau menggali lebih dalam khususnya saat Pak Jokowi menyampaikan butir terkait dengan efisiensi. Pak Jokowi kurang-lebih mengatakan seperti ini, “efisiensi perlu dilakukan pada belanja operasional, honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lain sebagainya. Teliti saat pertama kali menyusun RKA-K/L. Setiap kegiatan terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan, dan kegiatan intinya adalah pada tahap pelaksanaan, sedangkan yang terjadi di K/L adalah anggaran lebih besar di tahap persiapan atau dapat dikatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan dibandingkan belanja intinya. Contohnya adalah pemulangan TKI dengan anggaran Rp3 miliar, biaya pemulangan sebesar Rp500 juta, sedangkan sisanya sebesar Rp2,5 miliar digunakan untuk kegiatan rapat dalam kantor, rapat koordinasi, perjalan dinas, keperluan ATK, dan lain sebagainya.”

Berdasarkan pernyataan beliau, muncul penasaran dibenak saya, apakah memang demikian kondisi yang terjadi pada Kementerian/Lembaga di negeri ini. Kalau pun memang demikian, apa yang harus dilakukan?????

Saya mencoba menggali dengan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Anggaran, dalam menghasilkan suatu output berupa barang atau jasa, maka diperlukan biaya komponen yang sifatnya utama dan pendukung. Sebelum menunjukan data yang ada, saya akan sedikit menyampaikan mengenai definisi komponen utama dan komponen pendukung sesuai dengan PMK Nomor 94 Tahun 2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA.

Komponen Utama merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Komponen utama merupakan aktivitas yang hanya terdapat pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis dan merupakan biaya variabel terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan.
Komponen Utama = Output Teknis (yang biayanya berpengaruh langsung terhadap volume output).
Komponen Pendukung merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan generik dan aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Seluruh aktivitas dalam Keluaran (Output) Kegiatan generik merupakan komponen pendukung.
Komponen pendukung pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis digunakan sebagai biaya tetap terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan, misalnya komponen desain, administrasi proyek, pengawasan, dan sejenisnya.
Komponen Pendukung = Output Generik + Output Teknis (yang biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume output).

Sesuai dengan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Anggaran, secara total belanja Kementerian/Lembaga selama periode TA 2016 dan TA 2017, komponen utama komposisinya lebih tinggi dari komponen penunjang, bahkan pada TA 2017, perbandingan komposisi antara komponen utama dengan komponen penunjang adalah 61,1% dibanding 38,9%. 




sumber : Direktorat Jenderal Anggaran


Data pada tingkat komponen menunjukan bahwa secara total anggaran Kementerian/Lembaga masih dalam kondisi yang baik apabila dilihat dari biaya komponen utama dan komponen pendukungnya. Ini artinya bahwa, belanja pemerintah pusat sebagian besar digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat produktif. Secara teori, saya sendiri belum menemukan yang menyatakan secara terang-terangan komposisi yang ideal antara biaya utama dengan pendukung. Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah semakin kecil biaya pendukung maka secara total belanja akan lebih efisien.


Kembali kepernyataan Pak Jokowi sebelumnya, yang disampaikan beliau adalah hal-hal rinci yang tingkatannya ada di dalam komponen. Dengan adanya konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya tidak lagi mengontrol input tetapi orientasi pada kinerja (output and outcome oriented). Input dapat dikontrol dengan mendorong Kementerian/Lembaga untuk menyusun Standar Biaya Keluaran secara penuh pada dokumen RKA-K/L. Kemudian pemantauan dan evaluasi dilakukan pada Kementerian/Lembaga dengan melihat kinerja melalui capaian indikator-indikator kinerjanya. Sehingga ketika dilakukan rasionalisasi anggaran saat tahun berjalan maupun penyusunan anggaran pada tahun yang direncanakan, efisiensi anggaran dapat dilakukan pada kegiatan (level komponen sampai dengan output) yang tidak berkinerja sesuai dengan hasil pemantaun dan evaluasi tanpa melihat input-nya.

Pendapat saya ini memang berbeda dengan apa yang disampaikan Pak Jokowi, saya tidak akan melihat input-nya, tetapi lebih jauh lagi, bagaimana outcome jangka pendek hingga outcome jangka panjang (impact) dapat tercapai. Ketika ada outcome yang tidak tercapai, maka evaluasi output-nya maupun activity didalamnya. Bahkan apabila terdapat output yang tidak memberikan dampak, maka dapat direkomendasikan untuk di-drop.

*ini hanya pendapat pribadi penulis, kondisi nyata yang terjadi pada penulis bisa saja tidak demikian adanya.



IGNORANCE

Tulisan yang berjudul Sang Pembunuh  menggelitik ide saya untuk menuliskan lagi hal ini dari sudut pandang saya. Apa yang ada dalam tulisan tersebut merupakan fakta yang kita lihat sehari-hari atau bahkan apa yang kita lakukan dengan sadar atau tanpa sadar atau sadarnya belakangan.
.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat saat ini, terutama apa yang terlihat di jalanan/kondisi lalu lintas tentunya bukan milik satu dua orang anggota masyarakat saja, tapi juga menjadi keprihatinan pemerintah. Wujud dari keprihatinan tersebut dapat terlihat dari upaya-upaya pemerintah untuk menanggulangi kemacetan. Jalan-jalan tol baru dibangun, Mass Rapid Transportation dan Light Rapid Transportation disiapkan, rekayasa lalu lintas, contra flow, kebijakan ganjil-genap di ruas-ruas jalan dan jam-jam tertentu. Semuanya dilakukan untuk mengurai kemacetan. Dengan terurainya kemacetan, diharapkan tidak ada lagi aksi-aksi menerobos lampu pengatur lalu lintas, tidak akan terlihat pengendara kendaraan bermotor yang nekad melawan arus, masuk ke jalur transjakarta dan lainnya. Perilaku-perilaku seperti itu, dari sudut pandang pelaku, dilakukan karena "menghindari macet,"
.
Dalam forum ini juga pernah ada tulisan mengenai anggaran pendidikan. Sebuah tulisan yang menarik karena menyoroti suatu jumlah rupiah yang sangat besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk fungsi pendidikan. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa jumlah alokasi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas angkatan kerja di Indonesia. Tulisan tersebut kemudian mengundang tanggapan disini dan disini. Sebuah dinamika diskusi yang cerdas dan menarik yang pada intinya mempertanyakan kelayakan suatu alokasi belanja yang besar dengan tujuan, cara dan hasil yang ingin dicapai dengan alokasi tersebut.
.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Dari pengertian pendidikan tersebut jelas tersurat bahwa seseorang atau kelompok orang yang terdidik akan memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan apa yang sudah didapatnya melalui pendidikan tersebut. Apakah seseorang yang memiliki ijazah SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 adalah orang yang terdidik?.
.
Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan suatu negara dapat dilihat dari kondisi berlalu lintas di negara tersebut. Ketika kita melihat kondisi lalu lintas di negara kita, lalu apakah kita dapat mengatakan bahwa pendidikan di negara kita sudah berkualitas?. Benar, ketika kita berbicara bahwa semakin banyak masyarakat yang melek huruf, semakin banyak masyarakat yang memiliki ijazah formal minimal setingkat SMA bahkan lebih, semakin sejahtera guru, dosen dan tenaga pendidikan, tapi apakah itu tujuan pendidikan?, apakah kualitas pendidikan diukur dengan itu semua?.
.
Apa yang dipertontonkan masyarakat kita setiap hari di jalan raya tentunya sangat jauh dari perbuatan orang-orang berpendidikan. Ironis ketika para pelanggar lampu pengatur lalu lintas itu ternyata si pemilik ijazah S1, S2 bahkan mungkin S3. Apakah mereka orang bodoh? tentu tidak, tapi apa yang mereka pertontonkan adalah tindakan-tindakan orang bodoh.
Lalu, solusi apa yang kita perlukan sehingga sang pembunuh tidak berkeliaran di jalan raya, anggaran pendidikan juga tidak terbuang percuma untuk mencetak jutaan kertas ijazah. Yang paling mendasar tentunya adalah perubahan kurikulum pendidikan. Pendidikan tidak diarahkan untuk mencetak manusia-manusia berijazah formal. Kepintaran tidak diukur dari angka-angka rapor dan ijazah. Perubahan kurikulum memang bukan hal yang mudah tapi bukan hal yang mustahil dilakukan. Ribuan guru dan dosen sudah banyak belajar di luar negeri, formal maupun sekedar studi banding. Mereka sudah banyak belajar dan melihat sistem pendidikan di negara-negara lain dan tentunya bisa merancang suatu sistem pendidikan terbaik di Indonesia.
.
Berikutnya adalah merubah perilaku. Perilaku yang baik harus dilakukan dan dicontohkan berulang-ulang, bila perlu dapat diaplikasikan nudge theory dalam setiap aspek kehidupan. Dalam lingkup yang besar seperti di jalan raya, perilaku baik ini harus menjadi sesuatu yang masif. Jika hanya satu atau dua orang yang disiplin berhenti di belakang garis stop, hal ini tidak akan diikuti oleh yang lainnya. Lain halnya ketika yang berhenti di belakang garis stop lebih banyak dan hanya menyisakan satu dua orang di depan garis stop, mereka akan merasa malu dan mungkin akan berfikir lagi untuk mengulang perbuatan tersebut. Sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera harus diberikan kepada para pelanggar lalu lintas karena hanya kehilangan SIM tidak akan membuat mereka berfikir bahwa tindakan mereka dapat berdampak sangat fatal bagi kehidupan orang lain.
.
Kedengarannya klise, tapi anjuran untuk mulai dari diri sendiri itu memang benar dan mutlak dilakukan. Bagaimana kita mau menularkan perilaku baik kalau kita tidak berperilaku baik?. Butuh usaha keras dan daya tahan yang tinggi, karena mempertahankan sebuah perilaku baik akan lebih susah daripada memulai perilaku baik itu sendiri. Stop ignorance, jangan ada lagi anggapan bahwa menjadi bodoh adalah keberuntungan karena tidak tahu apa-apa. Kita tahu persis apa yang kita langgar, karena kita tidak bodoh. Beruntung saja orang lain sempat menginjak rem, beruntung saja orang sempat menghindar. 

Ignorance is a bliss for the one who is ignorant. By the way do you know that ignorant means stupid? 

Jakarta, 27 Desember 2017

KRITIK

"Aaah macam betul aja, coba lo yang main, bisa nggaaaakkk...!!??", teriak saya ketika seorang komentator mengkritik David Beckham yang tidak bisa menggiring bola dalam sebuah big match Liga Inggris antara Manchester United versus Arsenal. Dulu saya memang fans garis keras David Beckham di Manchester United, sehingga saya nggak rela ketika idola saya tersebut dikritik oleh si komentator.
.
Komentator sepak bola atau komentator apapun memang seringkali 'bikin emosi' dengan komentar ataupun kritikannya.  Penggemar sepak bola jaman old pasti ingat dengan sosok Bung Kusnaeni atau akrab disapa 'Bung Kus". Beliau ini seorang wartawan olahraga yang sangat tajam ketika menjadi komentator. Meskipun saya yakin beliau tidak bisa bermain sepak bola dengan baik dan benar, tapi  komentar-komentar ataupun kritikan-kritikannya terhadap permainan sebuah tim sepak bola ataupun permainan seorang pemain sepak bola profesional seolah-seolah dia adalah seorang yang sangat ahli dalam cabang olahraga ini.
.
Banyak lagi contoh komentator atau kritikus di berbagai bidang yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang praktisi di bidang tersebut. Bahkan seringkali seorang yang pernah menjadi praktisi justru tidak dapat memberikan komentar atau kritik yang tajam atau berkualitas.
.
Jika reaksi seorang fans seperti saya bisa sedemikian sengitnya, kira-kira bagaimana reaksi seorang David Beckham jika dikritik oleh orang yang jelas-jelas tidak bisa bermain sepak bola? Sebenarnya saya pun sangat ingin tahu bagaimana reaksinya dikritik oleh Sir Alex Ferguson yang notabene 'gak sukses-sukses amat' sebagai pemain sepak bola profesional. Apakah pernah dia berkata "coba lo aja Sir yang main"?.
.
Dikritik memang tidak enak, apalagi oleh orang yang jelas-jelas tidak memiliki keahlian di bidang itu. Alih-alih kita merasa termotivasi, yang ada malah mencibir dan keluar perkataan: "ya udah, lo aja deh yang gantiin..". Reaksi tersebut sah-sah saja sebenarnya apalagi kalau belum se-jago dan se-profesional David Beckham, namun apakah reaksi itu tepat dalam proses pengembangan diri kiranya perlu dipertanyakan lagi.
.
Dalam teori Johari Window (http://www.bukannotadinas.com/2017/11/johari-window.html) disebutkan bahwa selalu ada bagian diri kita yang bisa dilihat orang lain meskipun kita tidak menyadarinya. David Beckham tahu persis hal ini, sehingga dia dengan rela-ikhlas dan penuh kerendahan hati dapat menerima kritikan atas permainannya, dan hal itu dijadikannya bahan untuk lebih meningkatkan performa-nya di lapangan hijau. 
.
Sikap profesional seperti seorang David Beckham ataupun tokoh-tokoh sukses lainnya dalam menerima kritik tentunya tidak dibangun dalam waktu 1-2 tahun. Pembentukan sikap tersebut butuh waktu panjang untuk menjadi suatu kebiasaan. 
.
Mengkritik ataupun menerima kritik memang ada ilmunya. Bagaimana memberikan kritik yang konstruktif, kritik yang tidak sekedar nyinyir. Sama halnya dengan menerima kritik; bagaimana menanggapinya, bagaimana menjadikannya sebagai sebuah motivasi. Semua ada ilmunya, ada pembelajarannya dan sebaik-baik belajar adalah dengan diulang-ulang. Jadi, jangan alergi terhadap kritik. Kritik itu bukanlah pisau yang dilemparkan untuk membunuh tapi justru untuk membantu kita mempertajam kemampuan. Kritik itu bukan suara permusuhan ataupun ujaran kebencian. Kritik itu adalah ungkapan kepedulian. Bayangkan bagaimana sedihnya jika sudah tidak ada yang peduli dengan kita? What if I've never love again?

Jakarta, 23 Desember 2017