ITU TABU

Lagian juga ngapain dibahas hal yg sensi disini??? Gk pada tptnya. Kalo mau jujur ya hrsnya si sam ngerti. Semua sdh ada yg ngurus. Lihatlah jujur lagi keadaan di Indonesia. Ahhh... sudahlah....

Tabu katanya membahas hal-hal yang sensitif. Hal sensitif bagi tiap orang, kelompok masyarakat, mulai dari kampung, kota, sampai bangsa-bangsa berbeda-beda. Bahkan antar generasipun berbeda-beda. Banyak norma dipakai dalam menentukan hal sensitif atau bukan. Mulai dari norma agama, adat istiadat, kebiasaan, sampai norma kepantasan atau bekennya etis- tidak etis. Sebenarnya norma-norma yang ada bukan hanya mengatur hal-hal sensitif norma mengatur hampir semua sisi kehidupan sesuai kebutuhannya masing-masing. Banyak yang seiring perkembangan jaman tidak sesuai lagi dan yang paling jelas perubahannya adalah norma hukum yang perubahannya jelas tercatat sejarahnya. Seperti halnya dulu pemberian gratifikasi atau uang ucapan terima kasih yang dulu “dianggap” sebagai bagian dari silaturahmi, bahkan dimaklumi, dan tidak ada aturan hukumnya sekarang jelas dilarang oleh undang-undang.

Masalah tabu membahas hal-hal sensitif jelas-jelas telah menimbulkan masalah dalam berbagai jenjang kehidupan. Waktu saya SMP sempat membaca (sepertinya di koran Kompas) bahwa ada penolakan Pendidikan Seks Usia Dini untuk dimasukkan dalam kurikulum atau minimal diperkenalkan kepada anak usia sekolah. Nah, kelucuan demi mulai bergulir di situ. Alasan penolakan ternyata karena mayoritas orang tua “merasa” bahwa pendidikan seks sejak dini adalah pendidikan untuk berhubungan seksual, tanpa bertanya atau mencari tahu apa sebenarnya isi dari pendidikan tersebut atau bisa dibilang suudzon. Alhasil, memang tidak jadi itu pendidikan seks sejak dini masuk kurikulum di masa saya sekolah. Kelucuanpun berlanjut, di generasi saya ada anak-anak yang takut untuk bersentuhan dengan lawan jenis, seperti anak SD yang takut dipegang tangannya oleh pak satpam sekolah untuk menyeberang jalan karena kata mama ntar (maaf) hamil kalau dipegang tangannya oleh anak cowo, atau anak gadis yang pingsan ketika datang bulan pertama kali karena ibunya tidak pernah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi kedewasaan, mungkin yang paling parah adalah yang hamil di luar nikah karena tidak tahu kalau berhubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, dan tentu saja banyak cerita-cerita absurd lainnya yang membuat kita mengenyitkan mata mengenai hal ini.

Isu agama juga adalah isu sensitif di masyarakat kita (bukan sekedar katanya) banyak orang yang engan membahasnya karena malas berdebat, takut menyinggung perasaaan, dan berbagai alasan lain. Pernyataan teman saya diatas timbul setelah saya menanyakan soal penyerangan gereja di Sleman, Yogyakarta di WAG yang kebetulan menurut sepengetahuan saya banyak orang Yogyanya. Sepertinya beliau begitu ketakutan dengan “hal-hal sensitif” hingga pertanyaan saya diartikan sebuah ketidakmengertian  saya akan hal-hal sensitif dan mungkin saja menjadi pesan yang profokatif buat beliau. Menghindari membahas “hal-hal sensitif” adalah cara aman bagi banyak orang untuk menghindari sebuah diskusi atau “perdebatan” tergantung sudut pandang si pelaku. Kebanyakan karena ketidakpahaman atas topik yang dibahas atau ketakutan atas timbulnya pertanyaan lanjutan yang diluar pengetahuannya. Keenganan untuk mencari tahu lebih lanjut juga menjadi sumber masalah tersendiri. Orang-orang dengan mudahnya terbakar dengan judul yang bombastis di media-media ­online. Mereka memaki, membully, dan membagikan berita-berita tersebut dengan dibumbuhi opini-opini yang semakin menyesatkan isi berita. Ketika ditanya apa isinya atau didebat bahwa posting-annya tidak benar dan menyesatkan dengan entengnya berkilah “saya cuman share”. Bahkan saya menemukan yang sharing­ berita yang belum jelas kebenarannya dengan didahului permintaan maaf saya cuman share. Hufh, untuk yang seperti ini saya hanya bisa mengelus dada dan apesnya ternyata banyak orang yang seperti ini terlepas dari latar belakang suku, agama, pendidikan, dan profesi mereka.

“Sam, itu AXA Life dicabut ya izinnya? Gimana tuh?” Tanya junior saya beda kantor ketika papasan di kantin. Mungkin maksudnya membuka pembicaraan yang berbobot.
“Ya elah, mbaca berita tuh jangan judulnya doaaaaang! Itu AXA Life kan merger sama AXA Finance terkait aturan baru” semprotku.

“Iyah pak, tapi banyak ini yang nanyain nasib polisnya gimana” kata mbak-mbak AXA di sebuah cabang bank Mandiri sambil ketawa kecil setelah pernyataan basa-basi saya “Wah AXA makin kuat ya dah merger”. Aduh, kok jadi seperti sales AXA! Hahaha.

Jogja yang Selalu Istimewa

Buat saya, Jogja istimewa, mengapa?

Bukan hanya karena sebutan Daerah Istimewa yang diberikan padanya, 
bukan pula hanya karena almarhumah Ibu saya kebetulan berasal dari Bantul, 
salah satu Kabupaten di Selatan Jogja. 
Alasan yang lebih pas mungkin karena daerah ini buat saya memang menarik. 
Pemandangan alam yang menakjubkan, budayanya yang kental dengan aroma Jawa,
 dan keramahan penduduknya yang bikin betah berlama-lama disana. 


Setiap tahun Jogja berhasil menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya.  
Sekedar menikmati keramaian Jalan Malioboro atau mencicipi kuliner khas daerah Jogja 
yang bertebaran di seluruh penjuru kota ini, dirasa sudah cukup membahagiakan. 
Film favorit Indonesia "AADC" malah menjadikan Jogja sebagai setting pengambilan gambar, sekaligus mengenalkan spot-spot wisata yang belum banyak tereksplore, 
hingga kemudian menjadi tujuan wisata yang banyak diburu.
Tempat-tempat wisata itu kemudian menjadi magnet
yang dapat menarik para wisatawan untuk kembali kesana, lagi dan lagi.

Jogja memang memiliki keraton, budaya, dan alam yang indah, 
disamping itu para penduduk Jogja juga terkenal sangat kreatif.
Cobalah ajak anak-anak berkunjung ke Taman Pintar di Jogjakarta, mereka pasti suka, 
berlibur sambil bisa menambah wawasan mereka akan ilmu pengetahuan.





Jika jenuh dengan suasana kota Jogja, bisa bergeser sedikit untuk hunting tempat wisata yang berada pada kabupaten-kabupaten sekitar Jogja, seperti Bantul. 


Berkunjung ke Bantul, mengingatkan saya pada sosok almarhumah, seakan Beliau masih hidup
dan menemani saya jalan-jalan ke tanah leluhurnya...kok jadi sentimentil ya? maaf...

Tapi Kabupaten Bantul memang punya keindahan alam tersendiri,
perpaduan keindahan antara pesona pegunungan dan lautan,
yang tersembunyi di antara lebatnya hutan pinus, yang terselip di kaki bukit-bukit hijau, 
dan tertimbun di balik lembutnya pasir pantai. 
Daerah Parang Tritis, Imogiri dan Mangunan tentu sudah tak asing lagi bagi para wisatawan.
Daerah ini dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 1,5 jam berkendara, dengan jarak sekitar 45 km dari kota Jogja.

Tempat wisata terkenal di Bantul ini antara lain:

Pantai Parang Tritis, pantai yang terkenal dengan keindahan dan legendanya yang tak pernah surut.

Pemandian Air Panas Parang Wedang, berbeda dengan pemandian air panas lainnya yang biasanya ada di kaki Gunung dan berbau belerang yang menyengat, sumber air panas ini ada di tepi pantai dan tidak berbau belerang/menyengat.



Gumuk Pasir Parangkusumo satu-satunya Gumuk Pasir yang terbentuk di Asia Tenggara, terletak ditepi pantai Parangkusumo dan dijadikan lahan untuk olah raga sandboarding.


Tiga tempat wisata ini terletak pada satu  jalur yang berdekatan, kamu dapat mengunjungi
sekaligus tiga tempat wisata ini, dalam waktu hanya satu hari saja.



Jika ada cukup waktu, mampirlah ke daerah dataran tinggi Mangunan. 
Kamu akan serasa berada di suasana yang berbeda. 
Jalan yang berliku dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim,
sepanjang sisi di kiri kanan jalan terdapat banyak spot-spot wisata alam yang menarik, 
yang saat ini sedang dikembangkan menjadi tempat wisata kekinian, diantaranya:

Kebun Buah Mangunan hamparan bukit hijau yang diselingi dengan sungai dan awan yg berarak, kamu bisa lihat sunset/sunrise yang indah dari atas bukit


Batu Songgo Langit himpunan batu besar yang diistilahkan dengan batu penyangga langit/songgo langit





Hutan Pinus Mangunan termasuk dalam kawasan RPH (Resort Pengelolaan Hutan) Mangunan yang dipenuhi pohon-pohon pinus dan populer sebagai tempat foto pre-wedding, karena katanya buat orang Korea pohon pinus yang batangnya tegak lurus (tidak bercabang-cabang) dan daunnya yang selalu hijau melambangkan cinta sejati...ini katanya lho..:D



Tiga tempat wisata ini menawarkan keindahan alam yang dapat merefresh jiwa dan raga, 
apalagi jika kamu termasuk orang yang suka bersosmed,
backgroundnya cocok bangetlah buat update status.

Dan tentu saja...masih banyak sekali tempat-tempat wisata Jogja yang menarik untuk kamu singgahi.



Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi dua tempat wisata di daerah ini. 
Harga tiket masuknya sangat murah, hanya sekitar Rp. 5.000,- perorang,
Meskipun hanya dua tempat wisata, tempat wisata yang lainnya akan menjadi tujuan saya, 
untuk kesempatan saya yang akan datang, jika mengunjungi Jogja kembali.

Memang betul Jogja selalu istimewa buat saya, yang akan membawa saya kembali lagi, dan lagi.
Bagaimana buat kamu??




(foto: dari berbagai sumber)



Debat Kusir: Seratus Hari

Alkisah,  pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. (boleh sambil nyanyi kok bacanya)

Ayah saat itu memilih duduk di belakang dengan posisi diagonal dengan pak kusir. Mungkin, supaya bisa menjagaku dari belakang dan gampang jika ingin ngobrol dengan pak kusir. Maklum, ayahku sedikit cerewet atau halusnya, suka ngobrol. Di manapun dan bagaimanapun, biasanya ayah akan mulai mengajak ngobrol siapa saja orang yang ada di dekatnya dengan tema apapun yang melintas di benaknya. Terutama kalau sudah sampai terdengar bunyi-bunyian alam sekitar, bunyi jangkrik misalnya.

Singkat cerita, setelah sorak sorai kegiranganku naik delman lenyap seiring "serak" nya tenggorokan, terdengar "tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk", suara sepatu kuda (yuk lanjut nyanyi lagi). Dengan sigap ayah menangkap pertanda, dan dengan cepat bertanya, "Gimana bang, kemarin baru aja seratus hari ni?"

"Innalilahi wa innailaihi rojiun...siapa yang meninggal pak?", pak kusir bertanya balik

"Ealah, bukan meninggal Pak, itu lho seratus hari Pak Manis jadi gubernur"

"Ooh, kirain...."
"Kalau yang itu mah males ngomonginnya Pak", pak kusir terlihat ogah-ogahan.

"kok gitu Pak?"

"ya gimana, ga ada yang bener Pak kebijakannya, apanya yang mau diomongin...bikin kesel aja bawaannya!" Nada bicara pak kusir mulai meninggi dan menggebu-gebu.

"ga ada yang bener gimana pak?", ayahku coba mengorek keterangan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek.

"coba bayangin Pak, pasar Tanah Mas yang dulu sama Pak Uhuk sudah ditata rapi, eh sekarang malah diobrak-abrik, pedagang malah disuruh jualan di tengah jalan!"

Pak kusir tampak mengambil nafas sejenak setelah sedikit terengah-engah akibat terlalu berapi-api.

"Sepanjang sejarah...mana ada Pak jalan tempat kendaraan bermotor ditutup, malah dipake buat orang jualan, edan gak tu?" Pak kusir melanjutkan.

"Ah, masa sih Pak?" "Bukannya tiap minggu jalan juga ditutup buat acara car free day, ada orang jualan jg tu kayanya?", Ayah mencoba mendebat.

"ehmm...tapi kan itu ga tiap hari Pak, beda lah"

"Tanah Mas juga ga ditutup sepanjang hari Pak, jam enam sore jalanan uda buat kendaraan lagi, berarti ga masalah dong?"

Sebelum pak kusir memberikan argumennya, ayah melanjutkan pertanyaannya, "Bapak juga ga pernah liat ada jalan yang ditutup untuk pasar kaget, buat kondangan, buat sunatan?"

"Ya tetep beda Pak, yang penting ga setiap hari!"

"Manfaatnya banyak lho Pak jalan ditutup itu, trotoar jadi bersih dari pedagang, pejalan kaki jadi enak deh jalannya", timpal ayahku berusaha meyakinkan.

"Tetep aja Pak melanggar fungsi jalan yang sesungguhnya!"
Pak kusir tetep keukeuh dengan pendapatnya

"Tapi Bapak tau gak, sebenernya kebijakan penutupan jalan di pasar Tanah Mas untuk PKL itu ide nya Pak Uhuk lho....cuma Pak Uhuk diganti, jadi Pak Manis deh yang eksekusi"

"haah, gitu ya? baru tau saya"

Sejenak keadaan menjadi hening, hingga akhirnya Pak Kusir berkata, "Tapi memang kalau dipikir pelan-pelan lagi, dihayati lebih dalam lagi, penutupan jalan untuk PKL di Tanah Mas itu bentuk inovasi ya Pak, terobosan baru"

Seketika ayah mengernyitkan dahi dan mencoba memperjelas, "maksudnya gimana Pak?"

"Iya Pak, ide penutupan jalan untuk PKL dari Pak Uhuk itu inovatif sekali ya Pak, kreatif idenya"

"Lho, tadi kata Bapak itu kebijakan edan?"

"Ya kan saya baru tahu kalau itu sebenarnya ide Pak Uhuk"

"ngomong-ngomong, Bapak ini tahu banyak informasi ya, emang Bapak pengamat politik ya?", pak kusir balik bertanya ke ayahku.

"Ah, Bapak bisa aja, bukan...saya sih sebenernya kusir juga kaya Bapak"

"Lah, terus kenapa ga narik Pak? malah naik delman saya?"

"kuda saya hari ini minta libur, mau belanja ke pasar Tanah Mas katanya, ini kan kita mau ke sana jemput dia"

"?!#@?"


*aku, ayah, pak kusir dan segala tokoh yang dibicarakannya adalah karangan dan fiktif belaka. Kalau ada kemiripan atau kesamaan cerita dan kejadian.....berarti anda sudah mulai sadar.









Nasibmu, Rokayah


Adun menghitung uang yang dihasilkannya dari naik ojek siang tadi. Setelah dihitung-hitung jumlahnya lumayan banyak. Dua ratus delapan puluh ribu terkumpul dari pagi sampai sore hari. Kebetulan siang ini ada orang yang minta diantar ke Blok M dari Depok. Lumayan seratus ribu sekali jalan. Orang itu juga minta Adun menunggunya untuk diantar kembali ke Depok.
"Wah Lu dapet banyak, Dun. Cepet kaya Lu. Gue baru dapet cepek sedari tadi narik," ujar Kasmin sesama tukang ojek yang biasa mangkal di jalan Kecapi sambil nyengir.                  
"Pan Lu udah Gua kasih tau, Lu daftar ojol. Biar ningkat penghasilan Lu," balas Adun.
"Males Gua, susah make hape nye. Mending Gua gini aja deh. Yang penting dapur tetep ngebul, bini Gua nggak nyap-nyap,"
"Ya udah, kalo Lu maunya gitu. Lu jangan iri kalo Gua dapet lebih gede dari Elu," Adun memasukkan uang ke dalam sakunya.
"Gua pulang dulu," ujar Adun sambil tancap gas.
Kasmin melongo melihat Adun yang ngacir tanpa memberi kesempatan kepada Kasmin untuk membalas ucapannya.
******
Sesampai di rumahnya, Adun langsung menuju dapur mencari makanan. Di meja kecil rumah kontrakan petaknya tersedia satu bakul nasi, ikan asin dan tempe goreng. Tak ketinggalan sambal terasi yang selalu terhidang setiap harinya. Adun mengambil piring dan mengambil nasi sampai piringnya penuh. Rokayah, istri Adun mengambilkan air minum dan duduk disamping Adun.
Sambil mengangkat satu kakinya, Adun makan dengan lahap. Adun belum sempat makan ketika narik tadi.
“Bang, si Pakih pengen ikut piknik di sekolah ke Sawangan,” Rokayah membuka percakapan. Adun terus makan tanpa membalas perkataan Rokayah.
“Biayanya lima puluh ribu, Bang. Duit Saya udah abis. Malu mau minjem ke Bu Nana, malu. Udah keseringan minjem. Yang bulan kemarenan aja belum dibalikin,” sambung Rokayah.
Untuk membantu suaminya, Rokayah menjadi buruh cuci di rumah tetangganya. Upah dari menjadi buruh cuci itu lumayan buat menambah belanja sehari-hari dan uang jajan Pakih, yang baru kelas tiga SD.
“Kita juga harus mikirin nih, gimana Saya lahiran nanti. Situ udah ngumpulin uang kan? Tanya Rokayah.
“Lu, bini macam apa. Suami pulang bukannya disambut malah dikasih masalah. Gua mau nyelesaiin makan dulu baru kita omongin soal itu,” ujar Adun sambil menyendok nasi ke dalam piringnya. Rokayah cemberut mendengar ucapan suaminya.
Rokayah bangkit dari duduknya dengan susah payah karena perutnya yang sudah mulai membesar. Rokayah berjalan keluar dari rumahnya.
“Jangan lupa diri, Bang. Sisain buat si Pakih,” ujar Rokayah kesal.
“Nih, hasil Gua narik hari ini,” Adun menyerahkan lima lembar uang dua puluh ribuan kepada Rokayah.
“Lu bayar uang piknik si Pakih. Besok masak ayam. Masak makannya ikan asin melulu, bosen Gua. Kalo ada sisanya lagi ditabung buat biaya Lu ngelahirin,” Adun berjalan ke kamar. Tak berapa lama, Rokayah mendengar suara suaminya ngorok.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam,” balas Rokayah.
“Eh anak Emak udah pulang,” dengan sigap Rokayah mengambil tas dari punggungnya Pakih, anaknya. Rokayah mengambil sepatu Pakih dan disimpannya di belakang. Rokayah takut sepatu si Pakih ada yang ngambil. Sepatu itu sepatu bermerk, pemberian Bu Nana karena anaknya sudah bosan dengan sepatu itu.
“Mak, Pakih lapar,”
“Makanlah, Nak!” jawab Rokayah.
“Pakih bosen, Mak. Makannya ikan asin sama goreng tempe melulu,”
“Terus Pakih maunya makan apa?” tanya Rokayah lembut.
“Ayam Ka Ap Ce, kayak temen-temen Pakih,” Rokayah terdiam. Otaknya mulai menghitung-hitung uang pemberian suaminya tadi. Kayaknya nggak akan cukup kalau harus beli ayam buat Pakih.
“Kih, besok aja ya Emak masakin ayam enak,” bujuk Rokayah.
“Nggak mau, Pakih pengen sekarang, Mak. Sekali aja Pakih nyobain rasanya gimana sih ayam Ka Ep Ce itu,”
“Kalo ayamnya beli di Kang Pardi gimana? Beli ayamnya aja, nggak usah pake nasi. Nasinya dari sini. Sama aja kan Ka Ep Ce, Kang Pardi Chicken,” Rokayah mencoba membujuk Pakih.
“Iya Mak, Pakih mau. Kalo di Kang Pardi biar Pakih yang beli. Mana uangnya?”
Rokayah menyerahkan selembar dua puluh ribu kepada Pakih.
“Beli dua ya, kembaliannya buat jajan kamu besok, Nak,”
“Terima kasih Emak Pakih yang paling baik sedunia,” dengan riang Pakih berlari ke luar rumah menuju gerobak Kang Pardi yang mangkal di pinggir jalan kompleks Dahlia.
Rokayah tersenyum melihat keceriaan Pakih. Hatinya bahagia melihat Pakih tumbuh menjadi anak yang santun dan termasuk pintar di kelas. Namun, di sisi lain Rokayah merasa sedih karena kemungkinan Pakih bersekolah tinggi sesuai dengan harapannya selama ini, belum tentu terwujud. Penghasilan suaminya tak menentu menghalangi Rokayah untuk memberikan yang terbaik untuk Pakih. Upahnya dari mencuci di rumah Bu Nana sebagian besar habis buat bayar kontrakan dan listrik. Rokayah hanya berharap Pakih menjadi anak yang berprestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa nantinya.
*****
“Digoyang mang,” suara melengking penyanyi dangdut bergema. Sambil bergoyang kiri kanan, penyanyi dangdut terus memberi semangat kepada para lelaki yang berjoget dibawah panggung.
“Bang Adun, mana sawerannya? Neng Talitha siap kok menerima,” celoteh Anah di panggung.
Talitha adalah nama panggung Anah, tetangga Adun yang berprofesi sebagai sebagai penyanyi dangdut di kampung Salak. Bayaran sekali manggung dari bosnya di Orkes Cahaya hanya cukup untuk membeli bedaknya saja. Anah mengharapkan saweran dari para pengunjung yang datang.
Sambil menggoyangkan badannya, Adun naik ke atas panggung. Dikeluarkannya uang kertas dari sakunya dan dibentuk menjadi kipas. Satu per satu diserahkannya kepada penyanyi yang berjoget bersamanya. Si penyanyi tambah bersemangat meliuk-liukkan badannya.
“Depok digoyang. Bang Adun yang paling ganteng, jangan ragu nyawer!” suara Anah genit merayu.
Adun mengeluarkan semua uang dari sakunya celananya. Satu per satu diberikannya kepada Anah. Malam itu, Adun larut dalam goyangan dangdut Anah.
“Aduuuuun....!” tiba-tiba terdengar suara perempuan tua berteriak.
Perempuan tua itu menyingsingkan kain bawahan bajunya dan menaiki panggung. Dijewernya telinga Adun dengan keras. Adun meringis kesakitan.
“Sakit, Mak!” teriak Adun.
Suara musik dangdut langsung terhenti.
“Noh, bini Lu kesakitan di rumah. Kayaknya mau ngelahirin. Bawa ke Puskesmas. Mak Kiyoh udah nggak sanggup!”
“Mak, waktu si Pakih dilahirin juga kagak kenape-kenape,” balas Adun.
“Liat dulu bini Lu, sebelum Lu nyesel,” Adun diseret perempuan tua itu.
"Rokayah, nasib Lu sial banget ketemu si Adun," perempuan tua itu menggerutu sambil terus menyeret Adun seperti ketika dia menyeret Adun kecil dulu.
“Bang Toyib..Bang Toyib kenapa kok nggak pulang-pulang,” suara Anah ditimpali musik keras lamat-lamat terdengar.
*****
Depok, 22 Januari 2018

Bijaksana-bijaksini

Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup: minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.” Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!” katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan kartunya.

Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya "Capacity of judging rightly in matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan; kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan benar dalam menghadapi sesuatu hal.

Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya menulis, karena katanya pak dosen “minimal buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala “kapan saya bisa bijaksana ya?”.

Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”. Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.

Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."

  • Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
  • Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
  • Opung3: kakek/ nenek (Batak);
  • Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
  • kbbi.web.id
  • en.wikipedia.org

SBN dan Utang Pemerintah

Indonesia memberikan batasan/ capping utangnya. Selain defisit yang tidak boleh di atas 3 persen dari PDB, rasio utang per PDB juga dijaga di bawah 30%. Selain batasan tersebut, berbagai indikator profil portofolio utang juga dimonitor, misalnya variable rate ratio (rasio utang yang tingkat bunganya tidak tetap terhadap total utang) dan refixing rate[1], average time to maturity (waktu rata-rata tertimbang jatuh tempo utang), dan proporsi utang valas dibanding rupiah. Ini terkait dengan adanya risiko tingkat bunga, risiko membayar kembali (refinancing), dan risiko mata uang. 

Porsi Surat Berharga Negara (SBN) dalam total utang Pemerintah sekitar 80%. Artinya, 20% lagi berupa pinjaman dalam dan luar negeri, dengan dominan pinjaman luar negeri (sekitar 18,9% dari total utang). Dari proporsi tersebut, porsi utang dalam valas ternyata lebih banyak dalam bentuk SBN (SBN valas) dibandingkan dalam bentuk instrumen pinjaman luar negeri. Per September 2017, porsi utang SBN valas mencapai 22% dari total utang. Utang dalam bentuk valas masih diperlukan untuk komplemen utang dalam rupiah (tidak mengandalkan pasar SBN domestik saja) serta sebagai cadangan devisa. 


Penerbitan SBN idealnya sesuai dengan kebutuhan defisit berjalan dalam pelaksanaan APBN. Artinya, SBN diterbitkan sebesar X pada suatu “timing” ketika kebutuhan APBN sebesar X pula. Dengan begini, tidak ada SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran). Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. SBN dijual kepada investor dengan tidak lepas dari pengaruh kondisi perekonomian dan pasar SBN. Tidak sepanjang tahun kondisi pasar stabil dan ideal untuk penerbitan. Oleh sebab itu, Pemerintah berusaha mencari waktu dan jadwal yang pas untuk penerbitan. Pada tahun 2017 kemarin, penerbitan SBN sudah lebih mempertimbangkan cash management sehingga tidak “jomplang” terbit di awal tahun. Penerbitan memang masih menggunakan strategi front loading atau lebih banyak dalam semester pertama, namun juga lebih mempertimbangkan kondisi kebutuhan kas negara. 


Prefunding SBN juga masih dilakukan. Prefunding ini bermakna, SBN diterbitkan pada kuartal IV tahun sebelumnya untuk pelaksanaan APBN tahun ini. SBN yang digunakan untuk prefunding biasanya SBN dalam bentuk valas. Pemerintah melakukan ini awalnya untuk membiayai kebutuhan kas di awal tahun anggaran. Yakni, pada awal tahun anggaran biasanya pendapatan, misalnya dari pajak, belum masuk, sehingga dengan tersedianya kas dari prefunding SBN, APBN dapat berjalan lancar dan “cepat”. Cepat di sini bermakna, kebutuhan belanja negara termasuk apabila ada kebutuhan mendesak untuk infrastruktur bisa segera dimulai tanpa terkendala persoalan kas. Namun, prefunding SBN sebetulnya bisa bermakna lebih dari itu. Prefunding dengan waktu yang pas juga dapat menjadi momentum yang tepat untuk menerbitkan SBN dengan harga yang baik bagi Pemerintah. Sebab, yield SBN juga kerap menjadi sorotan. Oleh sebab itu, Pemerintah mencari kapan waktu yang pas untuk mendapat yield yang relatif rendah dengan permintaan SBN yang tetap besar, meskipun hal tersebut tidak terbatas pada SBN prefunding namun berlaku juga untuk semua penerbitan SBN lain. 


SBN juga digunakan dalam operasi moneter Bank Indonesia. BI memiliki Surat Utang Negara (SUN) yang digunakan dalam repo (repurchase agreement). Repo ini berarti bahwa BI menjual SUN kepada perbankan dan akan dibeli dalam jangka waktu tertentu. Repo dilakukan dalam rangka kontraksi moneter dengan mekanisme lelang dan suku bunga yang diberikan di bawah suku bunga BI/ BI rate. Suku bunga inilah yang dinamakan 7-day (reverse) repo rate yang baru berlaku Agustus 2016 lalu. Suku bunga yang baru ini lebih cepat dalam mempengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil.  



Referensi:
djppr.kemenkeu.go.id
bi.go.id



[1] Refixing mengukur porsi utang yang memiliki eksposur terhadap perubahan suku bunga dalam satu tahun, yang terdiri dari porsi utang dengan suku bunga variabel dan utang dengan suku bunga tetap yang akan jatuh tempo dalam satu tahun.

Terungkap, Siapa Bang Bujet Sebenarnya

"Bang Bujet ini siapa sih?" Jika muncul pertanyaan seperti ini, penulis selalu menghindar, paling banter tersenyum. "Alah...pasti kamu!" Tuduhan teman atau rekan ini tidak penulis iyakan atau tolak.
Untuk diketahui, Bang Bujet merupakan tokoh utama dalam serial kartun strip berjudul Bang Bujet & Pren di majalah Warta Anggaran, terbitan Ditjen Anggaran, antara tahun 2009-2015. Kartun strip ini selalu menghiasi halaman paling belakang dari majalah tersebut. Keberadaan kartun strip pada dasarnya adalah untuk menertawakan diri sendiri. Menurut orang bijak, orang yang bisa menertawakan diri sendiri itu maqom-nya sangat tinggi dari sisi keluasan jiwanya. Dunia memang tidak sempurna.

Kartun strip ini penulis buat berdasarkan pengalamana nyata maupun ide-ide liar yang tidak mungkin dibuatkan dalam bentuk tulis. Pengalaman tersebut tidak selamanya dari pengalaman pribadi tapi bisa juga berasal dari kejadian yang menimpa rekan atau teman. Tema yang diceritakan mencakup kehidupan sehari-hari PNS yang bergelut di bidang penganggaran. Ada yang berkaitan dengan penerapan konsep penganggaran dan cara menyikapinya. Ada juga yang berkaitan dengan permasalahan sehari-hari seperti mengejar absensi. Bahkan ada juga yang menceritakan suka-duka hubungan atasan dan bawahan. Tentu saja, tulisan ini tidak akan mengulas mengenai apa saja yang telah diceritakan tetapi bercerita mengenai bagaimana awal mula serial kartun tersebut terbit.
Melongok lorong waktu kalau bisa, cerita Bang Bujet & Pren masih menyisakan pertanyaan: mewakili karakter siapa saja gambar kartun tersebut. Mungkin tidak banyak yang mengenal Bang Bujet apabila tidak membaca majalah Warta Anggaran. Namun sabar sebentar, sebelum membahas karakater kartun Bang Bujet, perlu saya menceritakan mengenai situasi-kondisi pada saat itu. Karakter ini (menurut saya) sangat pas muncul sesuai dengan masa DJA pada saat itu (2008).
Munculnya Bang Bujet anggaran tidak terlepas dari berdirinya Direktorat sistem penganggaran di penghujung tahun 2007. Direktorat ini mempunyai Tusi yang mengatur mengenai sistem penganggaran, mulai dari pendapatan Negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran (cita-citanya). Fakta yang ada sekarang, Direktorat sistem penganggaran hanya mengatur mengenai anggaran belanja pemerintah pusat saja: meliputi anggaran kementerian negara/lembaga dan bagian anggaran bendaharawan umum negara (BA BUN). Sedangkan mengenai pendapatan (khususnya PNBP) belum dijamah. Begitu juga mengenai pembiayaan anggaran.
Kebetulan penulis merupakan salah satu generasi pertama yang ikut mengisi Direktorat Sistem Penganggaran, khususnya Subdit Sistem Penganggaran di awal berdirinya. Karena direktorat baru, semuanya tugas dikerjakan secara keroyokan antarsubdirektorat. Semuanya pekerjaan selalu dikoordinasikan. Wajar, apa yang dilakukan oleh Subdit Sistem Penganggaran akan menjadi awal pekerjaan subdirektorat lainnya (Subdit Standar Biaya, Subdit Evaluasi Kinerja Penganggaran, dan Subdit Teknologi Informasi Penganggaran). Karena pada masa itu, isu-isu yang dikerjakan oleh Direktorat Sistem Penganggaran merupakan hal baru. Oleh karena itu, semua pegawai di dalamnya ikut terlibat dalam diskusi dan mengetahui isu-isu permasalahan penganggaran.
Begitu banyak permasalahan yang harus diatur oleh sistem penganggaran memicu ide untuk membuat persoalan serius tersebut menjadi lebih cair. Yang jelas tidak melalui tulisan karena bisa menimbulkan pro-kontra tetapi melalui media gambar kartun. Kebetulan penulis menyukai dunia gambar-menggambar, termasuk kartun. Sedikit info, bukan untuk sombong, tapi bolehlah  sedikit narsis, penulis pernah aktif ngartun dari tahun 1993 sampai dengan akhir 1995. Kartun paling fenomenal yang pernah dibuat penulis dimuat di Tabloid Bola.
Nah, ide ngartun sudah ada. Pertanyaan berikutnya adalah siapa tokoh dan bagaimana karakter kartun tersebut. Untuk diketahui, kartun strip yang biasa penulis kirim ke media massa tidak perlu nama maupun karakter. Asal ada ceritanya dan akhirnya lucu, itu sudah cukup. Dalam konteks Bang Bujet ini, penulis menemukan pada sosok karakter tidak jauh, lebih tepatnya di samping kanan dan kiri meja penulis.
Saya memperhatikan kawan di samping kanan-kiri mempunyai karakter unik dan menarik. Di samping kiri meja penulis, duduk seorang rekan yang mempunyai visi mengatur sistem penganggaran sangat jauh, ngedab-ngedabi. DJA merupakan institusi yang mengatur penganggaran pemerintah tidak hanya di pusat tetapi daerah, itulah visi dan pandangannya mengenai DJA. Sementara itu, rekan yang duduk di sebelah kanan mempunyai kemampuan tidak kalah saktinya. Beliau mempunyai kemampuan menjelaskan anggaran pemerintah secara makro dan ekonomi global. Dan kemampuannya ini diimbangi dengan humor joroknya. Pokoknya unik, pas mantab.
Nama rekan yang duduk di samping kiri tersebut adalah Walidi almarhum. Terakhir jabatannya adalah Kepala Seksi Riset Standar Biaya. Wajah dan penampilannya sederhana tetapi pemikirannya tidak sesederhana casing-nya. Pikirannya bisa melenting 2-3 tombak ke depan (meminjam kalimat pengarang Khopingho dalam cerita silatnya). Salah satu pemikiran yang masih dikenang penulis adalah sistem penganggaran utuh diatur oleh DJA (meliputi pendapatan negara, belanja Negara, dan pembiayaan anggaran) mencakup pusat dan daerah. Jadi, DJA c.q. Direktorat Sistem Penganggaran tidak hanya fokus mengatur anggaran belanja pemerintah pusat saja. Mungkin suatu saat akan terwujud ide ini.
Benar, Mas Walidi, panggilan akrab penulis, merupakan penggambaran karakter Bang Bujet sebenarnya. Dalam penggambaran sosok atau karakter Bang Bujet, mungkin saja ada ketidakcocokan atau malah bertentangan dengan gambaran bagi yang melihat dan membaca kartun strip tersebut dengan pribadi Mas Walidi yang aseli. Jadi dalam tulisan ini, saya meminta maaf karena ini adalah perspektif atau sudut pandang penulis dan menjadikannya sebagai karakter dalam kartun strip.
Dalan kartun strip tersebut, Bang Bujet merupakan tokoh utama. Sebagai tokoh utama, Bang Bujet selalu ditemani oleh sahabatnya yang dipanggil Pren (diambil dari kata friend tapi di-Indonesia-kan). Penulis tidak akan mengutarakan secara jelas, karakter Pren ini. Pembaca boleh menebak dari karakter maupun dari gambarnya. Biarlah itu menjadi rahasia penulis. Mungkin ada yang menuduh penulis, “Paling penulis khawatir dimintai royalty.” He..he..pikir sendiri.  
Tulisan ini adalah pertanggungjawaban moral pembuat karikatur Bang Bujet & Pren yang tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Juga, tulisan ini merupakan kenangan kepada Mas Walidi almarhum, semoga dedikasinya untuk DJA mendapat tempat yang semestinya. Selamat jalan Mas Walidi. Tidak seperti film-film Hollywood atau novel thriller yang diakhir cerintanya ada tulisan to be continued alias bersambung, penulis pastikan bahwa Bang Bujet & Pren tidak akan muncul lagi.
Catatan:

  • Ngedab-ngedabi  (bahasa Jawa) = kemampuannya di atas rata-rata, sakti
  •  Maqom (bahasa Arab) = tempt kedudukan
  • Tulisan ini untuk mengenang Mas Walidi almarhum sebagai rekan yang asyik diajak berdiskusi.

Merebut Hidup

Suasana sekitar stasiun kereta saat itu agak temaram. Matahari masih enggan menampakkan diri ke bumi. Dingin menyelimuti pagi hari yang sibuk di kota Depok. Banyak orang bergegas mengejar kereta di pagi hari.
   Suara pedagang sayur yang berteriak menjajakan dagangannya bersahutan dengan suara pengumuman posisi kereta. Ditambah suara nyanyian dari speaker orang yang meminta sumbangan menambah keriuhan pagi di stasiun kereta pagi ini.
                Sekelompok orang sedang berdiskusi di jalanan menuju ke peron stasiun. Sepertinya sedang ada konferensi yang akan membahas masalah penting diantara mereka.
     "Mak Konah, kenapa sekarang Emak males banget keliling. Pemasukan sedikit sekali," ujar seorang lelaki yang sepertinya pimpinan dalam pertemuan itu.
     "Yah, gimana nggak kurang jang Kemod. Si Sayem ngerebut lahan saya," ujar Konah dengan lesu sambil mengusap wajahnya dengan kain yang dipegangnya.
     Penampilan Konah sangat khas. Berpakaian kebaya dan kain lusuh. Konah menggunakan dua macam selendang. Selendang pertama untuk menutupi kepalanya, sedangkan selendang yang kedua untuk menggendong mangkok dari bahan kaleng dengan posisi menyamping.
“Kadang juga, kaki Emak sakit kalau sudah jalan jauh,” sambung Konah.
“Emak Konah banyak alasan ah. Kemod nggak mau tahu, situ harus dapet lebih dari biasanya. Nggak tahu gimana caranya pokoknya setoran harus naik. Paling kurang nggak beda ama setoran sebelumnya. Kalau masih kurang, Kemod pulangin Mak Konah ke kampung!” Kemod mengultimatum Mak Konah.
“Kasih keringanan dikitlah, Jang,” Konah berusaha menawar.
“Nggak ada!” balas Kemod dengan suara keras.
“Yang lain, jangan seperti Mak Konah ya. Jangan  malas. Jangan sampai tempat mangkal direbut orang lain!” ujar Kemod kepada peserta konferensi lainnya.
“Siap!” jawab peserta konferensi lainnya.
“Sekarang kalian semua gerak cepat, biar nggak keduluan kelompok lain!” Semua peserta bangkit dari duduknya meninggalkan Kemod.
Konah perlahan bangkit. Dengan tertatih-tatih, Konah berjalan ke arah yang berlawanan dengan anggota kelompok yang lain. Dengan memasang muka memelas Konah mulai menjalankan tugasnya dengan harapan hari ini dia akan mendapatkan hasil yang banyak.
Beberapa orang yang melintas di depannya melemparkan koin kedalam mangkok kaleng yang disimpan didepan Konah duduk. Banyak punya orang yang berlalu tergesa-gesa tanpa menoleh ke arah Konah duduk.
Satu demi satu , Konah kumpulkan koin yang dilemparkan ke mangkuknya. Konah memasukkan koin-koin itu kedalam plastik yang selalu diikat di ujung selendangnya. Kadangkala ada juga orang yang bermurah hati memberinya uang kertas.
Kalau lagi untung, penghasilan Konah sehari lumayan banyak juga, walau setengahnya harus dibaginya dengan Kemod dengan dalih uang keamanan. Padahal tak pernah sekalipun Konah merasa dilindungi oleh Kemod ketika harus berkonflik dengan orang lain.
“Heh, minggat dari sini!” terdengar suara Sayem sambil menendang mangkuk kaleng milik Konah.
“Kurang ajar, kamu. Ini kan tempat Saya. Ngapain Kamu ngusir Saya?” Konah berdiri dari duduknya dan bertolak pinggang di hadapan Sayem.
“Berani ya Kamu sama Saya,” mata Sayem melotot ke arah Konah.
“Saya nggak takut sama orang yang suka merebut lapak orang lain,” Konah lantang menantang Sayem.
Sayem menarik selendang yang menutupi kepala Konah. Konah pun membalasnya, sehingga terjadilah perkelahian antara Sayem dan Konah. Dalam waktu singkat teman-teman dari yang berkelahi berkerumun dan memberi semangat kepada kedua orang tersebut. Orang-orang yang lalu lalang di sekitar stasiun hanya menoleh sebentar, kemudian kembali bergegas menuju stasiun kereta.
******
    Di sudut stasiun yang lain, seperti biasanya pagi ini, bergegas menuju stasiun kereta untuk mengejar kereta balik yang berangkat dari stasiun Depok jurusan Jakarta Kota.
Kaki Hani lincah setengah berlari di jalanan yang dipenuhi mobil yang diparkirkan pemiliknya di jalanan. Para pedagang kaki lima tidak memberi ruang kepada Hani untuk menggunakan haknya berjalan di trotoar. Walaupun mereka belum membuka lapaknya, gerobak-gerobak mereka parkir dengan tenang memenuhi sepanjang trotoar di depan stasiun.
     Hanya gerutu dalam hati yang bisa Hani lakukan setiap hari melewati jalan di sekitar stasiun kereta. Hani malas berdemo menuntut haknya sebagai pejalan kaki.
     Langkah Hani terhenti melihat dua orang nenek berkelahi dengan hebatnya. Selain saling jambak rambut, kedua nenek itu saling berbalas kata umpatan.
“Pak, dipisahkan dong!” ujar Hani kepada seorang Bapak yang sedang menonton perkelahian itu.
“Biarin aja, neng. Nanti juga berhenti sendiri, hehehe,” jawab Bapak tersebut sekenanya.
Hani panik dan berlari menuju Satpam yang berjaga diluar peron.
                “Tolong, pak. Ada nenek-nenek berkelahi,”
   Tanggapan Satpam diluar dugaan Hani.
“Sudah biasa, Mbak. Mereka sedang berebut penghidupan. Biarin aja. Ada ketuanya masing-masing kok” ujar pak Satpam sambil tersenyum.
     Hani hanya terdiam dan berlalu dari hadapan Satpam dengan perasaan bingung.
     "Hidup terkadang penuh dengan kejutan," hanya kalimat itu yang bisa Hani katakan dengan pelan sambil terus melangkahkan kakinya menuju peron.

Stasiun Depok Baru, 3 Januari 2018