Bersolek

Kadang diri ini lupa
Bersolek agar terlihat sempurna dalam pandangan manusia
Namun, akhlaq yang baik mestilah terjaga
Kecantikan dan ketampanan kan sirna
Karna memang demikian adanya
Kehidupan ini bersifat fana

Silahkan bersolek
Tak ada larangan
Sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan
Luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar
Sebagai wujud insan yang beriman

Quo Vadis B20



Bagi yang belum paham B20, ini adalah program kewajiban pencampuran BBM dengan biodiesel dengan komposisi 80% BBM dan 20% biodiesel. Pemerintah mempertajam pelaksanaan program ini akibat bengkaknya defisit pada transaksi berjalan Indonesia pada tahun 2018. Sebenarnya yang dilakukan pemerintah tidak salah yaitu berusaha mengurangi impor BBM dengan cara memproduksi biodiesel dalam jumlah besar. Program B20 inipun telah dilaksanakan sejak 2016 tapi pencapaiannya selalu tersendat-sendat alias tidak pernah tercapai B20 nya.

Nah disinilah letak permasalahannya. Biodisel Indonesia di produksi dari CPO atau minyak sawit. Produksi sawit Indonesia berdasarkan statistik sawit tahun 2015 mencapai 30 juta ton untuk tahun 2016 (prediksi). Entah tercapai atau tidak tapi yang jelas Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia dengan market mencapai lebih dari 50%. Berarti supply CPO dunia sebagian besar berasal dari Indonesia. Untuk konsumsi domestik, hanya dibutuhkan sekitar 5 juta ton per tahun dimana konsumsi ini termasuk minyak goreng dan produk turunan CPO lain tapi tidak termasuk biodiesel. berarti masih banyak spare untuk produksi biodiesel.

Konsumsi diesel kita untuk sektor transportasi sekitar 30an juta kilo liter tahun 2016. Berarti untuk menganti 20%nya dibutuhkan sekitar 6 jutaan KL biodiesel. 1 ton CPO dapat memproduksi sekitar 900 liter biodiesel tapi kita bulatkan saja menjadi 1:1 sehingga dibutuhkan sekitar 6 juta ton CPO untuk memproduksi biodiesel. Dengan produksi CPO Indonesia yang 30 juta ton, konsumsi domestik non biodiesel 5 juta ton, maka kita punya lebih dari cukup produski CPO untuk memenuhi target B20.

Tapi tidak semudah itu. Diluar konsumsi domestik yang 5 juta ton, produksi CPO kita di ekspor dengan pasar utama RRT, India, USA dan UE. Selama ini pemerintah mengerem laju ekspor dengan menciptakan permintaan domestik yaitu program B20 dengan mengenakan bea keluar terhadap produk CPO dan turunannya secara progresif. Selain itu, ada juga CPO fund yaitu dana perkebunan kelapa sawit yang diambil dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya. Perbedaan bea keluar dan pungutan ekspor ini adalah jika pungutan ekspor dikenakan untuk setiap produk CPO dan turunannya yang diekspor, bea keluar hanya dikenakan jika harga internasional CPO kita semakin tinggi, diatas 700 USD/ton nya.

Kenapa program B20 ini tidak pernah tercapai targetnya? Cukup pakai analisa tukang sayur saja, kalau ekspor CPO sudah menguntungkan, ngapain juga produksi biodiesel. Sebagai informasi tambahan, semua perusahaan biodiesel di Indonesia adalah merupakan bagian dari perusahaan kelapa sawit besar seperti Wilmar, Musim Mas dan Sinar Mas. Dengan kondisi ini, pengusaha sawit bisa dengan mudah memilih mana yang lebih menguntungkan menjual CPO ke luar negeri atau memproduksi biodiesel. Fakta bahwa target B20 tidak pernah tercapai membuktikan bahwa menjual CPO jauh lebih menguntungkan daripada memproduksi biodiesel walaupun sudah ada restriksi macam-macam.

Nah, pemerintah dalam rangka menyehatkan neraca perdagangan berusaha agar progam B20 bisa tercapai bahkan sekarang menerapkan sanksi apabila ada pengusaha biodiesel yang tidak mau memproduksi biodiesel. Disini bisa terlihat sebuah blunder yang akan diciptakan oleh pemerintah.

Pertama, mari kita pakai matematika sederhana saja, untuk memproduksi biodiesel sebanyak 6 juta KL dibutuhkan 6 juta ton CPO. Ini berarti akan mengurangi porsi ekspor CPO sebesar 6 juta ton untuk meng offset impor BBM sebanyak 6 juta KL. Jika ekspor CPO adalah X dan impor BBM adalah M serta X-M=0; maka yang akan terjadi dengan kebijakan ini adalah mengubah X-M menjadi –X-(-M) hasilnya ya 0. Dengan kata lain kebijakan ini tidak akan berpengaruh pada neraca perdagangan kita.

Tapi okelah, saya menggunakan asumsi ceteris paribus. Mari kita lihat indicator lain yaitu harga ICP dan harga CPO. Harga CPO di tahun 2018 sedang lesu masih dikisaran 600an-700an USD per ton, tapi harga ICP juga gak tinggi-tinggi amat sekitar 60an USD per barel. Dengan kata lain satu-satunya asumsi yang bisa menolong adalah apabila impor BBM lebih mahal dari pada ekspor CPO. Dan saya yakin inilah asumsi yang digunakan oleh para menteri kita (semoga ya).

Tapi ada faktor kedua yang saya yakin tidak diperhatikan para elit kita. Kenapa target B20 kita tidak pernah tercapai? Instrumennya ada semua yaitu BK dan PE bahkan ada CPO fund juga untuk mensubsidi biodiesel yang dicampur dengan BBM subsidi. Saya yakin jawabannya lebih teknis daripada sekedar kebijakan.

Pencampuran B20 belum tentu aman untuk mesin kendaraan.

Percobaan yang dilakukan memang memperlihatkan bahwa B20 merupakan pencampuran yang optimal untuk mesin kendaraan, tapi mesin kendaraan yang seperti apa? Walaupun Gaikindo juga dilibatkan dalam uji coba B20, tapi ya Gaikindo kan cuma club nya salesman mobil doank. Pengalaman saya menggunakan mobil diesel justru menyatakan dari pabrik mobilnya sendiri untuk jangan mencampur diesel dengan biodiesel lebih dari 10%. Hal ini sama saja dengan penggunaan oktan kendaraan. Mesin mobil yang baru kalau di isi premium yang iktan 88 akan batuk karena pabriknya sudah menulis batas minimal oktan bensin yang harus digunakan. Hal yang sama juga berlaku untuk biodiesel. Hanya karena bisa menggunakan campuran 20% bukan berarti tidak akan bermasalah pada jangka panjang.

Tapi Ok, itu dari sisi konsumen bahan bakar sebagai pemilik mobil, bagaiman dari sisi si pengoplos dalam hal ini adalah Pertamina. Kita anggap saja konsumen gak peduli dengan campuran 20% , lha wong masih banyak koq pemilik mobil baru yang berburu premium. Tapi kenapa Pertamina tidak mau memproduksi biodiesel campuran 20%?

Untuk hal ini jawabannya sederhana yaitu profitabilitas. Berdasarkan hasil berburu data dari Kementerian ESDM capaian B20 untuk PSO tercapai sedangkan yang non PSO tidak. Dengan kata lain untuk biodiesel bersubsidi gak ada masalah B20 ini, tapi yang non subsidi menjadi bermasalah. Koq bisa begini? Ya sederhana harga biodiesel masih kalah kompetitif dengan harga minyak dunia.

Yang membuat masalah semakin pelik adalah pemerintah mengurangi porsi BBM bersubsidi dengan kata lain B20 yang akan dikejar merupakan biodiesel yang nonsubsidi. Siapakah yang akan menjadi korban dari kebijakan blunder ini?

Pengusaha kelapa sawit akan selalu diuntungkan, mereka mau produksi biodiesel atau jualan CPO, gak ada masalah. Pengusaha biodiesel akan menjual biodiesel sesuai harga keekonomian mereka, pemerintah gak akan bisa ngutak-ngatik harganya. Kalau gak ada yang beli ya akan diekspor biodieselnya. Jadilah Pertamina sapi perahnya pemerintah, saya hanya akan membayangkan bahwa harga biodiesel di level konsumen akan meningkat (yang non subsidi), kira-kira permintaannya akan berkurang atau tidak yah akan terjawab nanti. Kecuali jika pemerintah meminta Pertamina untuk mengerem kenaikan harga biodiesel mereka. Lagi-lagi status sebagai sapi perah.

Satu hal yang pasti, jika harga minyak dunia meningkat drastis seperti tahun 2008 dan 2012, maka harga CPO akan ikutan naik karena industri biodiesel di luar negeri akan menambah permintaan feedstock mereka. Lagi-lagi akan kembali lagi ke masalah neraca perdagangan dan inilah lingkaran setan yang akan dihadapi pemerintah dalam hal kebijakan biodiesel ini.

Bersiasat Pada Perubahan

Berabad abad lalu, 
Dinosaurus jadi raja belantara
Badan besar, cengkeraman gahar 
Kekuasaannya menyebar, mengular tenar,
Hari ini jejaknya nanar, 
Hanya sesekali terlihat pada dongeng dan komik bergambar 

Bertahun lalu,
Nokia jadi gadget nomor satu, 
Yang ada hampir ada di setiap saku, 
Meski harga mahal, tapi jaminan mutu, 
Hari ini namanya serupa debu, 
Hilang tergerus pendatang pendatang baru 

Juga bertahun lalu, 
Blackberry adalah simbol kemapanan pribadi, 
Dipakai untuk menaikan gengsi, 
Ping ping ber bagi pin untuk komunikasi 
Kini namanya hanya histori, 
Mencoba bangkit tapi terlambat lari 

Keping cerita menjadi hikmah 
Yang tersisih bukan karena ringkih,
Yang roboh bukan karena bodoh 
Yang terhempas bukan karena lemas 
Yang musnah bukan karena lemah 
Tetapi karena mereka abai terhadap isyarat zaman, 
Bahwa tak ada yang abadi selain perubahan, 

Hidup terus dijalankan seperti kebiasaan, 
Kekuatan menjadi kepongahan 
Kecerdasan menjadi kesombongan 
Kemapanan menjadi kelengahan 

Tak berlentur lentur untuk menghindar, 
Hingga memar 

Tak menepi berstrategi,
Hingga mati 

Tak mundur untuk tafakur 
Hingga hancur 

Perubahan adalah keniscayaan, 
Adaptasi adalah pilihan, 
Ada yang menunggu, 
Ada yang pelan 
Ada yang sigap 
Ada yang berdiam 
Yang serupa dengan kematian 

Perubahan adalah keniscayaan, 
Rambut tumbuh beruban, 
Pikiran lambat mencerna kata, 
Benak pelan memamah bijak 
Hingga belajar perlu siasat benar 
Tidaklah cukup membaca dan mendengar 
Tapi harus berlama masa,
Berulang terbilang


Perubahan adalah keniscayaan, 
Anak anak tumbuh di zaman milenial 
Tak mempan lagi pendekatan feodal
 "Kamu begini, kamu begitu" 
Bukan mereka yang hidup di zaman kita,
Kitalah yang hidup di zaman mereka, 
Berbincanglah dengan cara mereka,
Lantang bicara mungkin tak berguna, 
Pesan digital menyentuh hatinya 

Perubahan adalah keniscayaan, 
Segera bergegaslah untuk menukar arah, 
Semua orang punya gembok kaki gajah 
Yang mengikat dirinya melangkah 
Tak bisa, 
Tak mampu 
Ini saya 
Siapa aku 
Terlambat memulai
Terlalu tua 
Atau lainnya 

Lepas... 
Lepaslah,
Gembok kaki gajah 
Agar kita bebas bergegas 
Sebelum umur tuntas menjadi batas

 (Gadog, 20-21 Agustus 2018)

(Gadog, 20-21 Agustus 2018)

Anakku mengira demokrasi

Anakku mengira
Demokrasi sekedar ritual Lima tahunan,
saat pintu pintu diketuk bergiliran
Bagai sinterklas, ada yang membagi dua puluh tiga puluh ribuan
ongkos menghapal gambar dan nama, 
dan menyoblosnya dikotak suara

Anakku mengira
demokrasi adalah sekedar mencelup jari di kotak tinta,
pertanda tertunai hak suara, 
berbangga menjadi pewarta yang berlomba 
mengabarkannya ke seluruh penjuru dunia,
"ini jariku,
 mana jarimu"

Anakku mengira demokrasi
Adalah sekedar memelihara kesabaran
lima tahun menikmati,
Hilir mudik para tokoh di kertas suara
Memenuhi panggung panggung berita
Tentang kegemaran mereka berujar, 
hianati nalar,
tapi tak tertawar,
bertitah seolah atas nama buku dan ilmu,
tapi peragu
mengacungkan telunjuk mencela
Tanpa berkaca,
dan menulis  fatwa tanpa membaca,

Anakku mengira,
Demokrasi, 
adalah sekedar kebebasan tanpa tepi,
Menafsir kitab suci untuk memaki, 
Penghalalan  aib kawan sendiri,
Mengkapling sorga bak milik pribadi,
Lawan dan kawan tiada abadi,
Hari ini bertengkar saling ingkar
Esok berkumpul saling rangkul,
Hari ini berjalin setia,
Besok berhikmat pada khianat

Anakku mengira,
Demokrasi adalah  ketidakpercayaan
Pada berita dan cerita,
Sebab pada musimnya
Berita serupa drama,
Cerita bak telenovela
cicak ditampakkan buaya,
susah dikabarkan bahagia,
Angka dan fakta mendua makna

Anakku mengira,
demokrasi hanyalah sekedar riwayat
Tentang demos kratos,
kekuasaan yang termandat
dari oleh dan untuk rakyat
Pada sejarah di negeri para dewa dewi terlewat

Anakku mengira,
Aku diam artinya mengiyakan yang dia kira
Padahal bisa jadi tidak


(Pondok ungu,habis nonton debat di tivi, agustus 2018)

Bukan Puisi atau Misteri

Assalamualaikum wr. wb.

Saya ingin membagi pengamalan saya, yang hampir tertipu, semoga dengan membaca cerita ini pembaca tidak tertipu dengan orang yang menggunakan modus ini.

Pada hari Rabu pagi tanggal 15/08/2018, saya di telpon orang yang mengaku bernama Joko Susilo (selanjutnya akan disebut Jolo), -kalau nelpon pakai nomor HP 081294085309- yang berencana akan menyewa mobil berikut supir untuk keperluan liburan di Puncak Bogor selama 5 hari, terhitung tanggal 20 s/d 24 Agustus 2018. Singkat cerita setelah tawar menawar, tercapai kesepatan harga, dan lewat telpon Jolo mengatakan akan memberikan uang muka/DP, padahal saya tidak meminta. Jujur saya sempat kagum plus sedikit heran, saya gak minta DP tapi dia yang duluan bilang akan memberi DP.

Siang sekitar jam 11.40, lewat whatsapp (wa), -kalau wa pakai nomor HP 085697161168- Jolo memberikan foto KTP, hal ini juga membuat saya heran, toh saya nggak minta foto KTP. Ini KTP yang dia berikan, tapi sudah pasti bukan KTP dia sendiri.. KTP nya juga sudah expired.

Lewat wa, si Jolo juga meminta info ke rekening mana dia bisa transfer untuk pembayaran DP. Lalu saya berikan rekening atas nama saya sendiri. Sekitar jam 14.49, Jolo mengatakan sudah transfer dan memberikan bukti transfernya seperti ini :

Sekitar satu jam kemudian si Jolo menelpon dan menanyakan apakah sudah masuk transferannya, saya jawab belum dengan memberikan foto historis transaksi terakhir pada rekening saya. Jolo kemudian mengatakan akan menelpon layanan BRI Call Center 24 jam untuk mengurus hal ini, meskipun sempat saya katakan, sudah Pak, nggak perlu repot-repot, toh nanti akan masuk juga, tapi Jolo tetap ngotot untuk menyelesaikan saat itu juga.

Sepuluh menit kemudian Jolo menelpon saya dan mengatakan akan menyambungkan saya dengan BRI Call Center 24 jam untuk menjelaskan kondisinya, dan meminta saya untuk tidak menutup telpon, meskipun dalam hati saya masih bertanya, ngapain sampai repot amat menyambungkan telpon antar Jolo dengan BRI - dengan- antara Jolo dengan saya, tapi saya masih tetap ikuti saja... karena memang saya kan jual jasa, jadi tetap harus bersikap baik dengan costumer.

Lewat suara speaker HP saya, terdengar dari sebarang sana suara pria lainnya yang berbeda suaranya dengan Jolo, "Selamat malam, saya Alvian dari BRI Call Center, ini saya lihat di sitem kami, memang benar ada transfer dari BRI ke BNI, dari Bapak Jolo ke Bapak Muhammad Iqbal sebesar 1 jta rupiah, tapi memang belum masuk ke BNI nya, karena ada kendala sistem di BRI. Ini mungkin butuh waktu 2-3 hari, tapi Pak Jolo keberatan, karena ada bisnis yang harus diselesaikan. Ini boleh saya bantu untuk transfer manual saja, Bapak ada rekening lain..?"
"Ada" jawab saya. Dalam hati saya bertanya-tanya, emang ada ya istilah transfer manual, apalagi dari petugas BRI nya langsung..
Dia kemudian nyerocos lagi, "Tapi karena ini transfer manual jadi berbeda dengan transfer normal, kalau transfer normal saldo nol rupiah pun di rekening tujuan itu bisa, tapi karena ini transfer manual minimal saldo pada rekening tujuan adalah 1 juta rupiah"
Wow, early warning system dalam otak saya langsung bekerja, ada kejanggalan yang sangat tidak biasa.. (emang ada ya janggal yang biasa).. ini harus ekstra hati-hati, dan suspect modus penipuan.
Dia bertanya lagi, "Bapak ada rekening lainnya dengan saldo minimal 1 juta?"
"Ada Mandiri"
"Saldonya lebih dari 1 juta..?"
"Iya", jawab saya.
Kemudian dia minta saya mengirimkan nomor rekening tujuan yang baru untuk transfer manualnya. Meski sudah semakin bertambah besar kecurigaan saya, namun tetap saya kirimkan rekening Mandiri atas nama saya.
"Baik, Bapak tunggu sebentar, ini saya akan langsung transfer manual, beberapa saat lagi Bapak bisa cek", kata dia dan telpon pun dimatikan.

Sepuluh menit kemudian, Jolo menelpon lagi, memberiitahu kalau sudah dilakukan transfer ulang ke rekening Mandiri, dan meminta saya untuk segera mengecek di ATM Mandiri. Saya jawab, kalau saya punya sms banking, yang bisa melaporkan jika ada transaksi, namun sampai saat itu belum ada sms masuk. Kemudian Jolo dengan sedikit memaksa menyarankan saya untuk ke ATM Mandiri, saya menurut juga meskipun sudah merasa curiga dan meraakan banyak kejanggalan. Saya juga menanyakan booking tiket pesawat SUB-CGK yang Jolo janji akan menginformasikan sore atau malam, namun jawaban dia, istrinya masih di luar kota, sehingga menunggu istrinya pulang baru akan booking, mungkin besok pagi katanya.

Sampai di ATM Mandiri, saya langsung cek dan ternyata tidak ada transfer dana masuk. Saya konfirmasi ke Jolo via wa bahwa tidak ada dana masuk. Seketika itu juga Jolo langsung menelpon saya, dan mengatakan akan kembali menyambungkan saya dengan petugas BRI Call Center, beberapa jenak kemudian sudah terdengar kembali suara dari seberang sana, suara yang vokalnya terkesan diatur supaya mirip dengan CS sesungguhnya.

"Halo Bapak Iqbal, ini Alvian kembali Pak, dari BRI Call Center, Bapak sudah cek belum masuk..?"
"Iya, belum masuk sampai sekarang.."
"Oke, sekarang coba Bapak masukkan kembali ATM nya, dan masukkan PIN nya, hati-hati Pak, ketika masukin PIN tolong ditutup pakai tangan kiri, jangan sampai PIN terlihat oleh orang lain.."
Behh... sok care banget nih orang, dia kira ketika dia ngasih nasehat gitu menjadikan saya yakin itu dari petugas asli Bank apa.. bahkan sebaliknya, itu membuat saya lebih yakin bahwa yang menelpon ini adalah petugas palsu, dan oknum yang bermaksud melakukan penipuan yang akan menguras isi saldo saya. Saya masukin atm ke mesin atm, tanpa mendengarkan ocehan dia di HP, karena HP saya jauhkan dari telinga, bahkan dengan sengaja saya mengajak ngobrol dengan teman yang kebetulan melintas dekat saya, saya lakukan itu supaya saya tidak terlalu fokus dengan instruksi atau ucapan dia lewat hp. Saya masukkan 2 nomor pertama dari pin atam saya, lalu saya jeda 15 detik, kemudian 2 nomor pin berikutnya dan jeda lagi. Saya lakukan itu untuk pengamanan saja, entah mengapa feeling saya bilang gitu.. hehe..
Setelah saya cek saldo, dan tidak ada dana masuk, saya langsung katakan belum ada dana masuk. Lalu dia mengatakan akan melakukan transfer ulang, mungkin 15 menit lagi bisa cek kembali. Telpon diputus.

Karena saya sudah curiga, untuk langkah pengamanan, segera saya pindahkan saldo yang ada di rekening Mandiri ke rekening saya yang lain, saya hanya menyisakan 100 ribu.

Jam 20.00, Jolo menelpon kembali dan mengatakan bahwa sudah dilakukan transfer ulang secara manual, dan meminta saya mengecek kembali ke ATM Mandiri. Saya katakan saya sudah di kereta kommuter dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor, lalu dia bilang nanti di cek saja ke ATM terdekat sesampainya tujuan. Saya masih saja meng-ok-kan anjuran Jolo.

Sesampainya di Alfamidi dekat Stasiun tujuan saya, saya langsung mengecek ke ATM Mandiri, dan tidak ada penambahan dana, saya wa Jolo mengatakan belum masuk. Kembali lagi, seketika itu dia menelpon, baik Pak, ini saya sambungkan lagi dengan petugas BRI nya.. Saya sudah mulai kesal dan berniat mengakhiri saja usaha penipuan mereka..
"Halo Pak Iqbal... coba sekarang Bapak masukkan kembali ATM Mandirinya Pak.." kata orang yang mengaku bernama Alvian.
"Pak, saya ini pakai mobile banking, jadi kapanpun saya bisa mengecek saldo rekening saya lewat HP, saya tidak harus ke ATM untuk mengecek saldo saya.. kalau..." nada bicara saya sedikit mulai meninggi dan bicara saya belum lagi putus, tiba-tiba..
tutss..... telpon diputus secara sepihak dari seberang sana... Nah lho.. ketahuan.. penipuan..

Saya yakin seyakin-yakinnya mereka kesal karena sudah merasa mendapatkan korban yang sudah beberapa kali mau dituntun menuju ATM.. haha.. 

Nomor telpon HP yang dipakai buat nelpon sudah tidak bisa dihubungi lagi, profil wa juga sudah langsung diganti, dan saya wa tidak dibalas lagi.. padahal wa saya cuma nanya.. "Sudah jadi booking tiketnya Pak..? Penerbangan jam berapa dan naik apa..?"
tidak ada balasan..

Berawal dari Yang Terkecil


"Klontaang!" suara mainan plastik tak sengaja terkena langkah kakiku hingga terpelanting cukup jauh.


"Tuh kan, rumah sudah berantakan banget Mas, sudah waktunya beberes," ujar istriku beberapa detik setelahnya.


"Aduh, capek ini mau ngapa-ngapain, besok-besok aja lah kalau udah gak males," jawabku sembari menyembunyikan mainan plastik tadi ke kardus di atas meja.


"Ah, kamu sih tiap hari juga males," sergah istriku.


"Hehe, lagian kita masih bisa tidur kan, jadi belum berantakan-berantakan banget lah," timpalku sambil nyengir.


Istriku hanya bisa mengakhiri percakapan saat itu dengan menghela nafas dan sedikit bersungut.


*** seminggu kemudian ***



"Mas, si Tyas nanti mau ke sini, dia mau minta diantar lihat kontrakan di sekitar sini," istriku membuka minggu pagi dengan breaking news yang cukup mengagetkan.


Tyas adalah teman kantor istriku yang berstatus calon pengantin yang sedang mencari-cari kontrakan. Sebelumnya, istriku menginfokan padanya bahwa ada kontrakan kosong di dekat tempat tinggal kami.


Bukan rencana kehadiran Tyas sebenarnya yang mebuatku terkejut, tetapi kesemrawutan rumah yang menjadi kekhawatiran.


"Waduh, rumah kita berantakan banget ini, gimana dong?" tanyaku singkat sambil garuk-garuk kepala.


Pertanyaan retoris sebenarnya, karena aku tak butuh jawabannya. Yang aku butuhkan adalah gerak cepat membereskan rumah. Maklum, sebagai orang Indonesia, pepatah 'tamu adalah raja' masih membayangiku. Akan jadi aib jika menerima tamu dalam kondisi rumah yang amburadul.


"Ya salahmu sendiri, aku kan sudah bilang untuk membereskan rumah dari minggu lalu," timpal istriku


"Kamu sih ngeyel kalau dibilangin," tambah istriku melanjutkan.


Alhasil, dengan bergegas aku bersih-bersih rumah. Langkah strategis perlu diambil agar tak memakan waktu lama. Diawali dengan memasukkan segala perintilan yang tergeletak di lantai ke dalam kardus. Prinsipnya, yang penting disembunyikan dulu dan ruangan terlihat rapi.


Setelah itu prosedur yang harus dilalui adalah menyapu, mengepel, hingga mencabuti rumput liar yang sudah gondrong di halaman depan.


Tak lupa mengatur tata letak barang di ruang tamu yang sebelumnya sungguh layaknya kapal pecah. Sekali lagi, prinsipnya yang penting terlihat tidak berantakan dan layak huni.


Setelah mencurahkan keringat dan membanting tulang selama kurang lebih dua jam, akhirnya rumah kami sudah berhasil tampak rapi dan siap menerima tamu. Lantainya sudah mengilap lengkap dengan aroma wewangian cairan pembersih lantai. Halaman rumah juga sudah plontos, bebas dari rumput-rumput liar yang mengganggu pandangan. 


Tak lupa karpet kami gelar untuk menyambut tamu. Meskipun alasan utamanya karena kami memang tak punya kursi tamu.


"Wuih, bersih amat mas giliran mau ada tamu," istriku mengomentari hasil jerih payahku.


"Kalau diminta istri sendiri aja gak mau beres-beres, giliran mau ada tamu langsung pontang-panting," sindir istriku melanjutkan komentarnya.


"Yah, namanya juga mau ada tamu, kan malu kalau rumahnya kelihatan berantakan," ujarku penuh kepasrahan.


*****


Kejadian serupa dengan cerita di atas, seringkali terjadi dalam keseharian keluarga-keluarga Indonesia. Banyak orang yang tiba-tiba rajin bersih-bersih rumah karena mau ada tamu berkunjung, mau ada arisan, atau mau ada selametan. Padahal sebelumnya mereka sadar bahwa rumahnya perlu dibersihkan. Anggota keluarganya pun mungkin sudah sering mengeluhkan. Tapi baru ada pergerakan justru ketika ada orang lain yang mau datang.


Tujuannya memang terpuji, semata-mata ingin memuliakan tamu. Namun, bukankah alangkah baiknya jika beberes bukan hanya ketika hanya ada tamu saja. Toh penghuni rumah juga butuh kenyamanan.


Parahnya, kebiasaan itu juga terbawa dalam urusan mengelola apapun di negara ini. Tengok saja penyelenggaraan Asian Games sebagai contoh terkini. Menjadi tuan rumah, Indonesia bersolek menyambut tamu se-Asia. Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan bersama Palembang, tampak habis-habisan menghias diri.


Trotoar-trotoar diperluas dan disterilkan, jalan-jalan diaspal sampai mulus, sungai ditutupi dan ditaburi agar tak bau, wilayah ganjil-genap diperluas untuk mengurangi kemacetan, bahkan anak sekolah akan diliburkan agar lalu-lintas Jakarta terlihat lancar di mata para tamu. Itu belum termasuk hal-hal lain yang dikerjakan untuk memperindah penampilan Jakarta. 


Tidak salah dan memang sudah seharusnya demikian. Namun, bukankah trotoar yang tak layak, jalan yang berlubang, sungai yang bau, dan kemacetan adalah masalah akut yang selalu dikeluhkan oleh warga Jakarta sejak lama. Kenapa langkah-langkah tadi tidak dijalankan sebelumnya dan baru dilakukan setelah mau ada tamu?


Fenomena ini kembali mengingatkan saya bahwa komponen negara yang paling kecil adalah keluarga. Dari komponen terkecil itu lah karakter negara dibentuk. Kebiasaan negara ini tak jauh-jauh dari kebiasaan para keluarga yang menjadi penghuninya.


Oleh karena itu marilah kita mulai sadar bahwa membuat baik dan membereskan negara ini bukan melulu tentang setiap hari lembur hingga malam menyelesaikan yang katanya 'urusan negara'. Bergegas lah pulang pada waktunya untuk membuat baik dan memperhatikan keluargamu. Jika keluarga kita sudah bisa baik, tak usah capek-capek kau urus, negara ini juga akan jadi baik. (epp)

Dua Pria Dalam Group WA

Dua pria dalam group wa, 
Piawai bermain drama 
Mengaduk benak para anggota
Satu berujar,
Satu mengejar 
Seakan takkan pernah irama sejajar,

Bagai penonton misbar, 
Semua tersihir mengelar tikar, 
Menunggu cerita kelar 

Di dunia nyata mereka berdua geli sendiri, 
Seiring sejalan dalam group lari, 
Yang terbaca membully, 
Sebenarnya memuji 

Di dunia nyata mereka berdua tertawa 
Beradu kayuh dalam group sepeda 
Yang terbaca mencela, 
Sebenarnya puji dan puja 

Didunia nyata mereka berdua terbahak, 
Tahunan bersama dalam kerja satu tapak, 
Saling mengenal bahkan aroma ketiak, 
Serius nampak bercanda, 
Becanda nampak serius, 
Takkan terelak



             Sutikno Slamet, 1 Agustus 2018

Menjaga Kewarasan




Mari kawan, 
kalau kepala sudah terasa berat,
Ide ide terasa mampat, 
ambil kursi sebelah sini 


kita perlu berbincang
atau berdendang, 
Menyeduh kopi
atau berpuisi 
siasat kita menjaga kewarasan 


Tubuh tubuh kita telah seharian demi seharian,
melangkah pergi pagi dalam lintasan mampat minim celah,
berdiam terperangkap dalam kubikel ruang dan aturan,
disergap kebosanan dan rasa resah,
beranjak pulang dalam raga yang lelah 

hilang arah sudah
Antara pilihan atau keterpaksaan,
Antara pengabdian atau pemenuhan kebutuhan
 

Atau semuanya

Lupakan sejenak tentang berkas dan surat,
disposisi atau rapat,
karena bisa jadi smua tak berhenti
bahkan saat organisasi sekarat

Mari kawan,
Kalau kepala sudah terasa berat, 
Ide ide terasa mampat

Kita harus tetap Waras 

Sutikno Slamet, 31 Juli 2018