Jarak yang Men-ce-kam

Diksi cebong dan kampret dipakai rasanya bukan tanpa alasan. Kalau melihat meme-meme yg beredar ada sebuah konsep yg mendasarinya. Yang satu menyindir soal otak, satunya tentang cara melihat. Apa pun itu, tujuannya sama, menyindir dengan bumbu yg rada menghina.

Soal menyebut orang dengan diksi binatang ini, saya jadi teringat masa remaja dulu. Saat teman yg lewat kadang disapa oleh teman lainnya yg sedang nongkrong dengan pertanyaan, 'Mau kemana lu Nyet?' Lalu teman yg ditanya itu sambil sedikit tertawa enteng menjawab, 'mau ke warung depan Nyuk'. Tidak ada yg marah dengan sebutan itu, karena memang satu sama lain bukan sedang menghinakan tetapi begitulah keakraban yg ada di antara mereka. Hati sudah dekat, kata tak lagi jadi penyekat.

Saya bukan sedang mengedepankan keakraban model begitu, hanya ada kenyataan seperti itu dalam pergaulan kita. Yang akrab tanpa membawa-bawa penghuni kebun binatang juga banyak. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa keakraban membuat hidup lebih enak, apapun pilihan kata pergaulannya.

Nah, kembali pada cebong dan kampret, seringkali dalam penyebutannya disingkat menjadi bong dan pret seraya menyimpan satu suku katanya masing-masing. Bong-pret dan pret-bong pun kerap kali bersahut-sahutan.

Jangan bicara keakraban disini, kadang yg saling menyahut itu adalah orang yg tidak saling mengenal. Coba bayangkan, menggunakan diksi binatang untuk menyebut orang yg tidak kita kenal? Yang sudah kenal saja bila tidak akrab mana berani kita menyebutnya. Jadi, bagaimana mungkin bisa saling mendekat jika sebutan yg digunakan justru menegaskan jarak?

Maka berhentilah menggunakan sebutan-sebutan itu. Tetapi, jika tetap mau juga menggunakannya akrabkanlah dulu antara dua kubu agar tone yg terdengar bukan lagi sindiran atau hinaan tetapi sebentuk kedekatan. Karena jika tidak bong dan pret hanyalah yg tampak di permukaan sementara satu suku kata masing-masing tersimpan dalam diam.

Dan suku kata masing-masing yang diam itu adalah ce dan kam. Perlahan tapi pasti entah mengapa, sebutan yg menyindir dan rada menghina itu selain menciptakan jarak juga rasanya semakin membuat situasi jadi mencekam.

Jika jarak saja sudah bikin kita 'cape', apalagi jarak yang men-ce-kam.

J2018

CADONG DATANG



“siapa yang kamu maksud sih, Meyr? Brent apa Amri?”
“Amri lah..”
“bohong. Dulu kau juga tergila gila sama Brent kan.”
“Iya, tapi tidak lagi sejak Amri datang. Haha, haduh bodohnya aku pernah menggilai Brent yang kasar itu.”
“Apa kabar dia ya Meyr?” Kim menelisik ke dalam matanya.
“Dasar kepo..” Meyr menimpuk Kim dengan bantal. Kim mengomel karena bantal itu merusak masker madunya.
Meyr mencari seasalt yang dibelinya beberapa hari lalu. Sayangnya ia tidak mendapatkannya dan malah menemukan sesuatu di laci.
“Kim...! kemarilah..”
Yang dipanggil cuek dan sibuk dengan body scrubnya. “Seminggu hanya boleh tiga kali Meyr.. dan ini jadwalku..”
“Kim... ini milik Brent..”
“Eh, Eine Katastrophe?” Kim meledek Meyr yang memandang serius pada sesuatu di tangannya.
“Aku ingin menjenguk Brent. Aku harus.”
Meyr bersegera mandi dan bersiap pergi. Ia lupa dengan sakit lambungnya.
Pemandangan di kantor polisi tidaklah menyenangkan. Beberapa polisi memandang seakan akan Meyr adalah pembawa barang yang menyamar menjadi gadis cantik.
Ia mengetuk ngetuk jari di kursi kayu ruang tunggu. Sulit untuk menemui Brent saat ini. Tapi ia merasa harus.
Ia membawa cincin milik Ibu Brent yang pernah dipakainya dulu. Brent memberikannya kepadanya sebagai tanda jadian. Ibu Brent telah lama meninggal.
Dipeluknya cincin itu dalam genggaman. Degup jantungnya mengisyaratkan ia tak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Sampai seseorang setengah berteriak kepadanya.
“Meyyrr... Nona Meyyr mana orangnya itu.”
“eh ya... iya ini saya!”
Meyr berdiri menuju ruang pemeriksaan bawaan. Ia tidak membawa apa-apa.
“Kok gak bawa apa apa?” polisi bertanya
“Iya.. saya ga sempat..”
Polisi melirik blazernya. “Buka itu..!” diperiksa dulu
Meyr membuka blazernya dan polisi segera mengecek kantong dan seluruh bagian blazer hitamnya.
“Buruan ya, waktunya 10 menit aja. Cadong udah dateng mau dibagiin.”
“Iya..” Meyr segera menuju ruang tahanan sementara. Dilihatnya sesosok yang familiar duduk di kegelapan. Kamar itu dihuni banyak orang dan Brent nyaris tak terlihat.
“Mau ketemu siapa?” polisi di sampingnya bertanya
“Em..Brent... Brent “
“Mana Breeeeeeeeeennt....”
Banyak mata memandangnya. Mata-mata para penghuni lapas yang penat dan gelap karena lampu ada yang belum diganti sebagian.
“Brennt woi...ini ada bidadari mau ketemu. HAHAHAHAHA...buruan keburu pergi ke kayangan nih.” Teriak teman di dekat Brent, seorang kriminal yang ditangkap karena mabuk sambil berkelahi.
Laki-laki tinggi besar itu menuju pintu yang dikunci. Jeruji membuatnya tak bisa memeluk Meyr. Padahal ia rindu berat. Ia butuh pelukan dan kasih sayang.
“Meyr...”
“Aku ... bagaimana keadaanmu, Brent?”
“Baik... kenapa kau kemari?”
“Aku mau .. “ Meyr menarik nafas mengaturnya agar lebih stabil.
“Ini... cincinmu...” Meyr hendak melepas cincin yang dipakainya.
“Kau tak bisa memberikan apa apa di sini kecuali makanan. Ada CCTV-nya.”
“Tapi dulu kau bilang, pakailah selama kau jadi pacarku.”
“Haha.. Meyr..kau terlalu serius. Ambillah buatmu.” Tak berguna bagiku. Lihatlah.. aku hanya sampah busuk. Aku akan segera dipindah ke penjara kelas I, disidang, dan membusuk di dalam jeruji.”
“Jangan katakan itu. Kau sebaiknya berubah.”
Seseorang berteriak teriak mengusir beberapa pengunjung termasuk Meyr.
“Waktu habis! Waktu habis! Mau bagiin cadong, cadong sudah datang! Waktu habis!” 
Meyr merasa ini masih terlalu singkat. Namun suara itu terus memekakkan telinganya.
“apa perlu kutelepon ayahmu dan minta pengacara?”
“Ayahku sudah menjenguk. Sudah pergilah. Jangan urus aku!”
Pertama kalinya Meyr melihat pemandangan itu. Brent yang gagah dan kaya akan makan nasi bungkusan sederhana. “Apa isinya?” tanya Meyr pada petugas.
“nasi pake tahu atau tempe. Kalo lagi ada yang ngasih ya bisa ayam.”
Meyr menatap dengan sedih. Tapi ia tahu, Brent pasti lebih kuat darinya. Brent akan menghadapi apapun dengan kuat, termasuk berada di tempat sempit dan hanya menghabiskan waktu menunggu nasi cadong datang.

Baumu Paling Kusuka



Harumnya teh chamomile membuat Meyr menengok sejenak ke sumbernya. Aah... Kimberly memang baik sekali. Wajahnya yang cantik seumpama cantik hatinya. Kim selesai mengaduk teh dan membawanya mendekat kepada Meyr.
Meyr mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia duduk di king koil empuk yang ternyata tetap tak membuat tidurnya semalam cukup nyenyak.
“Meyr.. chamomile dengan satu sendok teh brown sugar untukmu” disodorkannya gelas cantik ke pangkuan Meyr. Meyr mulai menghirup aromanya dan segera menyeruput dengan senyum gembira.
“Kim, ada dua bau yang paling aku suka saat ini, setelah bau yang ketiga hilang”
“Apa? Bukan roll on mahalku kan?” Kim nyengir memperlihatkan gigi putih hasil perawatannya di klinik.
Sedikit senyum mengembang di bibir Meyr.
“Bukan, Kim.. tentu saja kau sangat menarik tapi mungkin bagi pacarmu”
“hahahaha..” Kim geli sendiri membayangkan Roxy si lelaki bodoh yang selalu mengintilnya.
“Pertama, aku suka bau chamomile. Karena sejak sakit lambung hanya teh ini yang nyaman di perutku. Sayang sekali aku harus meninggalkan oolong dan teh hijau. 
Kedua.. aku suka bau petrikor..karena mengingatkanku pada masa kecil.. yang mungkin tidak begitu indah tapi aku tetap suka sedikit bagiannya...”
“Oh God. Ok... aku bawakan kau pasir pink dari nusa tenggara dan kau mengatakan aku merusak lingkungan. Sekarang kau bilang suka petrikor.”
“Ya beda lah, Kim..!” Petrikor memberi kekuatan dan keindahan ke bumi. Sedangkan yang kau lakukan mengambil keindahan itu” Meyr bersungut.
“Yang hilang, bau apa?”
“Ya kau tahu lah, aroma lelaki itu membuatku tergila gila. Entah bagaimana ia pergi dari hidupku”
“Kalau kau suka keringat lelaki, banyak tuh di bawah sana...” bibirnya yang sedang beroles madu untuk treatmen alami maju ke satu arah di jendela.
Meyr menengok ke bawah. Para pekerja jalanan sedang beristirahat di tepi jalan. Lelah dengan kegiatan perbaikan jalan.
“Sial... nyebelin kau, Kim!”

Kisah Para Doa

Satu petang, ia menjumput doa di bintang paling rendah
Doa yang masih baru selalu berlendir dan basah
Lalu ia lekatkan doa itu di atas ranting muda
Doa yang menyala pertanda terkabulnya suatu asa
Dulu ibunya mengajari begitu. 

Kata Ibunya,
Doa adalah leluhur mimpi
Yang dipetik dari tangis bayi dan tawa matahari
Untuk digenangkan bersama kumpulan cahaya terang

Kata Ibunya,
Doa menjaring semua nyawa
Nafas yang membentuk irama di muka semesta
Doa adalah syair yang menggema di relung jiwa

Maka bersyukurlah mereka yang diselimuti doa
Sejak ketuban meletup hingga nyawa tiada
Barangkali tak ada kisah yang lebih spektakuler dari terciptanya doa
Melebihi terciptanya kunang-kunang dari percikan lentera
Karena Tuhan mencintai doa doa dengan sepenuh hatinya


Mendengar cerita itu, dia tersenyum sambil memanjat pundak ibunya seraya berkata lirih.... 




















"barangkali aku adalah doamu yang paling bercahaya...
bukankah begitu?"



Gelisah

Tak ku temui birunya langit pagi ini
Rupanya terhalang awan kelabu yang berarak
Seakan-akan menjadi sebuah isyarat
Bagi jiwa yang sekarat

Mimpi yang membayangi
Menggelisahkan seisi hati
Dihempaskan ia sejauh-jauhnya
Namun kembali seperti semula

Ya Rabb, perlindunganMU kurindukan
Agar terhindar dari segala keburukan
Kasih sayangMU kudambakan
Agar diri ini senantiasa mendapat ketenangan


Jakarta, 27 September 2018

Pemandu Acara



Pemandu acara
Dituntut tuk menampilkan wajah ceria
Senyum yang menghias dibibirnya
Meski beban dipundak terasa jua

Pemandu acara
Berusaha menyuguhkan ide bercerita
Menjadikan suasana hangat terasa
Agar tak bosan disimaknya

Pemandu acara
Bukanlah pekerjaan yang mudah terlaksana
Banyak terjadi hal yang tak disangka-sangka
Meski telah disusun sebuah rencana

Pemandu acara
Tidak terseret dalam emosi jiwa
Harus siap menerima kritik bahkan cela
Agar esok lebih baik dari sedianya



Jakarta,  24 September 2018

Photo by Etna Ramadhani

Rumah Kaca

Awalnya saya gak pernah terpikir bisa membuat sebuah blog atau menjadi seorang blogger. Bahkan membayangkan untuk bisa menulis saja tidak pernah. Kejadian ini berawal pada awal tahun 2007 ketika banyak blogger yang sukses sebagai penulis, penjual, travelerfood phtotograph dan itu menarik minat saya untuk mulai menulis dan memiliki sebuah blog. Saya pun tidak banyak riset saat akan memulainya dan apa yang harus dituangkan dalam sebuah blog. Ketika mulai saya pun masih kebingungan soal tema atau topik apa yang akan ditulis. Akhirnya saya menulis sesuai apa yang saya ingat, ingin dan selanjutnya ditulis. Akhirnya tulisan pertama adalah mengenai tema Pemanasan global (global warming). Saya juga gak tau kenapa tema itu menjadi pilihan saya. Mungkin memang saya menyukai sesuatu terkait dengan nature conservation atau alam beserta lingkungannya. Jika kita berbaik dan berdamai dengan alam, alam akan berbaik dan berdamai dengan manusia. Jika manusia berbuat sebaliknya, maka alam juga demikian. Sebagai contoh ketika banyak pohon dilereng bukit yang ditebang dan diganti dengan tanaman palawija, maka alam akan memberikan tuahnya berupa landslide atau longsor. Itu hanya salah satu contoh mengenai alam. Makanya saya pilih alam sebagai tema tulisan di blog saat itu.

       Setelah menentukan pilihan tema tulisan dalam sebuah blog, kemudian saya perlu memilih nama blog-nya apa. Pada awal tahun 2007 hingga 2015, nama blog saya adalah “Green Environment”. Dan saat itu saya tidak berpikir perlu tautan agar pengguna internet membaca blog saya atau terlihat menarik. Hal-hal itu tidak terpikirkan dan hal utama yang saya pikirkan adalah saya dapat menuangkan ide atau pikiran dalam blog saya. Antara tahun 2007 hingga 2015, saya baru menulis dalam blog sebanyak 9 tulisan. What ? Iya. Kenapa waktu yang begitu lama saya tidak bisa menulis banyak ide? Iya banyak faktor seperti males, kerjaan (jadi kambing hitam lagi) dan masalah lain. Hingga pada tahun 2017, saya mencoba membuka diri dan mencari tahu soal tulis menulis hingga berusaha hadir di wokshop yang diadakan oleh kantor. Kebetulan workshop-nya mengundang Jombang Santani Khairen, yang menulis buku “30 Paspor di Kelas Sang Professor” dan Muthia Zahra Feirani sebagai mentornya. Mereka adalah anak-anak muda yang punya visi dalam menulis di usia yang sangat muda dan cukup terkenal. Hal itu juga memberikan inspirasi bagi saya yang sangat malas dalam menulis. Saya juga mencoba ikut beberapa kegiatan bedah buku yang diadakan perpustakaan kantor sebagai pelengkap dan penambah inspirasi saya dalam menulis. Akhirnya di tahun 2017 pula, nama blog saya berganti nama menjadi “Rumah Kaca”

     Ada beberapa latar belakang kenapa nama blog saya berubah menjadi “Rumah Kaca. Alasan pertama adalah soal lingkungan. Adanya peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya di atmosfir menyebabkan efek rumah kaca. Peningkatan gas-gas ini berasal dari banyaknya pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melebihi kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Dan sebagian inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Jika keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan untuk menjaga perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu jauh berbeda. Makanya ide rumah kaca saya ambil sebagai bentuk bahwa tulisan atau ide saya dapat memberikan inspirasi bagi orang lain bukan malah menghambat dan hal ini juga menegaskan bahwa saya juga cinta lingkungan.

Alasan kedua adalah kritikan dan masukan dari pembaca dapat menjadikan inspirasi dan motivasi untuk saya tetap bisa menulis. Harapannya adalah tulisan saya bisa juga menjadi inspirasi bagi pembaca. Berdasarkan pertimbangan itu maka pilihan rumah kaca itu bisa diartikan sebagai tempat saya atau kita ber-“kaca” atau seperti kita melihat kaca. Jika ada yang tidak rapih, ya kita rapihkan. Jika ada gak pas, ya kita seuaikan. Jadi dengan alasan kedua ini saya juga bisa belajar banyak dari kritikan para pembaca agar saya bisa lebih baik lagi dalam menuangkan ide-ide di sekitar kita.

Alasan ketiga adalah hal yang sedikit disambung-sambungkan seperti dejavu. Saya dari dulu tidak banyak mengenal tulisan atau karya Pramudya Ananta Toer. Saya mengetahui beliau merupakan penulis yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), merupakan organisasi kebudayaan yang berhaluan kiri dan dikaitkan dengan gerakan 30 September atau (G 30 S PKI). Tapi kembali ke Rumah Kaca pak Pramudya. Sekilas tentang buku ini yang merupakan tetralogi dari 4 buku beliau dimana buku pertama berjudul ‘Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”. Jika 3 buku sebelumnya menceritakan soal Mingke namun di buku ke-4 ini  bercerita tentang Jacques Pangemanann yang merupakan komisaris polisi Belanda kelahiran Manado yang menyelesaikan studinya di Perancis. Latar belakang cerita buku ini pada masa kebangkitan sekitar awal 1900-an. Pada jejak langkah terakhir, Pangemanann menangkap Mingke alias RM Tas dan mengantar ke tempat pembuangan di Maluku. Kemudian Pangemanann mendapat tugas baru untuk memata-matai berbagai organisasi pada masa itu yang berasal dari Indonesia dan menyusup kedalamnya. Dan Pangemanann menamakan pekerjaannya seperti bekerja di rumah kaca. Makanya Pak Pram menulis bukunya berjudul “Rumah Kaca” yang menceritakan soal pekerjaan mata-mata Pangemanann.

Jadi berdasarkan alasan-alasan diatas, maka begitulah penamaan blog saya yang berdasarkan alasan baik yang sebenarnya maupun yang dikait-kaitkan dengan buku “Rumah Kaca” karya Parmudya Ananta Toer. 


Cerita ini juga bisa dibaca di tautan berikut :  
 https://rulyardiansyah.blogspot.com/2017/12/rumah-kaca.html

Kota besar, serupamu










Kota Besar,

Gemerlap,
Biru
Menarik inginku,
Menarik rinduku,

Tersesat,
Hilang arah,
Mana jalan datang,
Mana celah pulang,

Tersimpuh,
Hilang sapa,
Mana acuh,
Mana rengkuh

Kota besar
Gemerlap
Biru,
Serupamu
Kemarinmu


                     Ged.Sutikno Slamet, 19 Sept 2018