Rejeki Takkan Tertukar


Pagi hari itu Pasar Kecombrang Jaya terlihat sangat sibuk. Pengunjung pasar yang kebanyakan ibu-ibu hilir mudik dari satu kios ke kios lainnya. Sedikitpun tak terganggu walaupun saat itu hujan mengguyur bumi. Suara  pedagang yang menjajakan jualannya bersahutan dengan suara kereta yang datang dan pergi dari stasiun Depok. Letak pasar memang bersebelahan dengan stasiun. Jadi suasana ramai sudah terasa sejak bumi masih diselimuti gelap.
Suara-suara itu ditimpali dengan teriakan seseorang yang memegang segepok uang di tangannya. Tangannya sigap mengatur lalu lintas motor yang lalu lalang melewati jalan setapak yang dijaganya. Antrian semakin semakin memanjang ketika matahari sedikit demi sedikit mulai muncul dari balik peraduannya. Rintik hujan mulai mengecil seiring terbitnya mentari pagi.
“Siapkan uangnya!” begitu Opang, nama sang penjaga jalan berteriak. Ia mengingatkan setiap pengemudi motor yang lewat di jalan itu untuk menyiapkan uang.
“Nggak bisa lewat tanpa uang masuk!” teriakannya berapi-api setiap ada pengendara motor yang tidak menyerahkan uang kepadanya.
Bisa dipastikan setiap pengendara motor yang melewati membayar uang kepada pengutip pungutan liar itu karena repot juga kalau tak memberi uang. Orang itu akan menghalangi motor yang masuk dan berteriak kepada pengendara motor yang enggan membayar. Ada kerepotan karena harus berdebat dengan si Opang, nama si pengutip liar.
Rata-rata uang yang dihasilkan Opang dari pungutan liar itu bisa mencapai satu juta rupiah per hari, bahkan kalau hari Sabtu dan Minggu seringkali pendapatannya berlipat ganda.  Orang yang lalu lalang melewati jalan setapak menuju pasar Kecombrang Jaya itu jumlahnya sangat banyak karena pasar Kecombrang Jaya  adalah pasar terbesar di kota Depok.  Biasanya Opang memungut uang dari pengendara motor yang lewat sebesar seribu rupiah. Banyak juga banyak yang memberinya dua ribu rupiah, bahkan kalau ada orang memberinya uang  lima ribu rupiah atau lebih, Opang tidak akan memberi kembalian karena Opang tidak mengenal pengembalian uang. Ia tak peduli kalau pengendara motor itu mengomel karena uangnya tidak dikembalikan.
Opang memiliki seorang anak buah yang akan bergantian dengannya menjaga jalan setapak itu agar tak direbut oleh orang lain, namanya Kadir. Banyak yang sudah mengincar tempat itu, menunggu saat-saat Opang atau Kadir lengah. Tempat itu memang “lahan basah” bagi orang-orang yang mencari makan dari sekitar pasar. Beberapa kali orang mencoba merebut daerah itu untuk dikuasai tapi selalu gagal karena Opang menjaga dengan ketat daerah kekuasaannya.
Opang tinggal di Kampung Dukuh Mentah bersama seorang istri dan seorang  anak laki-laki.  Anak Opang hanya bersekolah sampai SD saja karena Opang merasa nggak ada pentingnya sekolah, tokh nggak sekolahpun dia bisa menghasilkan uang banyak dan sanggup membeli rumah yang lumayan bagus. Opang juga bisa menghiasi tangan dan leher istrinya dengan perhiasan emas. Sejak kecil anaknya Opang sudah dibelikan motor .  Setiap hari Buluk, panggilannya wara wiri mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Opang dan istrinya selalu menghardik tetangga yang mengingatkan perilaku Buluk.Opang sangat menikmati hidupnya, kerja nggak mikir tapi uang selalu berdatangan.
*****
Narti ngambek kepada Amir, suaminya karena menurutnya tidak memperhatikan kebutuhan Narti.  Ia meminta kepada Amir untuk dibelikan baju gamis yang akan dipakainya di pengajian bulanan ibu-ibu di kampungnya.
“Bang, kan malu kalo saya nggak pake baju seragam. Tuh Mpok Iyah aja beli, padahal kan suaminya cuma jagain jalan di pasar aja. Belum lagi dia baru aja beli gelang emas,” Narti merajuk.
“Lha, kan uangnya buat beli buku  si Anto.  Biar dia semangat belajarnya. Bapak pengen dia bisa kuliah biar pinter,” jawab Amir.
“Nanti kalo Bapak dapat untung lebih, Insya Allah dibelikan baju, Mak,” Amir coba menenangkan istrinya.
“Janji mulu, nggak pernah dipenuhi!” Narti cemberut dan masuk ke kamar. Terbayang olehnya celotehan Iyah yang memamerkan gamis baru dan gelang emas yang berkilau. Belum lagi nanti bagaimana menjawab pertanyaan ibu-ibu anggota pengajian lainnya yang akan menganggapnya tak kompak karena tak memakai seragam pengajian. Amir hanya diam dan keluar rumah.
“Mak, saya ke pasar dulu ya,” Narti mendengar suara Amir yang pamit ke pasar. Narti hanya tak menjawabnya. Dia masih sibuk dengan pikirannya yang terus terpaut ke baju seragam pengajian yang tak mampu dibelinya.
Sehari-hari Amir berjualan tempe di pasar Kecombrang Jaya. Dia menjualkan tempe dari tetanganya yang biasa memproduksi tempe. Amir ke pasar menggunakan sepeda ontel yang dipasangi keranjang berisikan tempe yang akan dijual. Setiap hari Amir selalu melewati jalan kecil yang dijaga oleh Odang. Amir tak pernah absen untuk menyelipkan selembar uang dua ribuan ke tangan Opang. Amir merasa nggak enak kalau lewat jalan itu tak membayar uang “jaga”, walaupun Opang adalah tetangga sebelah rumahnya.
“Jalan, mir!” teriak Opang sambil mendorong sepeda Amir.
“Terima kasih, Bang Opang,” Amir menuntun sepedanya menuju pasar.
Opang terus jalannya motor yang lalu lalang. Sesekali Opang menghitung uang yang digenggamnya. Beberapa pedagang menukar uang recehan kepadanya. Hari itu motor yang melewati jalan kecil itu sangat banyak, melebihi jumlah yang biasa lewat setiap harinya. Opang bernyanyi riang karena uang yang dikumpulkannya sudah cukup untuk mengganti sepeda motor yang dipakai anaknya dengan yang baru.
*****
Sesampainya di pasar, Amir segera menggelar tempenya. Ia menjual tempenya seharga lima ribu rupiah dengan ukuran lumayan besar. Kalau ada pembeli yang meminta setengahnya, Amir akan memberi harga tiga ribu rupiah. Untuk satu papan tempe besar Amir akan mendapatkan untung sebesar seribu rupiah. Amir akan senang kalau orang membeli setengah papan tempe, karena uang yang dibawanya pulang akan lebih banyak. Amir akan membawa pulang ayam atau daging khusus buat Anto agar anaknya itu bisa makan enak. Kalau makanannya terpenuhi, maka Anto akan lebih semangat belajar di sekolah. Biasanya Amir hanya akan mengambil lauk dan tempe saja dan membiarkan Anto dan Narti makan lebih enak.
Sedikit demi sedikit uang diterimanya dari pelanggan. Tak lupa Amir memberi bonus kepada pelanggannya berupa potongan kecil tempe. Sampai ada seorang ibu dengan penampilan mentereng, memborong sisa tempenya.
Ibu itu menyerahkan dua lembar uang dua ratus ribuan setelah Amir menyerahkan bungkusan besar berisi potongan-potongan tempenya. Diserahkannya uang kembalian sebesar delapan puluh ribu rupiah dengan senyum lebar.
“Terima kasih banyak udah mborong, Bu,” Amir membungkuk di hadapan ibu tersebut. Tanpa senyum ibu itu berlalu dari hadapan Amir dengan menenteng bungkusan besar tempe.
“Alhamdulillah, aku bisa cepat pulang,” dengan wajah penuh senyum Amir mengambil sepedanya dan menuntunnya meninggalkan tempatnya berjualan.
“Mbak, minta daging seperempat kilo ya,” Amir berhenti sejenak di kios penjual daging sapi. Setelah mendapatkan daging sapi dalam bungkusan daun jati, Amir menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada penjual daging. PenjualPenjual daging memeriksa uang yang diberikan Amir.
“Aduh Bang Amir, ini uang palsu yang dikasih ke saya. Coba cek deh,”penjual daging menyerahkan kembali uangnya kepada Amir.
Amir melongo dan memeriksa uang itu. Ia teringat ibu-ibu yang tadi memborong tempenya. Amir merogoh saku celana dan mengeluarkan lembaran seratus ribu lainnya. Diserahkannya uang itu kepada penjual daging, untuk diperiksa.
“Ini juga palsu, Bang!” Lutut Amir lemas. Dua lembar uang palsu itu ada juga bagian dari hasil penjualan yang harus diberikannya kepada pembuat tempe.  Ia harus mengganti uang kepada juragannya itu. Bagaimana dia harus lapor kepada istrinya kalau uang belanja untuk hari-hari selanjutnya akan berkurang untuk menggantikan uang yang hilang.
“Ambil aja dulu dagingnya, bayarnya kapan-kapan saja,” ujar penjual daging ramah.
“Nggak usah, masih ada tempe di rumah. Saya nggak mau berhutang,  takut jadi beban.” Dengan gontai Amir mengayuh sepedanya menuju rumah.
*****
“Bang, gamisnya bisa dicicil lho….” Suara ceriwis Narti menyambut Amir didepan rumah. Amir tertunduk dan masuk rumah. Ia nggak tahu harus cerita dari mana kepada Narti.
Tak lama Anto muncul dengan selembar kertas dipegangnya.
“Pak, ini hasil UTS Anto. Nilainya baik semua,” suara Anto yang ceria membuat Amir terhibur. Senyum muncul di wajahnya yang lelah.
“Alhamdulillah, terima kasih nak,” Amir memeluk anaknya erat. Matanya berkaca-kaca menahan perasaan haru. Sejenak ia lupa akan kebingungannya.
“Mak, Bapak mau cerita…..,”
“#***@&**#,” Narti mengomel panjang lebar. Amir hanya terdiam menerima omelan istrinya.
Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Amir dan Narti keluar rumah. Ternyata suara keributan itu berasal dari rumah Opang yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah mereka.
Iyah menangis dengan histeris. Ia terduduk dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Bang, anak kita,” Iyah masih histeris. Opang masih bengong tak tahu apa yang sudah terjadi. Nafas Opang masih tersengal karena berlari dari pasar ke rumahnya setelah dikabari kalau istrinya menangis histeris.
Narti melongo dan mendengar bisik-bisik orang tentang Buluk.
“Si Buluk digebuki warga kampung sebelah, Mpok,” cerita Mpok Anah yang kebetulan lewat didepan rumahnya.
“Emangnya kenapa?” tanya Narti.
“Mau nyolong spion mobil warga kampung sebelah. Ketahuan ame warga langsung digebukin. Noh babak belur udah,” sambung Mpok Anah.
“Udeh ye Mpok, aye pengen liat kayak gimana kondisinya si Buluk,” Mpok Anah berlalu dari hadapan Narti.
“Bapak mau kemana?” Narti melihat Amir berjalan menuju rumah Opang.
“Bantuin Bang Opang bawa anaknya ke klinik, biar diobatin,” jawab Amir sambil terus berjalan.
Saat itu Narti baru sadar kalau ia adalah perempuan yang beruntung karena memiliki suami yang baik dan anak yang membanggakan dengan prestasi sekolahnya. Air mata mengalir di pipi Narti.

Pecahan-pecahan Kebaikan yang Tak Akan Terlupakan

"Fid... iso teko ngumpul-ngumpul ga bengi iki ?", begitu isi sms yang selalu datang beberapa hari setelah lebaran pertama. Tak ada tanda-tanda bosan mengirimkan sms seperti ini meski jawabanku tidak selalu bilang bisa. Pengirimnya bisa dipastikan bahwa teman alumni SMA-nya dan bahkan teman seangkatannya tak ada yang tak mengenalnya.
Acara kumpul-kumpul pra-reuni yang diperkirakan efektif mulai 2009 ini, seperti buah dari proses yang penuh dengan keringat dan usaha yang tak pernah mengenal lelah dan bosan.
Bagaikan mengumpulkan tulang-tulang berserakan, hanya yang bermental persaudaraan yang tinggi yang mampu melaksanakan, sementara media komunikasi belum secanggih seperti sekarang.
Tercatat, terbentuk group milist dengan kurang lebih 37 members (media komunikasi yang nge-hits waktu itu) pada April 2005, meski baru mulai rame postingan pada Januari 2006. Mungkin karena ada pilihan media komunikasi yang lebih menarik, denyut nadi 'kehidupan' terus mengalami penurunan sampai pada postingan terakhir pada April 2012.
Alhamdulillah, saya termasuk yang masuk dalam radar target misi yang tak terbantahkan kemuliaannya : menyambung silaturahim kembali.
Dari situ, beberapa kali ikut kumpul-kumpul super tipis di alun-alun dan di beberapa tempat lain yang nyaris tak terdokumentasikan. Tapi pahala untuk upaya ini insya Allah tidak akan terlewatkan sedikitpun.
Pemantik kecil yang tak pernah bosan, buahnya adalah bola salju yang tak berkesudahan putarannya. Semakin membesar, seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Djaliteng !

Iya, tidak salah lagi, Djaliteng tak mungkin bisa dipisahkan dari upaya-upaya ini, meski tentu bukan hanya dia yang ada dalam barisan ini. Kerja kerasnya selalu kita rasakan sepanjang tahun, sampai tiba kabar yang sayup-sayup seperti susah untuk dipercaya. Tapi keyakinan bahwa semua akan berhenti pada taqdir yang sudah ditentukan Allah SWT atas hamba-Nya, memastikan bahwa kabar itu memang benar adanya. Kabar yang mengagetkan itu tentu menghilangkan gelak tawa, tergantikan oleh kesedihan yang menyelimuti bermacam-macam perasaan.

Beruntung, punya kesempatan untuk mengantarkanmu diperistirahatan terakhir sahabatku. Pagi itu seperti ikut menyampaikan kesedihannya, prosesi yang sangat emosional itu diiringi oleh rintik-rintik hujan. Ini semakin menambah rasa kehilangan seorang sahabat yang tak pernah lelah dan bosan menyambung-nyambung tali saliturahim yang tercerai-berai.

Selamat jalan sahabat, seperti yang pernah aku ucapkan di hari ketentuanmu, dan kini aku ulangi lagi di sini, semoga selalu dalam naungan rahmat-Nya, mendapat balasan yang lebih baik dari kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan. Aamiin Ya Rabbal 'Alaamiin.

Semoga kita bisa melanjutkan upaya mulia ini : tetap bersemangat mengumpulkan, semakin mempererat tali silaturahim. Tentu ini tak mudah, karena kerikil-kerikil kecil akan selalu ada. Kedewasaan dan kerendahhatian membuat semuanya menjadi mudah insya Allah.


Cantik

Kalau aku perhatikan, iklan yang menawarkan berbagai produk kecantikan selalu menggambarkan bahwa cantik itu identik dengan kulit yang berwarna putih. Bertebaran iklan produk kecantikan yang menjanjikan para perempuan akan memiliki kulit putih hanya dengan memakai produknya. Bahkan ada iklan produk pelembab kulit yang membandingkan kulit wajah seseorang yang belum memakai produk dengan mengotori lengan sang model sehingga warna kulitnya menjadi gelap dan setelahnya menjadi putih merona. Akhirnya semua orang digiring untuk memiliki kulit yang putih. Coba deh pergi ke toko kosmetik, pasti produk yang ditawarkan selalu ada bahan untuk memutihkan kulit baik wajah maupun tubuh. Akhirnya banyak sekali produsen yang menawarkan krim pemutih kulit dengan instan.
Itu sudah terjadi dari jaman aku masih sekolah dulu. Diawali dengan  kemuculan sebuah produk kosmetik yang menjanjikan kulit perempuan menjadi putih hanya dalam hitungan seminggu. Remaja-remaja perempuan seusiaku berlomba-lomba membeli produk itu. Ternyata setelah ditunggu sampai seminggu kemudian, kulit tubuh dan wajah tidak berubah menjadi putih seperti model-model yang mempromosikan produk tersebut.
Sekarang pun, dengan menjamurnya apa-apa yang berbau Korea, banyak sekali perempuan yang berharap memiliki kulit yang putih mulus seperti artis-artis yang muncul di drama korea. Begitu juga dengan kosmetik yang berasal dari sana langsung menjadi serbuan para perempuan Indonesia (termasuk aku tentunya, hehehe). Bahkan karena banyak perempuan Indonesia yang mendambakan kulit yang putih dan bersih, banyak juga muncul produk pemutih kulit yang tidak melalui proses uji kandungan produk di BPOM. Sudah banyak cerita tentang perempuan yang wajahnya menjadi rusak karena penggunaan krim pemutih yang tidak sesuai standar dan tidak melalui uji klinis resmi.
Begitu juga dengan produk pelangsing tubuh, bertebaran di media baik televisi maupun di media sosial. Setiap hari ada saja yang menawarkan berbagai produk pelangsing yang dengan instan bisa mengubah tubuh yang tadinya besar menjadi langsing. Dimulai dari pil sampai susu. Akibatnya banyak sekali perempuan yang selalu berusaha untuk jadi langsing dalam sekejap, lupa bahwa tubuh juga perlu nutrisi lain selain makanan/minuman atau produk apapun yang mengklaim bisa memenuhi nutrisi seluruh tubuh dalam sehari.
Propaganda yang dilakukan produsen produk-produk di atas sepertinya berhasil membuat sebagian besar perempuan di Indonesia menganggap bahwa cantik itu harus putih, tinggi dan langsing. Selain itu ya masuk kategori biasa saja. Di Indonesia tak pernah ada iklan produk kecantikan yang melibatkan model yang berkulit “eksotis” atau model untuk orang dengan badan yang agak besar, kecuali si pemeran hanya untuk dijadikan olok-olok samata.
Hal seperti Itu juga dialami anakku Anin.  Kebetulan Anin dikaruniai kulit yang “eksotik” dari lahir. Menurutku itu bukanlah kekurangan yang harus diperbaiki atau ditutupi karena setiap orang membawa bentuknya masing-masing. Tak perlu juga harus terintimidasi oleh propaganda-propaganda tentang standar kecantikan. Cuma memang propaganda itu sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang umum di pikiran banyak orang. Pengalamanku, setiap orang yang melihat Anin, kulihat alisnya sedikit mengernyit. Selalu ada komunikasi yang tak pernah kusukai.
“Kok agak gosong, ya?”
“Ah, emang anak saya gorengan dibilang gosong?”
“Kok agak gelap?”
“Ah terang kok, kan lagi nggak mati lampu”
“Kok beda sama ibunya?
“Ya bedalah, dia pribadi yang beda kok.”
“Nanti juga kalo udah besar pasti bisa merawat diri jadi bersih.”
“Lha, sekarang aja saya rawat kok, dan Anin tetep bersih. Emang anak saya kotor?”
Banyak lagi percakapan model begitu yang kuterima. Aku selalu menjawab setiap komentar yang kuterima dari orang yang melihat Anin. Kupikir tak penting juga mengomentari tubuh orang yang merupakan pemberian dari Sang Maha Pencipta. Aku memang tidak menyukai percakapan yang menjurus ke body shaming, seakan semua kehidupan hanya bertumpu pada kemolekan fisik. Menurutku sih tak penting membahas warna kulit orang apalagi kalau dikatakan didepan orangnya.
Untunglah Anin nggak mengalami rasa rendah diri walaupun dari kecil ia sudah terbiasa mendengar orang berkomentar soal warna kulitnya. Aku terus menyemangatinya soal kecantikan bukan hanya dimiliki oleh orang yang berkulit terang saja. Tak perlu merasa malu karena itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dipikirkan. Lebih baik memfokuskan diri pada hal lain yang positif dan berguna. Bahkan menurutku kulitnya itu cenderung ke eksotis. Sampai sekarang sih, tak pernah tercetus sekalipun dari mulut Anin penyesalan memiliki kulit yang eksotis. Tak pernah juga ia berusaha mencari krim pemutih kulit untuk wajahnya. Itu saja cukup buatku.
Makanya, ayolah kita mulai kurangi mengomentari bentuk fisik orang lain. Tak baik juga. Janganlah bercakap, berbasa-basi atau bercanda yang berlebihan yang mengomentari Bayangkan kalau orang yang kita komentari tersinggung kan gawat juga apalagi sekarang udah ada aturan yang melarang body shaming.

Bertepuk Sebelah Tangan

Malam itu Santi mandi dan berdandan. Santi kangen kepada suaminya, Daniel. Sudah lama mereka tidak ngobrol panjang. Biasanya mereka berdua sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka bekerja pada siang hari. Bertemu di rumah ketika mentari sudah kembali ke peraduannya.
Setiap malam mereka disibukkan oleh dua anak lelakinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dua anaknya itu berebutan mencari perhatian Santi dan Daniel. Sampai kedua anaknya kelelahan bermain dengan ayah bundanya, energi Santi dan Daniel sudah terkuras habis.
“Mas,” Santi berbaring di samping suaminya.
“Hmm,” jawab Daniel sambil memegang ponselnya.
“Udah lama deh kita nggak nonton film berdua.”
“Iya,” singkat Daniel menjawab. Matanya terus menatap layar ponselnya. Sesekali senyum tersungging di bibirnya.
“Kita jadwalkan yuk.”
“Iya,” kembali Daniel tersenyum sendiri.
“Mas.”
“Iya.”
Iya apa?”
“Eh iya, aku ikut maunya kamu aja deh.”
Santi mulai kesal. Apalagi dilihatnya Daniel terus-terusan senyum sendiri sambil terus menatap layar ponsel.
“Mas dengar kan aku bicara apa?”
“Aku dengar, kamu pengen nonton. Ya udah nonton aja, ajak anak-anak.”
“Mas!” suara Santi mulai meninggi.
“Mas nggak merhatiin deh omongan aku,” sambung Santi menahan kesal.
“Aku denger kok, hahaha.”
“Apa yang lucu sih?”
“Eh enggak. Ini teman-temanku kok lucu banget sih. Ngirim-ngirim video-video lucu. Ada-ada aja mereka,” ujar Daniel sambil terus menulis pesan di keyboard ponselnya.
“Mas nggak dengerin aku ngomong. Konsentrasi mas ke grup medsos. Sampe lupa kalau ada aku disamping mas. Emangnya aku obat nyamuk,” Santi mengoceh kesal.
“Aku dengerin kok,” Daniel terus membaca dan mengetik pesan.
“Enggak!” Santi membalikkan badannya menahan emosi. Sekuat tenaga Santi menahan air matanya agar tak jatuh di pipi.
Santi merasa Daniel berubah sejak dia terhubung kembali dengan teman-teman sekolahnya dulu melalui grup medsos. Seringkali mereka memang duduk berdekatan tapi Daniel lebih banyak asyik sendiri ngobrol bersama teman-temannya di ponselnya.
“Sayang,” Daniel memeluk istrinya dari belakang.
Sekuat tenaga Santi menahan tangis. Santi mencoba memejamkan mata agar hatinya bisa tenang.
“Ya udah besok malam kita nonton yuk,” ujar Daniel sambil terus memeluk Santi.
Santi berbalik ke arah Daniel. Dilepaskannya pelukan Daniel. Ditatapnya Daniel dengan perasaan kesal.
“Peluk ada ponselnya. Jadiin istri kalau bisa,” Santi kembali membelakangi Daniel.
“Lho, kok nyuruh aku meluk ponsel, kan susah. Apalagi dijadiin istri, siapa yang masak buat aku,” Daniel mencoba mencandai Santi. Santi semakin cemberut mendengar canda suaminya.
“Udah nggak usah bercanda. Aku lagi males bercanda. Aku mau tidur, nggak usah deketin aku. Nanti aku mengganggu keceriaan kamu ngobrol sama teman-teman segrupmu,” ujar Santi ketus.
Daniel hanya bengong mendengar intonasi suara Santi yang terdengar beda sama biasanya.
“Maaf ya, aku nggak bermaksud mengabaikanmu. Kan nggak enak juga kalau aku nggak komentar kalau temen-temenku posting sesuatu,” ujar Daniel .
“Ya udah, teruskanlah apa maumu.”
Daniel nggak berani lagi mengusik Santi yang masih marah kepadanya. Daniel menyudahi percakapan bersama teman-temannya di grup medsos. Daniel membiarkan Santi tidur dengan perasaan marah. Daniel berencana membujuk Santi esok hari.
*****
“San, nonton yuk. Ada film bagus lho di bioskop. Pemainnya aktor kesayangan kamu tuh. Kayaknya seru.” Ajak Daniel kepada Santi yang sedang berbaring di tempat tidur sambil memegang ponselnya.
“Santi.”
Daniel kembali memanggil Santi. Rupanya Santi tidak mendengar panggilan Daniel. Telinganya ditutupi earphone.
“Ada apa, mas?” Santi melepaskan earphone dari telinganya.
“Nonton ke bioskop, yuk,” Daniel mengulangi ajakannya.
“Aduh, maaf mas. Aku nggak bisa. Lagi sibuk nih.”
“Lha kok bisa sibuk sih. Kan kamu lagi baringan aja.”
“Aku lagi sibuk nonton drama Korea nih. Lagi seru-serunya. Sayang kalau aku tinggal. Aku masih penasaran sama kelanjutannya,” Santi kembali memasangkan earphone ke telinganya.
Daniel hanya bisa menggaruk kepalanya dan berbaring di pojok tempat tidur. Daniel mengambil ponselnya. Terlihat pesan yang berjumlah ribuan sudah mampir di ponselnya. Dibukanya pesan-pesan itu satu per satu. Akhirnya Daniel dan Santi tenggelam dengan kesibukan di ponselnya masing-masing.
*****

Tije ...

Naik Tije Jakarta Bekasi baru tiga kali
Setelah tau jadi tidak apriori
Ternyata naik tije itu cukup penuh arti
Meski diri harus sabar mengantri

Suasana bis nyaman dan sepi
Meski di halte masih perlu antri
Rasanya ingin selalu berganti
Antara KRL dan bis tije masa kini

Selain murah dan nyaman
Tije juga cukup ramah bagi penyandang disabilitas
Meski jam sibuk tidak berdesakan
Pengguna tetap saling jaga moralitas

Jalurnya lancar tanpa hambatan
Penumpang bisa tidur dengan pulas
Meski masih macet sekitar BNN
Namun tenaga tidak akan terkuras deras

Tije Tosari-SMB, 2 Oktober 2018

Puisi ini dapat juga dilihat pada laman berikut : 
https://rulyardiansyah.blogspot.com/2019/01/tije.html

Lah …

Tak apalah …
Tak hadir dalam bincang dengan kang Abik
Tak bisa bersua langsung dengannya
Tak bisa menjiwai pengalamannya

Biarlah …
Acara berjalan seperti seharusnya
Semua sesuai dengan suratannya
Pun saya bisa membaca hasil karyanya meski tanpa tandatangannya

Kalaulah …
Jiwa-jiwa yang haus literasi itupun tetap semangat
Waktu akan mendewasakan semua
BnD akan tetap hidup meski tiada yang peduli

Akhirnya …
Saya pun tetap jauh dari kehadiran kang Abik
Terngingang puisi-puisi cintanya beliau
Tertegun untuk menjadi bagian dari kisah beliau 


Puisi ini dapat dilihat pada laman : 
https://rulyardiansyah.blogspot.com/2018/09/lah.html

Obrolan Pagi di KRL

Seperti biasa, awal hari di dalam sepekan, para pekerja, pelajar, pengusaha dan pengguna kereta commuter line (cl, dibaca : ce – el) selalu bergegas untuk naik cl yang sedang singgah di peron. Saat itu Senin pagi masih menunjukan pukul 05.45 WIB (Waktu Indonesia di Bekasi). Ada yang berlarian hingga saling bersenggolan dengan penumpang lain, ada juga yang masih berjalan santai karena ingin duduk di kereta dengan jadwal berikutnya. Saat itu ada 2 kereta yang parkir di peron dengan jadwal keberangkatan yang berbeda, kereta dengan jadwal berangkat jam 06.02 dan 06.30. Para pengguna kereta hari itu sangat antusias sekali dalam menyambut aktifitas yang akan dilakukan. Entah kebetulan, saya jadi ikut antusias menyambut hari saat itu. Dengan langkah tegap ala pasukan baris – berbaris, saya memantapkan langkah naik cl dengan jadwal 06.02 WIB.

Hari itu memang tidak seperti beberapa hari sebelumnya. Kereta yang biasa saya singgahi di gerbong ke-3 dari arah belakang tidak terlalu ramai, namun hari itu sangat padat hingga para pengguna pun saling bersentuhan satu dengan yang lain. Bahkan biasanya banyak pengguna dalam kondisi berdesakan masih bisa melihat gawai mereka, saat itu pun sangat sulit untuk meraih gawai itu. Makanya ada istilah ketika kereta api saat mudik lebaran itu belum berbenah, ada penumpang yang saling berhimpitan, berdesakan dan bergumul dengan penumpang lain. Namun saat itu, tidak separah saat kereta api saat mudik, namun suasananya hampir mirip dengan itu. Beberapa stasiun terlewati hingga dalam perjalanan ada obrolan yang cukup menggugah hati nurani saya hingga saya menuangkan sedikit kisah ini.

Obrolan ini dimulai dari seorang bapak, yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi kalau bicara soal mengajar dan pelajaran hidup, saya kalah jauh dengan bapak ini. Selain bapak itu, ada seorang anak muda, sambil memegang gawainya, meski kondisi di kereta berdesakan, anak muda itu masih lihai memainkan jari jemarinya untuk mencoba memaksimalkan fitur di handphone-nya. Anak muda ini pun ternyata sudah mengenal bapak tadi dan mulai lah obrolan ini terjadi.

“Bagaimana kabar bapak dik ?” tanya si bapak dengan ramahnya. Karena si bapak dengan bapaknya anak muda itu pernah satu tempat kerja.

“Baik pak. Bapak masih kerja dengan usahanya sendiri” jawab Anak Muda  sambil melihat gawainya yang sedang ramai perpesanan. 

Kereta di stasiun kranji dan obrolan masih berlanjut.

“Bapak mau kemana? bukannya bapak sudah pensiun?” Anak Muda  bertanya kembali.

“Iya benar dik. Saya sebenarnya sudah lama pensiun, sekitar 10 tahun lalu. Alhamdulillah saya masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk mengajar. Kebetulan hari ini saya harus mengajar di *** (salah satu sekolah kejuruan) sampai jam 11 siang. Setelah itu bapak kembali ke rumah bantu ibu berjualan di depan rumah. Alhamdulillah, selama seminggu, ada 3 kali jadwal mengajar dari tempat yang berbeda. Kalau soal uang dari mengajar jauh berbeda saat saya belum pensiun. Tetapi mengajar ini menstimulus otak agar tetap beraktifitas setelah pensiun. Makanya kalau kamu sudah selesai sekolah (saat itu, Anak Muda ini masih sekolah D3), kalau bisa lanjut lagi hingga sarjana, biar tidak seperti Bapak ini, yang hanya lulusan D3. Nanti kamu turun dimana dik ? tanya si Bapak kembali.

Kereta sudah menyentuh stasiun Klender Baru dan obrolan berlanjut dan masih banyak penumpang yang naik dari stasiun tersebut.

“Saya turun di stasiun Manggarai pak. Kalau Bapak turun dimana?”

“Saya turun di Jatinegara, setelah itu saya lanjut naik ojol (ojek online) ke kampus *** Kalau kamu sendiri mau kemana ?”

“Saya dari manggarai sambung kereta ke arah UI pak. Kalau menuju arah sana, penumpangnya relatif tidak ramai dan padat. Karena jadwal kuliah saya selalu berlawan dengan orang berangkat kerja. Tetapi kalau pulang kuliah, pasti padat saat ke arah Bekasi.

“Si abang masih kuliah ?”

“Sudah lulus pak, tapi gak mau kerja kantoran. Katanya mau punya usaha sendiri, gak enak kalau diperintah-perintah atasan. Kalau gak ada atasan, bisa bebas berkreasi dan beraktifitas. Padahal emak sudah menginginkan agar si abang kerja dulu. Jika sudah ada modal, baru silahkan buka usaha sendiri. Sifatnya mirip dengan bapak . Meski gak bekerja seperti orang kantoran, bapak  selalu berangkat pagi sebagai pemborong bangunan. Kadang juga mengerjakan pekerjaan listrik rumah dan orderannya lumayan banyak. Terkadang kalau pelanggan sudah kenal beliau soal kelistrikan, mereka tetap minta tolong dibantu meskipun hari libur. Untungnya, bapak  ringan tangan dan siap membantu ornag lain yang dalam keadaan sulit. Kerjaannya sampai sore hari, setelah itu disambung dengan buka konter (counter) hape sampai jam sepuluh malam. Setiap hari dan alhamdulillah, anak-anaknya masih bisa sekolah seperti saya meski masih D3.”

“Bapak berarti otaknya cerdas, apalagi ilmunya soal kelistrikan. Ilmu kelistrikan selalu berkembang terus. Kenapa gak coba melamar seperti Bapak agar bisa mengajar juga di bidang yang sama dengan saya?”

“Wah saya kurang tau pak…”

Kereta berhenti di stasiun Klender, tinggal satu stasiun lagi hingga Bapak itu turun di stasiun Jatinegara.

“Nak, pesan Bapak, jika sudah selesai kuliah ini, jangan lupa lanjutkan sekolah hingga sarjana. Karena kalau kau ambil seperti yang Bapak lakukan sekarang, gak banyak orang yang mau berkecimpung. Apalagi soal mesin disel kapal, gak banyak orang berminat. Mesin disel kapal dan kendaraan itu memang berbeda. Kalau mesin disel kendaraan itu hidupnya gak terlalu lama dan cenderung berada di jalanan yang rata. Kalau mesin disel kapal itu harus hidup minimal selama 18 jam dan berhadapan dengan air laut yang cenderung korosif. Dengan keilmuan yang Bapak miliki, banyak kampus yang ingin memakai jasa Bapak, meski sudah cukup tua dan gak oke lagi soal penampilan. Tetapi mereka menghargai pengetahuan yang Bapak miliki. Dan ilmu perkapalan ini, masih kurang peminatnya, makanya orang seperti Bapak yang dipakai terus jasanya. Jadi karena ilmunya kamu juga soal perkapalan meski D3, kalau bisa lanjutkan sampai lulus sarjana ya. Baik, salam untuk bapak ya, kalau bapak  ingin mengajar, hubungi saya ya. Stasiun Jatinegara sudah dekat dan sampai ketemu lagi ya. Assalamu’alaikum”

Tak berapa lama lagi, kereta cl sudah memasuki peron jalur dua stasiun Jatinegara. Banyak penumpang yang akan melanjutkan perjalanan. Ada yang keluar dari stasiun dan ada yang melanjutkan ke peron lima, naik cl tujuan stasiun Kampung Bandan melewati stasiun Duri, Tanah Abang, Manggarai dan menuju stasiun Bogor.

“Baik pak, salamnya nanti saya sampaikan ke bapak . Wa’alaikumussalam.” 

Sementara saya mencoba mengambil hikmah dari cerita tadi, namun kandas karena kereta tiba di stasiun Manggarai. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ce-el melanjutkan perjalanan, dan si Anak Muda sudah bergegas ke peron 5 menuju stasiun UI. Saya masih di dalam ce-el sambil menanti kereta singgah di stasiun Gondangdia. Setelah beberapa lama kereta tiba dan saya bergegas naik kopaja dan duduk sejenak setelah lama berdiri di ce-el. 



Kisah ini dapat di lihat pada laman berikut :