Arung Jeram (Mileak 2)


Pada
kelok,
arus deras
dan bebatuan-mu
Perahuku menyisir

Pada
hempas,
hanyut,
tenggelam olehmu
dadaku berdesir

selama kau biarkan,
rasanya aku akan kembali,
mengulang-ulang,

hingga kadang tak peduli,
Seperti apakah akhir menemu datang

(Pangalengan, April 2019)

"Touch Disease"


So my cellphone is "sick". 

Google calls it "touch disease". The risk factor is a thin and wide metal casing. The screen wont respond due to loosened grip on the casing; possibly because of falling on hard surfaces, physical stress on the body, being bent inside tight pockets, or expanded by heat and humidity. There are a number of cures available. The first and the simplest form is "physiotherapy": straighten the bent edges with hand palms. 

The second method is by opening the case, tightening loose ends using power glue, and firmly put the casing on again. The third way is tightening the screws on the edges, using pentalobe screwdriver 0.8 millimeter in diamater. The screws are located near the bottom, beside the lightning power cable jack. I have a pack of 31 small screwdrivers often used by my family to fix eye glasses, but none of them happens to be 0.8 pentalobe. I think I need to find one at ACE Hardware. However, the safest way is to bring the phone to official after sales service ... especially during the one-year guarantee period. 

Lesson from this event is that I see a complex system is more fragile than a simple system. Older version of cellphones are more durable than newer smartphones. Of course the numbers of things they can do is limited. Please expect no internet, no MMS, no QR codes, no PDF reader, no social media etc. However, rarely these "classic" phones complain nor demand attention. They just work and done. They are also famous with patience, which is indicated by battery life. 

On the other hand, newer versions of smartphones can do many things, and always upgrade their intelligence by updating operational systems. However, once you break their heart (or brain, or casing, or integrated circuit ... whichever suits your metaphor in this matter) they will stop working and leave you dumb and desperate. Don't believe me? Well you can try to leave your smartphones at home for a day just to see. 😋 Good luck.

Lauik Sati (Potongan Ke-2)

Astaghfirullah! Izzam! Aaah! Sial!
Tunggang langgang Izzam turun dari kasurnya. Mentari sudah sedari tadi meninggi. Memaksa masuk cahaya di celah-celah ventilasi. Digapainya handuk yang tergantung di jeruji. Terpeleset, untung tak jatuh. Lemari plastik yang bersebelahan dengan kamar mandi pasai diacaknya. Mencari sesuatu, dapat! Pukul8.50 pagi.
Buru-buru sekali Ia mandi. Mandi kerbau, begitu sebutan di Minangkabau untuk orang yang mandi asal-asalan. Pemuda 22 tahun itu keluar dari kamar mandi dengan nafas menderu. Digapainya telepon pintar di atas lemari. Mati. Sial! Ia lupa men-cas semalam. Cepat-cepat Ia beralih pada jam yang tadi sempat dikeluarkan. Pukul 8.55.
Aaaah!
Handuk biru yang biasa Ia pakai mandi dilemparkan begitu saja di atas galon. Dompet, name tag, kunci motor, dan kacamata sudah dalam genggamannya. Disambarnya helm KYT merah yang Ia beli sewaktu meninggalkan Jogja. Tas hitam lusuh yang menemani perjalanan kuliahnya 4 tahun lalu sudah di punggung. Sempat Ia bercermin, ternyata masih terdapat bekas sabun di kelopak telinganya.
“Bodoh amat!”, kesalnya.
Sekonyong-konyong Ia usapkan lengan baju ke telinga kanannya. Case closed. Tak lagi ada bekas sabun. Ia bergegas. Bersiap mengunci kamar. Sejurus kemudian baru menyadari, pantofelnya masih di lemari. Jam menunjukan pukul 8.57 pagi.
Ditungganginya Beat hitam keluaran 2010 menuju gerbang kos. Berbelok ke kiri, menyusuri jalan beton di sepanjang Kali Baru. Hiruk pikuk pedagang di Pasar Nangka sudah tak lagi asing di telinganya. Bemo dan becak bermotor memenuhi bahu jalan, menunggu kedatangan Ibu-Ibu dengan plastik belanja.
Jam menunjukan pukul 9.03, Izzam terhenti di seberang rel kereta Stasiun Kemayoran, menunggu palang rel diangkat. Sepertinya akan lama.Ditatapnya sekeliling. Satu persatu motor dan mobil berdatangan, ambil bagian dalam antrian. Sesekali terlihat pengendara nekat menerobos rel. Suatu fenomena yang tak lagi asing, bahkan lazim. Semua orang di kota ini selalu tergesa-gesa. Rasanya 24 jam sehari kurang bagi mereka.
Sirine di penyeberangan rel berhenti, tanda waktunya pengendara melintas. Klakson bersahut-sahutan. Parade yang begitu bising.
“Hey, palang nya baru saja diangkat, sabar!”, protesnya dalam hati.
Mentari mulai membakar. Tak terlihat satupun awan menggantung di atas sana. Polusi sudah sedari tadi pekat terasa. Debu, asap knalpot bus kopaja mengepul hitam, pengendara yang tidak sabaran. Yah begitu lah Ibu Kota, tempat Izzam akan mengabdikan diri untuk 30 tahun kedepan. Ia seberangi gundukan rel dengan hati-hati. Khawatir ban motornya bocor. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak tambalan di ban dalam motor Izzam. Entahlah, Ia pun bingung, padahal ban itu baru saja diganti.
Sesekali Izzam mengeluarkan smartphone yang dipasang power bank dari kantong jaketnya, memastikan jalur yang Ia lalui benar. Adanya larangan menggunakan GPS di jalanan baru-baru ini cukup menyulitkan Izzam selaku anak baru. Ia harus memastikan tidak ada polisi di bahu jalan. Akan sangat merepotkan jika harus berurusan dengan surat tilang.
Pernah suatu waktu Ia melihat polisi menilang bapak-bapak di pertigaan Jalan Wahidin. Tampak gurat khawatir di balik kaca helm si Bapak, menolak menerima kertas berwarna biru tersebut. Sejurus kemudian terlihat si Bapak menyodorkan selembar uang seratus ribuan kepada petugas. Namun ditolak. Mungkin karena polisinya memang berintegritas. Pikirnya.
Di lain waktu, Izzam tak sengaja menguping pembicaraan Ibu-Ibu di kantornya. Si Ibu bercerita baru saja Ia ditilang karena melawan arus jalan satu arah. Karena khawatir dipanggil ke pengadilan, Si Ibu menawarkan damai dengan petugas. Dua ratus ribu raib. Padahal jika ke pengadilan pun, dendanya paling tak sampai 50 ribu. Dulu. Tak tahu kalau sekarang.
Motor terus melaju, Izzam yakin Ia sudah berada di jalan yang benar, sebelum akhirnya tertegun. Diamatinya layar gawai pintarnya. Reroute. Benar, pemuda kelahiran Maret yang kini sedang berpacu dengan waktu untuk OJT pertamanya itu baru saja nyasar.
Izzam menepi, melihat sekeliling. Belokan yang harusnya Ia lalui sudah terlampau 15 meter. Haruskan Ia berbalik menghadang pengendara lain di jalan satu arah tersebut? Hatinya kalud dan mencoba menawar.
“Mungkin sesekali melanggar tidak masalah”, pikirnya.
“Jangan! Kalau bukan dirimu yang membuat orang celaka, maka orang yang akan membuat mu celaka, dua-duanya sama-sama rugi”, bantah hatinya.
“Tapi kamu udah telat Zam, lagi pula kelewatnya cuma 15 meter, siapapun akan mengerti, bahkan Ibu Menteri sekalipun”, tawarnya.
Dua puluh menit berlalu hingga akhirnya Ia kembali ke jalan yang seharusnya. Kesalahan 15 meter dibayar 20 menit jalan memutar. Ia menolak melawan arus jalan. Tentu saja, ASN macam apa yang membahayakan orang lain demi kepentingannya sendiri?
Panas kian terik. Bulir keringat satu per satu membasahi dahi dan punggung Izzam. Kacamatanya berembun karena hembusan nafas yang tertahan masker hijau diskonan yang Ia beli 2 hari lalu. Di kejauhan terlihat Gereja Katedral Jakarta di sebelah kanan pertigaan Lapangan Banteng. Berdiri anggun dengan 3 menara putihnya. Memikat setiap mata yang melewati. Satu dua lelaki berbadan besar terlihat berlari kecil mengelilingi lapangan. Mungkin mereka atltet? Entahlah. Bukan urusannya juga. Gumam Izzam sembari berlalu.
Gedung parkiran motor di samping Masjid Al Amin sudah penuh sesak. Laintai demi lantai dilalui, mencari celah. Kalau kata orang Minang, dilayangkan pandangan nan jauah, ditukiakan pandangan nan dakek. Sama sekali tidak ada celah, begitu rapat. Ia terus naik, naik, dan terus naik. Hingga akhirnya Ia temukan hamparan parkir yang cukup lengang. Ia berhenti di dekat tiang bangunan, bertuliskan “7F”.
Izzam berlari kecil. Matanya masih melotot pada layar hp nya. Wajar masih anak baru, bahkan untuk mencari gedung Sutikno Slamet saja masih harus bergantung pada GPS.
Pintu bergeser otomatis begitu Izzam melangkah memasuki gedung. Nafasnya tersengal. Diliriknya kiri dan kanan. Tampak bingung. Semua orang berpakaian sama seperti dirinya, hanya saja sebagian besar sudah tua.
“Apakah CPNS angkatan saya memang tua-tua seperti ini?”, tanyanya dalam hati.
Lift berbunyi. Perlahan pintu terbuka. Orang-orang bergantian keluar dan masuk box dengan kapasitas 15 orang tersebut. Satu per satu menekan lantai tujuan mereka. Tak terkecuali Izzam. Lantai 11. Susah payah Ia mengatur napasnya. Tisu yang Ia sediakan di kantong kemeja sudah habis digunakan untuk mengelap keringatnya. Lift kembali berbunyi, menunjukan angka 11.
Diketuknya pelan pintu ruangan utama di lantai tersebut, sambil mengintip di celah pintu. Tak kurang dari 15 orang sudah berada di ruangan sembari berdiskusi.
“Assalamualaikum, Maaf Pak, saya Izzam, CPNS S1, mohon izin bergabung”, pamitnya.
Izzam duduk di kursi yang masih tersisa. Diamatinya sekeliling. Melempar senyum. Bersalaman dengan teman-teman baru yang bisa digapai tangannya. Berbasa-basi. Sudah Pukul 9.35.
“Cukup buruk untuk hari pertama, Zam?”, tanya Mas Salim yang masih satu almamater dengannya.
“Yah begitulah Mas”, jawabnya sembari tersenyum.

Dukun Paling Sakti


“Muka lu kenapa ditekuk gitu?” tanya Baron kepada Acep ketika mereka makan berdua di kantin.
“Gue malu mau cerita,” walau Acep berbisik, Baron bisa mendengarnya karena suasana kantin saat itu sedang sepi.
“Ya udah, nggak usah cerita,” Baron melanjutkan makannya.
Sejenak hening. Tak ada percakapan antara keduanya. Baron dan Acep sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Baron makan dengan lahap sedangkan Acep asyik menyeruput kopi hitamnya.
Setelah menghabiskan makanannya Baron bangkit dari duduknya. Acep menuangkan kopi dari gelas belimbing ke piring kecil yang jadi alas gelasnya.
“Gue duluan ya, ada kerjaan yang harus selesai siang ini,” Baron pamit.
“Sebentar lah. Duduk dulu, ngapain juga buru-buru. Di ruangan juga masih sepi kok,” Acep menahan Baron.
“Ngapain juga gue lama-lama di kantin, kasian yang mau makan nggak kebagian kursi nanti.”
“Gue butuh temen buat cerita nih,” ujar Acep memaksa.
Terpaksa Baron duduk kembali di kursinya. Ia menunggu apa yang akan diceritakan Acep.
“Gini, ron….,”
Baron diam menunggu kelanjutan dari perkataan Acep.
“Eh……,” Acep menggaruk kepalanya.
“Hati-hati ketombe lu masuk ke gelas!”  setengah tertawa Baron mengingatkan.
“Gini, lu tau kan bini gue baru?”
Baron mengangguk. Terbayang muka Acep yang berseri-seri ketika beberapa minggu yang lalu ia dengan bangga memamerkan istrinya yang masih muda. Acep memang baru saja menikah setelah setahun ditinggal istrinya yang meninggal dunia.
“Harusnya nih awal-awal nikah gini gue lagi mesra-mesranya sama bini….,” Acep menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
“Tapi gue malah dapet siksaan..., semakin dalam Acep mengisap rokok.
“Emangnya lu dipukul? Wah gawat. Kayaknya lu harus mulai belajar silat buat nangkis pukulan bini lu. Cari guru deh,” dalam hati Baron tertawa terbahak-bahak melihat muka Acep yang semakin kusut.
Acep terdiam sejenak. Rokok pertama yang diisapnya sudah habis menyisakan puntungnya.
“Sialan!”
“Kenapa Cep?”
“ Gue ngisep puntung rokok…,” tak kuasa lagi menahan, Baron ngakak sejadi-jadinya. Air matanya sampai keluar.
“Lha gue yang sedih, kok lu yang nangis sih?”  tawa Baron semakin lebar. Beberapa pengunjung yang sudah mulai memenuhi kantin memandang ke arah Acep dan Baron dengan pandangan heran.
“Tiap hari bini gue marah-marah terus. Ngata-ngatain gue terus. Disentuh aja kagak mau. Kan ngenes nasib gue sebagai penganten baru,” Acep melanjutkan ceritanya.
“Hmmm….,” Baron menunggu kelanjutan kisah Acep yang unik.
“Akhirnya hari Sabtu kemarin gue  ke orang pinter…,”
“Hah, dibawa ke kampus?”
“Bukanlah, emang gue mau daftarin bini gue kuliah, apa?”
“Lha kan di kampus banyak orang pinter,” Baron menahan geli. Ternyata candaannya nggak sedikitpun merubah mimik muka Acep. Acep tetap serius dan menampakkan wajah muram.
“Gue bawa ke dukun di Cijengkol. Kata orang-orang, dia dukun terkenal. Jitu.”
*****
“Tolonglah Mbah, istri saya dikembalikan alam pikirnya,” Acep memohon kepada Mbah Marbun yang duduk bersila dan tak berhenti batuk-batuk kecil.
“Ehm…ehm…ehm…,”
“Lagi batuk Mbah?” takut-takut Acep bertanya.
“Sembarangan. Jangan ngomong macem-macem di sini, nanti kualat. Mana ada orang pinter se nusantara batuk, ehm…ehm…,” Acep memandang Mbah Marbun yang melotot dengan rasa takut. Matanya seakan hendak loncat keluar.
Penampakan Mbah Marbun memang tidak seperti “orang pintar” pada umumnya. Potongan rambutnya cepak dan kelimis. Rambutnya dicat warna warni mirip Atha Halilintar. Anting-anting menghiasi salah satu telinganya.
Pakaian yang dikenakannya mirip dengan pakaian yang biasa dikenakan boyband Korea yang digandrungi banyak ABG. Kaca mata hitam yang dikenakannya seringkali melorot karena hidungnya tak mampu menahan dengan baik kacamatanya. Dalam pandangan Acep apa yang dikenakan Mbah Marbun tak sesuai dengan warna kulitnya yang gelap.
Ruangan praktek Mbah Marbun cukup luas. Terasa sejuk dengan AC model terbaru. Tembok yang dicat warna ungu dan putih sangat kontras dan membuat ruangan itu cukup nyaman bagi pengunjung. Di tembok menempel poster boyband dan girlband dari Korea. Mbah Marbun ternyata penggemar Kpop juga.
“Istrimu punya pacar sebelum nikah sama kamu?” tanya Mbah Marbun diantara hingar bingar suara lagu Korea yang tak dipahami Acep.
“Iya Mbah. Namanya Joma. Sebelum menikah dengan saya mereka masih pacaran,” jawab Acep.
“Ehm…ehm…ehm….”
“Tuliskan nama dan tanggal, hari lahirmu juga istrimu di kertas ini!”
Acep menuruti perintah Mbah Marbun. Setelah menerima kertas yang ditulisi Acep, Mbah Marbun merendam kertas itu kedalam baskom yang berisi air. Mbah Marbun mengusapkan ke mukanya beberapa kali.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba bola mata Mbah Marbun menghilang dan menyisakan bagian mata berwarna putih. Acep kaget. Ia agak menjauh dari posisi duduknya.
Mbah Marbun berdiri. Tubuhnya mengikuti irama lagu yang tak berhenti mengalun.
     Sorry sorry sorry sorry
     Naega naega naega meonjeo
     Nege nege nege Ppajyeo
     ……..
Dengan lincah Mbah Marbun menari. Acep terbengong-bengong. Pikirannya melayang. Gerakan Mbah Marbun sangat akrab di mata dan mengingatkannya akan video yang sering ditonton istrinya.
Setelah kecapaian menari, Mbah Marbun menunjuk-nunjuk Acep.
“Gue benci sama lu. Pergi sana. Jangan deket-deket gue!” tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan suara perempuan menunjuk-nunjuk Acep. Orang itu yang dilihat Acep ketika   mendaftar di tempat praktek Mbah Marbun.
“Kau siapa? Pergi sana, jangan dekat-dekat dengan Popon!” balas Mbah Marbun.
“Gue nggak suka lu, nggak suka…,” Mbah Marbun membekap si petugas. Matanya diusap sampai orang itu lemas dan tertidur. Mbah Marbun membaringkan orang itu ke kasur yang ada di ruang prakteknya.
“Kamu jangan bengong dong. Bantu saya mindahin orang ini. Berat tau!” bergegas Acep membantu Mbah Marbun membaringkan orang itu.
“Nah, tadi jinnya udah kuusir. Masih ada satu jin lagi yang membayangi istrimu. Itu karena mantan pacarnya belum ikhlas melepaskan si Popon menikah dengan bandot tua kayak kamu.”
Acep nggak peduli lagi dengan perkataan dari Mbah Marbun. Yang penting istrinya mau dekat-dekat dengannya.
“Nih kasih air ini kepada istrimu. Sebulan lagi datang ke sini buat usir satu jin lagi ya!” Inget bayarnya transfer aja, seharga satu ekor kambing. Kambing jantan yang paling besar. Jangan kurang. Kamsahamnida!”
“Baik Mbah.”
Acep menerima segelas botol air berisi were wearing mawar berwarna merah muda. Acep keluar dari ruangan praktek Mbah Marbun. Dalam hati Acep menggerutu menghitung-hitung tabungannya yang akan berkurang banyak.
*****
“Nah gitu, ron. Gue masih harus balik lagi ke Mbah Marbun.”
“Ah ngapain bolak balik gitu, kan capek. Mending ke dukun lain aja. Gue punya dukun yang manjur buat ngobatin bini lu,” ujar Baron.
“Wah boleh juga sih. Kalo bisa berhasil kan gue bisa mesra-mesraan sama bini gue,” wajah Acep langsung berseri.
“Nanti bareng gue perginya. Sekalian bawa bini lu ya. Sekarang gue balik ke ruangan dulu ya, udah kelamaan nongkrong di kantin dengerin ocehan lu,” Baron pamit meninggalkan Acep yang penuh harapan istrinya bisa sembuh.
*****
“Lha emang ada dukun yang praktek di mall kayak gini?” tanya Acep sambil terus mengikuti langkah Baron.
“Ya ada dong, dukun gue,” Baron tersenyum lebar menjawab pertanyaan Acep.
Popon, istri Acep cemberut mengikuti langkah kaki kedua laki-laki itu. Ia berjalan agak jauh dari suaminya. Sesekali tangannya mengibaskan tangan Acep yang berusaha menggandengnya.
“Lu bawa kartu atm atau kartu kredit kan? Siapin duit banyak ya!”
“Gue udah bawa, ron “
“Nih tempat si dukun.”
Acep terhenyak melihat tempat yang ditunjukkan Baron. Tapi saat itu Acep melihat senyum istrinya mengembang untuk pertama kalinya.
“Bang, aku mau kalung yang bentuknya hati itu. Gelangnya juga bagus tuh. Sekalian cincinnya!” berbinar-binar mata Popon menunjuk perhiasan yang ada dibawah kaca etalase sebuah toko mas didalam mal itu.
Jantung Acep seakan berhenti berdegup menahan perasaan yang bergolak dalam batinnya.  . Jarinya mulai menghitung-hitung berapa lagi uang yang ada di rekeningnya akan terkuras.
“Sialan lu, ron!”
Acep melihat Baron sudah meninggalkannya berdua Popon sambil tertawa geli. Tangannya mengepal ke arah Baron yang terus menjauh.
“Makasih ya, Bang. Sekalian ke toko tas ya?” senyum lebar mengembang di wajah Popon. Tangannya yang sudah berhias cincin dan gelang menggandeng mesra Acep. Acep hanya bisa menghela nafas panjang membayangkan uang yang dikumpulkannya bertahun-tahun habis dalam sekejap.


Lauik Sati (Potongan ke-1)

Berkali-kali Izzam terbangun dan melirik Jam di telepon pintarnya. Setengah tiga dini hari. Tampaknya Ia tak sabar menunggu pagi. Ditegakkan punggungnya, kretak, kretak! Dilemparkan pandangan ke sisi ruangan, sendiri, gelap, dan sunyi.

“Tentu saja, siapa pula yang masih terjaga di pagi buta ini”, gumamnya.

Izzam turun dari kasurnya, menaikan tirai kelambu yang melindungi malam-malamnya dari nyamuk. Dua kali berselang infus karena demam berdarah membuatnya trauma dengan spesies kecil yang mematikan itu. Ia beranjak, menjauhkan lambungnya dari peraduan malam. Diraihnya kunci yang menggantung, memutar gagang pintu, sembari menggaruk-garuk leher, sekonyong-konyong menghirup rakus udara sepertiga malam.

“Udara pagi buta di Ibu kota ternyata tak buruk juga”, lirihnya.

Pemuda tanggung itu tersenyum, dari senyum menjadi sunggingan tawa, tanpa suara. Matanya tak lagi tertarik untuk terpejam, hatinya tidak karuan, tak sabaran menunggu pagi, membayangkan seperti apa hari pertamanya menjadi anak buah Sri Mulyani. Andai saja ada yang melihat, pasti mereka mengira penghuni kos baru itu punya masalah dengan kejiwaan.

Rembulan tepat bertengger di pucuk gedung hotel yang berada di seberang kos Izzam. Seakan-akan di sanalah ia akan terbenam, untuk berganti tugas dengan sang mentari. Sesekali bulan mengintip dibalik celah-celah daun pohon Mangga yang tumbuh subur di depan gerbang kos. Memendarkan cahaya, masuk menembus jendela kamar berukuran 3 x 3 itu, tanpa bias.

Begitu mempesona, hembusan angin pada dedaunan mangga membuat bulan malam itu seakan-akan berkata “hai tala”, sebuah rayuan maut yang diucapkan Zulaikha saat menggoda Yusuf. Hanya saja Izzam saat itu kalah dan tergoda, maka Ia putuskan untuk berjalan-jalan keliling komplek. Melihat seperti apa rupa kota dikala malam. Barangkali seperti kota mati?

Jaket Cardinal cokelat sudah dalam genggamannya. Celana pendek yang menemaninya tidur Ia lapis dua dengan celana training panjang slim fit. Sendal jepit swallow kesayangan sudah dalam posisi siap untuk digunakan tuannya. Bismillah, ia melangkah menyusuri gorong-gorong kecil di belakang kosannya.

Malam begitu sunyi, sesekali terdengar lolongan anjing bersahut-sahutan diujung komplek. Simpang siur terdengar nyanyian pemuda yang tengah asik memetik gitar di pos kambling. Jalanan yang dibasuh hujan semalam masih menyisakan aroma, bercampur aduk dengan bau got yang tidak terurus. Kadang kalau hujan deras, air kotor itu meluap dan sangat mengganggu kelancaran pejalan kaki.

Izzam beralih ke jalanan yang lebih besar. Lengang, hanya ada lampu-lampu jalan yang hampir sepertiganya mati. Ditatapnya langit, ternyata bulan mengikuti langkahnya. Ia tersenyum, ingatannya melesat jauh menuju Pulau Sumatera, menyusuri gugusan bukit barisan, berhenti di desa kecil di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi, tempat kelahirannya.

Gang demi gang Ia lalui. Sesekali angin bertiup, bermain manja dengan penutup kepala Izzam. Perempatan jalan di depan adalah belokan terakhirnya. Hilang-timbul suara orang mengaji di Masjid, pertanda waktu shubuh sudah dekat. Dirogohnya saku celana, mengeluarkan sebuah Alexandre Cristie hitam, pukul empat pagi.

“Balik bro, shubuh. Pagi ini OJT pertama, di Gedung Sutikno Slamet, lantai 11, jam 9 pagi”, batinnya tak sabaran.

Rejeki Takkan Tertukar


Pagi hari itu Pasar Kecombrang Jaya terlihat sangat sibuk. Pengunjung pasar yang kebanyakan ibu-ibu hilir mudik dari satu kios ke kios lainnya. Sedikitpun tak terganggu walaupun saat itu hujan mengguyur bumi. Suara  pedagang yang menjajakan jualannya bersahutan dengan suara kereta yang datang dan pergi dari stasiun Depok. Letak pasar memang bersebelahan dengan stasiun. Jadi suasana ramai sudah terasa sejak bumi masih diselimuti gelap.
Suara-suara itu ditimpali dengan teriakan seseorang yang memegang segepok uang di tangannya. Tangannya sigap mengatur lalu lintas motor yang lalu lalang melewati jalan setapak yang dijaganya. Antrian semakin semakin memanjang ketika matahari sedikit demi sedikit mulai muncul dari balik peraduannya. Rintik hujan mulai mengecil seiring terbitnya mentari pagi.
“Siapkan uangnya!” begitu Opang, nama sang penjaga jalan berteriak. Ia mengingatkan setiap pengemudi motor yang lewat di jalan itu untuk menyiapkan uang.
“Nggak bisa lewat tanpa uang masuk!” teriakannya berapi-api setiap ada pengendara motor yang tidak menyerahkan uang kepadanya.
Bisa dipastikan setiap pengendara motor yang melewati membayar uang kepada pengutip pungutan liar itu karena repot juga kalau tak memberi uang. Orang itu akan menghalangi motor yang masuk dan berteriak kepada pengendara motor yang enggan membayar. Ada kerepotan karena harus berdebat dengan si Opang, nama si pengutip liar.
Rata-rata uang yang dihasilkan Opang dari pungutan liar itu bisa mencapai satu juta rupiah per hari, bahkan kalau hari Sabtu dan Minggu seringkali pendapatannya berlipat ganda.  Orang yang lalu lalang melewati jalan setapak menuju pasar Kecombrang Jaya itu jumlahnya sangat banyak karena pasar Kecombrang Jaya  adalah pasar terbesar di kota Depok.  Biasanya Opang memungut uang dari pengendara motor yang lewat sebesar seribu rupiah. Banyak juga banyak yang memberinya dua ribu rupiah, bahkan kalau ada orang memberinya uang  lima ribu rupiah atau lebih, Opang tidak akan memberi kembalian karena Opang tidak mengenal pengembalian uang. Ia tak peduli kalau pengendara motor itu mengomel karena uangnya tidak dikembalikan.
Opang memiliki seorang anak buah yang akan bergantian dengannya menjaga jalan setapak itu agar tak direbut oleh orang lain, namanya Kadir. Banyak yang sudah mengincar tempat itu, menunggu saat-saat Opang atau Kadir lengah. Tempat itu memang “lahan basah” bagi orang-orang yang mencari makan dari sekitar pasar. Beberapa kali orang mencoba merebut daerah itu untuk dikuasai tapi selalu gagal karena Opang menjaga dengan ketat daerah kekuasaannya.
Opang tinggal di Kampung Dukuh Mentah bersama seorang istri dan seorang  anak laki-laki.  Anak Opang hanya bersekolah sampai SD saja karena Opang merasa nggak ada pentingnya sekolah, tokh nggak sekolahpun dia bisa menghasilkan uang banyak dan sanggup membeli rumah yang lumayan bagus. Opang juga bisa menghiasi tangan dan leher istrinya dengan perhiasan emas. Sejak kecil anaknya Opang sudah dibelikan motor .  Setiap hari Buluk, panggilannya wara wiri mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Opang dan istrinya selalu menghardik tetangga yang mengingatkan perilaku Buluk.Opang sangat menikmati hidupnya, kerja nggak mikir tapi uang selalu berdatangan.
*****
Narti ngambek kepada Amir, suaminya karena menurutnya tidak memperhatikan kebutuhan Narti.  Ia meminta kepada Amir untuk dibelikan baju gamis yang akan dipakainya di pengajian bulanan ibu-ibu di kampungnya.
“Bang, kan malu kalo saya nggak pake baju seragam. Tuh Mpok Iyah aja beli, padahal kan suaminya cuma jagain jalan di pasar aja. Belum lagi dia baru aja beli gelang emas,” Narti merajuk.
“Lha, kan uangnya buat beli buku  si Anto.  Biar dia semangat belajarnya. Bapak pengen dia bisa kuliah biar pinter,” jawab Amir.
“Nanti kalo Bapak dapat untung lebih, Insya Allah dibelikan baju, Mak,” Amir coba menenangkan istrinya.
“Janji mulu, nggak pernah dipenuhi!” Narti cemberut dan masuk ke kamar. Terbayang olehnya celotehan Iyah yang memamerkan gamis baru dan gelang emas yang berkilau. Belum lagi nanti bagaimana menjawab pertanyaan ibu-ibu anggota pengajian lainnya yang akan menganggapnya tak kompak karena tak memakai seragam pengajian. Amir hanya diam dan keluar rumah.
“Mak, saya ke pasar dulu ya,” Narti mendengar suara Amir yang pamit ke pasar. Narti hanya tak menjawabnya. Dia masih sibuk dengan pikirannya yang terus terpaut ke baju seragam pengajian yang tak mampu dibelinya.
Sehari-hari Amir berjualan tempe di pasar Kecombrang Jaya. Dia menjualkan tempe dari tetanganya yang biasa memproduksi tempe. Amir ke pasar menggunakan sepeda ontel yang dipasangi keranjang berisikan tempe yang akan dijual. Setiap hari Amir selalu melewati jalan kecil yang dijaga oleh Odang. Amir tak pernah absen untuk menyelipkan selembar uang dua ribuan ke tangan Opang. Amir merasa nggak enak kalau lewat jalan itu tak membayar uang “jaga”, walaupun Opang adalah tetangga sebelah rumahnya.
“Jalan, mir!” teriak Opang sambil mendorong sepeda Amir.
“Terima kasih, Bang Opang,” Amir menuntun sepedanya menuju pasar.
Opang terus jalannya motor yang lalu lalang. Sesekali Opang menghitung uang yang digenggamnya. Beberapa pedagang menukar uang recehan kepadanya. Hari itu motor yang melewati jalan kecil itu sangat banyak, melebihi jumlah yang biasa lewat setiap harinya. Opang bernyanyi riang karena uang yang dikumpulkannya sudah cukup untuk mengganti sepeda motor yang dipakai anaknya dengan yang baru.
*****
Sesampainya di pasar, Amir segera menggelar tempenya. Ia menjual tempenya seharga lima ribu rupiah dengan ukuran lumayan besar. Kalau ada pembeli yang meminta setengahnya, Amir akan memberi harga tiga ribu rupiah. Untuk satu papan tempe besar Amir akan mendapatkan untung sebesar seribu rupiah. Amir akan senang kalau orang membeli setengah papan tempe, karena uang yang dibawanya pulang akan lebih banyak. Amir akan membawa pulang ayam atau daging khusus buat Anto agar anaknya itu bisa makan enak. Kalau makanannya terpenuhi, maka Anto akan lebih semangat belajar di sekolah. Biasanya Amir hanya akan mengambil lauk dan tempe saja dan membiarkan Anto dan Narti makan lebih enak.
Sedikit demi sedikit uang diterimanya dari pelanggan. Tak lupa Amir memberi bonus kepada pelanggannya berupa potongan kecil tempe. Sampai ada seorang ibu dengan penampilan mentereng, memborong sisa tempenya.
Ibu itu menyerahkan dua lembar uang dua ratus ribuan setelah Amir menyerahkan bungkusan besar berisi potongan-potongan tempenya. Diserahkannya uang kembalian sebesar delapan puluh ribu rupiah dengan senyum lebar.
“Terima kasih banyak udah mborong, Bu,” Amir membungkuk di hadapan ibu tersebut. Tanpa senyum ibu itu berlalu dari hadapan Amir dengan menenteng bungkusan besar tempe.
“Alhamdulillah, aku bisa cepat pulang,” dengan wajah penuh senyum Amir mengambil sepedanya dan menuntunnya meninggalkan tempatnya berjualan.
“Mbak, minta daging seperempat kilo ya,” Amir berhenti sejenak di kios penjual daging sapi. Setelah mendapatkan daging sapi dalam bungkusan daun jati, Amir menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada penjual daging. PenjualPenjual daging memeriksa uang yang diberikan Amir.
“Aduh Bang Amir, ini uang palsu yang dikasih ke saya. Coba cek deh,”penjual daging menyerahkan kembali uangnya kepada Amir.
Amir melongo dan memeriksa uang itu. Ia teringat ibu-ibu yang tadi memborong tempenya. Amir merogoh saku celana dan mengeluarkan lembaran seratus ribu lainnya. Diserahkannya uang itu kepada penjual daging, untuk diperiksa.
“Ini juga palsu, Bang!” Lutut Amir lemas. Dua lembar uang palsu itu ada juga bagian dari hasil penjualan yang harus diberikannya kepada pembuat tempe.  Ia harus mengganti uang kepada juragannya itu. Bagaimana dia harus lapor kepada istrinya kalau uang belanja untuk hari-hari selanjutnya akan berkurang untuk menggantikan uang yang hilang.
“Ambil aja dulu dagingnya, bayarnya kapan-kapan saja,” ujar penjual daging ramah.
“Nggak usah, masih ada tempe di rumah. Saya nggak mau berhutang,  takut jadi beban.” Dengan gontai Amir mengayuh sepedanya menuju rumah.
*****
“Bang, gamisnya bisa dicicil lho….” Suara ceriwis Narti menyambut Amir didepan rumah. Amir tertunduk dan masuk rumah. Ia nggak tahu harus cerita dari mana kepada Narti.
Tak lama Anto muncul dengan selembar kertas dipegangnya.
“Pak, ini hasil UTS Anto. Nilainya baik semua,” suara Anto yang ceria membuat Amir terhibur. Senyum muncul di wajahnya yang lelah.
“Alhamdulillah, terima kasih nak,” Amir memeluk anaknya erat. Matanya berkaca-kaca menahan perasaan haru. Sejenak ia lupa akan kebingungannya.
“Mak, Bapak mau cerita…..,”
“#***@&**#,” Narti mengomel panjang lebar. Amir hanya terdiam menerima omelan istrinya.
Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Amir dan Narti keluar rumah. Ternyata suara keributan itu berasal dari rumah Opang yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah mereka.
Iyah menangis dengan histeris. Ia terduduk dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Bang, anak kita,” Iyah masih histeris. Opang masih bengong tak tahu apa yang sudah terjadi. Nafas Opang masih tersengal karena berlari dari pasar ke rumahnya setelah dikabari kalau istrinya menangis histeris.
Narti melongo dan mendengar bisik-bisik orang tentang Buluk.
“Si Buluk digebuki warga kampung sebelah, Mpok,” cerita Mpok Anah yang kebetulan lewat didepan rumahnya.
“Emangnya kenapa?” tanya Narti.
“Mau nyolong spion mobil warga kampung sebelah. Ketahuan ame warga langsung digebukin. Noh babak belur udah,” sambung Mpok Anah.
“Udeh ye Mpok, aye pengen liat kayak gimana kondisinya si Buluk,” Mpok Anah berlalu dari hadapan Narti.
“Bapak mau kemana?” Narti melihat Amir berjalan menuju rumah Opang.
“Bantuin Bang Opang bawa anaknya ke klinik, biar diobatin,” jawab Amir sambil terus berjalan.
Saat itu Narti baru sadar kalau ia adalah perempuan yang beruntung karena memiliki suami yang baik dan anak yang membanggakan dengan prestasi sekolahnya. Air mata mengalir di pipi Narti.