John Wick Parabellum: Ketika Assassin Berpencak Silat



Assassin. Beberapa orang memaknainya sebagai tentara bayaran. Orang lain memaknainya sebagai pengikut Bani Hassan (Hassassin). Ada juga yang berspekulasi mengartikannya sebagai penghirup hashish (hashishiyn). Ini juga harus dibedakan dengan istilah “shisha”, pipa uap air beraroma permen karet, stroberi dan lain-lain. Tapi entah kenapa istilah assassin lebih populer di dunia video game, contohnya Assassin Creed, dimana tokohnya adalah seorang pangeran dari Persia. Dan sebagainya, dan sebagainya, tergantung dari mana sumber referensi kita. Nah di sini kita akan membahas seorang mantan assassin (tokoh fiksi tentunya) yang diserbu koleganya sesama assasin dari penjuru dunia demi hadiah USD 14 juta dollar. Manusia malang ini bernama John Wick. 


Bercerita tentang film, sebenarnya saya ragu bila tulisan ini bisa menjadi review yang baik atau malah menjadi spoiler. Sebab, kalau hanya berkata bagus tanpa spesifik menunjukkan bagusnya di mana, lantas apa bedanya tulisan ini dengan jual kecap? Tapi dengan keuntungan US$140 juta dollar dalam kurun waktu seminggu saja, Parabellum dinobatkan sebagai “the best action film in the world”. Lokasinya juga mendunia: tersebar lintas benua, di desa dan di kota, panas terik gurun Sahara dan basah kuyup kehujanan di Pecinan, dari kelap-kelip metropolitan New York sampai kelap-kelip bintang di pelosok Afrika tanpa pasokan listrik. 


Dan di film box office ini, untuk pertama kalinya kita bisa melihat kebudayaan Indonesia mendapatkan tempat yang istimewa: yaitu di pertempuran (semi) final antara John Wick dan dua jagoan Indonesia memperagakan ketinggian ilmu pencak silat mereka (serius ... dua rius). Saking hebatnya aksi mereka, kita bisa melihat Keanu Reeves keteteran mengikuti kelihaian Cecep Rahman dan Yayan Ruhiyan berpencak silat.

Film ini bergelimang pertunjukan kemahiran bela diri, karena sebenarnya semua aktor di dalamnya memang ahli bela diri. Untuk yang tidak ahli, mereka berlatih bela diri minimal 8 jam setiap hari selama 6 bulan berturut-turut. Judo, jujitsu, kungfu, sampai pencak silat. Mereka bertempur dengan tangan kosong, pedang, kapak, pistol, gesper, buku, pensil, sampai karambit senjata asli ranah minang. Mereka naik motor, mobil, kuda, onta, atau menghilang dengan bantuan jin (jangan tanya kenapa). Mungkin saja saya salah tangkap, mengira jin padahal maksudnya ninja. 

Para assasin ini juga menyelam, menari balet, bergulat, membaca buku di perpustakaan, memasak sushi di kaki lima, menyeduh kopi arabika di padang pasir, dan berkomunikasi dengan bantuan telegram dan kiriman pesan burung merpati. 

Meski dengan segala keahlian tersebut--dan kontras dengan mitos Hollywood: Para jagoan di sini tidak kebal terhadap penderitaan. John Wick dan para pemburunya sama-sama terluka, kelelahan, patah hati, nyeri otot, sedih dan marah. 

Di sinilah letak keistimewaan film ini. Di satu sisi, narasinya memperlihatkan bahwa memang tidak ada yang mustahil di dunia ini. Apa saja mungkin terjadi. Namun, pada akhirnya semua perbuatan manusia mempunyai konsekuensi, yang cepat atau lambat akan terwujud sebagai ganjarannya. 

Nah, konsekuensi seperti apakah yang ingin kita wujudkan? 

Konsekuensi, selalu mengikuti setiap tindakan ... bagaikan Wick berpamitan kepada lawan silatnya, "Sampai Jumpa."

Mengapa Takut Kalah?

Kekalahan itu menyakitkan;
Kekalahan itu memalukan;
Kekalahan itu merugikan;
Kekalahan itu perih, pedih dan berdarah;

Ketika kalah, yang dibutuhkan bukan kata-kata penghibur, tepukan di pundak, pelukan hangat atau bentuk empati lain. Kekalahan hanya butuh satu hal: Kemenangan!.

Setiap orang pasti pernah merasakan kekalahan dalam hidupnya, atau bahkan ada yang merasa kalah seumur hidupnya?. Kekalahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, dan (seharusnya) tidak perlu ditakuti. Banyak kata bijak tentang kekalahan, tentang bagaimana menyikapi kekalahan. Betapa bijak ketika kita mampu berkata "kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda". Tapi betapa terasa tidak adilnya ketika penundaan itu terjadi pada diri kita. Kata-kata bijak pun tak terhitung tentang kemenangan, perjuangan mencapai kemenangan, menghargai kemenangan dan sebagainya. Tapi betapa tidak mudahnya mengusir jumawa ketika kemenangan itu ada dalam genggaman.

Mengapa takut pada keniscayaan?. Mengapa harus memburu kejumawaan?. Syahwat manusialah penyebabnya. Nafsu duniawi yang tak ada habisnya. Tidak ada manusia yang mau kalah, manusiawi. Kedewasaan tingkat 'dewa' lah yang membuat manusia mau dan mampu menerima kekalahan. Bertarung...kalah, bertarung lagi...kalah lagi...bangkit lagi, bertarung lagi...kalah lagi dan lagi. Pertarungan yang tak pernah usai, entah mencari kemenangan untuk kekalahan yang sama atau kemenangan lain sebagai pelipur lara atas kekalahan yang berbeda.

Kejumawaan akan membawamu lebih dekat ke neraka. Kemenangan demi kemenangan hanya menambah ketakutan akan kekalahan. Kekalahan yang pernah atau bahkan belum terbayang seperti apa. Kekalahan yang menguburkanmu dalam kejumawaan yang bahkan tak sempat kau sadari.

Selalu ada yang lebih baik dari diri kita. Di atas langit masih ada langit. Menyiapkan diri untuk menyambut kemenangan tidak semudah menyiapkan tampungan air mata kekalahan. Menundukkan kepala akan lebih mudah ketika kalah. 

Mengapa masih takut kalah? We never loose. Either We win or We learn.


Jakarta, 28052019
#magabut

CONGKAK

Bekal dijinjing masih cekak
Balapan kebaikan pun masih merangkak

Hadiah berlimpah dalam satu,
dari dua belas kotak
Tawarkan keuntungan berlipat menutup jarak

Duh, masih saja diam tak bergerak
Tetap sibuk merangkai jejak
Tak rela tinggalkan panggung sandiwara padahal sejenak

Berlimpah belum, terjamin pun tidak
Satu huruf berharga harta juga ditolak

Seribu bulan singgah tak mau dipijak
Tapi bergidik ingat neraka yang berkerak

Sudahkah kau suguhi teh, tamu agung itu, atau justru arak?
Tersadarlah dia akan segera beranjak
Jangan-jangan saat dia datang kelak,
Kita tak lagi diajak.

I FEEL PRETTIER THAN I USED TO BE




Beberapa tahun lalu, aku berada di gedung dengan make-up yang lumayan serius. Saat itu aku diwisuda. Setahun setelahnya, aku berada di Kebun Katala dengan make-up serius. Itu adalah hari pernikahanku. Since that, rasanya aku gak pernah make-up serius lagi. Make-up paling serius ya make-up yang nampak sederhana :D soalnya aku gak bisa dandan ga ngerti concealer, cara dandanin mata besar, dan lain-lain. Ya, make-up suka suka aku aja.


Hari-hari ini aku merasa lebih cantik. Padahal skill make-up paling cuma nambah 5 persen. Wakaka. Lalu, mengapa, aku bisa merasa berbeda? Apakah karena suami tiba-tiba memuji-muji ? Oh no. Dia bukan tipe penggombal atau tipe mesrais, jadi sebaiknya jangan terlalu banyak berharap. Hehe


OK, jadi gini.. (suara ala cute girl dikartun si nopal)

Setelah mengalami sesak napas yang panjaaang..... dan ragam rasa dan cerita baik di RS maupun di rumah selama cuti panjaaaang... aku merasa kembali hidup saat ini. Exactly i write what i mean. Berkali kali ngerasa ok, maybe this is the end of my life. So sekarang kaya ngerasa punya kehidupan baru, kesempatan kedua.


Aku merasa ini juga karena tensi yang udah bagusan. Apa hubungannya? Panjang banget kayaknya kalo dijelasin. Tapi intinya, mungkin karena i feel jauh lebih sehat dari masa-masa parah itu. Dan you know what.. dengan wasilah/jalan berobat di Prof Arif, kulit kaki aku kaya 95% sembuh!
I really feel good sebab aku udah coba macam-macam buat obatin tu kulit yang kaya gurun sahara, kering sampe ngelupas dan berdarah kalo lagi kering banget. Penampakannya pun gak banget dah. Aku pake beragam produk mahal dan murah gak mempan. Eh alhamdulillah skrg udah kaya sembuh gitu, gez. Padahal aku ga niatin sembuhin itunya. Alhamdulillah, ternyata itu hanya efek kurang sehatnya yang di dalam badan. Jadi once dia baikan, kulit aku tiba-tiba ikut sembuh. Seneng....^_^


Dan sbenernya, yang mungkin menyumbang terbesar atas feel lebih cantik adalah kondisi aku yang kayaknya terasa lebih sehat. Timbangan naik, pipi lebih chubby, badan lebih berisi, dan rasanya i feel better. Rona muka jadi terasa lebih cerah. Duh, pokoknya aku bahagia. Apalagi akhirnyaaa aku bisa beli bedak impian aku walaupun Cuma bedak tabur tapi lumayan lah harganya, hehe. Plus, dapet krim harga murah, dan gratisan bedak padet nu skin. Waaaw......alhamdulillaah.


Btw, walaupun tetap masih berobat karena belum sembuh bener, tapi yang ada ini perlu disyukuri dulu. Sebab siapa yang tidak bisa mensyukuri yang kecil, tidak bisa mensyukuri yang besar. Gitu katanyaa....


So, dengan make up skill yang naik 5%, kesehatan yang membaik, some new cosmetics (termasuk skincare) baru, aku merasa lebih cantik. Plus lagi, insyaAllah bacaanku lebih banyak,  mengalami lebih banyak hal juga dari aku yang dulu. Aku merasa lebih cantik. Karena cantik bukan hanya soal fisik, tapi cantik juga soal isi dalam hati dan kepala. MasyaAllah. Semoga aku makin hari makin cantik terus, tentu dibanding aku aku aku yang dulu.





THANOS DAN EGOIS-NYA AVENGERS

 -Mohon maaf bagi yang belum nonton Avengers: Endgame, tulisan berikut berpotensi spoiler -


Karena si sulung suka banget dengan film-film Marvel, terutama Avengers series, terpaksalah kami sekeluarga juga ikutan nonton. Alasannya sederhana, kalo kakaknya nonton, adiknya pasti pengen ikut nonton. Karena kakaknya belum berani nonton berdua doang dengan adiknya, terpaksalah papa- mama-nya ikutan juga. Akhirnya ya setiap kali ada film Marvel terbaru, kami berempat pasti nyempetin nonton :D


*

Awalnya gue pikir masing-masing judul film-film tersebut berdiri sendiri, tidak ada kaitannya satu sama lain. Baru ngeh setelah ngeliatin si sulung yang 'tertib' banget mengulang lagi nonton dari mulai Captain America: The First Avengers  sampai dengan Infinity War sebagai persiapan sebelum nonton Captain Marvel. Hal tersebut diulangi lagi sebelum nonton Avengers: Endgame. Setelah ngeh pun, sebenarnya gue gak juga ngerti-ngerti banget, maklum...tiap kali nonton pasti ada sesi dimana gue molor hehehe, jadinya pasti ada scene yang terlewat. 

*

Sebelum film Infinity War, gue masih bersimpati dengan Avengers dan para pahlawannya. Ibarat kata, kalo gak ada mereka cemanalah nasib kita-kita ini, yeekaaann. Mereka susah payah, abis-abisan mempertahankan bumi dari serangan makhluk-makhluk dari planet-planet lain. Pertempuran demi pertempuran yang dipicu oleh nafsu untuk menguasai infinity stones. Ya, infinity stones-lah yang menjadi pangkal mula semua ini. Enam batu dengan kekuatan luar biasa itu adalah space stone, mind stone, power stone, time stone, reality stone dan soul stone. Batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri sudah memiliki kekuatan super yang luar biasa. Tidak sembarang makhluk mampu menahan kekuatan batu-batu tersebut. Pun demikian, kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dengan menguasai batu-batu tersebut telah membuat orang (alien) berusaha mencari dan memiliki batu-batu tersebut. Planet manapun yang ditengarai menyimpan batu tersebut pasti akan dijadikan sasaran serangan kelompok-kelompok alien yang mengincar kekuatan batu tersebut sekaligus menggunakannya untuk melakukan invasi dan mengakuisisi planet-planet lain, termasuk planet bumi.

*

Sejarah panjang perebutan infinity stones tersebutlah yang menciptakan sosok baik-sosok jahat, pahlawan-penjahat, Avengers-musuh avengers. Menjadikannya sekuel tontonan sepanjang 3000 menit dengan satu kesimpulan: Avengers adalah kumpulan pahlawan super yang baik versus Thanos gila yang dengan jentikan jarinya telah menghilangkan separoh isi semesta.  Avengers dengan segala drama, intrik dan semua kemegahan tak berbatas biaya versus Thanos yang cuma bermodalkan baju zirah dan helm non SNI.

*

Setelah menonton infinity war gue melihat sosok Thanos dari sudut yang berbeda. Apa yang salah dari seorang Thanos? Ambisi-nya kah? Kehancuran yang ditimbulkannya? Niat jahat-nya kah?. Benar bahwa Thanos ingin menguasai infinity stones, tapi apakah dia ingin menjadi penguasa alam semesta? apakah dia ingin mengakuisisi semua planet yang ada?. Jawabannya jelas TIDAK. Thanos tahu persis kekuatan dari infinity stones. Thanos juga paham niat dari semua yang ingin memiliki infinity stones yaitu ingin menjadi yang terkuat dan melakukan invasi kemana-mana. Semua itu menurut Thanos adalah masalah yang tidak akan pernah berakhir. Si kuat akan menindas yang lemah, yang lemah akan berusaha menjadi kuat untuk membalas. Begitu yang akan terjadi terus menerus dan tiada akhir. Keseimbangan alam semesta terganggu karena keserakahan penghuninya. Yang berlebih tidak mau berbagi jika tidak disembah, sehingga satu-satunya cara adalah dengan memiliki infinity stones; untuk mengamankan diri dan rakyat masing-masing. 

*

Kemampuan Thanos memahami masalah ini lah yang berbeda dengan Avengers. Avengers berinvestasi tiada batas (entah uang dari mana), mengumpulkan para pahlawan super, menciptakan senjata super canggih, semua demi bertahan dari serangan-serangan makhluk angkasa luar pimpinan Thanos. Avengers hanya tahu bahwa ditangan Thanos, infinity stones akan digunakan untuk menghilangkan separoh alam semesta. Avengers tidak mau tahu mengapa Thanos sangat berkeras melakukan hal tersebut.

*

Di akhir film infinity war, terlihat Thanos duduk tenang menikmati keheningan alam yang tenang dan damai. Tidak terlihat kepongahannya karena telah mengalahkan Avengers sekaligus berhasil memiliki ke-6 infinity stones. Apakah lantas Thanos menjadi raja? Apakah lantas Thanos menjadi penguasa di bumi? Atau di planet lainnya?. Apa yang dilakukan Thanos setelah menguasai infinity stones terjawab di film Avengers: Endgame yang semakin menguatkan keyakinan gue menjadi 'Tim Thanos'. Di film tersebut terlihat Thanos tinggal sendiri di planet terpencil. Bercocok tanam, menikmati keseharian dengan alam yang tenang dimana air mengalir jernih dan burung-burung berkicau merdu. Thanos bahkan memasak sendiri layaknya mahasiswa tahun pertama yang sok-sok berhemat saat jauh dari orang tua. Thanos memang menjentikkan infinity stones yang mengakibatkan separoh alam semesta hilang menjadi debu. Setelah melakukan itu dia lalu menghancurkan infinity stones, dengan risiko sakit dan cacat, syukur-syukur dia masih tetap bernyawa. Dia tak ingin masalah yang sudah dia selesaikan akan muncul lagi dengan keberadaan infinity stones. 

*

Apa yang terjadi kemudian adalah egoisme Avengers, baper dan gak bisa move on. Hawkeye yang tidak terima kehilangan anak istrinya kemudian menjadikan kehilangan tersebut sebagai pembenaran untuk membunuhi orang-orang jahat. Yang lainnya depresi karena tidak bisa menerima kenyataan mereka tidak cukup kuat untuk menghentikan Thanos. Mereka pun mengerahkan segala daya upaya untuk membalas kekalahan tersebut. Thanos dicari dan dihabisi, tapi itupun tidak membuat mereka bahagia. Mereka lalu mencari cara untuk kembali ke masa lalu, mengumpulkan infinity stones dan mengembalikan orang-orang kesayangan mereka ke posisi semula. Tindakan yang akhirnya memicu pertarungan epic antara Thanos dengan Avengers. Thanos datang dengan kekesalan yang sangat karena kedamaian alam semesta terusik kembali. Thanos kesal karena dia tidak pernah mempunyai sentimen pribadi dengan musuh-musuhnya. Dia tidak memilih siapa-siapa yang akan dihilangkan, semuanya acak sesuai keinginan infinity stones.  Thanos pun murka dengan keegoisan Avengers, sehingga dia memutuskan untuk menghapus semua sekalian, supaya tindakan Avengers tidak terulang lagi. Pertempuran Epic terjadi, singkat cerita Thanos kalah, Tony Stark pun akhirnya tiada, menyusul Nathalie yang mengorbankan dirinya demi mendapatkan soul stone. Kebahagiaan telah menyelamatkan alam semesta ternoda akibat kehilangan tersebut. Sebuah keadilan yang dipaksakan untuk menutupi sifat egois mereka terhadap Thanos.

*

Sikap gue mendukung Thanos ini mendapat protes dari anak istri di rumah, tapi pendirian gue tetap: Thanos hanyalah korban egoisme Avengers. 

Jakarta, 14 Mei 2019


Arung Jeram (Mileak 2)


Pada
kelok,
arus deras
dan bebatuan-mu
Perahuku menyisir

Pada
hempas,
hanyut,
tenggelam olehmu
dadaku berdesir

selama kau biarkan,
rasanya aku akan kembali,
mengulang-ulang,

hingga kadang tak peduli,
Seperti apakah akhir menemu datang

(Pangalengan, April 2019)

"Touch Disease"


So my cellphone is "sick". 

Google calls it "touch disease". The risk factor is a thin and wide metal casing. The screen wont respond due to loosened grip on the casing; possibly because of falling on hard surfaces, physical stress on the body, being bent inside tight pockets, or expanded by heat and humidity. There are a number of cures available. The first and the simplest form is "physiotherapy": straighten the bent edges with hand palms. 

The second method is by opening the case, tightening loose ends using power glue, and firmly put the casing on again. The third way is tightening the screws on the edges, using pentalobe screwdriver 0.8 millimeter in diamater. The screws are located near the bottom, beside the lightning power cable jack. I have a pack of 31 small screwdrivers often used by my family to fix eye glasses, but none of them happens to be 0.8 pentalobe. I think I need to find one at ACE Hardware. However, the safest way is to bring the phone to official after sales service ... especially during the one-year guarantee period. 

Lesson from this event is that I see a complex system is more fragile than a simple system. Older version of cellphones are more durable than newer smartphones. Of course the numbers of things they can do is limited. Please expect no internet, no MMS, no QR codes, no PDF reader, no social media etc. However, rarely these "classic" phones complain nor demand attention. They just work and done. They are also famous with patience, which is indicated by battery life. 

On the other hand, newer versions of smartphones can do many things, and always upgrade their intelligence by updating operational systems. However, once you break their heart (or brain, or casing, or integrated circuit ... whichever suits your metaphor in this matter) they will stop working and leave you dumb and desperate. Don't believe me? Well you can try to leave your smartphones at home for a day just to see. 😋 Good luck.

Lauik Sati (Potongan Ke-2)

Astaghfirullah! Izzam! Aaah! Sial!
Tunggang langgang Izzam turun dari kasurnya. Mentari sudah sedari tadi meninggi. Memaksa masuk cahaya di celah-celah ventilasi. Digapainya handuk yang tergantung di jeruji. Terpeleset, untung tak jatuh. Lemari plastik yang bersebelahan dengan kamar mandi pasai diacaknya. Mencari sesuatu, dapat! Pukul8.50 pagi.
Buru-buru sekali Ia mandi. Mandi kerbau, begitu sebutan di Minangkabau untuk orang yang mandi asal-asalan. Pemuda 22 tahun itu keluar dari kamar mandi dengan nafas menderu. Digapainya telepon pintar di atas lemari. Mati. Sial! Ia lupa men-cas semalam. Cepat-cepat Ia beralih pada jam yang tadi sempat dikeluarkan. Pukul 8.55.
Aaaah!
Handuk biru yang biasa Ia pakai mandi dilemparkan begitu saja di atas galon. Dompet, name tag, kunci motor, dan kacamata sudah dalam genggamannya. Disambarnya helm KYT merah yang Ia beli sewaktu meninggalkan Jogja. Tas hitam lusuh yang menemani perjalanan kuliahnya 4 tahun lalu sudah di punggung. Sempat Ia bercermin, ternyata masih terdapat bekas sabun di kelopak telinganya.
“Bodoh amat!”, kesalnya.
Sekonyong-konyong Ia usapkan lengan baju ke telinga kanannya. Case closed. Tak lagi ada bekas sabun. Ia bergegas. Bersiap mengunci kamar. Sejurus kemudian baru menyadari, pantofelnya masih di lemari. Jam menunjukan pukul 8.57 pagi.
Ditungganginya Beat hitam keluaran 2010 menuju gerbang kos. Berbelok ke kiri, menyusuri jalan beton di sepanjang Kali Baru. Hiruk pikuk pedagang di Pasar Nangka sudah tak lagi asing di telinganya. Bemo dan becak bermotor memenuhi bahu jalan, menunggu kedatangan Ibu-Ibu dengan plastik belanja.
Jam menunjukan pukul 9.03, Izzam terhenti di seberang rel kereta Stasiun Kemayoran, menunggu palang rel diangkat. Sepertinya akan lama.Ditatapnya sekeliling. Satu persatu motor dan mobil berdatangan, ambil bagian dalam antrian. Sesekali terlihat pengendara nekat menerobos rel. Suatu fenomena yang tak lagi asing, bahkan lazim. Semua orang di kota ini selalu tergesa-gesa. Rasanya 24 jam sehari kurang bagi mereka.
Sirine di penyeberangan rel berhenti, tanda waktunya pengendara melintas. Klakson bersahut-sahutan. Parade yang begitu bising.
“Hey, palang nya baru saja diangkat, sabar!”, protesnya dalam hati.
Mentari mulai membakar. Tak terlihat satupun awan menggantung di atas sana. Polusi sudah sedari tadi pekat terasa. Debu, asap knalpot bus kopaja mengepul hitam, pengendara yang tidak sabaran. Yah begitu lah Ibu Kota, tempat Izzam akan mengabdikan diri untuk 30 tahun kedepan. Ia seberangi gundukan rel dengan hati-hati. Khawatir ban motornya bocor. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak tambalan di ban dalam motor Izzam. Entahlah, Ia pun bingung, padahal ban itu baru saja diganti.
Sesekali Izzam mengeluarkan smartphone yang dipasang power bank dari kantong jaketnya, memastikan jalur yang Ia lalui benar. Adanya larangan menggunakan GPS di jalanan baru-baru ini cukup menyulitkan Izzam selaku anak baru. Ia harus memastikan tidak ada polisi di bahu jalan. Akan sangat merepotkan jika harus berurusan dengan surat tilang.
Pernah suatu waktu Ia melihat polisi menilang bapak-bapak di pertigaan Jalan Wahidin. Tampak gurat khawatir di balik kaca helm si Bapak, menolak menerima kertas berwarna biru tersebut. Sejurus kemudian terlihat si Bapak menyodorkan selembar uang seratus ribuan kepada petugas. Namun ditolak. Mungkin karena polisinya memang berintegritas. Pikirnya.
Di lain waktu, Izzam tak sengaja menguping pembicaraan Ibu-Ibu di kantornya. Si Ibu bercerita baru saja Ia ditilang karena melawan arus jalan satu arah. Karena khawatir dipanggil ke pengadilan, Si Ibu menawarkan damai dengan petugas. Dua ratus ribu raib. Padahal jika ke pengadilan pun, dendanya paling tak sampai 50 ribu. Dulu. Tak tahu kalau sekarang.
Motor terus melaju, Izzam yakin Ia sudah berada di jalan yang benar, sebelum akhirnya tertegun. Diamatinya layar gawai pintarnya. Reroute. Benar, pemuda kelahiran Maret yang kini sedang berpacu dengan waktu untuk OJT pertamanya itu baru saja nyasar.
Izzam menepi, melihat sekeliling. Belokan yang harusnya Ia lalui sudah terlampau 15 meter. Haruskan Ia berbalik menghadang pengendara lain di jalan satu arah tersebut? Hatinya kalud dan mencoba menawar.
“Mungkin sesekali melanggar tidak masalah”, pikirnya.
“Jangan! Kalau bukan dirimu yang membuat orang celaka, maka orang yang akan membuat mu celaka, dua-duanya sama-sama rugi”, bantah hatinya.
“Tapi kamu udah telat Zam, lagi pula kelewatnya cuma 15 meter, siapapun akan mengerti, bahkan Ibu Menteri sekalipun”, tawarnya.
Dua puluh menit berlalu hingga akhirnya Ia kembali ke jalan yang seharusnya. Kesalahan 15 meter dibayar 20 menit jalan memutar. Ia menolak melawan arus jalan. Tentu saja, ASN macam apa yang membahayakan orang lain demi kepentingannya sendiri?
Panas kian terik. Bulir keringat satu per satu membasahi dahi dan punggung Izzam. Kacamatanya berembun karena hembusan nafas yang tertahan masker hijau diskonan yang Ia beli 2 hari lalu. Di kejauhan terlihat Gereja Katedral Jakarta di sebelah kanan pertigaan Lapangan Banteng. Berdiri anggun dengan 3 menara putihnya. Memikat setiap mata yang melewati. Satu dua lelaki berbadan besar terlihat berlari kecil mengelilingi lapangan. Mungkin mereka atltet? Entahlah. Bukan urusannya juga. Gumam Izzam sembari berlalu.
Gedung parkiran motor di samping Masjid Al Amin sudah penuh sesak. Laintai demi lantai dilalui, mencari celah. Kalau kata orang Minang, dilayangkan pandangan nan jauah, ditukiakan pandangan nan dakek. Sama sekali tidak ada celah, begitu rapat. Ia terus naik, naik, dan terus naik. Hingga akhirnya Ia temukan hamparan parkir yang cukup lengang. Ia berhenti di dekat tiang bangunan, bertuliskan “7F”.
Izzam berlari kecil. Matanya masih melotot pada layar hp nya. Wajar masih anak baru, bahkan untuk mencari gedung Sutikno Slamet saja masih harus bergantung pada GPS.
Pintu bergeser otomatis begitu Izzam melangkah memasuki gedung. Nafasnya tersengal. Diliriknya kiri dan kanan. Tampak bingung. Semua orang berpakaian sama seperti dirinya, hanya saja sebagian besar sudah tua.
“Apakah CPNS angkatan saya memang tua-tua seperti ini?”, tanyanya dalam hati.
Lift berbunyi. Perlahan pintu terbuka. Orang-orang bergantian keluar dan masuk box dengan kapasitas 15 orang tersebut. Satu per satu menekan lantai tujuan mereka. Tak terkecuali Izzam. Lantai 11. Susah payah Ia mengatur napasnya. Tisu yang Ia sediakan di kantong kemeja sudah habis digunakan untuk mengelap keringatnya. Lift kembali berbunyi, menunjukan angka 11.
Diketuknya pelan pintu ruangan utama di lantai tersebut, sambil mengintip di celah pintu. Tak kurang dari 15 orang sudah berada di ruangan sembari berdiskusi.
“Assalamualaikum, Maaf Pak, saya Izzam, CPNS S1, mohon izin bergabung”, pamitnya.
Izzam duduk di kursi yang masih tersisa. Diamatinya sekeliling. Melempar senyum. Bersalaman dengan teman-teman baru yang bisa digapai tangannya. Berbasa-basi. Sudah Pukul 9.35.
“Cukup buruk untuk hari pertama, Zam?”, tanya Mas Salim yang masih satu almamater dengannya.
“Yah begitulah Mas”, jawabnya sembari tersenyum.