Badarawuhi (2)

Di ujung lelah,
Di antara rebah
Penari itu,
Datang padaku
Dengan Pesona yang menjerat,

Bagai  kanak kanak, 
aku  menemu  riang
Dari bermain bayang bayang,
hadirnya yang ada dan tiada

Sesekali pernah ingin ujung jarinya ku sentuh ,
gemetarkan tubuhku seluruh,

tapi pelahan bayangnya luruh,
Hilang,
kian menjauh

Aku pun diam,
bersimpuh antara rela dan luka
Mengharap dia benar adanya
Menyadari dia benar tiadanya


---------Catatan KKN Bima------

Sutikno Slamet, jelang pulang 19 Sept 2019

Catatan
Lanjutan  setelah baca cerita Horrorumor KKN di Desa Penari

Demi Masa

Pukul 7.30

Adnan duduk menghadapi layar monitor di ruangan kerjanya. Pada waktu ini  seharusnya para stafnya yang berjumlah dua orang sudah duduk di kursinya masing-masing.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Adnan menjawab sapaan Tina, salah satu stafnya yang baru saja muncul di ruangan. Tinggal Ponco yang belum datang. Adnan sangat mengharapkan kehadiran Ponco karena ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan Ponco dan harus selesai besok.
“Kamu nggak bareng Ponco, Tin?”
“Nggak, pak. Paling dia lagi nongkrong di kantin. Ngopi,” jawab Tina.
Satu jam berlalu, Ponco belum juga menampakkan diri di hadapan Adnan. Adnan mulai was-was. Ia mengirimkan pesan kepada Ponco agar segera masuk ke ruangan. Sampai setengah jam berlalu tak ada jawaban dari Ponco.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Adnan dibuat khawatir oleh Ponco. Banyak sekali pekerjaan yang akhirnya harus diselesaikan oleh Adnan sendiri karena Ponco tak sanggup menyelesaikannya.

Pukul 9.30
Ponco muncul di ruangan  dengan muka yang datar seperti biasanya. Adnan menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri agar tidak emosional di hadapan Ponco. Dia tak ingin Tina menangis kalau melihatnya marah.
“Kamu nggak membaca pesanku ya?”
“Maaf pak, seru tadi bahasannya soal promosi staf jadi supervisor. Siapa tahu saya bisa masuk kriteria, hehe.”
Ingin sekali rasanya Adnan memukul kepala Ponco dan berkata,  “sadar diri kenapa, lebih sering malesnya daripada benernya,” tapi Adnan hanya bisa meringis ngilu-ngilu kesal mendengar omongan Ponco.
“Kerjaan kemarin mana? Besok due date lho. Kalo nggak selesai besok, tim kita bakal kena pengurangan poin dan itu akan mengakibatkan pengurangan bonus akhir tahun lho,” ujar Adnan sambil berdiri didepan meja Ponco.
“Sebentar, pak. Saya mau mandi dulu. Tadi abis olahraga,” Ponco mengambil tas ransel yang berada dibawah mejanya.
“Ya ampun, jadi dari pagi tadi belum mandi?” suara Adnan sudah mulai menaik. Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Ponco berlari keluar dari ruangannya. Adnan hanya bisa mengelus dadanya.
****

 Pukul 10.00
Ponco kembali ke ruangannya. Ia membuka layar komputernya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata istrinya menelpon. Ponco meninggalkan ruangannya dan menerima telpon di toilet.
“Kemana lagi si Ponco itu, Tin? Kerjaan dari kemarin nggak beres-beres.” Tanya Adnan dari tempat duduknya.
“Tadi ponselnya bunyi, pak. Terus dia nerima telponnya di luar. Rahasia kali, pak,” jawab Tina sambil terus mengetik dokumen.
“Ya Allah, salah apa saya selama ini hingga punya staf kayak begini?” Adnan berbicara dalam hatinya sambil garuk-garuk kepala.

Jangan  lupa selesaikan laporan penjualan besok ya Pak Adnan, biar bonus tim kita bisa naik, minimal nggak berkurang dari tahun lalu.
Adnan membaca yang pesan masuk dari Charles, kepala divisi yang merupakan atasan Adnan.

Baik, pak.
Adnan mengetik jawaban sambil terus memandangi meja Ponco yang masih kosong. Jarum jam terus melaju. Terasa sangat cepat bagi Adnan.

Pukul 10.30
Ponco masuk kembali ke ruangan. Adnan kembali menagih laporan yang harus diselesaikan Ponco.
“Tenang, bos pasti selesai kok. Sabar, ya. Orang sabar disayang Tuhan.”
“Cukup! Saya tak mau dengar lagi kamu bicara. Selesaikan laporannya!” suara Adnan mulai tinggi melihat Ponco begitu santai seakan tak ada deadline yang menunggu.

Pukul 11.00
“Pak, saya ijin makan dulu ya. Sebentar lagi kan jam istirahat. Abis itu saya mau sholat di mesjid.  Nah setelah itu saya selesaikan deh laporannya. Tenang aja sedikit lagi beres kok.”
Mata Adnan melotot melihat ketenangan Ponco. Rasanya tak yang lebih melelahkan di dunia ini selain berhubungan dengan Ponco.
“Bukannya tadi kamu menghabiskan waktu banyak di kantin? Masih belum cukup? Lagipula ini kan masih jam sebelas, waktu istirahat masih lama,” Adnan sudah lupa akan niatnya tak membuat Tina menangis. Emosinya meledak saat itu.
“Sabarlah, bos. Jangan juga bos menghalangi saya makan dan sholat. Kalau saya pingsan gimana? Trus kalo saya masuk neraka karena nggak sholat siapa yang dosa? Ya bos juga lah.”
“ Ya nggak gini juga, Ponco. Makan dan sholat itu ada waktunya.”
“Sudah ya bos, biar saya tenang ijinkan saya dulu. Kerjaan pasti kelar setelah ini.”
Tak menunggu Adnan bicara Ponco keluar ruangan meninggalkan Adnan yang semakin emosi.

Pukul 14.00
Ponco mulai mengerjakan laporannya. Adnan lega karena sesuai janjinya, Ponco akan menyelesaikan laporan sore ini. Tiba-tiba terdengar suara Ponco bicara sendiri.
“Rasain lu, pake rompi oranye. Koruptor gila nggak punya malu,  ngabisin uang rakyat.
Adnan bangkit dari kursinya dan menghampiri Ponco. Ia berdiri di belakang Ponco. Ternyata Ponco sedang menonton berita dari youtube.
“Laporanmu mana?”
“Ini juga penting, bos. Orang kok berani korupsi. Nggak takut apa anak bininya dikasih makan uang haram?”
“Lha, kalo kamu nggak kerja tapi digaji apa bukan korupsi juga?” tanya Adnan sebal.
“Beda dong, bos.”
“Sama aja! Kalo nggak bisa ngerjainnya sini biar saya yang ngerjain,” ujar Adnan.
“Nggak usah, saya aja. Dikit lagi kok,” jawab Ponco sambil nyengir.
“Mana wujudnya?”
“Sebentar,” Ponco mematikan youtube dan mulai mengetik kembali pekerjaannya.

Pukul 15.00
“Kok meja si Ponco kosong, Tin?”
“Katanya dia mau beli buku dulu buat anaknya, pak,”jawab Tina.
“Astaghfirullah, saya tinggal meeting sebentar saja si Ponco udah ngilang aja. Kepala saya langsung migren.”
Detik demi detik Adnan menatap jam di dinding. Ratusan pesan dia kirimkan  kepada Ponco tanpa ada jawaban. Sampai akhirnya hari telah gelap dan Ponco tak kembali ke kantor.

Keesokan harinya
“Halo. Ya Ponco? Udah selesai kan kerjaannya? Kirim ke saya sekarang ya.”
“Apa? Kamu nggak masuk? Hah? Nganter istri ke rumah mertua?”……dan ponsel Adnan pun jatuh dari genggamannya. Gelap terasa dunia…..

Awal tahun berikutnya
“Pak saya mau protes nih….”
“Ada apa?”
“Kok tahun ini saya nggak dapat bonus tahunan. Gimana dong saya udah janji mau beliin istri saya perhiasan.”
“Pikir aja sendiri, jangan tanya saya,” Adnan pun meninggalkan Ponco yang gundah.

Depok, 16 September 2019
*Tokoh dan kejadian hanyalah fiktif belaka



Tuan-tuan Yang Lupa,

Tuan, kalau kau lupa
Biar ku ingatkan lagi,
Kau duduk di sana
Sebagai wakil kami
Pembawa mandat yang kami titipkan
Melalu pemilu penuh legitimasi

Melaluimu,
Telah kami titipkan aspirasi dan mimpi,
Sebuah negeri bebas dari korupsi,
kejahatan serius 
Yang tak cukup ditangani
Oleh jaksa dan polisi

Bertahun  lalu
atas nama konstitusi,
Pendahulumu dan  pemimpin negeri berkongsi
Lembaga superbody dibidani
Diberikannya fasilitasnya  mumpuni,
sumberdaya yang mencukupi,
cegah, tangkal dan tindak prilaku korupsi

Aku  dan engkau sama sama menjadi saksi,
betapa kiprah lembaga itu   telah teruji,
dari ujung barat sampai timur negeri,
Ketua mahkamah konstitusi, anggota legislatif,
aparat pajak,  bupati, menteri dan polisi ,
Pelaku pelaku korupsi dilibas tanpa kenal jeri,

Lalu kemana akal sehatmu pergi?
Mengatas  namakan konstitusi,
Tetiba rancangan undang undang kau inisasi,
rumusan omong kosong,
tentang urgensi pengaturan kembali kewenangan,
yang tak lebih dari langkah kebiri,
penguatan  dengan lembaga pengawas,
yang tak lebih merecoki fungsi dan tugas,
limitasi sumber perekrutan penyidik,
 yang akan hadirkan  keraguan akan independensi

Apakah mungkin harimau di hutan sana ditakuti,
hanya karena suara auman yang lantang,
Sementara geliginya habis diprotoli

Wajarkah,
kalau kadang terlintas di pikir kami
Mungkin ada yang tersembunyi,
pat gulipat dan persekongolan di jalan sunyi,
yang satu memberi janji, yang satu bikin konsesi

Biar ku ingatkan lagi,
Umurmu kita mungkin tak panjang lagi,
Tak sampai seabad semua kita akan pergi,
Tapi yang kau tulis dan kerjakan akan jadi prasasti ,
Yang diingat, dicatat lintas dimensi

bisa jadi negeri ini punah karena pilar pilarnya digerogoti korupsi,
Lalu kau akan jawab apa,
ketika nanti anak cucu kita dan Sang Maha Abadi,
menanyaimu nanti?

Sutikno Slamet, 16 September 2019

Benih Kesombongan

Merasa lebih teliti
Dari orang di sekitarku
Benih kesombongan di dalam diri
Perlahan menyeruak dalam kalbu

Merasa di atas angin
Saat menemukan kesalahan orang lain
Rasa puas menyelinap perlahan
Aku lebih teliti darimu, bersahutan

Rasa sesal memenuhi relung kalbu
Masih banyak kotoran melekat di hatiku
Aku mohon cabutlah sifat burukku Tuhan
Agar kefitrahan kembali aku dapatkan

Benih kesombongan mencari celah untuk tumbuh kembang
Bentuknya bisa bermacam-macam
Tumpaslah sampai ke akarnya
Gantilah dengan benih ketawadhuan

Tawadhu mudah diucapkan,
Namun sulit dilakukan
Seratnya halus berlapis-lapis
Prosesnya terus hingga akhir nanti

Yogyakarta, 13 September 2019

Kebenaran Terungkap

Entah berapa lama tersimpan cerita kelamnya
Satu kisah dalam balut dua versi berbeda
Akhirnya dipilihnya jalan itu
Entah apa yang ada di benaknya saat itu

30 tahun berlalu tak terasa
Kebenaran terungkap tanpa rencana
Menjadi saksi dari kisah anak manusia
Semakin yakin suatu saat kebenaran mengemuka

Entah bagaimana kelanjutan ceritanya
Aku dihadirkan Tuhan untuk menjadi saksi
Atas peristiwa yang terjadi
Untuk kuambil hikmah dan pembelajarannya

Manusia, kadangkala lalai dan lupa
Disaat masalah mendera
Ada dua jalan tersedia
Kebenaran atau kesalahan, semua ada konsekwensinya

Semoga Tuhan memberi hidayah
Bertaubat di sisa umurnya
Menghapus kelam menjadi putih
Agar hati tak terasa perih

Apakah aku berkesempatan?
Mengingatkannya sebagai teman
Biarkan Tuhan persiapkan jalan
Biarkan Tuhan persiapkan bimbingan

Yogyakarta, 13 September 2019

I love You, Emak!


Pemandangan apa yang membuatku terpana selain indahnya senja sore ini?
Adalah buaian seorang bunda kepada putera tercinta yang dipangkunya sambil mengerjap-ngerjap mata disalah satu sudut kereta

Pikiranku melompat sempurna ke sekian tahun sebelumnya
Menaiki kereta penuh sesak manusia yang beraneka aroma
Masih tercium olehku bau keringat bercampur dengan asap hasil gesekan roda kereta dengan rel baja tua
Belum lagi aroma tak sedap dari toilet usang yang ditinggalkan penumpang selepas membuang kotorannya.

Pagi itu, dari stasiun kebayoran, kereta yang kami tumpangi melesat menuju stasiun merak, berhenti dekat dengan pelabuhan
Pelabuhan Merak, namanya
Sepanjang perjalanan, tak jarang aku merengek  sekedar untuk mendapat buaian
Atau sekedar meminta jajanan dari para pedagang asongan yang lalulalang

Aku tahu emak tidak keberatan
Mendudukanku dalam pangkuan, meski ia sendiri harus menahan beban
Berat badanku yang saat itu menginjak usia delapan atau sembilan

Ah...andai diri ini dapat membalas kebaikan emak
Tentu tidak akan sebanding dengan seluruh pengorbanannya
Emak yang mengasuhku dengan penuh kasih sayang
Hingga kini sedikitpun tak berkurang

Emak, maafkan anakmu yang teramat jarang singgah dan kurang memberi perhatian
Sekedar untuk menanyakan kabar
Atau membawakan makanan kesukaan
Doaku untukmu l, Mak!
I love you, Emak!


GNWN / 05082019

KRI Bima Suci dan Prajurit Sejati


KRI Bima Suci & Prajurit Sejati

KRI Bima Suci
Membawa para prajurit sejati
Mengarungi lautan menuju sembilan negeri
Menerjang ombak menciptakan buih yang terangkai

Rupamu sungguh rupawan
Kapal layar menjadi kebanggaan
Hembusan angin menjadi kekuatan
Kegagahanmu meninggalkan kesan

Selamat berlayar prajurit sejati
Dipundakmu tersemat nama harum negeri
Berlayarlah ke segala penjuru Bumi
Kembalimu kan selalu dinanti

GNWN / 06082019

Ingat Kesehatanmu, Dik

Ingat kesehatanmu dik, 
Kalau bukan kau sendiri 
siapa lagi yang peduli 

Meski kau muara dari disposisi, 
pembaca terakhir mantra sakti "pendapat dan teliti" 
Jangan geer kalau kau cukup berarti, 
Sehingga memastikanmu sehat 
jadi urusan pabrik ini 

Nilai dirimu bagi pabrik ini, 
Dapat kau lihat dari 
bagaimana perlakuan para direksi 
Kalau pemeriksaan kesehatan cuma cuma, 
hanya untuk mereka, 
Maka mungkin berarti kau tak cukup berharga,

Kau mungkin hanya remah rengginang,  
yang takkan membuat pabrik ini menjadi kaya atau sebaliknya, kehadiranmu tak pernah dianggap menggenapi, 
hilangmu takkan terasa mengurangi, 
datang atau pergi hanya berarti untuk recehan yang masuk ke kantongmu sendiri,
orang sepertimu akan mudah terganti 

Ingat kesehatanmu dik,
Kalau bukan kau sendiri 
siapa lagi yang peduli 

Kesehatanmu hanya dijamin asuransi 
Yang dipakai seluruh penjuru negeri, 
Gratis memang, 
tapi untuk bertemu dokter mungkin kau perlu antri, 
sistem kadang tak peduli 
apakah kau datang untuk urusan jantung, 
ginjal, difteri atau sakit gigi 

Ingat kesehatanmu dik, 
Kalau bukan kau sendiri
siapa lagi yang peduli 

Kalau kau sakit sehari, dua hari, 
dering gawaimu masih akan sibuk menerima basa basi, 
teman temanmu mungkin masih memgirimimu sedikit materi ungkapan simpati 
Tapi saat telah puluhan hari,
kau bergelut dalam rasa nyeri, 
Kau hanya akan punya sedikit sahabat bersimpati, 
atasan yang mengerti, 
kebijakan pabrik yang peduli 
selebihnya kau akan jalani dalam rawatan anak dan istri, 
lihat namamu sudah mulai di lupakan dari 
daftar penghuni kubikel mini, 
bahkan ketika kau belum lagi mati 

Ingat kesehatanmu,dik 
Kalau bukan kau sendiri, 
siapa lagi yang peduli 

Sutikno Slamet, Sept 2019