Pantun pembuka


Penumpang berjejal naik semua,
Menuju  bintaro lewati maja
Salam kenal adik semua
Saya hartanto dari dja

Berkali kali  terasa mual
Ketiak dari pasar ketemu muka
14 kali menurut jadwal,
Hendak Belajar ilmu pbk

Tak pernah sempat kami terlelap
Berdiri rapat tak bisa kemana
Dari awal saya berharap,
Ilmu manfaat, nilainya A

Pintu terbuka segera turun,
Didesak penumpang dari belakang
Temu pembuka saya berpantun
Benak senang tak jadi tegang

Cerita ini tak terelakan,
Jamak di temu lintas stasiun
Adik disini saya silakan
Siapa mau berbalas pantun


Bintaro, 5 oktober 2019
(Pantun di pembuka perkuliahan semester ganjil 19/20)

Perjalanan adalah Tujuan


Catatan Perjalanan Menuju Jamselinas Palembang

Bulan September adalah bulannya Jambore Sepeda Lipat Nasional atau dikenal sebagai Jamselinas. Tahun 2019 adalah Jamselinas ke-9. Ide gowes menuju Jamselinas 9 awalnya dimulai oleh Om Diki Rahman sang kompor api biru dari Cilegon. "Ayolah Om In, sekalian pulang kampung," ajaknya saat itu. Saya sih iya-iyain aja, secara sudah terbayang betapa jauhnya jarak Lampung ke Palembang. Makin mendekati hari H, om Diki pun mulai aktif japri-japri rute dan ‘teaser’ penggoda 😃. Iman saya pun mulai goyah, apalagi ada pilihan start dari Tanjung Karang. Istri mulai dilobi agar visa gowes keluar. "Malu lah Mi, masak wong Palembang gak hadir acara di Palembang," begitu alasan saya waktu mohon ijin gowes Jamselinas 9 ini. Singkat cerita, ijin pun diberikan. Peserta yang awalnya saya sendiri yang berencana ‘nebeng’ rombongan SCAM om Diki akhirnya bertambah. Para senior turing ID Dahon yaitu Mang Dewa, Koh Handoko Candra, dan Makcan Lily menunjukkan militansinya, harus gowes dari Jakarta. “Nanggung amat!” ujar Mang Dewa. “Yo wis,” akhirnya saya pastikan total 10 orang peserta dimana 3 goweser akan start dari Jakarta dan 7 goweser dari Bakauheni.

Etape 1 (Jakarta-Merak) dimulai Senin 9-9-2019: Pukul 6.30 pagi rombongan Mang Dewa, Koh Handoko, dan Makcan mulai bergerak mengayuh pedal dari kantor Blibli.com selaku sponsor acara gowes Jakarta-Palembang. Target perjalanan gowes hari pertama adalah sejauh kurang lebih 147 km sampai Merak, menyebrang Selat Sunda, lalu mencari penginapan di Bakauheni untuk kemudian bergabung dengan 7 goweser lainnya. Kami pun memantau perjalananan 3 turinger militan melalui komunikasi di grup WA. Etape 1 ini benar-benar menjadi ujian kebulatan tekad untuk Mang Dewa, Koh Handoko dan Makcan Lily. Cuaca panas, jalanan yang padat kendaraan ditambah musibah pecah ban-pun dialami mereka secara bergantian. Bahkan Makcan harus mengganti ban luar karena ban yang lama sudah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya, jadwal molor, waktu digunakan untuk beristirahat. Tim Jakarta baru tiba di Merak nyaris bersamaan dengan Bis Damri yang saya tumpangi dari Bekasi. Bis Damri menyeberang ke Bakauheni, saya tersadar terlanjur sendirian di ujung Pulau Sumatera. Tim Cilegon yang menunggu Tim Jakarta di Merak akhirnya juga memutuskan untuk menginap di Merak dan baru menyeberang keesokan harinya.

Etape 2, (Bakauheni - Tanjung Karang) Selasa 10-9-2019: . Akibat terlanjur menyeberang sendiri, saya akhirnya ‘berpetualang’ di Bakauheni. Tiba pukul 2.30 dini hari, tidak membuat saya jeri. Bakauheni sekarang sudah berbeda 180 derajat dari Bakauheni puluhan tahun yang lalu. Saya pun akhirnya berpindah-pindah tempat tongkrongan; mulai ibu-ibu penjual popmie pinggir jalan, pos satpam, warung nasi padang sampai akhirnya tertidur di terminal eksekutif. Cukup lama saya berkelana sendiri di pelabuhan, sampai akhirnya total 9 goweser menginjakkan kaki di Bakauheni pukul 9.30 pagi. Setelah bertukar kangen dengan Om Diki dan Makcan selesai, kami-pun mulai mempersiapkan diri dan mulai gowes dari pelabuhan ke arah Tanjung Karang berjarak 89km. Keluar dari pelabuhan kami langsung dihadang oleh tanjakan tinggi. "Tenang aja" kata Om Diki menghibur Makcan. "Tanjakannya cuma ini kok yang tinggi, nanti ada lagi menjelang Kalianda tapi Cuma kayak flyover." Matahari benar-benar obral siang itu. "Empat puluh satu derajat Mak!" konfirmasi Om Prayuda Agniyana saat Makcan bertanya suhu saat itu. Kami pun memutuskan untuk ishoma di sebuah warung makan di desa Sukamaju. Menu ikan goreng, sayur asem plus telor asin pun tandas kami santap. "Telor asin ini enak," kata Makcan. "Bermanfaat sebagai sumber garam agar tidak kram," lanjutnya lagi. Selepas ishoma, ‘drama’ pun terjadi. Kondisi jalanan yang rolling membuat kami ‘khilaf’. Kami bagai anak-anak PAUD bertemu perosotan. Belum lagi "gowes nebeng angin truk" ala om Yudha dan Kang Agus 'ajay' Jayadi di belakang pantat-pantat truk lintas Sumatera. Saya pun terbawa ugal-ugalan. Sampai menjelang turunan panjang menuju Tarahan, saya sadar bahwa Makcan Lily tertinggal di belakang. Kang Darsono Eno yang biasanya mengawal Makcan pun ternyata ikut balap liar. Benar saja, Makcan marah besar. "Kalian ini turing kok kayak ngejar COT sih!?" teriaknya. Sebagai satu-satunya perempuan di tim gowes, wajar kalau Makcan marah. Setelah kejadian itu, kami pun tersadar dan mulai menjaga pace agar rombongan tidak terpecah. Menjelang waktu maghrib, kami tiba di perbatasan Kota Bandar Lampung. Semangat kami mengayuh ke arah penginapan di tengah kota untuk beristirahat dan menyiapkan diri di Etape-3 esok hari.
Etape 3: (Tanjung Karang-Menggala) Rabu, 11-09-2019: Kami tidak memulai awal, rencana start jam 7.30 pagi mundur. Ternyata beberapa anggota rombongan masih harus sarapan dan mengisi angin ban sepeda masing-maisng. Jalanan kota Tanjung Karang mulai ramai dengan aktivitas warga. Kami gowes beriringan menuju ke arah Menggala melalui jalur lintas timur, rencana menempuh jarak 115 km. Jalur lintas timur ke arah Menggala relatif datar sehingga kami dapat melaju dengan cukup kencang di rute ini. Satu-satunya kendala adalah cuaca panas sepanjang perjalanan tanpa payung awan. Saat ishoma, kami optimalkan untuk mendinginkan suhu tubuh dan memejamkan mata sejenak. “Lumayan untuk modal melanjutkan perjalanan,” usul saya ke tim. Kami juga mulai mencari informasi lebih lengkap mengenai daerah yang akan kami lalui, mengingat daerah Menggala cukup rawan terutama jika sudah masuk gelap. Rasa lelah yang mulai melanda terbayar dengan keramahan warga yang menyemangati kami di sepanjang jalur gowes. Bahkan Kang Eno berhasil mendapatkan satu termos air panas dari rumah warga untuk menyeduh kopi saat mata kami mulai kiyip-kiyip membutuhkan kafein. "Coba gowes di Jawa, dicuekin kita," komentar Mang Dewa. Di satu titik, satu angkot penuh berisi anak SMA meminta kami untuk berfoto bersama, yang tentunya kami penuhi dengan suka cita. Gak pake lama, follower IG Om Diki langsung bertambah. Harapan mulai terbit ketika dari jauh sudah terlihat satu bangunan tinggi dan tower SUTET. “Kalo sudah ada tower, biasanya disitu ada kota,” optimisme Kang Eno muncul. Kami pun mempercepat kayuhan karena tak lama lagi adzan maghrib akan mengumandang. Alhamdulillah rombongan kami tiba di Hotel Sarbini sebelum gelap mulai pekat. “Aman Pak,” tegas Bapak pemilik warung makan depan hotel menjawab pertanyaan kami untuk konfirmasi kondisi jalan ke arah Tulang Bawang. “Tapi baiknya Bapak menginap di sini saja dahulu karena kondisi jalanan gelap, tidak ada penerangan dan kendaraan cenderung ngebut dan ugal-ugalan saat malam,” lanjut si Bapak. Malam itu, sambil mengistirahatkan badan, kami pun mendiskusikan rencana perjalanan Etape 4. Semangat kami sama: Perjalanan ini harus mementingkan keselamatan dan keamanan. Terbayang kebiasaan Om Alwis Darwis yang selalu menyempatkan diri video call dengan si buah hati dan istri kesayangan yang sedang hamil. Dengan semangat itu muncul opsi untuk loading sampai ke titik aman untuk kemudian gowes lagi. Opsi lainnya Etape 4 full loading sampai ke Kayu Agung agar kami bisa lebih cepat sampai Palembang. Pilihan opsi ini membuat Kang Diki tidak bisa tidur. “Temen-temen masih kuat dan masih ingin gowes Om,” curhatnya pada saya. Mendengar itu saya pun segera ambil keputusan. “Ok Kang, besok kita akan tetap gowes, berangkat lebih pagi dan kita akan mampir ke Polsek Simpang Pematang untuk konfirmasi kondisi rute yang akan kita lewati”. Ide silaturahmi ke Polsek ini sudah dikomunikasikan dengan Om Rano Prayonda dari SeLPi (SEPEDA LIPAT PALEMBANG). Kebetulan Pak Yanto, Kapolsek Simpang Pematang adalah kakak kandung Om Rano.

Etape 4 (Menggala-Lubuk Seberuk) Kamis, 12-09-2019: Memulai gowes saat matahari masih belum muncul ternyata benar-benar menyegarkan. Hembusan angin dingin yang menerpa kami menambah semangat memulai hari. Kami pun membentuk peloton yang cukup rapat. Tidak boleh ada yang tertinggal jauh. Kalau pun terpisah, kami usahakan tetap terbagi dalam 2 peloton. Tanjakan yang lumayan tinggi diikuti rolling tetap membahagiakan kami namun kami tetap sadar untuk tidak khilaf sebagaimana Etape 2. Tidak terasa hampir 30 km kami jalani dengan penuh canda tawa bahagia sampai perut mulai menagih jatah sarapannya. Kami pun mampir ke warung nasi uduk yang cukup ramai di pagi itu. Benar saja, nasi uduk-nya enak. Kami pun sarapan dengan lahap. Setelah kenyang, dan Kang Diki menyelesaikan absen pagi di mini market terdekat, kami pun segera melanjutkan perjalanan. “30km lagi ya,” ingat Kang Diki yang langsung diamini kami semua. Matahari mulai tinggi. Kang Diki dengan sabar menjaga pace di depan rombongan. Sementara Om Alip dan Om Yudha menjadi sweeper di belakang. Kami pun perlahan mulai memasuki daerah Mesuji. Tak jauh dari sebuah mini market tempat mengisi bidon, berdiri tugu lambang kota Mesuji dengan semboyannya “Bumi Ragab Begawe Caram”. Saya yang penasaran dengan arti semboyan itu lalu bertanya pada petugas mini market. “Intinya Bhineka Tunggal Ika Pak” jelasnya. “Wah pas banget nih,” seru saya ke teman-teman. Kami harus terus bersatu dan berada dalam satu rombongan, apapun yang akan kami hadapi di depan. Belum sampai jam makan siang, kami tiba di Polsek Simpang Pematang. Sesuai arahan Om Rano, kami beristirahat sejenak di sana. Ternyata Pak Yanto, selaku Kapolsek telah menunggu kedatangan kami. Kami pun dijamu dengan suguhan nasi padang yang ueeenaaakkkk sekali. Goweser gak boleh kelaparan kata Pak Yanto. Pak Yanto bercerita bahwa sebenarnya beliau semalam telah menunggu kami sampai pukul 12 malam. Hanya saja beliau yakin kami pasti tidak akan berani gowes di tengah malam gelap gulita seperti itu. Beliau meyakinkan bahwa kondisi Mesuji aman dan kondusif. Walaupun demikian beliau telah menyiapkan pengawalan untuk kami sampai ke perbatasan. Setelah cukup beramah tamah di Polsek kami pun melanjutkan pergowesan. Kesigapan panitia Jamselinas IX patut diacungi jempol. Info adanya peserta yang gowes menuju Palembang ternyata sudah diketahui semua aparat keamanan di jalur yang kami lalui. Kami pun mendapat pengawalan di belakang maupun di depan rombongan seperti yang dijanjikan Pak Yanto. Alhamdulillah berkat pengawalan tersebut kami berhasil dengan selamat melewati perbatasan Mesuji tanpa ada sedikit pun gangguan keamanan. Sisa perjalanan kami lalui dengan perasaan lega, rasa kebersamaan dan kekeluargaan pun semakin erat di antara kami. Saking eratnya saya pun tidak sungkan mencarikan calon pendamping hidup Om Alip di setiap mini market yang kami singgahi . Akhirnya kami tiba di Lubuk Seberuk saat hari masih terang, beristirahat untuk menyiapkan diri di etape terakhir esok hari. Etape ini benar-benar menorehkan kesan yang sangat mendalam bagi kami.
Etape 5 (Lubuk Seberuk – Kayu Agung – Jakabaring, Palembang) Jumat, 13-09-2019: Tim SCAM memang luar biasa. Ketika saya keluar dari kamar jam ½ 6 pagi, semua sepeda sudah siap. Pannier sudah terpasang rapi, teman-teman pun sudah siap dan berjersey merah seragam Etape terakhir. Di etape ini kami anggota bertambah, yaitu Om Sahrie dari Cilegon yang datang malam itu bersama Om Ghafur dan Om Azhier dengan menggunakan mobil. Om Sahrie akan ikut gowes bersama kami, sedangkan Om Ghafur dan Om Azhier akan mengawal dengan mobil. Alhamdulillah. Kabar gembira juga datang dari Makcan. “Nanti kita sarapan di km-30 kemudian akan dikawal oleh Tim Waskita Karya sampai Kayu Agung”. Kami pun semakin semangat mendengar informasi bahwa di Kayu Agung akan disiapkan makan siang, lalu setelah makan siang dan Sholat Jumat kami akan gowes ke Palembang melalui jalan Tol Kayu Agung – Palembang yang masih dalam Tahap Konstruksi. Lagi-lagi ini berkat bantuan Tim Waskita. “Alhamdulillah ya Iko,” kata Makcan. Kami mensyukurinya. Semua ini berkat pertemanan sesama pesepeda, salah satunya Om DOP yang merupakan salah satu Direksi PT Waskita. Etape 5 ini benar-benar pemuncak perjalanan. Jamuan makan enak, bekal minum dan buah-buahan berlimpah, kawalan lengkap dengan tim medis serta liputan drone benar-benar berkah bagi kami. Perjalanan sudah menuju akhirnya, kekeluargaan dan persaudaraan makin erat. Kelelahan yang terakumulasi seolah hilang tergantikan kelegaan bahwa titik finish akan segera tiba. Kelegaan bahwa kami semua dapat tiba dengan sehat walafiat. Kelegaan bahwa kami dapat mengabarkan semua berita baik dan hikmah yang kami dapat kepada keluarga yang kami tinggalkan. Karena gowes tanpa hambatan di jalan tol, kami pun tiba di Jakabaring lebih cepat dari perkiraan. Om Ferry Usnizar dan Om Harun Hudari Dok dari SelPi yang berencana menyambut kami bahkan belum ada di posisi. Kami pun langsung menuju tempat panitia yang sudah ramai pendaftaran ulang dari seluruh pesepeda lipat Indonesia. Kehadiran muka-muka gosong kami menjadi kejutan yang dinanti panitia. Kami pun didapuk om Cahyo Pribadi untuk sekedar menyampaikan sedikit kesan selama perjalanan. "adek-adek tim medis sudah siap siaga nih om Iko" sambut Om Cahyo, "tapi alhamdulillah semua sehat ya" lanjut beliau. Euforia pun terjadi, namun tidak ada kata lain yang terucap selain Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah menjaga kami sepanjang perjalanan. Jamuan pempek dan traktiran pindang oleh Om Ferry, Om Harun dan Om Ikmal menjadi ucapan selamat datang Wong Kito kepada tim gowes kami. Alhamdulillah…Alhamdulillah…Allahu Akbar, begitu banyak yang kami dapat dari perjalanan ini. Semoga semua membawa berkah bagi kami dan semua yang bisa menarik manfaat dari catatan perjalanan ini. Bukan jauhnya jarak atau lamanya perjalanan tapi seberapa banyak kita mendapat manfaat dari perjalanan itu, karena “Perjalanan adalah tujuan.” (Diki Rahman, 2019).

Monyet penari, ular penjaga dan tuannya


Ada hikayat,
Tentang monyet penari dan ular penjaga,
Oleh tuannya mereka dibawa berkeliling kota,dari pasar ke pasar,
dari kerumunan ke kerumunan,
sang monyet terus menari dan sang ular mengawasi,
Begitu seterusnya hampir tanpa henti

Senja hari,
Saatnya tuan berbagi rejeki,
Di hitung tuang isi pundi pundi,
Sejumput buat penari,
bagi penjaga  saku bernas terisi

Wahai tuan,
Tak salahkah kau buat kini
Aku lah yang lelah menari
Kenapa pada ular ,
Hadiah pundi penuh isi

Wahai monyet penari,
Tak menari tak berarti berdiam diri,
Pada kata kata dan bisa sang penjaga
Ku pastikan langkah gemulaimu tanpa terhenti,
maka wajar saja, jika padanya jatah lebih harus ku bagi

Wahai tuan,
Tidakkah dia tak bisa menari,
Tak kan mungkin dia mengerti
Kapan langkah gemulai meniti,
Kapan langkah harus berhenti

Wahai penari,
Tak perlu menari untuk menjadi ular,
Dia telah dilahirkan dengan bisa dan kata, kalau sesekali dia juga bisa menari, mungkin hanya kebetulan,
Tuhan tak kehilangan keadilan,
Hanya karena monyet penari dan ular penjaga terlahir  berbeda

Sejak saat itu
Monyet penari tak pernah lagi bercita cita menjadi ular penjaga
Mungkin selama tuannya masih yang sama

(Jelang Pulang, 25 Sept 2019)

catatan  : habis baca tulisan tentang perhitungan gaji, kesamaan tokoh dan cerita hanya kebetulan

Aku Menyukai Senyummu di Hari Senin



Aku menyukai senyummu di hari senin;
Magis-menghipnotis tenang-menhanyutkan, sekalipun mungkin saja senyum itu bukan untukku


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Juga tentang betapa deras cerita-cerita mengalir dari bibirmu, meliuk-liuk seperti pemotor di negeri +62, bahkan di celah terkecil sekalipun


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Atau hari-hari dimana kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ketenanganmu, kekuatanmu, keteguhanmu adalah akumulasi kecerdasan buah karya Beliau yang mengagumkan


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Bahkan lebih lama kunanti daripada hujan yang tak kunjung hadir di Ibukota


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Apapun alasannya

-udah lama, 2019-

Ruhiyah Gersang

Aku terdiam
Mematung di bahu jalan
Ditemani angin
Dalam sunyinya malam

Tak ku hiraukan
Bajaj yang berlalu-lalang
Pun lolongan anjing
Sayup-sayup di kejauhan

Aku mematung
Menatap kosong lampu jalanan

Jiwa ku?
Melesat jauh menyusuri bukit barisan
Membelah belantara hutan
Berhenti
Di halaman rumah warisan

Dulu
Rumah Gadang bagai oase pertama
Yang ku temukan
Di tengah gersangnya
Gurun pasir kehidupan

Kemana langkah
Selalu saja kutemukan
Di setiap pemberhentian
Padang Panjang,
Hingga Tanah Sultan

Mata air itu selalu ada
Seberapapun besar futur menggoda
Menjadi pengingat dikala lupa
Penegur disaat terlena

Namun
Mata air itu
Kini perlahan surut
Boleh jadi kering

Seringkali hatiku meronta
Mencari "ada" yang kini tiada
Malam ku nelangsa
Dihantui pagi penuh nestapa

Tuan, tolong
Ada yang hilang
Pada diriku..


Jakarta-Kosan 3x5

Badarawuhi (2)

Di ujung lelah,
Di antara rebah
Penari itu,
Datang padaku
Dengan Pesona yang menjerat,

Bagai  kanak kanak, 
aku  menemu  riang
Dari bermain bayang bayang,
hadirnya yang ada dan tiada

Sesekali pernah ingin ujung jarinya ku sentuh ,
gemetarkan tubuhku seluruh,

tapi pelahan bayangnya luruh,
Hilang,
kian menjauh

Aku pun diam,
bersimpuh antara rela dan luka
Mengharap dia benar adanya
Menyadari dia benar tiadanya


---------Catatan KKN Bima------

Sutikno Slamet, jelang pulang 19 Sept 2019

Catatan
Lanjutan  setelah baca cerita Horrorumor KKN di Desa Penari

Demi Masa

Pukul 7.30

Adnan duduk menghadapi layar monitor di ruangan kerjanya. Pada waktu ini  seharusnya para stafnya yang berjumlah dua orang sudah duduk di kursinya masing-masing.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Adnan menjawab sapaan Tina, salah satu stafnya yang baru saja muncul di ruangan. Tinggal Ponco yang belum datang. Adnan sangat mengharapkan kehadiran Ponco karena ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan Ponco dan harus selesai besok.
“Kamu nggak bareng Ponco, Tin?”
“Nggak, pak. Paling dia lagi nongkrong di kantin. Ngopi,” jawab Tina.
Satu jam berlalu, Ponco belum juga menampakkan diri di hadapan Adnan. Adnan mulai was-was. Ia mengirimkan pesan kepada Ponco agar segera masuk ke ruangan. Sampai setengah jam berlalu tak ada jawaban dari Ponco.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Adnan dibuat khawatir oleh Ponco. Banyak sekali pekerjaan yang akhirnya harus diselesaikan oleh Adnan sendiri karena Ponco tak sanggup menyelesaikannya.

Pukul 9.30
Ponco muncul di ruangan  dengan muka yang datar seperti biasanya. Adnan menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri agar tidak emosional di hadapan Ponco. Dia tak ingin Tina menangis kalau melihatnya marah.
“Kamu nggak membaca pesanku ya?”
“Maaf pak, seru tadi bahasannya soal promosi staf jadi supervisor. Siapa tahu saya bisa masuk kriteria, hehe.”
Ingin sekali rasanya Adnan memukul kepala Ponco dan berkata,  “sadar diri kenapa, lebih sering malesnya daripada benernya,” tapi Adnan hanya bisa meringis ngilu-ngilu kesal mendengar omongan Ponco.
“Kerjaan kemarin mana? Besok due date lho. Kalo nggak selesai besok, tim kita bakal kena pengurangan poin dan itu akan mengakibatkan pengurangan bonus akhir tahun lho,” ujar Adnan sambil berdiri didepan meja Ponco.
“Sebentar, pak. Saya mau mandi dulu. Tadi abis olahraga,” Ponco mengambil tas ransel yang berada dibawah mejanya.
“Ya ampun, jadi dari pagi tadi belum mandi?” suara Adnan sudah mulai menaik. Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Ponco berlari keluar dari ruangannya. Adnan hanya bisa mengelus dadanya.
****

 Pukul 10.00
Ponco kembali ke ruangannya. Ia membuka layar komputernya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata istrinya menelpon. Ponco meninggalkan ruangannya dan menerima telpon di toilet.
“Kemana lagi si Ponco itu, Tin? Kerjaan dari kemarin nggak beres-beres.” Tanya Adnan dari tempat duduknya.
“Tadi ponselnya bunyi, pak. Terus dia nerima telponnya di luar. Rahasia kali, pak,” jawab Tina sambil terus mengetik dokumen.
“Ya Allah, salah apa saya selama ini hingga punya staf kayak begini?” Adnan berbicara dalam hatinya sambil garuk-garuk kepala.

Jangan  lupa selesaikan laporan penjualan besok ya Pak Adnan, biar bonus tim kita bisa naik, minimal nggak berkurang dari tahun lalu.
Adnan membaca yang pesan masuk dari Charles, kepala divisi yang merupakan atasan Adnan.

Baik, pak.
Adnan mengetik jawaban sambil terus memandangi meja Ponco yang masih kosong. Jarum jam terus melaju. Terasa sangat cepat bagi Adnan.

Pukul 10.30
Ponco masuk kembali ke ruangan. Adnan kembali menagih laporan yang harus diselesaikan Ponco.
“Tenang, bos pasti selesai kok. Sabar, ya. Orang sabar disayang Tuhan.”
“Cukup! Saya tak mau dengar lagi kamu bicara. Selesaikan laporannya!” suara Adnan mulai tinggi melihat Ponco begitu santai seakan tak ada deadline yang menunggu.

Pukul 11.00
“Pak, saya ijin makan dulu ya. Sebentar lagi kan jam istirahat. Abis itu saya mau sholat di mesjid.  Nah setelah itu saya selesaikan deh laporannya. Tenang aja sedikit lagi beres kok.”
Mata Adnan melotot melihat ketenangan Ponco. Rasanya tak yang lebih melelahkan di dunia ini selain berhubungan dengan Ponco.
“Bukannya tadi kamu menghabiskan waktu banyak di kantin? Masih belum cukup? Lagipula ini kan masih jam sebelas, waktu istirahat masih lama,” Adnan sudah lupa akan niatnya tak membuat Tina menangis. Emosinya meledak saat itu.
“Sabarlah, bos. Jangan juga bos menghalangi saya makan dan sholat. Kalau saya pingsan gimana? Trus kalo saya masuk neraka karena nggak sholat siapa yang dosa? Ya bos juga lah.”
“ Ya nggak gini juga, Ponco. Makan dan sholat itu ada waktunya.”
“Sudah ya bos, biar saya tenang ijinkan saya dulu. Kerjaan pasti kelar setelah ini.”
Tak menunggu Adnan bicara Ponco keluar ruangan meninggalkan Adnan yang semakin emosi.

Pukul 14.00
Ponco mulai mengerjakan laporannya. Adnan lega karena sesuai janjinya, Ponco akan menyelesaikan laporan sore ini. Tiba-tiba terdengar suara Ponco bicara sendiri.
“Rasain lu, pake rompi oranye. Koruptor gila nggak punya malu,  ngabisin uang rakyat.
Adnan bangkit dari kursinya dan menghampiri Ponco. Ia berdiri di belakang Ponco. Ternyata Ponco sedang menonton berita dari youtube.
“Laporanmu mana?”
“Ini juga penting, bos. Orang kok berani korupsi. Nggak takut apa anak bininya dikasih makan uang haram?”
“Lha, kalo kamu nggak kerja tapi digaji apa bukan korupsi juga?” tanya Adnan sebal.
“Beda dong, bos.”
“Sama aja! Kalo nggak bisa ngerjainnya sini biar saya yang ngerjain,” ujar Adnan.
“Nggak usah, saya aja. Dikit lagi kok,” jawab Ponco sambil nyengir.
“Mana wujudnya?”
“Sebentar,” Ponco mematikan youtube dan mulai mengetik kembali pekerjaannya.

Pukul 15.00
“Kok meja si Ponco kosong, Tin?”
“Katanya dia mau beli buku dulu buat anaknya, pak,”jawab Tina.
“Astaghfirullah, saya tinggal meeting sebentar saja si Ponco udah ngilang aja. Kepala saya langsung migren.”
Detik demi detik Adnan menatap jam di dinding. Ratusan pesan dia kirimkan  kepada Ponco tanpa ada jawaban. Sampai akhirnya hari telah gelap dan Ponco tak kembali ke kantor.

Keesokan harinya
“Halo. Ya Ponco? Udah selesai kan kerjaannya? Kirim ke saya sekarang ya.”
“Apa? Kamu nggak masuk? Hah? Nganter istri ke rumah mertua?”……dan ponsel Adnan pun jatuh dari genggamannya. Gelap terasa dunia…..

Awal tahun berikutnya
“Pak saya mau protes nih….”
“Ada apa?”
“Kok tahun ini saya nggak dapat bonus tahunan. Gimana dong saya udah janji mau beliin istri saya perhiasan.”
“Pikir aja sendiri, jangan tanya saya,” Adnan pun meninggalkan Ponco yang gundah.

Depok, 16 September 2019
*Tokoh dan kejadian hanyalah fiktif belaka



Tuan-tuan Yang Lupa,

Tuan, kalau kau lupa
Biar ku ingatkan lagi,
Kau duduk di sana
Sebagai wakil kami
Pembawa mandat yang kami titipkan
Melalu pemilu penuh legitimasi

Melaluimu,
Telah kami titipkan aspirasi dan mimpi,
Sebuah negeri bebas dari korupsi,
kejahatan serius 
Yang tak cukup ditangani
Oleh jaksa dan polisi

Bertahun  lalu
atas nama konstitusi,
Pendahulumu dan  pemimpin negeri berkongsi
Lembaga superbody dibidani
Diberikannya fasilitasnya  mumpuni,
sumberdaya yang mencukupi,
cegah, tangkal dan tindak prilaku korupsi

Aku  dan engkau sama sama menjadi saksi,
betapa kiprah lembaga itu   telah teruji,
dari ujung barat sampai timur negeri,
Ketua mahkamah konstitusi, anggota legislatif,
aparat pajak,  bupati, menteri dan polisi ,
Pelaku pelaku korupsi dilibas tanpa kenal jeri,

Lalu kemana akal sehatmu pergi?
Mengatas  namakan konstitusi,
Tetiba rancangan undang undang kau inisasi,
rumusan omong kosong,
tentang urgensi pengaturan kembali kewenangan,
yang tak lebih dari langkah kebiri,
penguatan  dengan lembaga pengawas,
yang tak lebih merecoki fungsi dan tugas,
limitasi sumber perekrutan penyidik,
 yang akan hadirkan  keraguan akan independensi

Apakah mungkin harimau di hutan sana ditakuti,
hanya karena suara auman yang lantang,
Sementara geliginya habis diprotoli

Wajarkah,
kalau kadang terlintas di pikir kami
Mungkin ada yang tersembunyi,
pat gulipat dan persekongolan di jalan sunyi,
yang satu memberi janji, yang satu bikin konsesi

Biar ku ingatkan lagi,
Umurmu kita mungkin tak panjang lagi,
Tak sampai seabad semua kita akan pergi,
Tapi yang kau tulis dan kerjakan akan jadi prasasti ,
Yang diingat, dicatat lintas dimensi

bisa jadi negeri ini punah karena pilar pilarnya digerogoti korupsi,
Lalu kau akan jawab apa,
ketika nanti anak cucu kita dan Sang Maha Abadi,
menanyaimu nanti?

Sutikno Slamet, 16 September 2019