AKU (TAK) INGIN JADI PNS

ngiiing...ngiiing…

Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu. 

Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur. 

ngiing...ngiiing…

Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.

"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon. 
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.

"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.

Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya. 

"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.

"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran. 
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.

"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”

Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama. 

Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya. 

"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak.  Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”

“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.

“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”

(bersambung)

PegawaiBaru, catatan tahun lalu.

Rapuh



Pernahkah kau merasa walau sekilas..
Ketika cintamu tak terbalas..
Jalan yang kau hadapi terlihat ganas..
Kering, keras dan panas..
Pohon-pohon meranggas tampak beringas..
Seperti akan melumat dan menindas..
Tubuh terseok lemas..
Jiwa menjadi kerdil dan malas..
Daya terasa sangat terbatas..
Tak beda lagi antara samar dan jelas..
Memohon memelas..
Meradang meremas..
Inginkan yang pintas..
Segera melintas..
Hati yang rapuh akan kandas

Rapuh, 02122019

Sebuah kisah di hari jemuah

Ini bukan gibah di hari jemuah,
Hanya mencoba mencatatkan kisah,
Mungkin bisa jadi sejarah,
Yang kelak di kenang dengan indah
Atau sekedar menjadi sampah

Syahdan suatu ketika,
Manakala maharaja telah bertitah,
terpaksa atapun suka cita
Hamba dan kawula tak kan bisa menyanggah,
Dan bergegas  jalani lampah

Pun sabdanya tentang bagaimana jabatan harus dibedah,
dari gemuk struktur,
Menjadi fungsional pada banyak cacah

Semua mahapatihpun berlomba lomba menjadi penterjemah,
Mungkin berbeda ujaran tapi sama arah,
Bagaimana sabda terimplementasi sampai ke bawah,
Kadang sesekali mungkin mencari celah,
agar sabda tak disanggah,
Tapi tak membuat susah,
Birokrat di level bawah

Konon telah banyak musyawarah,
Bagaimana Hitung hitungan ditelaah,
Bagaimana kompensasi untuk jabatan yang musnah
Bagaimana prosedur murah dan mudah
Bagaimana payung hukum digubah,
agar dikemudian hari tak sisakan masalah

Di sudut rumah,
Obrolan pejabat fungsional pun menjadi meriah,
sebagian merasa sumringah
jabatan  yang disandang terlihat gagah,
Merasa senior atau telah menang selangkah

Sebagian menjadi resah,
akankah semua pertanda masa depan cerah ?
Atau akankah hanya sekedar mengulang sejarah,
sebuah judul baru pada suramnya kisah

Bisa jadi,
perekrutan dan naik jenjang tak ada lagi punya marwah,
Seperti dulu pada zaman prasejarah,
konon ada berulang kisah,
ketika mengatasnamakan amanah,
jabatan birokrat dibagi bagi,
Untuk mereka yang mungkin sedarah atau satu daerah,
Untuk mereka yang mungkin pernah satu kampus atau sekolah,
untuk mereka yang mungkin pernah satu masjid, gereja, pura atau madrasah,
Untuk mereka yang mungkin pernah jadi kawan melepas lelah,
Untuk mereka yang dulu pernah bersama sama menjalani  jadi kacung terbawah
Untuk mereka yang mungkin sekedar  bisa ngomong cas cis cus basa basa susah, 
namun  menyihir pendengar hingga terperangah,

Ah....
Bahkan yang parah,
Konon berkali kali pernah,
seleksi dan uji kompetensi hanyalah drama murah,
Yang perlu figuran agar kompetisi nampak meriah,

pertandingan dikemas seolah tak mudah,
agar mereka yang mendapatkan amanah,
punya legitimasi yang mewah,
bukan semata kompetensi tapi proses yang penuh hikmah

Namun nyatanya pemenang  dari awal telah dipilah,
Peluit akhirpun ditiup saat kompetisi masih di tengah,
Ketika  kontestan lain belumlah kalah

Mungkin itu kecemasan yang salah,
Karena kini zaman telah jauh berubah,
pemegang amanah adalah orang orang kompeten dan ahli ibadah,
sistem telah dibangun oleh mereka untuk tak lagi ada ruang dan celah,
Bagi kebijakan yang memihak kepentingan pribadi dan kelompok yang tidak sah

Cerita cerita zaman prasejarah,
mungkin membuat telinga mereka memerah,
tapi hati mereka yang bersih
akan memetiknya sebagai pelajaran dan  hikmah,
untuk senantiasa  bersiap berbenah

Yaaa sudahlah,
Di barat langit telah memerah
Sudah saatnya kita pulang ke rumah,
Tempat di mana tubuh  kita yang lelah,
Menemukan tempat rebah
Negeri dimana kita bisa membingkai mimpi 
dan harapan paling indah

(Sutikno Slamet lantai 3, 221119)

Fort de Kock 1938





Apabila kami bertemu, tidak pernah sebentar. Bermula dari ide 1 aktivitas, diakhiri dengan banyak aktivitas sepanjang hari. Aku dan sepupuku. Kami terhubung bukan hanya karena kerabat, namun juga karena 'nyambung' ketika membicarakan topik-topik anti mainstream. 

"Kamu seperti nenek. Sudah pernah ada yang bilang?" Tanyanya sambil memeluk kantong belanja IKEA yang penuh dengan piring, bantal, dan pernik-pernik kantor.

"Benarkah?" Tanyaku balik. Hampir tak percaya.

Sepanjang hidup, aku sudah kenyang dicela atau sekali-sekali dipuji. Tapi tidak untuk yang satu ini. Diumpamakan seperti nenek adalah idealisme yang tak terbayangkan. Meski aku hanya sempat bertemu dengannya 1 tahun di awal hidupku.

Saat itu, dari sepotong foto lusuh terlihat nenek menyalakan sebatang lilin mungil di atas semangkuk puding buatannya dan aku tanpa gigi tertawa tergelak-gelak kesenangan melihat hadiah ulang tahun dari nenek tersayang. Ia adalah seseorang yang selalu mengingat tanggal ulang tahun semua anak, mantu dan cucu-cucunya. Catatan kecil tersimpan rapi di mejanya, dan bila jarak terlalu jauh memisahkan, nenek akan selalu mengirimkan surat kepada yang berulang tahun ... sekadar mengingatkan bahwa ia tak lupa dengan hari istimewa mereka.

Ia yang kukagumi bukan hanya karena lemah lembut, tapi juga berani. Ketika serdadu Belanda datang untuk menggeledah rumah dan memburu kakek yang sudah bersembunyi di hutan belantara, nenek dengan tenang menerima dan berbicara dengan serombongan laki-laki berbayonet* itu. Niat semula untuk meluluh lantakkan rumah berubah seketika saat mereka mendengar nenek bicara dalam bahasa Belanda mengatakan perbuatan ini hanya akan sia-sia belaka, sebab apa gunanya mengirimkan pasukan untuk menyerang seorang ibu rumahtangga dan anak-anak kecil? Satu tentara memberanikan diri untuk berpamitan dengan nenek sambil menyembunyikan pedangnya di sabuk belakang. Bahkan seorang penjajah pun mempunyai rasa hormat.

Di zaman internet ini, tentukah mudah menelusuri masa lalu dan masa depan apabila kita bisa menemukan sumber yang tepat. Trend teknologi, proyeksi perekenomian regional dan global, sampai dengan perkembangan geopolitik dapat kita telusuri. Demikian juga halnya dengan masa lalu kita sendiri. Masa lalu yang tidak ingin aku tanyakan kepada siapa-siapa, kecuali dari riset mandiri.

Aku punya kebiasaan buruk. Apabila ingin mengenal seseorang, aku tidak bertanya. Tapi aku meng-google. Hampir semua orang di kantor sudah pernah aku google. Dan kini waktunya aku meng-google nenekku. Dengan sedikit perasaan pesimis tentunya. Sebab apa yang akan google katakan tentang seorang ibu rumah tangga di tahun 1940-an? 

Ternyata banyak.

Google mengatakan bahwa salahsatu dari seabrek kegiatan nenek dan kakek adalah menulis di sebuah surat kabar lokal yang beredar sejak sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Di surat kabar itu, tertulis banyak hal-hal menarik mengenai kondisi masyarakat sehari-hari. Ketika jumlah penduduk belum sebanyak saat ini, adalah hal biasa untuk menulis di surat kabar bukan hanya tentang opini organisasi pemuda, laporan keuangan pemerintah lokal, puisi, cerpen, alamat orang kampung di Jakarta, bahkan sampai dengan kabar siapa yang baru lahir, siapa yang baru meninggal, siapa menikah dengan siapa, dan siapa yang ditangkap Belanda tapi diantarkan beramai-ramai oleh penduduk satu desa karena simpati dengan perjuangannya. 

Semakin aku meng-google, semakin aku merasa berkecamuk di dalam dada ... sebab di balik sikap sabar, tenang, dan anggun dengan baju kurung dan selendangnya, nenek menyimpan banyak pengalaman hidup dan rahasia ... yang mungkin aku tak sanggup menanggungnya.

*Bayonet : pucuk senapan berujung pisau








Kopi (badarawuhi (3))



Dia,

Yang
Padamu
Mengikat
Setia,
Menyecap
Pahit
dan
Manismu
Untuk
Selalu
Terjaga,
Melintas
Masa

Sementara,
Aku
rela
sela
di antaranya,

Yang
terbiasa
Oleh
Pahitmu
Semata

menikmati
setiap
Reguk
yang
Memantik
Bahagia

Mungkin,
Kau ahlinya,
Untuk
Membuat
Tak ada
Yang akan  terluka

Karena
kau dengan gula pemanis
kau dengan pahit semata

Terseduh
Pada
Cangkir
dan waktu
Berbeda

(Ujung harapan,  Oktober 2019)



Kuburanku


Ini adalah kuburanku
Yang ku gali sejak bertahun-tahun lalu
Dengan riuh tawa dan derai air mata palsu
Dalam episode kehidupan semu

Kuburanku tampak kusam
Tergilas pedihnya kemarau panjang
Tertampar panasnya mentari dan hembusan bayu yang menghempas dedaunan kering
Dari sebuah pohon sekarat di sisi kuburanku

Tak ada yang sudi melihat kuburanku
Selain aku
Karena ia terus memanggilku
Dengan suara paraunya yang sumbang di dengar

Entah kapan hujan bertamu ke kuburanku
Membasahi tanah merah di sekelilingnya
Mengusir debu yang menyelimuti
Yang dengannya kelak rerumputan dan pepohonan menghijau

Akankah senyum kan mengembang
Dari para peziarah yang datang
Menatap kuburanku
Yang didalamnya bersemayam jasadku
Seraya berdoa; semoga RahmatNYA tercurah kepadamu



Pesona Separo Agama (2)


Kelam shubuh perlahan berganti terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega Marta. 

Bagi sebagian orang, melanjutkan tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10 yang sering digaungkan asatidz (jamak dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah. 

Izzam melirik pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya tersampaikan. 

Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
kuy, aku kangen makan di Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar sebelah.

---

Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi. Fattah terkekeh.

Usai membayar sarapan, mereka beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya. Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.

“Mau hujan nih, aku naik gocar aja ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan gaya bicara anak kota. 
anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.

Lempuyangan mulai tenggelam dalam rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari memegang payung, berharap hujan segera turun. 

Izzam melirik angka di jam digital Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang bisa dipake mereka pulang. 

Pemuda berdarah Minang itu langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket. Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk. Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung, mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang 2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki, menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu jemputan. 

Tepat pukul 8.10, kereta yang akan ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017 lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend. Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya, menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain. Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.

Kereta melaju pelan. Perlahan menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya. Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi. Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa waktu lalu. 

“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon. 
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”

Izzam menutup panggilan. Jendela kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan, melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.

Izzam tersentak. Di sebelahnya berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.

Usai melaksanakan jamak-qoshor dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman, bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan, Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar, menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.

Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.

Assalamualaikum, Zam
Mei mau nelpon
Lagi senggang kah?

“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit lagi ya”, tulis Izzam singkat.

Segera Ia rapikan kotak makan siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali bergetar. Panggilan masuk. Mei.

“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”, tanyanya berbasa-basi.
Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam, tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”

Izzam terdiam, membiarkan Mei melanjutkan.

“Tiga kali kita bertemu, dan tidak satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta? Tek Eni dan Tek Lis”

Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi. Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat. Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.

Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?



------------------
Bersambung, InsyaAllah.

Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif