Rindu

Ruang ini sunyi walaupun banyak orang berlalu lalang
Hati ini sepi menantimu yang tak kunjung datang
Detik berganti menit mengisi hari
Menyiksaku dalam penantian tak bertepi

Sebuah pertanyaan mendera kalbu
Apakah dirimu baik selalu?
Betapa hanya cemas yang kurasakan
Menyimpan penyesalan tiada akhir kenapa rindu ini tak kusampaikan

Kunanti dirimu di ruang yang sama
Diantara rasa pedih dan lara
Demi satu asa yang menggelora di dalam diriku
Kau akan kembali padaku




Pergilah Cinta


Pergilah Cinta
(dibacakan dengan saling berbalasan)


Tertegun kumerana
Kenangan indah yang sirna
Raga dan jiwamu
Masih kurindu
Lima tahun kita bersama
Tak kusangka kita harus berpisah
Segala cita-cita kita bersama
Terbang jauh meninggalkan luka
Begitu jauh kau pergi
Melebihi jarak yang kuketahui
Andai kubisa memutar waktu
Mengubah perkataanku
Masih teringat ucapanmu
Begitu kejam menusuk kalbu
Kutuju engkau sebagai pelabuhan terakhir
Tak kusangka semua berakhir
Bukan maksud mulut berucap
Memutuskan cinta yang tak bisa satu atap
Tiada kata untuk mengalah
Memang, hubungan kita yang salah
Andai kutidak mengenal cinta ini
Takkan pernah ku sesakit ini
Bahagia dan kenangan
Yang takkan bisa kulupakan
Cinta yang nyata namun terlarang
Dimana semua orang menentang
Semua halangan kulawan
Tapi kukalah dalam peperangan
semua yang patah tak lagi tumbuh
kau yang hilang pun tak lagi berganti
Sekarang kita berdua berjalan,
Berdampingan namun berbeda arah seperti istiqlal dan katederal



Pergilah, Cinta
 

 Jakarta, 5 Maret 2020
Gilmar Idomora

Suara Sunyi

Detak jam pada malam
Detak jantung pada keheningan

Suara-suara tak sembunyi
Mereka hanya butuh sunyi

Diam..
Diamlah..

Semakin banyak kau diam
Semakin banyak yg kau dengar

Sunyi..
Sunyilah..

Semakin dalam kesunyian
Semakin suara tak dibutuhkan

Mengerti tanpa bunyi,
Kesunyian yang agung

 J0818

Tentang Kita Dan Mereka


Ini bukan tentang Aku, Kamu ataupun Dia.

Ini tentang Kita dan Mereka. Yang setiap hari berpindah tempat, lewat jalan yang sama atau berbeda. Dengan alat yang sama atau berbeda. Dengan orang yang sama atau berbeda.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang setiap hari nyaris di waktu yang sama, harus mematikan rasa. Membuang jauh-jauh akal sehat, melupakan semua ajaran dan pelajaran.

Ini tentang Kita dan Mereka yang selalu berasumsi dengan diri sendiri.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang lupa atau bahkan tak pernah ingat bahwa kita akan kembali di hari-jam-menit yang tepat: tidak akan lebih cepat atau lebih lambat. Tidak akan tertunda.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang selalu merasa diri paling berhak cepat sampai di rumah. Yang merasa paling ditunggu kehadirannya.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang tak pernah abai nyawa. Berbalas pesan saat berkendara. Salip di kiri lambat di kanan.

Ini tentang Kita dan Mereka, yang hanya menunggu waktu saja hembuskan nafas di jalan raya.

Jakarta, 06032020

Novi and her love

Pendoa dan Surganya

Alunan sunyi terdengar sayup-sayup di dalam hati
Menggiring lirih sepi yang menepi
Aku tak seorang diri meskipun mungkin sendiri
Karena mereka berpindah ke alam tanpa jejak kaki

Rembulan terang tak menembus temaram pelita
Membiarkan hitam menguasai warna
Membuat berkedip tiada beda
Seolah merana padahal ku bahagia
Sepuasnya tersenyum tanpa dianggap gila

Semua bukan sekadar bicara bumi dan rotasi
Bukan pula coretan-coretan imajinasi
Aku hanya menyusuri kelok pematang sanubari
Sembari menghirup segarnya cinta meskipun tak lagi pagi

Benar, ini masih tentang cinta
Yang tak pernah bosan mengambil peran utama
Menjadi jiwa dari berbagai riak butiran rasa
Asmara tak selalu tentang cumbu dan kata-kata mesra
Terkadang cukup menatap diam wajah pendoa dan surganya



Aku Memang Sudah Gila

Aku mungkin memang sudah hilang akal sehat, bodoh atau mungkin sedikit gila. Ya, sedikit saja. Supaya tetap ada kontrol diri. Seperti orang yang menanti mentari pagi, berjemur lalu mandi. Aku tidak. Aku memang menanti, tapi lalu tidur lagi. Memainkan ilusi, berbicara pada alam. Dengan keyakinan, kamu berteleportasi, mengikuti inginku. Hadir di sini, muncul di situ. Menguatkan pikiran, ketika pintu terbuka yang keluar adalah kamu. Dengan baju kunyit capuccino. Berkali salah. Tetap kucoba. Sekalinya benar, aku gemetar. Sibuk mengejar kata yang berlarian kesana kemari. Hei, kalian sudah kususun sejak lama. Tak rumit bahkan terlalu sederhana. Sapa salam tak lebih. Sedikit senyum kalau bisa. Bubar, tak cukup hitungan sepuluh, terkadang cuma sampai tiga. Rumit sekali rasa ini. Mungkin tak cukup sekali reinkarnasi, untuk dapat tepat disisi. Entah kanan, entah kiri. Atau tak cukup rusuk hilang satu, supaya pasti menjelma jadi kamu. Ugh, kuproklamirkan saja nanti: aku lelah, menyimpanmu dalam manah. Sebentar saja. Diamlah disana. Apa kau pun tak lelah?. Berlari sana-sini tapi tak pergi-pergi.

Aku memang sudah gila.


Jakarta, 05032020

Kau Pikir Hanya Kau?

Kau pikir hembusan angin hanya menggoyangmu?
Kau pikir guyuran hujan hanya membasahimu?
Kau pikir deru petir hanya menyergapmu?
Kau pikir sapuan ombak hanya menenggelamkanmu?
Kau pikir dunia ini kejam hanya kepadamu?
Aku, dia, dia, dia, dan dia dia yang lain pun sama
Namun mengapa hanya kau yang panik
Hanya kau yang gugup
Hanya kau yang takut
Hanya kau yang berlindung
Hanya kau!