Lelayu

Pasti

Pada akhirnya 

Gemuruh ini akan 

menjadi senyap,

Musnah segala ada

Yang begitu kuat didekap,

Lenyap segala cahaya

Yang kini terang dalam tatap,


Mati

Yang mengintai dari tipisnya tingkap,

mengendap endap 

Di antara ingat dan lupa 

Di antara tidur dan tafakur

Di antara hikmat dan maksiat

Di antara tawa dan doa

suatu hari,

Akan tiba,tanpa duga, 

Merenggut dunia, tanpa tunda


(Bekasi, 23 Jan 2021 03.00 WIB)

Rahwana Jatuh Cinta

 (Rahwana berdiri di pintu peraduan Shinta. Bicara pada dirinya sendiri)


Wahai Shinta, putri titisan Banowati,
hatiku terus dilanda rindu
aku ingin mendekatimu, untuk sekedar  mendengar suaramu saja 
begitu pun aku sudah senang.
karena itu setiap malam, aku datang ke tempat aku menyembunyikanmu,
namun yang ku dengar adalah suaramu yang meninggi.... membentak dan mengusirku pergi.

bagaimana pun, aku tak pernah jemu,

sampai kau mau mengajakku bicara
sampai kamu mau membuka hatimu untuk mengenalku, sekedar mengenalku.
agar aku bisa menunjukkan isi hatiku padamu.
walaupun terlihat dari sinar mata dan caraku menatapmu

bagaimana kau bisa tahu?
sementara untuk melihatku saja engkau tak mau
apakah karena rupaku?
atau karena orang sepertiku tak layak mendapatkan cinta?

(Rahwana tertunduk, wajahnya murung... matanya yang buas, memudar sendu)

aku Rahwana, Raja Negeri Alengka
aku terbiasa mendapatkan keinginanku dengan sesuka hati
aku memang bukan orang baik
tapi aku tetap punya perasaan, punya rasa cinta.

aku tak tahan melihatmu, seringkali ditinggal Rama untuk bertapa.
sementara engkau selalu menangis diam-diam
namun, tak sedikitpun engkau mengeluh
beri aku kesempatan sekali saja untuk menunjukkan sisi baikku padamu

andai aku bisa malam ini pula, aku akan mengatakan kalau aku mencintaimu
tapi aku harus bergegas mempertanggungjawabkan perbuatanku yang telah membawamu pergi
aku harus mempertahankan harga diri dan negaraku,. kalau aku berbuat ini karena cinta.
hanya karena cinta.

(Air mata mengalir deras di pipi Rahwana, raksasa perkasa yang ditakuti seluruh mayapada, sebelum kakinya tergesa melangkah masuk peraduan Shinta, tercekat oleh banyaknya kata yang ingin diucapkannya, namun yang sempat diucapkannya lirih pada Shinta yang memunggunginya adalah...   )

selamat tinggal Shinta, mungkin ini malam terakhirku untuk menemuimu. Mengganggumu. kuharap engkau akan bahagia di hidupmu selanjutnya.

(Rahwana menatap wajah Shinta. sekali lagi. seakan enggan melepaskan pandangannya, mengambil nafas panjang dan membalikkan tubuhnya menjauhi Shinta. Ia mengira Shinta akan mengusirnya kembali namun...  ia merasakan tangan lembut Shinta pada bahunya, dan suara isak tangis pilu Shinta...)

Rahwana....  jangan pergi.

apakah engkau akan meninggalkan aku, yang selama tujuh belas tahun ini terbiasa mendengar suaramu setiap malam?
yang terbiasa dengan rayuanmu yang sebelumnya kuanggap gangguan? 
yang terbiasa dengan tingkahmu yang menjengkelkan namun tak pernah menodai kehormatanku?
baru kusadari sekarang bahwa...
yang kau lakukan selama ini adalah berusaha membahagiakanku.

(Shinta menangis sesenggukan... menatap punggung Rahwana yang harus pergi...)

Sayup suara kidung terdengar, ''loro ning loro ora koyo wong kang nandang wuyung....''

Aku, Si Kutu Buku, Dan Sunyi

 

Ku terduduk kaku di sudut ruangan sebuah rumah tua yang berada di tengah perkebunan di daerah Pangalengan. Suasana senyap membuatku semakin tak nyaman. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi menemani sunyiku. Di sudut lain seorang remaja pria yang kutaksir seusiaku duduk bersila, asyik dengan buku yang sedang dibacanya.

Sedikit demi sedikit kugeser badanku, mendekat ke arahnya. Kepalaku menunduk mengamati buku yang sedang dipegangnya, memastikan posisinya tidak terbalik. Siapa tahu dia cuma pura-pura membaca untuk memberi kesan pandai kepadaku.

“Hey ….”

Tak ada balasan kudengar. Remaja pria itu  tak bergeming. Masih duduk dengan posisi yang sama. Hanya matanya yang mondar mandir ke kiri dan kanan, seperti orang yang sedang senam pagi di lapangan. Kuberanikan diri menggerakkan jari tanganku untuk mencoleknya.

“Hey, kita kan cuma berdua di sini. Di rumah yang luas ini, kita ngapain kek, ngobrol kek, main  gaple gitu, atau main congklak kek,  jangan saling diam gini. Aku takut.”

“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Cari kesibukan sendiri. Nih baca!” balas pria Itu sambil menyerahkan sebuah buku tebal kepadaku.

Seketika dahiku mengernyit membaca judul buku itu. Rasanya ingin sekali kupukulkan buku Itu ke kepala remaja pria Itu.

“Kau pikir kita datang ke sini mau try out UMPTN?Gila aja, orang lagi piknik bawanya buku kumpulkan soal UMPTN,” ujarku dengan suara cempreng dan membuat jangkrik yang sedang bernyanyi langsung terdiam.

“Lha, daripada bengong nggak ngapa-ngapain, mending belajar. Biar bisa masuk PTN,” ujarnya dan kembali asyik dengan bukunya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan tanda kesal kepadanya walaupun percuma juga sih karena dia tak berniat melirikku walau cuma seujung sudut maya. Sejak itu kunobatkan dia dengan julukan Si Kutu Kupret eh Kutu Buku.

Berkali kali kutengok pintu rumah, siapa tahu orang-orang yang ikut kegiatan gathering muncul. Sudah dua setengah jam berlalu sejak waktu yang dijanjikan Kang Alif, Ketua Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak untuk memulai acara kebersamaan. Sayangnya tak nampak tanda remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak muncul dari pintu. Begitu juga Kang Alif, aku tak melihat keberadaannya.

“Kita berkumpul di tempat sejuk hari ini adalah untuk mempererat silaturahmi diantara anggota Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak. Tak ada lagi istilah “aku” tapi adanya “kita” ….” Terngiang kembali di telingaku pidato Kang Alif tadi sore ketika kami para para peserta gathering tiba di tempat ini. Tempat dimana saat ini aku terjebak diantara Si Kutu Buku dan jangkrik yang bernyanyi dengan suara fals.

Tiba-tiba aku merasakan panggilan alam yang untuk saat ini sangat sulit kuhindari. Aku mulai gelisah. Bingung karena kamar mandi berada di luar rumah. Di dalam rumah saja aku sudah merasakan kengerian apalagi di luar rumah.

“Hey ….”

Kusenggol tangan Si Kutu Buku agak keras hingga buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ia melotot ke arahku. Mungkin merasa terganggu oleh sikapku. Tapi menurutku tak pantas ia melotot karena matanya tetap spit.

“Antar aku ke luar!”

“Ngapain?”

“Aku perlu ke kamar mandi. Takut sendiri. Di luar gelap.”

Dengan enggan, Si Kutu Buku bangkit dari duduknya. Ia mengikutiku dari belakang, kalau dari depan berarti mendahuluiku. Tak penting juga sih mau mendahului atau mengikuti, aku hanya butuh teman untuk melawan ketakutanku yang tak jelas takut apa.

“Awas ya, jangan ngintip!”

Si Kutu Buku hanya memandangku heran. Tak kata pun keluar dari mulutnya. Mungkin ia mempunyai niat mengintip tapi ketahuan olehku atau mungkin juga dia jijik mendengar celotehanku.

 

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Si Kutu Buku masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ia berjalan mendahuluiku menuju ke dalam rumah tapi kucegah.

“Daripada kita balik ke rumah dan cuma bengong, mending kita cari Kang Alif. Biar dia tanggung jawab sama kegiatan ini,” ajakku.

Entah dia terpesona olehku atau biar aku tak mengoceh terus, Si Kutu Buku menuruti kemauanku. Entah kenapa dia kembali mengambil posisi di belakangku. Dasar pengekor!

Belum jauh kami berjalan terdengar olehku suara mendesah dari balik tanaman teh di sekitar kebun . Aku menutup mulut Si Kutu Buku yang hampir saja mengeluarkan bunyi. Aku mendekati asal suara. Semakin dekat semakin aku hapal  dengan suara-suara Itu.

“Kang Alif … Teh Mimin, lagi ngapain di sini? Mojok ya?” tanpa basa basi kuinterogasi mereka berdua hingga tanganku disikut Si Kutu Buku.

“Eh Dinda, ngapain di sini?”

“Harusnya sih saya yang nanya, Akang sedang apa, berbuat apa di sini, dua duaan, gelap gelapan dengan seseorang yang bukan muhrimnya dan nama saya bukan Dinda!” bentakku lantang.

Menyebut namaku saja salah, berarti dia tak mengenal anggotanya. Bagaimana mungkin dia bisa berpidato akan menyatukan remaja-remaja dalam ikatan silaturahmi kalau dia sendiri saja tak mengenal anggotanya dan tidak disiplin menjalankan kegiatan yang dirancangnya.

Karena malam gulita aku tak bisa melihat muka Kang Alif dan Teh Yuni. Apakah dia malu atau bahagia kepergok olehku dan Si Kutu Buku, aku tidak tahu. Biarlah bulan yang jadi saksi atas kejadian malam ini.

Aku meninggalkan Kang Alif dan Teh Yuni dengan perasaan kesal. Menyesal sekali ikut acara ini karena menuruti keinginan Ibu agar aku berbaur dengan remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak. Waktuku terbuang sia-sia. Rasa sesal memang datangnya terlambat karena kalau lebih dulu namanya pendaftaran.

Si Kutu Buku kembali berjalan di belakangku. Setelah lima langkah kudengar suara-suara berbisik dan mendesah lainnya. Rupanya acara gathering ini hanyalah formalitas belaka agar izin orang tua bisa keluar dan mereka bisa berpacaran di alam terbuka. Sebagai jomblo sejati aku merasa acara seperti ini tak pantas buatku. Rasa marah membuatku mempercepat langkahku menuju rumah. Tidur adalah jalan terbaik bagiku.

*****

Pagi-pagi buta aku bangun dan berkemas. Bergegas keluar rumah besar Itu. Kulihat Si Kutu Buku mengikutiku dari belakang. Kami berdua naik bis umum mendahului para remaja yang masih lelap karena semalam mereka begadang.

Setelah sampai di Kompleks Mawar Duri Lunak, aku dan Si Kutu Buku berpisah. Aku tak tahu siapa nama sebenarnya nama Si Kutu Buku begitu juga sebaliknya. Kami berdua tak berniat mengetahui lebih dalam tentang diri masing-masing.

Depok, 21 Desember 2020

Puisi untuk Mamak

 Kehidupan Mamak tidak begitu mudah sedari kecil

Mamak perempuan tangguh dan tak mau bergantung

Mamak sering bercerita kala kecil sering berusaha

Demi sebuah cita-cita

 

Aku hanya satu dari sekian orang yang menyayangimu

Aku hanya titipan Allah yang pernah tinggal di rahimmu

Aku malu untuk memberitahukan ini kepadamu,

Bahwa Aku merasa sangat berharga bila didekatmu

 

Mengandung, melahirkan, dan menyusui merupakan tugas muliamu

Mengadu Aku kepada Rabbku atas tingkahku yang mungkin pernah melukai

Melirikmu sibuk dengan aktivitas rumah dan sekolah,

 adalah hal yang memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik

 

Kini bahtera kita hanya dua awak

Sang Kapten telah kembali kepada pemilikNya

Tertinggal dua pesan untukku,

Salah satunya tentangmu.

 

Doaku untukmu,

Semoga engkau diberikan kelapangan hati untuk menjalani segala ketetap Illahi

dan setiap langkahmu dimudahkan Pemilik Alam Semesta ini.

Ibuku Tak Sempurna


 


Ibuku bukanlah ibu yang sempurna. Dia tidak mempelajari ilmu parenting. Tidak juga memakai tips bagaimana mendidik anak. Bukan pula ibu yang mengganti kata 'jangan' dengan 'sebaiknya'.


 Seringkali ibuku juga bersikap keras pada anak-anaknya.Yang kadang tak bisa kunalar dengan pikiran kritisku. Ibuku juga sering membiarkan anaknya mencari penyelesaian atas masalahnya sendiri walau di satu sisi ingin juga ikut campur kehidupan anak-anaknya.


Walaupun tak sempurna bukan berarti ibuku tak pernah melakukan sesuatu yang heroik bagi anak-anaknya. Ibuku tak pernah membelikan anak-anaknya baju baru tapi ia menjahitnya untuk kami dengan renda bertuliskan nama kami di baju.  Tak pernah juga memberi uang untuk pergi ke salon untuk sekedar memotong rambut tapi ia memotong sendiri rambut anak-anaknya. Tak juga sanggup memberikan uang jajan berlebih tapi ia selalu memasak dan membuatkan cemilan untuk kami.


Ternyata aku mendapatkan masa kecil yang bahagia di tengah keterbatasan walau dulu tak pernah kusadari. Aku sering membandingkan dengan kehidupan anak lain yang lebih hebat menurutku, yang bisa menyombongkan diri ketika membeli baju baru, atau pergi ke salon atau juga makan di restoran mewah. Andai aku bisa kembali ke masa itu, tentu aku akan lebih mensyukuri apa yang kupunya saat itu.


Setiap anak pasti memiliki kenangan tersendiri tentang ibunya masing-masing. Bersyukur adalah cara terbaik ketika kita masih memiliki ibu. Saat ini hanya doa yang bisa kulafalkan dalam setiap helaan nafasku, agar ibuku, ibu mertuaku dan juga ibu-ibu lainnya selalu sehat dan bahagia. Selamat Hari Ibu untuk semua Ibu....❤️❤️


Depok,  22 Desember 2020

Lepas

 


Kau bilang ku tak cantik

Beda dengan perempuan perempuan di televisi

Kubuat alisku melengkung dan lebat

Kau tetap bilang ku tak menarik


Kau minta ku tampil cantik

Agar membuatku sedikit indah dipandang mata

Kupulas bibirku dengan gincu merah darah

Kau bilang ku terlalu menor


Kau bandingkan ku dengan Bae Suzy

Yang kau tonton tiap saat

Kupulas wajahku dengan kosmetik dari Seoul

Kau bilang ku lupa usia


Kau bilang ku gendut

Kau minta ku mengurangi makan

Kukurangi takaran MSG-ku

Kau bilang ku terlalu kurus


Ah enyahlah kau 

Aku adalah aku

Bukan brand ambassador kosmetik

Kau tak cukup berharga buatku


Depok, 19 Desember 2020

Gadis Kecil Dan Lelaki Berbaju Putih



 Gadis kecil Itu menutupi kuping dengan rambutnya ketika beberapa temannya menutup hidungnya. Ia meletakkan bola bekel yang sedang dipegangnya. Ia berdiri dari duduknya dan berpamitan kepada teman-temannya bermain. Mukanya bersemu merah menahan rasa malu di hatinya.


Dalam beberapa langkah, ia mendengar teman-temannya berbicara satu sama lain. Pembicaraan yang membuat gadis kecil Itu merasa tersisih dari pergaulan anak-anak seusianya.


 “Kenapa tadi baunya nggak enak sekali ya? Ampun deh, aku nggak sanggup berdekatan dengannya. Lain kali jangan diajak bermain lagi, bikin jijik aja.”


“Bukan aku yang ajak, kok. Dia sendiri yang pengen gabung,” timpal yang lainnya.


Gadis kecil Itu terus melangkah menjauhi tempatnya bergaul bersama teman-temannya. Rasanya tak ada harapan baginya untuk kembali bermain bersama.

Sesampainya di rumah ia langsung masuk kamar. Perasaannya sungguh terluka. Ia ingin sekali bercerita tapi ia tak sanggup bercerita karena merasa tak ada gunanya.


Ditatapnya cermin dengan pandangan nanar. Ia memegang rambut di sebelah telinganya. Rambutnya lengket dan mengering. Tercium olehnya bau yang menyengat. Pantas saja teman-temannya tak mau ia berada di dekat mereka.

Gadis kecil itu semakin murung. Tak terbayangkan bagaimana kalau ia pergi ke sekolah dengan keadaan seperti itu. Tiba-tiba telinganya terasa hangat, ada cairan yang keluar dari telinganya. Diambilnya lap dapur untuk mengusap telinganya. Setelah itu, diam-diam ia mencuci lap Itu.


Kejadian hari itu bagaikan mimpi buruk bagi seorang gadis kecil yang baru berusia delapan tahun. Pikirannya bekerja keras untuk menyelesaikan masalahnya sendiri agar ia bisa menjaga harga dirinya di harapan teman-temannya.

***

Keesokan harinya


Gadis kecil itu membuka lemari pakaian orang tuanya di saat ayahnya sedang bekerja dan ibunya sedang ke pasar. Saat itu ia kebagian masuk sekolah pada siang hari. Diambilnya sebuah kartu dari laci lemari.


Dengan perasaan deg degan gadis kecil Itu naik angkot menuju suatu tempat yang sebenarnya asing baginya. Tubuhnya yang mungil memasuki sebuah bangunan yang sering dikunjungi banyak orang. Kebanyakan orang dewasa yang datang ke sana. Kalau pun ada anak kecil, pasti ada orang dewasa yang mendampinginya.


Gadis kecil itu sempat ditolak di bagian pendaftaran. Orang dewasa yang berada di situ, memintanya datang dengan orang dewasa. Tak habis akal, ia menampakkan mimik kesakitan sambil memegangi kupingnya. Akhirnya, karena kasihan melihat gadis kecil itu, ia diperbolehkan mendaftar. 


Tak lama namanya dipanggil. Ia disuruh menimbang badan dan menunggu dipanggil kembali. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit ia dipanggil masuk. Seorang laki-laki dewasa berbaju putih menyambutku dengan senyum yang ramah.


“ Mana orang tuamu, Nak?” tanya laki-laki Itu dengan ramah.


“Aku datang sendiri, orang tuaku sedang sibuk.” Lelaki berbaju putih Itu mengeryitkan kening heran. Mana mungkin tubuh mungil itu bisa datang sendiri ke tempat orang biasa menyembuhkan penyakitnya.


“Kamu kenapa?” Akhirnya lelaki Itu menyerang.


“Teman-teman meninggalkanku karena kupingku bau,” jawab gadis Itu dengan sedih.


Laki-laki berbaju putih Itu berdiri. Ia memeriksa kuping gadis kecil itu. 

“Apa yang kamu lakukan terhadap kupingmu?”


“Aku tidak melakukan apa-apa, paling kalau kupingku gatal, kukorek pakai peniti atau kertas, atau jepit rambut  hitam,” jawab si gadis kecil.


Di wajah laki-laki itu tergambar senyum yang ditahan ketika mendengar jawaban si gadis kecil. Setelah itu ia mengambil alat dan memasukkannya ke telinga si gadis kecil tanpa perasaan jijik seperti teman-teman si gadis kecil.


“Tahan sebentar, ya! Kotoran di kupingmu akan dibersihkan agar kamu bisa bermain kembali dengan teman-temanmu.” Si gadis kecil mengangguk dan mencoba menahan rasa sakit.


“Setelah ini jangan sekali kali pakai alat alat yang kamu sebutkan tadi untuk mengorek kupingmu. Kan bisa jadi jepit atau penitimu karatan. Kertasmu juga kan kotor. Minta tolong ibumu untuk membersihkan kuping. Jangan masuk terlalu dalam kalau membersihkan kuping, ya!” Gadis kecil Itu mengangguk.


“ Ambil obat di apotek, di sebelah tempatmu mendaftar tadi. Lain  kali datang ke sini bersama orang tuamu, ya.” Lelaki itu menyodorkan kertas yang telah ditulisinya. Si gadis kecil mengambil kertas itu dan keluar dari ruangan.


“Jangan lupa minta ibumu memotong rambutmu, ya.”

Gadis kecil itu mengangguk dan berkata lirih, “Terima kasih, Dok.”


Laki-laki yang ramah itu selalu memiliki tempat di hati si gadis kecil itu karena dialah orang dewasa  pertama yang mempercayai dan tidak menertawakan kesedihan yang dialaminya.


PS:


Gadis kecil yang ‘conge’-an Itu adalah aku. Tempat yang kudatangi adalah Puskesmas Pasundan yang ada di Jl. Pungkur Bandung....


Depok, 4 Desember 2020

Desember Yang Mencekam

 


Langit kali ini menghitam

Seolah siap menerkam insan yang terkurung di padatnya jalanan

Bersahutan bunyi klakson kendaraan roda empat

Berebut tempat agar dapat secepatnya berada di depan

 

Saling sikut dan senggol hal yang biasa

Tak ada perasaan bersalah

Seringkali umpatan tak terhindarkan keluar dari mulut insan yang depresi

Tak tahan menanggung kesal yang tak berujung

 

Aku hanya bisa terdiam tak berdaya terkurung di balik kaca

Lengkingan klakson yang bersahutan seolah alunan nada yang sanggup memecahkan gendang telinga

Aku hanya berdiam dalam gelisah

Sesekali badanku bergerak ke kiri dan ke kanan

 

Semakin lama perasaan tak nyaman menggerogoti kewarasanku

Ku mulai berteriak dan menangis

Rasanya ku ingin terbang melintasi benda-benda berjendela itu

Yang semrawut berdesakan di atas aspal basah 

 

Akhirnya air deras mengucur dari langit

Membuatku semakin panik

Dingin seketika melanda sekujur tubuhku

Desember kali ini sungguh kejam melumatku dalam beku

 

Keringat dingin mengucur di dahi

Keresahan semakin melanda

Suasana mencekam semakin nyata

Inilah yang selalu kutakutkan ketika Desember menghampiriku

 

Entahlah kepada siapa ku harus meminta pertolongan

Kegelisahan semakin mendera

Tak hentinya kuusap peluh yang terus bercucuran

Bagaikan air terjun yang turun dalam tubuhku yang membeku

 

Tanpa kusadari pahaku terasa hangat dijalari air

Rok yang kupakai seketika basah

 Bau pesing menyengat di dalam kotak tertutup yang dingin itu

Aku pun bisa bernafas lega

 

Jakarta, 16 November 2020