[TUNA] RENJANA

 Aku bersiap menguatkan hati … 

 

Diantara berbagai tugas yang mau tidak mau harus dikuti serta setumpuk kegiatan yang aku cari-cari, lelah sekali rasanya membagi ruang untuk berpura-pura menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya … ‘rasa tidak nyaman’, tapi aku tidak punya pilihan selain harus tetap bersikap ‘manis’ agar semua terlihat wajar …

 

“Kamu berdo’a untuk aku ya, transaksi ini bukan main-main, do’a seorang istri itu sangat mustajab untuk kesuksesan suaminya …” 

 

Aku mengangguk, lalu bersegera menyambar gelas di depanku, menikmati air dingin yang mengalir di tenggorokanku, menghindar bertatap mata …

 

Laki-laki itu menghisap rokoknya dalam, 

Guratan usia sudah terlihat jelas di wajahnya yang tampan … 

Penampilannya kali ini terlihat sedikit berbeda, 

 

“Lawan bisnisku ini owner sebuah perusahaan di UAE, kamu tolong siapkan baju yang cocok, pertemuannya di hotel bukan di kantor, jadi jangan terlalu formal juga …” (permintaannya tadi pagi lebih ku anggap sebagai instruksi dari pimpinan ke Personal Assistant-nya)

 

“Oiya, nanti dari jam 2 aku jalan sampe malam, kamu rencananya ngapain aja?” 

(Akhirnya pertanyaan ini, seperti ‘Code of Conduct’ yang wajib dipersiapkan jawabannya dan tidak boleh salah agar tidak menimbulkan keributan)

 

“Hmmm … banyak deadline kerjaan, bakal stay depan laptop aja,” jawabku sekenanya.

 

“Good, inget ya gak usah chat-chat yang gak penting, gak usah buang-buang waktu telpon sana sini dan jangan pernah keluar rumah kalo aku lagi gak di rumah, kecuali atas izinku”, nada suaranya mulai memancing emosiku.

 

Ini bukan kali yang kesekian puluh, mungkin yang kesekian ratus, tapi entah kenapa ada saja saat dimana aku masih belum bisa menerima hal-hal yang menurutku diluar batas kewajaran.

 

Aku mulai merasakan sesak, lalu mengatur irama nafasku, sekuat tenaga menahan egoku, sebelum akhirnya menjawab: “Iya … aku gak bakal kemana-mana, kalo cape nanti aku tidur aja”.

 

Laki-laki itu berdiri, merapihkan pakaiannya sejenak … bau parfum yang menyeruak dari tubuhnya sedikit meringankan perasaanku … 

Aku mengikuti langkahnya hingga ke pintu, dia berhenti sejenak, menatap wajahku lekat, lalu berbisik: “Kamu itu wanita cantik dan sempurna, jangan pernah bermimpi aku bisa percaya ke kamu …” Dia tersenyum dingin lalu berlalu … aku menutup pintu seiring deru kendaraannya yang terdengar menjauh …

 

Aku tak peduli, aku tidak butuh kepercayaan dari siapapun … Yang kuserahkan bukan hanya tubuhku tapi seluruh hidupku … Kepatuhan, kesetiaan … Mungkin hanya cinta yang belum bisa atau mungkin tak akan pernah bisa aku berikan karena aku sendiripun sudah kehilangan rasa itu sejak lama … 

 

**So look me in the eyes,

Tell me what you see,

Perfect paradise,

Tearing at the seams,

I wish I could escape,

I don’t wanna fake it,

Wish I could erase it,

Make your heart believe …

 

But, I’m a bad liar … bad liar …

Now you know, now you know …

 

 

 

**Bad Liar, Anna Hamilton [cover version]

PowerPoint: How Powerful are You?

Senin, Pukul 10.30  

Dismissed!

 

Kelas dengan total kredit 3 sks di pertemuan kedua semester ini berakhir dengan pesan-pesan singkat, mengingatkan mahasiswa untuk membaca modul, memahami, membuat resume untuk didiskusikan di pertemuan selanjutnya.

 

‘English for Effective Presentation’ merupakan salah satu subjek yang saya ajarkan setiap tahun sejak 2013. 

 

Dan biasanya program presentasi yang dijadikan contoh pembahasan utama adalah ‘PowerPoint’ karena program ini terbilang lebih aplikatif dan banyak digunakan dibandingkan beberapa program serupa seperti Prezi, Google Slides, Keynote, Powtoon dan lain-lain.

 

Program yang dibuat oleh Gaskins & Austin dan dirilis pertama kali di tahun 1990-an ini sepertinya menjadi salah satu pilihan utama para praktisi ketika ingin menyajikan materi mereka dalam berbagai kegiatan.  

 

PowerPoint >>> … when the presenter has ‘the power’ to convey the message through ‘points’

 

Berbekal beberapa buku teks sebagai referensi untuk menggambarkan ‘presentasi yang efektif’, pembahasan awal yang saya berikan biasanya “Dos and Don’ts” bagi presenter ketika mendisain slides presentasi mereka, seperti:

 

§  Do not put one full sentence on the slides, moreover one full paragraph

§  Maximum 6 words in each point

§  Use relevant pictures/images

§  Graphs/charts talk more than texts

§  So on, so forth …

 

Dan penjelasan ini juga saya sertakan dengan tautan salah satu artikel yang pernah saya paparkan dalam satu kegiatan konferensi berjudul “Oral Presentation: Attract or Distract?” 

 

Ketika sesi diskusi, dari tahun ke tahun selalu ada saja pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa: “Why do some lecturers present their topic discussion by putting more texts on the slides, like one paragraph?”

 

Dan biasanya saya menanggapi pertanyaan tersebut sambil bercanda: “Because they never join my class!”

 

Pengalaman yang sama juga saya alami ketika mengikuti beberapa tahapan ujian studi lanjut dimana draft PPT saya selalu diawali dengan ‘penolakan’ yang berujung ‘revisi’.

 

“I think you should put more information here, and here … and also here … “(dosen pembimbing saya berkomentar sambil asyik mencoret-coret lembaran slides yang sudah saya persiapkan ‘seefektif’ mungkin), lalu … “See? How could the examiners will get the idea of your content if you only put limited words here? They can’t read your thoughts, neither can I, you need to revise them before getting my approval.”

 

Again, penjelasan yang akan saya sampaikan hanya terhenti di kerongkongan, dan kata-kata yang keluar hanya: “Yes Prof, will do!”, lalu saya berlalu sambil bergumam dalam hati: “I don’t have any power to rebut you, Sir …”

 

Mohon Izin

Pada suatu rapat yang membahas berbagai macam persoalan

Aku berdiam diri di ruang virtual dengan rasa mual yang mulai tak tertahan

Peserta rapat sedang dengar pendapat

Solusi dari masalah ini belum kalian dapat? pimpinan rapat bertanya

Para peserta rapat diam saja

Melirik waktu, mengeluh, kapan ini kan berlalu? 

Pimpinan rapat sedikit mengumpat

“Kalian Generasi Milenial harusnya lebih kreatif, inovatif, inisiatif, proaktif, produktif, asertif, aktif, komunikatif, solutif, kolaboratif dong!"

Diriku ini Generasi Z, bukan aku yang dimaksud pimpinan rapat

Zzzzzzzz

Aku tertidur, sejenak kabur dalam nyenyak

Dalam mimpiku, pimpinan rapat melayangkan teguran tegas, "Si Kemput hadir?" Sontak kuterbangun dan siaga menyambut, "Mohon izin menyambungkan kembali Pak, tadi terputus"

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN ILUSI RASA

Lelaki ini sadar, mustahil melupakan masa lalu. Tidak yang satu ini. Yang dapat dilakukannya hanya mencoba untuk tidak mengingatnya. Tapi, lelaki ini juga tahu, tak mungkin dia mampu mengontrol ingatannya. Ingatan itu begitu membekas. Selalu datang, terang benderang bagai rekaman yang diputar ulang. Seberapa kuat lelaki ini bertahan, sekuat itu pula kenangan datang menyerang. Jelas dengan pernik rupa, kata dan rasa. Mewujud semudah pesulap mencipta bunga dari selampai. Dalam hati, mimpi bahkan deja vu. Lelaki ini merasa mungkin dia kurang berusaha, tapi mungkin juga karena sadar hal tersebut akan sia-sia.

***

Perempuan itu juga sama. Hatinya sudah terendam getirnya air mata. Berlumur cinta tanpa asa. Kalaulah ada pujangga menuliskan hati tersayat, terkoyak, luka atau apalah, mungkin harus terlahir kembali untuk mencari madah yang menggambarkan hati perempuan itu. Perempuan itu sadar, pertahanannya lemah. Hatinya tidak terjaga. Entah karena lelah, atau karena lelaki ini yang luar biasa. Perempuan itu juga sudah tak peduli, tak mau mencari tahu atau sekedar menyunting cerita. Semua tak sama lagi. Hidup harus dijalani  meski tak seindah mimpi dan semanis janji-janji, atau baiknya dia tak terjaga saja?. Perempuan menyimpan rasa dalam kotak pandora. Mengunci dan membuang anaknya, agar tidak merusak segalanya.

***

Hidup manusia layaknya 2 hari yang berbeda. Satu hari memihak kita, hari yang lainnya menentang kita. Di saat masa berpihak, semua terlihat baik-baik saja, indah bahkan luar biasa. Tidak ada yang salah, semua berjalan sesuai keinginan rasa. Tak terbayang akan ada hari lainnya, saat menyapa saja menjadi dosa apalagi bertatap muka. Merindu dalam hati tak ubah menitiki nadi dengan belati. Lelaki ini dan perempuan itu bukan tak tahu hal ini. Segala cara dicoba agar tak bertikas. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, manusia bukanlah pembuat rencana yang sempurna. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, semua sudah tertulis oleh-NYA. Alih-alih dilawan, bergeser satu mili pun hanya tinggal rencana.

***

Lelaki ini masih disini. Terlihat utuh dan bahagia. Petualang tangguh yang sangat pongah. Perempuan itu masih disana. Bahagia dalam sangkar emas sang raja. Seolah tak pernah luka, terhina. Anggun layaknya Tamina. Lelaki ini dan perempuan itu tak mungkin membalik waktu ataupun punabbhava. Lelaki ini dan perempuan itu mungkin hanya bisa saling mendoakan, doa yang pastinya melukai hati. Apakah bahagiamu menjadi bahagiaku? Apakah bahagiaku menjadi bahagiamu? 

***

Entahlah. Lelaki ini tetap percaya, dirinya saat ini adalah akibat dirinya di masa lalu. Masa depan tak terlihat namun pasti di depan mata. Masa lalu selalu mengusik, tak ubah iringan rebana. Terkadang lembut mengayun, seringnya berderak-derak di dinding jiwa. Perempuan itu juga percaya, sebait kata sepenggal cerita mampu jadi pengobat luka. Penat akan selalu terasa, namun mungkin tak terlalu menyiksa.


Jakarta, 17092021  


Mini Fiksi

Pemuda itu melangkah gontai meninggalkan  wanita yang telah dicintainya sejak duduk di bangku kuliah.

Beberapa jam kemudian sebuah pesan singkat masuk kedalam telepon genggam si wanita yang mengabarkan bahwa si pemuda ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka menganga di pergelangan tangan kanannya.


****


Anak perempuan mungil berambut ikal tertawa geli ketika ayahnya yang berkumis tebal memeluk dan mencium tengkuknya berkali-kali sambil berkata bahwa ia amat mencintai puterinya. 

Ketika tersadar sosok ayahnya menghilang dihadapannya, anak perempuan itu mencari ayahnya dari satu ruang ke ruangan yang lain. Yang ia temukan hanya sebuah buku Yasin bergambar foto sang ayah dengan tulisan, "Mengenang 100 hari wafatnya Suami, Ayah kami tercinta...".

Telaga Air Mata

 Ia hadir disaat kegersangan hati melanda

Angin lelah berhembus menjadi pertanda

Gumpalan awan menjelaga

Rintik hujan mengubah kelopak mata menjadi telaga

Telaga air mata

Sepasang Kaos Kaki Usang

Sepasang kaos kaki usang

Teronggok di sudut kota metropolitan

Kusam, dekil, tak menarik

Ribuan mata enggan tuk melirik


Kaos kaki usang ingin menghangatkan

Melindungi kaki-kaki mulus terawat 

Disimpan rapih dan wangi di dalam laci lemari indah

Atau tergantung di etalase-etalase pusat perbelanjaan mewah berpendingin udara

dan kaki-kaki mulus terawat lalu lalang

Sekedar tuk cuci mata

Sebagaimana dahulu ia pernah merasakannya


Suatu hari, ia bertanya kepada langit

Tentang takdirnya menjadi usang

Namun langit tak menjawabnya

Langit hanya mengutus angin tuk menghibur dirinya


Sepasang Kaos kaki usang kini sadar

Takdir harus dijalani dengan sabar

Meski ia kini teronggok di dalam plastik butut

Ia masih mempunyai manfaat menghangatkan kaki yang juga dekil seperti dirinya

Ia pun bersyukur

Karena baginya syukur melapangkan hatinya










Bangkai Rasa

 

                Terkadang,

                kita sibuk menggali  bangkai rasa.

                Tak hirau,

                akan rasa baru yang meranggas layu. 



                 Jakarta, 08092021