Istana Pasir


Kanak kanak, 
Jenak dalam keriuhan berulang 
Membangun istana pasir luas membentang, 
Megah meski tak menjulang, 
Indah meski tak berumur panjang 
Lekas tanggal disapu ,badai dan riak gelombang 
Gegas ditinggal berlalu, seusai teriak pulang 

kanak kanak itu juga, 
Bermukim di tubuh kita yang dewasa 
jenak bermain istana pasir hingga lupa 
senja telah lama memberi tanda 
waktu pulang mungkin akan segera tiba 
Istana pasir akan terlupa 
Istana pasir akan poranda

(ujung harapan, 271122)

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN LELAKI ITU

"Melasi Ndhuk"* lirih Lelaki ini, dengan logat non Jawa-nya. Perempuan itu tidak peduli. Hangatnya pelukan Lelaki ini sudah cukup. Paling tidak, dia bisa berlabuh sesaat. Meluruhkan lelah, menumpahkan air mata. Perempuan itu juga tidak peduli, sudah berapa perempuan bersandar di sana. Baginya, saat ini Lelaki ini miliknya. Pemenang hatinya. Perempuan itu sadar, jalan hidupnya tidak sederhana. Apalagi cerita cintanya. Dia bukanlah puteri raja ataupun Cinderella. Tapi, apa tak pantas, sekali saja dalam hidupnya, menyerahkan hati kepada pemenangnya?. 

***

Di sudut lain dunia. Lelaki itu gelisah. Perempuan itu mulai tidak biasa. Telpon tak dijawab, pesan singkat tak berbalas. Arogansinya terganggu. Apa kekangnya sudah tak mempan?. Tapi ego-nya segera berbisik "sudahlah, bagaimanapun kamu tetap penakluknya, kamu pemiliknya". Bisikan yang menenangkannya. Menerbitkan sesungging senyum. Senyum kemenangan semu.

***

Ibarat syair lagu. Cinta Lelaki ini dan Perempuan itu bukan sekedar cinta biasa, yang sesaat dan trus hilang**. Tak terhitung hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tahun-tahun berganti. Ada masa dimana setangkai mawar putih dan sepotong coklat  menerbangkan diri. Ada saat diri hilang kendali. Lalu, asing. Namun, akarnya begitu kuat. Tak mati terpanggang panas timur matahari. Pun beku dalam salju abadi. Cinta mereka terhubung. Pesan rindu tersampaikan melalui mendung kelabu. Dahaga nafsu terpenuhi dalam deru hujan yang memburu. Mereka tak mencari akhir, karena memang tak perlu. Tak ada yang tahu.

***

Lelaki ini terus memeluk Perempuan itu. Erat. Hangat. Kemejanya sudah bersimbah air mata. Biar saja. Jika itu bisa mengurangi beban di dada. Andai bisa, jangankan kemeja, seluruh hatinya akan menampung semua air mata. Perempuan itu kesayangannya. Sosok sederhana namun sempurna. Meski ikhlasnya di luar nalar manusia, namun dia tempat sempurna untuk menghambakan cinta. Malam semakin tua. Gawai menjerit menyela romansa. "Mas, nyanyi dong" bisik Perempuan itu. Sedu reda goda menjelma. "Suara Mas sexy" rayunya. Lelaki ini hanya tergelak. Si gembil ini memang pintar merayu. Satu dua jangkrik mulai mengerik. Anak-anak muda bersantai di trotoar, menyesap kopi murahan dengan bahagia. Lelaki ini dan Perempuan itu tetap berpelukan, hingga masa tak kuasa lagi menunda. 


Jakarta, 25112022

* kasihan 

** Rasa Yang Tertinggal (ST-12)

SERPIHAN 'HIBAT'

 “I miss you, so bad …”

 

Jemariku seketika begetar. Pesan teks yang telah kurangkai, seketika buyar. Aku bergeming. Aku tau kata-kata semacam ini gurauan yang biasa dia lontarkan kepada perempuan manapun jika dia suka. Tanpa tedeng aling-aling. 

 

Wajah tengilnya berkelabat sesaat lalu aku merasakan semburat merah memenuhi parasku. 

 

“Hey, kok diem? Kaget ya dikangenin?”, kalimatnya kembali menyerangku diakhiri dengan emoji terbahak. 

 

Alih-alih mengetikkan beberapa kata-kata balasan, aku hanya mampu mengirimkan emoji tertawa membalas gurauannya.

 

Aku mencaci dalam hati. “Kemunafikan macam apa ini? Bukankah kata-kata itu yang selalu kau rindukan? Sejak 11, 10 atau 9 tahun yang lalu? Mengumpulkan potongan-potongan kenangan yang timbul tenggelam alurnya karena tergerus ingatan yang semakin lemah daya. Menikmati serpihan ‘hibat’ ketika membutuhkan kekuatan dan sandaran rasa. Mengunci rapat-rapat rongga hati dan berserah pada jalan takdir bagi asa yang tersisa.”

 

Aku mengusap permukaan gawaiku, menikmati ucapan tulismu. Aku tidak peduli jika hal ini tidak lagi boleh terjadi. Yang aku tau, rasa rinduku kini terobati.  

 

 

 

 

 

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN BUNCAHAN RINDU

Lelaki ini rindu. Perempuan itu juga. Membuncah. Hujan mengalir tanpa spasi. Layaknya skripsi yang tak kunjung jadi. "Pakkkk....!", jengah Perempuan itu. Mata bulat indahnya melotot penuh. Alih-alih seram, malah menggemaskan. Lelaki ini tertawa. Jahil. "Whaaat...!?, balasnya. "Gak usah usaha deh", rajuk Perempuan itu. Lelaki ini tergelak lagi. Lelaki ini tau pasti. Dalam situasi yang berbeda, tatapannya tadi akan menciptakan medan magnet yang kuat. Perempuan itu akan menjadi seganas kobra memangsa korbannya. Tanpa dikomando Lelaki ini dan Perempuan itu terbahak. Mengundang tatap heran dari sekitar. Mereka tak peduli. Pipi Perempuan itu memerah. Bersungut-sungut menuntaskan gelato terakhirnya. Lelaki ini masih menahan tawa. Sungguh, rasanya sudah bukan ratusan purnama lagi mereka tak jumpa. 

Senja sudah semakin tua. Udara dingin mulai menyergap. Sisa-sisa hujan masih menyisakan genangan. Satu dua jangkrik sudah menuju pos jaga. Lelaki ini dan Perempuan itu masih di sana. Saling menatap tanpa kuasa menerjemahkan makna. Dua cup gelato dan secangkir americano tandas tak bersisa. Lalu mereka berebut bicara. "Bapak dulu aja", Perempuan itu mengalah. Menyebalkan memang. Perempuan itu selalu memanggil "Bapak". Kalau diprotes selalu jawabnya "kan emang Bapak sudah tua". Arrggh. "Bagaimana kalau .. Bagaimana kalau Bapak tidak baik-baik sajaaaaa?* Perempuan itu memotong kata-kata Lelaki ini dengan potongan sebait lagu. Lalu tergelak. Menggemaskan. 

Malam merangkak lelah. Menyaksikan polah manusia. Ada yang terkantuk-kantuk mencari nafkah. Banyak yang sudah lelap berselimut mimpi. Tak sedikit yang menikmati surga dunia. Lelaki ini dan Perempuan itu enggan beranjak. Tidak banyak kata malam itu. Resonansi rasa tercipta. Mereka tidak terpisah jarak ribuan kilo jauhnya. Pun, tidak pula tak saling berkabar. Tapi entah mengapa, jarak semakin membentang rasa. "Kamu tak rindu?" tanya Lelaki ini. "Hmm, ini perlu banget dijawab ya Pak?", Perempuan itu balik bertanya. Lalu kata-kata bertebaran di udara. Memenuhi ruang hampa dengan asa. 

"Kita mau seperti ini terus Pak?", tanya Perempuan itu sendu. Dingin mulai menelisik tulang. Malam ini mungkin menjadi malam terpanjang. Setan pun sudah enggan menggoda. Hanya duduk-duduk saja menatap rindu yang membuncah. Lelaki ini dan Perempuan itu tak lebih dari rekan kerja, mereka bicara tentang negara. Tapi, getaran rasa itu tak pernah sirna. Tidak oleh jarak. Tidak oleh waktu. Bahkan oleh diam yang membeku. Lelaki ini hanya diam. Percuma dijawab. Hanya berputar kata berakhir air mata. Hubungan ini ibarat jalan panjang tak berujung. Mereka tak butuh bertemu untuk bahagia. Tapi , mereka lebih bahagia jika bertemu. Tidak pula butuh kata-kata cinta. Karena, mereka bahkan bisa menuliskan kata cinta tanpa sedikitpun rasa. Jika begini saja bahagia, lalu untuk apa harus berubah? Jika rasa masih teresonansi dengan sempurna, lalu untuk apa hangatnya rasa?.

Lelaki ini dan Perempuan itu berdiam dalam khayalan rasa. Pengamen lusuh berjalan lesu. Menghitung receh entah berapa. "Bang, bisa pesan lagu?", iseng Lelaki ini kambuh. Pengamen sejenak kaget lalu mengangguk kuyu. Sekilas seperti mimpi melihat Perempuan itu bagai bidadari. Lalu mulai dengan suara serak basahnya memenuhi udara:

Bila asmaraku telah tibaMerenggut nafas dijiwaItu dia yang datang hadirkan cintaMenyebar ke dalam rasa
Dapatkah ku mengatakannyaPerasaan yang ku punyaUntuk dia mestinya ku ungkapkan sajaTuk dapat jawaban darinya
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal
Dapatkah dia merasakanSatu nafas yang tersimpanItu bukan cintaSekedar cinta biasaYang sesaat dan trus hilang
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal**

...

Jakarta, 08092022


*Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Judika

** Rasa yang tertinggal, ST12


You Did it Your Way

Mentari terbit, mentari tenggelam
Cakrawala merah jingga
Batas itu sebentar lagi tiba
Waktu akan segera menjadi figura

Pintu pertama yang engkau masuki dulu
Dan pintu yang akan kau tutup hari ini
Jelas berbeda, namun semua akhirnya
akan punya nama yang sama, kenangan

Tiba  dimuka, pulang paling belakang
Adalah salah satu yang akan kami kenang

Sebagian kami menghilang
Saat mendadak rapat menjelang pulang
Mungkin akan kau ingat dengan senyuman

Air tenang yang menyimpan banyak pusaran
Tak bisa diam, terus bergerak mencapai tujuan
Kerja, kejar, selesaikan...
Secepatnya, engkau tak suka menunda

Seringkali bagi kami, itu artinya adalah lembur
Bahkan kadang sampai mengurangi jam hari libur
Tentu ada yang menggerutu
atau hadir dengan keterpaksaan
Ada juga yang diam-diam menghilang
Namun itulah dinamika kerja, yang siap kau terima
Yang terpenting adalah menyelesaikan tugas, tuntas

Usai sudah, tak ada penyesalan
Terbaik atau bukan hanyalah perbandingan
Totalitaslah yang seharusnya diutamakan

Tak harus menjadi sempurna untuk menyelesaikan segalanya
Tetapi bagaimana berupaya dengan segala daya yang ada

Lebih kurang kadang hanya soal sudut pandang
Jangan dipertentangkan karena yang terbaik adalah mengambil pelajaran

Jabatan rendah tinggi adalah soal rejeki
Mampu menuntaskan urusan hingga ujung jalan itulah kehormatan
 
Sudah kau berikan, semua yang bisa kau berikan
Kini tibalah saat untuk mengikat kenangan
Menalikan maaf pada setiap kekurangan
Membingkai terima kasih untuk semua pengorbanan
Karena engkau dan kami saling berutang maaf itu pasti
Dan saling berterima kasih akan menjadi hadiah indah bagi hati
Kenangan terbaik adalah mengenang dengan cara yang baik


BK, 180222

Refleksi Merdeka

Kalau soal kapan merdeka,
kita punya tanggal yang sama
Tetapi soal jiwa-jiwa yang merdeka,
Kita harus lihat dulu,
satu-satu orang punya jiwa

Bahwa penjajahan adalah kezaliman
Kita semua sudah tahu itu

Bentuk perbudakan  besar-besaran
sebuah bangsa atas bangsa lainnya
Penindasan dan eksploitasi
Hak-hak asasi dikebiri
kemanusiaan yang adil dan beradab
terang-terangan diinjak-injak

Yang jarang kita sadari adalah
Jiwa-jiwa merdeka tak pernah bisa dijajah
Para pendiri bangsa, pejuang kemerdekaan
Mereka yang kini kita sebut pahlawan
Adalah orang-orang yang tak pernah dijajah

Mereka adalah para pemberani
Orang-orang dengan jiwa merdeka
Yang menjunjung tinggi kemanusiaan
Yang mengedepankan keadilan
Yang karenanya tak bisa menerima
Segala bentuk penindasan
Segala apapun yang namanya penjajahan

Kemerdekaan bagi mereka
Bukan ditandai dengan proklamasi
Proklamasi hanyalah bentuk tanggungjawab dari jiwa-jiwa yang merdeka
untuk juga memerdekakan jiwa-jiwa lainnya yang masih terjajah
untuk membawa bangsanya menjadi bangsa yang merdeka

Di masa kini kita tidak bicara lagi
kemerdekaan sebagai sebuah bangsa
Tetapi kemerdekaan dari tiap-tiap jiwa

Berapa banyak jiwa-jiwa yang resah
Melihat kantong pemilik modal bertambah tebal
Sedangkan buruh tetap diupah dengan murah

Berapa banyak jiwa-jiwa yang gelisah
Melihat kekayaan alam negeri berlimpah
Namun masih banyak rakyat yang hidup susah

Berapa banyak jiwa-jiwa yang peduli
Pada kebutuhan dasar yang masih belum bisa terpenuhi
Pada pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan 
bagi rakyat di negeri yang gemah ripah lohjinawi ini

Berapa banyak jiwa-jiwa yang geram
Melihat uang negara di korupsi
Sementara masih banyak rakyat butuh subsidi

Berapa banyak orang-orang yang masih mau setidaknya berkata
Soal perlakuan tidak adil dan beradab yang dialami sesama manusia

Jiwa-jiwa yang merdeka tak akan tenang
Jika prikemanusiaan dan keadilan tidak ditegakkan
Mereka akan bicara, mereka akan bertindak
mereka akan berdiri di depan untuk memperjuangkan

Seperti para pejuang kemerdekaan yang ada dibarisan terdepan
memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan
Mereka adalah para pemberani yang dengan lantang mengatakan kebenaran
meski di bawah ancaman amunisi

Sudahkah kita mewarisi jiwa-jiwa merdeka para pendiri bangsa
Para pejuang kemerdekaan dan pahlawan
Beranikah kita bicara, beranikah bertindak kita
Mari kita bertanya seberapa merdeka kita punya jiwa
Jika hanya untuk sekedar bicara saja kita tidak berani
meski konstitusi menjamin dan melindungi

Pada jiwa-jiwa yang merdeka kita berhutang kemerdekaan bangsa
Pada jiwa-jiwa yang merdekalah kita boleh berharap akan adanya perubahan
Pada merekalah semangat juang dan kemajuan patut kita sandarkan
dimana kemanusiaan dan keadilan berdiri menempati tempat yang tinggi

Tanpa semangat juang dan pengorbanan,
tanpa penghormatan pada prikemanusiaan dan prikeadilan
Jembatas emas kemerdekaan bisa hilang maknanya, bisa menjadi tak ada artinya
Kita bisa saja akan menjadi bangsa yang merdeka hanya karena stempel proklamasi
Namun gagal memenuhi esensi dari merdeka itu sendiri


Jakarta, 16 Agustus 2022

I Wish ...

Suatu sore,

Awal bulan Mei 2022

 

“Ren, ih malah ngelamun, udah kerjaan kantor jangan dipikirin mulu ….”, Nina mengibaskan tangannya di depan mukaku. 

 

“Maklum pejabat negara, udah bagus bisa juga akhirnya meet-up, jadi harap maklum kalo Rendra gak fokus, Nin …”, Siska berseloroh menimpali ucapan Nina. 

 

Aku tergelak membalas ucapan mereka. Nina dan Yuli adalah temanku di SMP dan SMA yang juga sudah tinggal di ibu kota ini. 

 

“Lu mau makan apa? Pesen dulu … ini ada ….. bla, bla, bla …” Nina menyodorkan buku menu sambil sibuk menjelaskan pilihan makanan yang menurutnya enak di kafe itu. 

 

Aku memandangnya sekilas. Nina, seorang istri, ibu pekerja yang masih terlihat cantik dan menarik di usianya yang menjelang angka 50. Cara bicaranya ceplas ceplos dan agak sedikit manja.  Dia pandai menjaga bentuk tubuhnya, sehingga masih terlihat seksi. Mungkin jika baru mengenalnya, aku akan termasuk salah satu laki-laki yang jatuh hati pada Nina. 

 

“Ya udah lu pilihin deh, apa yang menurut lu oke pasti gw suka”, aku sedikit menggodanya.

 

“Bisa aja deh ….,” Nina melayangkan cubitan kecilnya ke tanganku dengan semburat wajahnya yang sedikit memerah.

 

Tuhan, tiba-tiba sosok Hani, kekasih gelapku beberapa tahun lalu melintas. “I wish you were here, hun …”hatiku berbisik. 

 

“Han, nanti kalo Nina udah mulai nyubit-nyubit atau tiba-tiba pindah duduk ke samping aku trus nyender-nyender gitu, kamu jangan ngambek ya,” ujarku  saat dalam perjalanan kami menuju tempat yang disepakati untuk reuni kecil-kecilan bersama Nina. 

 

“Oya? Emang dia seagresif itu?”, Hani balik bertanya.

 

“Yaaa biasanya sih dulu-dulu gitu, aku gak tau ya apa masih gitu juga, makanya aku bilang dulu nih, daripada ntr kita yang berantem,” aku mengusap kepala Hani dengan sayang. 

 

Seketika Hani diam. Aku melihat ekspresi tidak nyaman di raut wajahnya. Hani dan Nina dua sosok yang sangat berbeda. Hani sosok wanita yang bisa dibilang agak pendiam, kamipun berasal dari SMP dan SMA yang sama. Di SMA dulu, meskipun aku berteman juga dengan Hani, tapi kami tidak pernah akrab. Hani adalah sosok remaja berkecukupan, cantik, punya prestasi akademik yang cukup baik, aktif dalam berbagai kegiatan, dan terkesan menjaga jarak dan pilih-pilih dalam berteman. 

 

“Hun … udah donk, kok jadi diem-dieman gini? Atau kita cancel aja ga usah ketemuan? Dari awal juga kan aku udah bilang gak usah pake acara ketemuan juga. Nina itu sudah berkali-kali ngajakin ketemu aku gak pernah mau. Tapi kamu yang kekeuh bilang sesekali jaga silaturahmi. Sekarang, kamu pasti punya pikiran yang nggak-nggak kan? Aku gak pernah ada hubungan apapun lho sama dia. Tapi dia kalo ke aku emang gitu, karena ngerasa deket kali, emang dari dulu ke aku tuh kaya manja banget …”, aku berusaha menenangkan Hani yang masih bergeming.

 

“Hey … look at me, I am yours, no doubt, ok?”, aku meraih tangan Hani lalu menggenggamnya penuh sayang. Ya, aku begitu mencintai wanita ini. Saat itu, aku seperti baru menemukan kembali bagaimana rasanya mencintai dan menyayangi seorang wanita padahal Hani bukanlah kekasih gelap pertamaku sejak aku menikah. 

 

Pun beberapa bulan lalu ketika aku mencoba menyapa dia di salah satu akun media sosial, lalu mengajak makan siang, lebih karena aku ingin tau kehidupannya saat ini dan sedikit pamer dengan kehidupanku. Makan siang saat itu berlanjut dengan beberapa pertemuan untuk sekedar makan, ngopi atau ngobrol di mobil sambil berkeliling Jakarta. Aku menemukan banyak hal yang tidak pernah aku bayangkan dari sosok Hani beberapa puluh tahun yang lalu. Ada rasa nyaman yang membuatku betah berlama-lama ngobrol selepas kepenatanku di kantor atau suntuk karena sedang bertengkar dengan istri. Hani, teman masa remajaku dulu, memiliki cerita hidup jauh dari apa yang pernah aku bayangkan. Hingga suatu waktu, aku semakin tak mampu menahan rasa yang semakin kuat dan membiarkan Hani mengusik hatiku.  

 

Hani membalas genggamanku, mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Aroma parfumnya yang khas menelisik hidungku. Hani bukan sosok yang banyak bicara, dia mengekspresikan setiap rasa lewat pandangan mata, belaian, pelukan atau sentuhan-sentuhan kecil tulus dan inilah membuatnya berbeda dengan wanita lain yang pernah dekat denganku. 

 

“Jadi, gimana kabar lu? duh, gw tuh kangen banget pengen ketemu elu susahnya udah kaya apaan tau …”,tiba-tiba Nina sudah beranjak duduk disampingku, menyentuh tanganku dan memandang wajahku lekat dengan senyuman yang menggoda. 

 

Di tempatnya, Hani sedang menatap lekat foto pertemuan kami bertiga sore ini, diam, dan bergumam dalam hati, “I wish I were there, hun …”, rasa sesak yang tiba-tiba dia rasakan menjadi terasa ringan ketika matanya basah.  

 

 

LUGU

Di pasar, berjajar pedagang

menjajakan kebenaran

dengan suara kencang


Para langganan berbondong datang

memborong kebenaran

tanpa bertanya, langsung percaya

sesuai selera


Aku, orang baru

coba menawar satu persatu

berharap bertemu yang benar-benar benar, 

Dasar lugu!