Anakmu Dari Masa Depan

"Aku Sore, Istri Kamu dari Masa Depan."

Kalimat ini berseliweran dan terngiang dalam kepala yang sebenarnya sudah penuh kecamuk.


Ya, beberapa pekan terakhir film SORE: Istri dari Masa Depan sedang menjadi tren pembicaraan. Lini masa media sosial hingga siniar-siniar di Youtube gencar membahas dan mempromosikan film karya Yandy Laurens ini. Bahkan beberapa akun media sosial instansi pemerintah ikut-ikutan membuat konten yang berbau SORE. Sungguh berhasil membuat saya penasaran untuk menontonnya. Tapi apa daya, bagi seorang Bapak beranak kecil tiga, menonton ke bioskop jadi hal langka yang mungkin hampir punah.


Saya belum membaca resensinya. Trailer-nya hanya sekelebat terllihat. Bahkan, baru tahu juga kalau film yang dibintangi Dion Wiyoko dan Sheila Dara ini berawal dari sebuah webseries. Ceritanya katanya ga benar-benar sama sih. Katanya ya. Tapi berbekal perbincangan dari beberapa siniar di Youtube, jadi sedikit tahu bahwa cerita filmnya tentang time traveler atau perjalanan waktu dari seorang Sore. Di tengah rasa penasaran tapi hanya bisa pasrah menunggu filmnya tayang di Netflix, hari Minggu yang lalu saya akhirnya memutuskan menonton webseries Sore sebagai obat penawar.


Hari Jum’at dan Sabtu sebelumnya, saya mengikuti pelatihan parenting di sekolah anak. Lah, apa hubunganya? Bridging-nya kasar banget kalau kata host-host, hehehe. Tapi ternyata ada keterkaitan antara keduanya. Saya juga ngeh baru saja, setelah menyelesaikan sembilan episode Sore webseries.


Pada pelatihan parenting itu, salindia yang pertama muncul mengatakan bahwa inti dari pembelajaran kali ini adalah menjadi bersyukur dan sabar paripurna, khususnya dalam mengasuh buah hati kita. Dua hal simpel yang rumit mewujudkannya. Salah satu langkah untuk merintis menuju ke sana adalah berdamai dengan masa lalu. Sering kali masa lalu membuat kita melupakan banyak anugerah yang telah diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Belum lagi ikatan-ikatan kenangan lampau menjadi pemberat langkah kita saat ingin melaju ke depan. Dalam konteks parenting, narasumber menekankan bahwa memaafkan kesalahan pola asuh orang tua kepada kita di masa lalu merupakan elemen penting untuk memulai perbaikan pola asuh kita kepada anak kita.


Di salah satu sesi, peserta pelatihan diminta memejamkan mata di tengah redup cahaya yang sepertinya sudah setting-an. Sambil menatap gelap, seluruh yang ada di ruangan diminta untuk kembali ke masa lalu. Bayangan perjalanan hidup dari mulai masa kecil hingga remaja dan dewasa dihadirkan. Bukan untuk mencoba merubahnya, hanya berusaha kembali melihat dengan tenang peristiwa-peristiwa indah yang mungkin waktu itu tidak disadari. Meskipun tak bisa dipungkiri, momen-momen mengesalkan juga akan turut datang kembali menghantui.


Mayoritas peserta dibesarkan dengan model pengasuhan VOC. Kenyataan pahit ini membuat banyak luka-luka masa lalu yang membekas. Bekas luka memang tidak bisa hilang, tapi kalau perihnya masih terasa padahal sudah berlangsung lama tentu akan jadi masalah. Bekas-bekas luka akan menuntun alam setengah sadar untuk meluapkan perihnya menjadi pedihnya pola pengasuhan ke anak kita. 


Pernah tidak merasa anak kita merepotkan lah, nakal lah, dan jelek-jelek apa lah saat mereka tidak patuh atau berbuat kesalahan? Kalau saya sering. Saat kondisi jiwa baik, ilmu-ilmu parenting yang telah banyak ditumpuk dalam lemari di pikiran akan mengajak melihat hal tersebut sebagai suatu yang positif dari tumbuh kembang anak. Respon yang akan keluar berupa ketenangan, kesabaran, dan pengertian.


Tapi lain cerita saat dalam kondisi capek, banyak urusan, banyak tuntutan, atau situasi mendesak lainnya. Secara setengah sadar, pola-pola pengasuhan orang tua kita dulu akan kembali hadir dari masa lalu. Bangunan-bangunan sabar yang sedikit demi sedikit disusun tiba-tiba hilang bak disapu badai kenangan kelam pengasuhan masa lalu. Hingga akhirnya tembok syukur runtuh tak bersisa. Seolah-olah anak-anak kita jadi manusia terburuk di dunia. Padahal beberapa detik sebelumnya mungkin beragam pujian tersemat padanya. Semuanya bak langsung rusak karena setitik nila. Setelah kesadaran pelan-pelan kembali, yang hadir tinggal berbagai penyesalan dan kata maaf.


Anak tentu serta merta akan memaafkan karena buatnya orang tua adalah orang paling berharga. Tapi tetap saja, luka sudah membekas pada ingatannya. Entah kelak sudah tidak berasa atau malah sering kembali terasa perihnya. Fenomena ini akan terus berlangsung turun temurun. Alam setengah sadar anak kita, di masa depan nanti akan sering melampiaskan perihnya luka pengasuhan kita menjadi pedihnya kemarahan pada anaknya. Tak lain dan tak bukan karena anak kita di masa depan adalah sikap kita di masa sekarang. Wah dari sini saya jadi termenung. “Time traveler nih,” gumam dalam hati.


Obat mujarab untuk luka masa lalu agar perihnya tak kembali datang di masa depan adalah memaafkan. Kita maafkan pola-pola pengasuhan VOC yang kita terima dulu. Betul, tak mudah dan lukanya tak akan bisa hilang. Tujuannya memang bukan melenyapkan bekas luka, tapi membuat perihnya tak kambuhan lagi. Dengan begitu kita akan bisa lebih kokoh dalam bersabar dan bersyukur saat membesarkan anak-anak. Tentu harapan semua orang tua melihat di masa depan anaknya menjadi orang yang jauh lebih baik dari dirinya pada berbagai sisi kehidupan. Impian itu tidak akan terwujud jika sekarang kita masih sering menjadi masa depan pola asuh salah orang tua kita. Jadi kita dulu jadi lebih baik, kelak anak kita akan menjadi jauh lebih baik. Ada satu kalimat penutup menyentuh yang disampaikan oleh pembawa acara sebagai simpulan pelatihan. Kurang lebih seperti ini, “Memaafkan masa lalu, untuk memperbaiki masa depan”.


Dari sini saya merasa tertampar. Mulai lagi menata pikiran untuk berusaha memaafkan masa lalu agar bisa mengasuh anak dengan lebih baik. Sambil bercermin saya bertanya pada sosok di baliknya, “Siapa kamu?”. Dia dengan bangga menjawab, ”Aku Sori, anak kamu dari masa depan".