Lampu merah bukanlah makhluk asing buat kita semua. 
Dengan mudah kita menemukannya berceceran di tiap sudut persimpangan 
jalan. Tugasnya sangat mulia: mengatur lalu lalang kendaraan dengan tiga
 kandungan warnanya yang penuh makna. Ada merah, kuning, dan hijau, tapi
 entah kenapa dia lebih dikenal dengan lampu merah, bukan lampu hijau 
atau lampu kuning. Yang pasti ga mungkin lampu merah kuning hijau, 
karena itu cuma ada di langit yang biru (maaf ngelantur). Di beberapa 
wilayah Jawa, dia juga dikenal dengan Bang Jo, singkatan dari lampu 
abang (merah) ijo (hijau). Lagi-lagi masih ada warna yang ketinggalan. 
Tapi biarlah, mungkin memang sudah nasibnya. 
Saya
 masih ingat, sedari kecil sudah diajari makna dari tiga warna yang 
diusung lampu merah ini. Merah artinya berhenti, kuning artinya 
hati-hati, dan hijau artinya boleh jalan. Namun saya tak bisa ingat guru
 TK atau guru SD saya yang mengajari pertama kali. Jadilah mazhab itu 
yang saya anut dari kecil hingga tumbuh jenggot. Bertahun-tahun saya 
meyakini kebenaran yang tak terbantahkan itu. Hingga akhirnya saya 
menemukan fakta lain saat tinggal di ibu kota. Ternyata banyak perbedaan
 pendapat di kalangan pengguna jalan atas maksud varian warna yang 
menyala pada lampu merah. Banyak mazhab yang dianut dan tak sedikit 
perbedaannya. Sungguh membuat saya terkejut dan terpana. 
Bukan
 bermaksud sok pintar atau menggurui, di sini saya hanya akan mencoba 
menguraikan perbedaan pendapat terhadap lampu merah yang terjadi. Satu 
per satu kita bahas mazhab-mazhab yang dianut umat agar kita bisa 
mendapatkan gambaran yang utuh atas fenomena ini dan bisa memilih mana 
yang lebih tepat. Jika dikerucutkan lagi, ada empat mazhab yang paling 
populer di masyarakat.
Mazhab pertama, 
Ini
 yang saya yakini benar sejak kecil. Seperti penjelasan yang sudah 
ditulis di atas, mazhab ini mengajarkan bahwa jika lampu merah menyala 
artinya kita wajib berhenti. Begitu sebaliknya, jika warna hijau menyala
 artinya kita sudah boleh memacu kendaraan. Fungsi lampu kuning dimaknai
 sebagai penanda transisi dari merah ke hijau atau dari hijau ke merah. 
Saat lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu merah ke 
hijau, artinya pengguna jalan dapat bersiap-siap untuk kembali melaju. 
Sebaliknya, jika lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu 
hijau ke merah, artinya pengendara diharap bisa memelankan laju 
kendaraannya untuk siap-siap berhenti.
Mazhab kedua, 
Mazhab
 ini mengajarkan pemaknaan yang berbeda tipis dengan mazhab pertama. 
Arti lampu hijau dan merah yang menyala sama persis dengan mazhab yang 
pertama. Perbedaannya hanya terletak pada nyala kuning lampunya. 
Sebenarnya pengikutnya juga memaknai lampu kuning sebagai transisi dari 
lampu merah ke hijau dan sebaliknya. Namun bedanya, pada saat lampu 
kuning menyala di antara perpindahan lampu merah ke hijau, artinya 
membunyikan klakson panjang atau pendek berkali-kali untuk kemudian 
melaju kembali saat lampu hijau menyala. Saat lampu kuning menyala di 
antara perpindahan lampu hijau ke merah, artinya pengendara segera 
mempercepat laju kendaraan sebisanya sebelum lampu merah menyala. Eh, 
tapi kalau lampu merah baru menyala beberapa detik, mazhab ini masih 
membolehkan pengguna jalan untuk tetap memacu kendaraannya. 
Mazhab ketiga, 
Perbedaan
 mazhab ini dengan dua mazhab di atas cukup ekstrim. Meskipun ada tiga 
lampu yang bisa menyala, dalam pemahamannya penganut mazhab ini hanya 
mengakui dua warna saja, merah dan hijau. Pada dasarnya makna awalnya 
sama, merah artinya berhenti dan hijau artinya bisa melaju kembali. 
Namun untuk lampu merah menyala, hukumnya tidak wajib. Pada saat lampu 
merah menyala, pengendara boleh saja tidak berhenti, dengan syarat 
jalanan nampak sepi, jalanan tampak aman dilalui, laju kendaraannya bisa
 lebih cepat dari kendaraan lain yang melintasi persimpangan, ada banyak
 temennya, atau alasan-alasan lain yang dianggap aman. Sedangkan lampu 
kuning bagi penganut mazhab ini hanya sebagai pemanis saja. 
Mazhab keempat, 
Mazhab
 ini yang paling ekstrim diantara mazhab yang lain. Prinsip dasar 
pemaknaan pada mazhab ini adalah semua tindakan tergantung niat dalam 
hatinya. Apapun warna lampu yang menyala, tergantung hatinya pengen 
seperti apa. Contohnya, jika lampu merah menyala tetapi kata hatinya 
bilang untuk terus jalan, pengendara boleh saja terus melaju seenak 
udelnya. Begitu juga untuk lampu yang lain.
Secara
 singkat mungkin seperti itu khilafiyah lampu merah yang terjadi di 
kalangan umat ibu kota. Kenapa saya menekankan di ibu kota? karena di 
daerah asal saya di ujung timur pulau jawa, tidak ada khilafiyah seperti
 ini. Mazhab yang diakui hanya mazhab pertama. Selain mazhab itu 
dianggap pelanggaran dan "berdosa". Memang masih ada perilaku seperti 
mazhab kedua, ketiga dan keempat yang terjadi di sana. Tapi semua orang 
akan sepakat bahwa perilaku tersebut dikategorikan sebagai perbuatan 
tercela. 
Sedangkan di ibu kota? keempat mazhab di 
atas tumbuh dengan tenangya dan semua diakui eksistensinya. Akan dengan 
mudahnya kita menemukan penerapan empat mazhab ini di jalanan dalam 
keseharian. Dan bagaimana sikap para pengendara dan aparat berwenang? 
kadang diam saja. Ini artinya memang masih ada khilafiyah di kalangan 
umat ibu kota. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar