Diari Saya: Kelahiran Yahya

Sebenarnya setiap saat Allah memberi 2 pilihan ketika disana seakan tidak ada lagi pilihan untuk dipilih; Sabar dan Tawakal
U.NAI-



---------------------------



Saat itu suamiku mungkin panik. Seingatku hari itu ia  bekerja tidak membawa uang cash yang cukup, atm pun tidak. Bagaimana harus dibayar biaya RS nanti?

Ternyata ia membawa segepok uang. Baru saja dibayar salah satu proyeknya, secara cash. Allahuakbar. Ya.. tidak segepok juga sih, tetapi sangat cukup untuk membayar biaya RS waktu itu. Aku menangis di pelukannya. Dokter Caroline tidak hanya mempertanyakan apa aku benar-benar hamil (lalu keguguran), ia juga mengatakan adanya kemungkinan kehamilan di luar kandungan yang harus di operasi kemudian apabila benar terjadi. Tidak sakit badanku, tetapi hatiku yang hancur. Aku sampai di rumah dengan banyak noda darah di terusan merah jambuku dan tatapan sedih keluarga. 


Alhamdulillah, mendung segera berganti cerah. Aku menerima kabar bahwa aku diterima di Kementerian Keuangan. Saat kutelepon ibuku, ia terharu bahagia. 


---------------------------



Sebelumnya, Mamah selalu mendorong untuk cek apa rahim sudah bersih atau ada sisa sehingga perlu di kuret. Baiklah, kami pun pergi ke dokter kandungan. Alhamdulillah. Dokter Mutia di Hermina Depok bilang, rahimku sudah ada isinya. Wah, surprise.. empat minggu usianya.

 Sebenarnya saat itu aku tidak sedang program. Aku menyadari mungkin aku memang terlalu bernafsu untuk cepat hamil. Ketika ia diambil, aku pun kemudian memasrahkan kondisi ini kepada Allah. Dan inilah hadiah dariNya atas kepasrahan itu. 



-------------------------


Hari-hari berlalu dengan kehamilan yang relatif mudah. 

Alhamdulillah.



Hingga masa Diklat Prajabatan pun datang. Aku menjelang tujuh bulan dan paling buncit diantara semua peserta di asrama. Berjalan kesana-kemari. Mengikuti jadwal yang cukup padat bersama kopassus dan rekan2 lain. Hampir setiap malam kakiku sakit dan tawaren (bengkak). 





Aku tidak tahu suamiku mengunjungiku saat aku sedang di lapangan yang jauh dari asrama. Ternyata ia sempat datang membawakanku daster dan keperluan lain. Di hari yang sama keberangkatannya ke Australia. Jauh-jauh mengendarai motor ke Parung untuk mengantar daster? Kadang aku menangis diam-diam karena rindu ingin pulang.



Alhamdulillah .. Diklat pun berakhir. aku lulus dengan nilai yang cukup baik. dan yang paling penting, aku bisa bersama keluargaku lagi, di rumah lagi.

Di usia kandungan tujuh bulan,



Inilah pertama kalinya aku merasakan mudik lebaran ke kampung suamiku. Rasanya unik sekali ketika perut bergoyang-goyang di toilet kereta. Kok perut seperti mau lepas gini?
Di Kudus tempat suamiku banyak yang bertanya, "piro sasi?". Akhirnya.. aku dapat kosakata baru.  Ternyata itu artinya "berapa bulan?". Memang tidak banyak yang aku pahami saat orang orang bercakap di sana. Aku kan, ngga bisa ngomong Jawa! 

-----------------------------

 Hampir lahiran..sedikit lagi..


Akhirnya masa cuti datang. Lelah juga naik commuter juanda - ui. Kadang ada yang bersuara sinis pada ibu hamil berkereta sepertiku. Aku diam saja.

 Geli juga aku kalau ingat masa hamil dulu. Masih tetap rebutan masuk kereta dengan perut buncit. Kadang aku paling depan pintu dan nempel di jendela pintu kereta. Hehe.. gemas sekaligus miris. 

Kalau pulang kerja paling bingung solat di  mana. Kadang turun dulu di stasiun pasar Minggu untuk dapat magrib, kadang di UI..kadang di rumah..pokoknya lelah syekali..hohoho, Alhamdulillah Allah menguatkan.


------------------------------



Menjelang kelahiran

Gerah sekali rasanya ya. Dan ingin cepat-cepat berojol. Hehehe. Masa yang mendebarkan saat menunggu flek kelahiran datang.

Sampai kemudian flek datang dan bukaan pun sudah ada. aku kemudian menginap di klinik bidan. Aku memang ingin melahirkan di bidan saja. Di kamar klinik aku mondar mandir terus agar bukaan cepat bertambah.

Tetapi yang paling tidak terlupakan adalah suakit yang teramat semalaman sebelum anakku lahir. Pasalnya, setelah ada bukaan, mulasku tidak baik. hanya gini gini saja. bukaan pun lama nambahnya. jam sembilan malam hari kamis, bidan pun memberikan opsi induksi agar bukaannya cepat. kalau ini tidak berhasil, nampaknya akan diminta sesar! Baiklah, aku setuju saja. Tidak ada pilihan lain yang aku pahami..
Aku pun dipindah ke ruang bersalin. Infus induksi mulai dipasang. Seingatku saat itu bukaan lima. Haduh Gusti.. Rasanya saat induksi sudah jalan itu.. seperti perutku disayat-sayat saja, berjam jam pula ini terjadi. Lama lama gemes kesakitan...
"Allah Allah..sakit bi..sakit bi..." Berpegangan erat dengan suamiku. Ia hanya menatapku erat, berusaha menguatkan. Ia tidak banyak bicara namun ia seperti mengerti aku hanya ingin didengar. Bahwa ini begitu sakit. Kadang aku tertidur sejenak di antara mulas yang datang. Kelelahan.



-----------------------------
Yahya, nama yang kami dapat dari Qur’an yang mulia, dalam surah Maryam yang menggetarkan hati: 


#Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar 
gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak 
yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum 
pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. 
… 
#Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan 
sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya 
hikmah selagi ia masih kanak-kanak, 
dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi 
Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah 
seorang yang bertakwa, 
dan seorang yang berbakti kepada kedua orang 
tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi 
durhaka. 
#Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan 
dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia 
dibangkitkan hidup kembali. 



Alhamdulillah ya Allah...bukaan sepuluh pun datang dan aku telah berusaha mengejan tapi anakku tidak keluar keluar. mengejan saja sampai satu setengah jam. masyaAllah...
Aku pun tidak mengerti. Semalaman tidak makan dan kesakitan, tenagaku masih ada juga. pukul enam pagi, keluar juga anakku lewat persalinan normal. September 19, Jumat pagi dengan berat 3,6 kilogram dan rambutnya itu..masyaAllah..hitam dan lebat. Tapi kemudian ibuku bilang, "ikhlasin aja ya.."

Yahya rupanya dalam bahaya. Tidak menangis, pun setelah dipukul-pukul bidan dan diberi oksigen. Nafasnya hanya sedikit sekali. Lama-lama ia membiru.


Suamiku segera pergi menuju RS bersama anakku dan seorang bidan. Aku dijahit dua jam kemudian, sepi sekali di tempat bidan.

 habis melahirkan, tapi anakku dibawa pergi dari sisiku. 


--------------------------------



RS pertama menolak anakku. Tidak ada fasilitas. Di RS kedua, anakku segera dibawa ke Neonatal ICU (NICU). 




--------------------------------



Lima puluhan jam setelah melahirkan, akhirnya aku melihat anakku di kotak kaca di NICU. Matanya ditutup, rambutnya banyak, dan badannya kelihatan gemuk dan sehat. Allah! sakit apa anakku...



--------------------------------



Leukosit yang terlampau tinggi, disusul kondisinya yang jaundice (kuning) membuat Yahya harus menginap di RS. Nampaknya ia keracunan ketuban karena terlalu lama di jalan lahir. Drama pemberian ASI pun terjadi. aku berusaha memompa seberapapun, ketika kolostrum masih ada aku wadahi sendok dan kuminta suster memberikannya. Masih kuingat hanya dua sendok yang bisa masuk ke Yahya. Setelah itu, dilarang. 

Alhamdulillah.. setelah sepuluh hari, anakku pun akhirnya  kembali ke rumah. 


--------------------------------




Saat ini sudah dua tahun delapan bulan umur anakku. 

Ia benar menjadi penyejuk mata kami, tidak hanya aku dan suamiku, namun keluarga besar kami. 



Alhamdulillah.




Jakarta, 23 Mei 2017

Aku Suka Sepi Ini

Aku suka sepi seperti ini
Ketika bintang-bintang mulai lelah berkedip
dan angin menanan hembus.
Saat dunia terlihat redup
bersama waktu yang seakan terhenti.

Karena dalam sepi begini
Kita bisa berbincang.
Tidak ... bukan kita yang nerbincang.
Tapi aku yang mengeluh, meminta, beberapa kali berterima kasih
dalam tunduk, dengan takzim. 🌾

RUMAH HARAPAN, Dia Yang Mengikuti Angin

“Tempat saya tinggal digusur, ndi!” Fadli berkata sambil menyeruput kopi yang disuguhkan untuknya.
“Sudah sewajarnya, bertahun-tahun lu menempati tempat itu tanpa biaya sewa,” jawabku tanpa perasaan.
Fadli adalah teman masa kecilku. Bertahun-tahun dia menempati bedeng di tanah milik Pemerintah Daerah. Fadli membangun bedeng seluas 2X2 meter di tanah yang bukan miliknya. Bedeng itu berdiri tepat didepan tempat pemakaman umum. Semua orang di kampung Dukuh sudah menganggap bahwa bedeng itu adalah rumahnya Fadli.
Setiap malam, lokasi di sekitar bedeng sering dijadikan tempat berkumpulnya para preman. Biasanya Fadli dan teman-temannya mabuk-mabukan sampai pagi. Fadli bertahan hidup dengan memalak setiap orang yang lewat di kuburan. Apa yang dilakukan Fadli dan teman-temannya sangat mengganggu ketentraman para penduduk kampung Dukuh. Namun tak ada seorangpun yang berani menegur Fadli dan kawan-kawannya.
“Rencana lu apa, dli?” Kuseruput teh yang menurutku kurang manis.
“Nggak tahu, ndi!”
Kupanggil istriku untuk menambahkan gula pada teh yang kuminum. Istriku muncul dari dalam rumah sambil membawa gula pasir. Sepintas kulihat, tatapan mata istriku agak tajam memandang Fadli.
“Mbak!” Fadli mengangguk kepada istriku.
Istriku membalasnya, walau kuanggap itu hanya basa basi untuk menjaga kesopanan saja. Istriku kembali masuk kedalam rumah. Dia tak lagi peduli dengan apa yang kami obrolkan.
Istriku sedang keranjingan drama Korea, kadang sampai lupa waktu. Sepertinya dia senang aja suaminya kedatangan tamu, jadi tak ada yang mengganggunya menonton berseri-seri drama Korea.
Sejak kecil aku berteman dengan Fadli.  Kondisi keluarga Fadli lumayan mapan. Bapaknya Fadli bekerja sebagai sopir di sebuah instansi Pemerintah kala itu. Penghasilannya lumayan untuk menghidupi keluarga Fadli. Fadli memiliki beberapa saudara yang sekarang tidak pernah ditemuinya lagi.
Satu hal yang juga kusesalkan dari Fadli adalah keengganannya untuk bersekolah. Fadli hanya bersekolah sampai kelas dua SMP. Mendengar kata sekolahpun sepertinya Fadli merasa alergi. Badannya langsung gatal-gatal kalau mendengar orang tuanya menyuruhnya masuk sekolah. Tak ada juga kuasa orang tuanya untuk memaksa Fadli bersekolah.
Pernah kudengar dia bekerja di sebuah restoran Jepang sebagai tukang cuci piring. Saat itu aku sangat gembira karena pada akhirnya Fadli bisa mencari uang untuk makan dengan cara yang benar. Selama ini dia menghidupi dirinya dengan memalak orang lain. Hasil palakannya pun biasanya dihabiskannya untuk mabuk-mabukan.
Tapi sayang, Fadli hanya bertahan tiga bulan bekerja di restoran Jepang itu. Fadli kembali lagi menjadi “kalong”. Dari pagi sampai sore Fadli menghabiskan waktu tidur. Malamnya berjudi dan mabuk-mabukan. Tak terhitung berapa kali Fadli diburu Polisi. Beberapa kali dia bisa lolos, namun juga pernah sekali tertangkap polisi.
“Hidup lu emang nggak ada harapan, Fadli!” aku bicara dalam hati.
Aku berpikir bagaimana mencarikan jalan keluar agar Fadli tidak menjadi gelandangan. Mencari pekerjaan buat Fadli sangat sulit. Apalagi di usianya yang hampir kepala lima. Siapa sih yang mau punya pekerja setengah tua tanpa keahlian dan track record seperti Fadli. Melihat penampilannya saja, orang sudah malas melihatnya. Badan dan mukanya dipenuhi tatto.
Teringat kembali kenapa Fadli memilih jalan hidup yang tidak lazim. Keluarganya tidak lagi memperdulikannya ketika Fadli mulai bergaul dengan preman pasar. Awalnya hanya karena takut dianggap kurang gaul, dia mulai senang mabuk. Setelah dianggap mahir bermabuk-mabukan, Fadli mulai naik level menjadi pemalak orang yang lewat.
Entah kenapa, jaman masih sekolah dulu aku selalu terbebas dari ulahnya Fadli. Dia dan keluarganya baik kepadaku. Walau Fadli sering berlaku jahat kepada orang lain, kepadaku dia tidak berani berbuat jahat. Makanya sampai setua ini kami aku dan Fadli masih berteman.
 “Oya, gua punya temen yang lagi butuh pegawai. Dia pemilik tempat pemotongan kambing. Kalo lu mau, lu bisa kerja di tempatnya. Kayaknya dia butuh orang buat bantuin bersihin kandang,” kuberi tawaran kepada Fadli.
Fadli terdiam. Matanya menerawang jauh. Dihembuskannya asap dari rokok yang dihisap dalam-dalam.
“Lumayan dli, makan minum nggak usah mikir lagi. Bisa dapat tiga kali sehari,” sambungku.
“Besok gua antar deh kesana,” ujarku lagi.
“Iya deh,” akhirnya terdengar juga jawaban dari mulutnya.
 ***

Setelah malam itu, Fadli sudah mulai bekerja di tempat pemotongan kambing. Tugasnya membersihkan kandang. Kadang juga membantu memotong-motong daging yang sudah dipotong. Sesekali kudatangi dan kulihat Fadli ketika sedang bekerja. Aku merasa lega karena setidaknya Fadli selama bekerja tak ada orang yang kena palak. Tidak pula dia mabuk-mabukan.
***

Sebulan kemudian Fadli meneleponku. Harapanku, lewat telpon Fadli memberitahukan bahwa dia akan menikah. Dia akan memulai hidup baru yang lebih baik. Sebelumnya kudengar temanku, pemilik tempat pemotongan kambing itu akan menjodohkan Fadli dengan orang sekitar rumahnya yang sedang mencari teman hidup.
“Lu mau minta gua jadi saksi kawinan lu ya?” ujarku sambil tertawa.
“Bukan, ndi!” suara Fadli pelan dari ujung telpon.
“Kalau gitu, lu perlu bantuan gua ya?” tanyaku lagi.
“Gua  mau pamit, ndi!”
“Emang mau kemana?” tanyaku agak bingung.
“Gua mau ikut berlayar ke Papua. Ada teman yang ngajakin,” jawab Fadli.
“Yakin lu? Kerja di kapal keras. Gua nggak yakin lu balik lagi kesini dalam kondisi baik. Hidup aja udah untung!” suaraku meninggi karena marah.
Pikirku, maunya Fadli ini apa sih. Sudah setua ini masih aja nggak punya arah hidup.
“Gua nggak bisa mundur lagi, ndi. Sekarang gua udah di Tegal,”
“Fadli…Fadli!” teriakku di telpon.
“Selamat tinggal, ndi! Mudah-mudahan gua bisa balik lagi”
Klik, suara telpon ditutup.
Aku hanya terdiam lemas. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Hidup adalah pilihan. Aku masih berharap suatu saat masih bisa bertemu Fadli dalam kondisi hidup.


Depok, 17 Mei 2017

Morning

It all starts with a "Hello"
Then comes a cup of coffee

Then comes other cups of coffee
Suddenly comes milk and tea

Then a ride and a walk
Then one goes to a barbershop

Then one does house chores
Then ones having breakfast

Then ones exercising
Then ones are talking

Then ones are listening
Then ones are thinking

Then one says, "What?"
Then one says, "This"

Then one says, "Why?"
Then one says, "Because"

Then one says, "How?"
Then one says, "Look"

Then ones got confused
Then ones are upset

Then ones are interested
Then ones are nodding

Then ones are smiling
Then ones are giggling

It all starts with a "good morning"
But usually it all ends in laughter


NB: Tulisan ini terinspirasi percakapan di pagi hari

Sepi

Sepi tak berarti kosong
Sepi tak bermakna sunyi

Sepi adalah rehat
Sepi adalah ruang
Di antara makna
Satu sama lain

Sepi adalah indah
Lihatlah bunga merekah
Dalam sepi semalam

Sepi adalah kasih
Lihatlah nelayan
menangkap ikan
Kala kita masih terlelap

Sepi adalah pertaruhan nasib
Lihatlah siswa di ruang ujian

Sepi adalah tanda keahlian
Lihatlah dokter di kamar operasi

Sepi adalah bahasa hati
Ketika tak ada lagi
yang dapat diungkapkan

Biarlah sepi menunjukkan
Siapa kawan kita
dalam kesunyian

NB: Tulisan ini terinspirasi komentar seorang rekan mengenai sepi

Penasihat Yang Bertebaran

"Bu, ke pasar dulu ya," pamit pak Hasan, penjual jus buah di sekitar kantorku yang nampak terburu-buru, khawatir perjalanannya dikalahkan cepat oleh semburat sinar pagi yang lebih dulu menyelimuti pasar, tempat sang bapak biasa membeli buah-buahan. "Hati-hati ya, pak," jawab istrinya singkat sampai-sampai menitipkan kalimat penyemangat pun tak sempat lagi. Tapi sang bapak tahu, pesan singkat itu membawa sirat sebagai penyemangat di setiap mengawali hari-hari nya.

Ini dialog rutin yang sempat terbayang olehku, sepasang insan yang harus mengawali hari-hari menjemput rizqi-Nya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka adalah pejuang yang lebih dini harus mengalahkan rasa kantuk dan capeknya. Mereka harus berpeluh keringat lebih awal dari kebanyakan orang yang masih belum mau kehilangan kehangatan tidurnya. Tentu bukan hal yang ringan.

Pak Hasan dan istrinya, sepasang sosok bersahaja, sudah beberapa tahun ini jualan jus di depan masjid belakang kantorku. Meski aku tahu setiap hari yang datang akan dilewatinya dengan tidak mudah, tapi wajah-wajah polos cerianya tak pernah bermaksud menyembunyikan kenyataan bahwa mereka sangat bahagia, tak ada jejak-jejak beban yang terlihat pada raut muka yang hampir selalu dihiasi dengan senyuman dan kadang canda tawa.

***

Hari ini aku masih merasa tidak tenang setelah mendapat kepastian kabar sejak isu berseliweran di pojok-pojok tak resmi dalam kurun beberapa minggu terakhir ini. Mutasi dan promosi selalu menjadi isu yang menarik diperbincangkan di mana-mana dan sampai pada hari ketika ada kepastian nama-namanya, efeknya juga hampir sama, selalu mengecewakanku. Penyebabnya hanya satu : tidak ada namaku.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku, aku menjadi mudah marah, merasakan selalu ada dorongan-dorongan ambisi yang tak mudah aku kendalikan. Aku juga hampir selalu menemukan cara dan alasan untuk menunjukkan ke orang-orang bahwa akulah yang lebih baik, dan orang-orang yang namanya ada di lembaran keputusan yang baru ditetapkan kemarin itu tak lebih berhak daripada aku. Berdebat menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu, aku seperti menemukan panggung yang akan menjadikan aku sebagai pemeran utama yang akan diagungkan banyak orang. Aku sangat menikmatinya. Semua unsur ini terkombinasi secara sempurna yang menjadikan aku seperti sekarang ini. Rasanya aku sudah memasuki era tentang aku yang baru, bukan aku yang dulu. Entahlah.

Siang ini, mungkin masih terpengaruh oleh kekecewaanku, selera untuk makan siangku belum sepenuhnya seperti biasa, aku hanya ingin minum jus pak Hasan di belakang kantorku itu.

"Apa kabar, pak Hasan?" basa-basi tanyaku setelah beberapa lama aku memang tidak mampir beli jusnya. Seperti biasa, pak Hasan menjawab dengan sangat ramah menyampaikan kabar baiknya juga.

Tak lama kemudian pak Hasan menyodorkan segelas jus buah yang dikenal murah, enak, dan kental, setidaknya jika dibandingkan dengan jus sejenis yang dijual tak jauh dari tempat jualan pak Hasan. Rasa dan tingkat kekentalannya memang tidak berubah, ini yang menjadi daya tarik orang-orang lebih banyak beli jus pak Hasan.

"Lho harganya gak naik pak, kan harga gula sudah naik?" tanyaku penuh keheranan ketika mengeluarkan uang dari dompet lusuhku. Aku bukan pemerhati berita yang baik, tapi untuk hal-hal yang ramai dibicarakan, sedikit banyak aku juga tahu. Hari-hari terakhir ini memang lagi ramai dibicarakan kenaikan harga gula yang berlipat dari sebelumnya.

"Iya pak, belum, masih ada selisih kok, dengan harga yang sekarang ini," jawab pak Hasan yang diamini istrinya dengan senyum meyakinkan.

"Masih ada selisih." Jawaban ini cepat terngiang-ngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang semilir dinginnya langsung sampai ke hati, adem rasanya. Aku hanya merasakan diriku terperangkap antara keharuan dan ketakjuban mendengar kalimat yang keluar dari energi kerendahhatian, kesyukuran, kemerasacukupan dan sangat jauh dari sifat ketamakan.

Sementara aku, masih tak lelah dengan ambisi yang tak bertepi, masih dengan ketamakan yang tak pernah menemukan ujung-ujungnya, masih terpenjara dengan kerasatinggidirian yang ternyata kesemuanya itu hanya memberikan ketidaktenangan yang tak berkesudahan.

Sosok sesederhana yang tertampak itu ternyata mampu membuat seseorang berjalan tertunduk, malu pada keinginan-keinginan liar yang selama ini menghantui dan merisaukan hatinya. Seseorang itu adalah aku, yang terkulai malu oleh kata-kata sederhana yang menyentak di saat yang tepat ketika aku sangat memerlukannya, untuk kembali ke era aku yang dulu.

Tuhan Maha Tahu melalui siapa peringatan-peringatan kebaikan itu akan diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Para penasihat akan kita temui di mana saja, seperti pak Hasan yang aku temui siang ini. Dia memberi contoh nyata, lalu dia mengatakan. Tidak seperti yang kebanyakan kita lihat dan dengar, ungkapan-ungkapan nasihat sering dikatakan mendahului sangat jauh dari tindakan-tindakan nyatanya.

Kisah Iteung, Episode Cantik

"Ibu Cantik, nasinya cukup?" tanya Ibu Kantin sambil menyodorkan piring yang terisi penuh nasi.
"Nggak salah nih, Iteung dipanggil cantik?" hati Iteung setengah percaya setengah nggak.
Ah, sepertinya cuma ilusi aja deh, saking Iteung ngarep dibilang cantik sama orang lain. Selama ini bisa dihitung jari orang yang muji Iteung. Jari jempol aja yang keitung. Satu-satunya orang yang pernah bilang Iteung cantik cuma si Akang. Itupun setelah Iteung acungin palu ke mukanya Akang.
"Ibu Cantik!" suara cempreng ibu Kantin mengagetkan Iteung. Berarti bener kan, Iteung dibilang cantik. Nambah satu jari deh orang yang bilang Iteung cantik.
"Tuh Kang, bener kan Iteung cantik," hati Iteung langsung bersenandung lagunya Kahitna. Ngebayangin Mario Kahitna nyanyi lagu "Cantik" sambil ngasih bunga ke Iteung, bikin Iteung senyum-senyum sendiri. Iteungnya malu-malu sambil muterin badan ke kiri dan kanan. Serasa jadi ABG.
"Bu Cantiiiiik!" teriakan bu Kantin membuyarkan lamunan Iteung.
Mata bu Kantin melotot dan bergerak ke arah belakang Iteung. Seperti kena hipnotis Romi Rafael, badan Iteung berbalik ke belakang. Antrian orang yang mau milih makanan berjejer di belakang Iteung. Kepala mereka kompak geleng-geleng ngeliat kelakuan Iteung. Kayak ngeliat film India.

Daripada panggilan cantik dicabut, Iteung buru-buru nunjukin lauk apa saja yang akan menemani nasi di pagi yang ceria dan bersahabat ini. Karena tqkut aura kecantikan Iteung pudar, Iteung koreksiì permintaan nasi dan lakunya.
"Nasinya kurangin Bu, nggak boleh banyak-banyak sama dokter kecantikan!"
Ibu Kantin mengurangi porsi nasi Iteung sambil menahan rasa mual kayaknya.
"Apa lauknya?"
"Tahu sama sayur sop aja!" jawab Iteung.
"Tumben, biasanya nasi sama lauknya banyak sampe tumpah dari piring," Bu Kantin membocorkan rahasia Iteung.
"Sst....jangan bongkar rahasia!" tangan Iteung ditempel di bibir.

Iteung berlalu dari booth bu Kantin. Orang-orang di barisan belakang memandangi Iteung. Kayaknya mereka kagum dengan kecantikan alami Iteung. Mungkin nanti bakalan banyak yang nanya apa rahasia kecantikan Iteung. Sepertinya Iteung harus bikin sharing session  di kantor untuk menjelaskan tips and trick menjaga kecantikan ala Iteung. Mulai hari ini Iteung harus menjaga sikap biar anggun, jadi kecantikan Iteung paripurna.

Seharian Iteung bolak-balik ke toilet untuk memastikan dandanan tetap oke.
"Bu, kok mondar-mandir ke toilet melulu," Mbak Cleaning Service sepertinya mulai kesel sama Iteung.
"Sembarangan, saya cuma mau memastikan kerjaan kamu beres nggak," ilmu ngeles Iteung keluar. Kalau soal ngeles, Iteung memang jago. Pernah belajar dua semester dulu, ilmu ngeles yang efektif di sekolah kepribadian ganda.

"Mirror, mirror on the wall, Iteung beneran cantik kan?" Iteung pengen memastikan.
"Woi...jangan berisik! Lagi konsentrasi nih," suara dari arah kloset menyadarkan Iteung bahwa cermin tidak bisa dijadikan alat ukur menilai kecantikan seseorang. Untung aja cerminnya nggak pecah.

Besok paginya, Iteung menemui bu Kantin lagi. Kali ini Iteung tampil lebih cantik dan anggun. Busana pun dipilih yang sophisticated.

Iteung antri di belakang.
"Mau makan apa, Cantik?" suara bu Kantin terasa merdu di telinga Iteung.
Iteung langsung lari ke depan antrian.
"Antri, Mbak!" teriak orang-orang di belakang Iteung.
Iteung lihat ibu Kantin melayani orang lain.
"Apa lagi, Cantik?"
"Tambah apa, Ganteng?"
"Lauknya apa, Cantik?"
"Minumnya apa, Ganteng?"
"Terima kasih, Cantik,"
Begitu terus ucapan bu Kantin kepada semua pelanggannya.
"Ibu Cantik, mau makan apa?"
Hilang sudah selera makan Iteung........

Jakarta, 18 Mei 2017


GEMESS (Garing mak kress) : Menuliskan Ide

Supangat sedang giat-giatnya belajar menjadi seorang penulis. Impiannya sejak kecil memang ingin menjadi penulis hebat. Namun karena kesibukan mengejar karir sebagai birokrat, baru akhir-akhir ini dia bisa meluangkan waktunya untuk kembali menekuni dunia tulis menulis. Demi meningkatkan kualitas tulisannya, Supangat juga tak segan untuk mengikuti berbagai pelatihan menulis dari banyak narasumber.

Hingga suatu hari, tanpa diduga di kantor Supangat diadakan pelatihan menulis untuk pegawai yang memang memiliki semangat tinggi untuk membuat karya dari goresan pena (meskipun kini sudah beralih ke keyboard komputer)

Mendengar info tersebut Supangat begitu bersemangat. Tak berpikir dua kali dia langsung menghubungi panitia untuk mendaftar menjadi peserta. Apalagi pembicaranya kali ini adalah seorang penulis yang sudah cukup punya nama.

Singkat cerita, hari itu tiba, Supangat yang sedari rumah sudah berbunga-bunga, segera mengambil bangku terdepan supaya lebih serius menyimak seluruh isi acara. Selama lebih satu jam narasumber menjabarkan berbagai tips dan trik membuat tulisan yang menarik dan disenangi pembaca. Bukan hanya itu, dari materi yang disampaikan juga diselipkan kata-kata motivasi yang sekiranya bisa membuat peserta tergugah untuk mulai mencoba menulis sebanyak-banyaknya.

Saking serunya, Supangat hanya bisa terperangah dengan mulut menganga diiringi anggukan kepala menyimak kalimat demi kalimat dari ahlinya. Dari raut wajahnya tampak rona berseri-seri sambil berimajinasi.

Tibalah saat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Supangat, sesi tanya jawab. Di benaknya sudah tercatat pertanyaan yang akan diutarakannya agar dapat diberikan solusi terbaik langsung dari pakarnya. Tak lama dari MC mempersilahkan bertanya, Supangat sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, untungnya sebelum berangkat kantor tadi Supangat tidak lupa mandi dan pakai minyak wangi.

Setelah dipersilahkan, Supangat langsung meraih mic yang sudah disediakan panitia. Setelah memperkenalkan diri, Supangat langsung mengutarakan pertanyaannya.

"Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Mbak, Jadi begini... " sejenak Supangat menghela nafas.

"Sebagai penulis pemula yang sedang mencoba semangat untuk konsisten menulis, seringkali saya mendapat masalah ketika ingin merealisasikan ide saya. Setiap hari saya selalu ada ide yang ingin saya tulis, tetapi sering kali hanya jadi wacana karena tersita kesibukan yang lain. Mohon pencerahannya Mbak bagaimana tips dan cara menyiasatinya?"
 "Makasih" Supangat menutup pertanyaannya.

Menanggapi pertanyaan Supangat, narasumber yang merupakan seorang wanita muda tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat mic ke depan mulutnya.

"Baik, pertama saya apresiasi sekali ini mas Supangat yang selalu punya ide tiap hari karena yang mahal dari sebuah tulisan itu adalah ide nya. Banyak orang bahkan penulis profesional sekalipun yang malah kesulitan mencari ide tulisannya".

"Kalau dari saya mas, mungkin perlu dirasakan lagi seberapa ingin ide yang ada itu ingin Mas Supangat tulis dan sampaikan. Jadi kita harus benar-benar punya keinginan yang besar untuk menuangkan ide kita tersebut."

 "Tips yang mungkin bisa saya sarankan adalah cintai lah objek atau hal-hal dari ide yang Mas Supangat punya. Karena semua orang sudah pasti setuju bahwa jika kita mencintai sesuatu pasti kita akan berkorban dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya."

"Saya kira begitu juga dengan Mas Supangat, kalau Mas Supangat benar-benar mencintai apa yang menjadi ide Mas tadi, pasti akan berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk bisa menulisnya. Mungkin itu mas yang bisa saya sampaikan"

Narasumber dengan lugas dan jelas menjawab pertanyaan Supangat.

Mendengar jawaban dari pembicara, Supangat tampak malah menundukkan kepala dan mulai menitikkan air mata. Sontak seisi ruangan menjadi bingung, apalagi sang narasumber. Dia jadi salah tingkah dan jadi berfikir apa ada yang salah dengan jawabannya.

"Waduh, Mas apa jawaban saya ada yang salah atau menyinggung? Maaf lho mas" mbak narasumber mencoba mengkonfirmasi

"Ngga kok mbak, ga ada yang salah" jawab Supangat sambil tetap tertunduk.

"Benar yang mbak katakan tadi, kita memang harus benar-benar mencintai ide yang ingin kita tuliskan, tapi mbak... " kalimat dari mulut Supangat terhenti.

"Tapi mbak... masalahnya.... dia sudah punya suami..." Supangat mencoba melanjukan dengan suara yang mulai terasa berat dan air mata yang makin deras.

"Saya benar-benar mencintainya mbak, tapi dia lebih memilih orang lain...makanya saya selalu ga kuat menuliskan ide saya itu" Mas supangat malah terus curhat.

Sesaat kemudian Mas Supangat lari ke pojokan sambil sesenggukan berusaha menahan tangis dan sesekali menyeka air mata. Tamat!