Tampilkan postingan dengan label Handoyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Handoyo. Tampilkan semua postingan

Secangkir Kopi Pahit

Pagi cerah indah berseri
Siapkan sarapan pagi sendiri
Secangkir penuh kopi pahit
Ditemani tahu dan cabe rawit

Pedas terasa menambah gairah
Membuat pagi semakin cerah
Kopi pahit penawar rasa
Siap dihirup nikmat tak terkira

Mendadak badan menjadi lemas
Mulut semakin terasa panas
Kopi pahit tak dapat dirasa
Tersadar kini bulan puasa

Selamat tinggal kopi pahit tersayang...

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

Pagi Cerah di KRL

Mengangguk angguk sambil duduk
Wajahnya ditutupi buku
Tak kuasa menahan kantuk
Sampai badan jadi membungkuk

Tak peduli tatapan sinis seorang ibu
Berdiri pegal kaki membiru
Tak dinyana ada gadis imut
Membuat hati jadi terbelenggu

Hilanglah segala kantuk
Senyum manis menawarkan duduk
Berharap suatu saat kembali bertemu
Berangan angan kasih kan terpadu

Mendadak hati mengkerut
Terkesiap ketika tahu
Gadis imut anak si ibu
Tak mungkin jadi menantu

CURCOL SI AKI (Episode II : Hari yang Melelahkan... )

Hari yang melelahkan.....

Pukul 08.30 kami sampai di insitusi penegak hukum. Berarti masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap karena dalam surat panggilan yang diterima, pemeriksaan akan dilakukan pada pukul 09.00.  Pak Arham melakukan koordinasi dengan petugas penerima tamu sementara kami menunggu di ruang tunggu. Aku melihat ke sekelilingku. Kulihat banyak juga orang-orang yang sering kulihat di televisi sedang duduk menunggu pemeriksaan.. Ada mantan menteri, ada pejabat publik aktif, ada juga pengusaha terkenal. Kelihatannya korupsi di negeri ini telah merambah ke segala penjuru. Semoga saja mereka hanya sebagai saksi yang tidak terlibat dalam kejahatan kerah putih ini.
 Tiba saatnya giliran kami untuk diperiksa. Semua peralatan komunikasi diminta dimasukkan ke dalam locker yang telah disediakan dan selanjutnya kami menuju ruang pemeriksaan.

Ruang pemeriksaan yang cukup kecil menjadi terasa semakin sempit ketika kami berempat  masuk ke dalamnya. Ruang itu hanya berukuran 2x2 m dan di setiap sudut dilengkapi dengan cctv yang mengarah kepada orang yang diperiksa. Tak lama masuk pula 2 orang petugas. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai ketua tim pemeriksa dan seorang lagi sebagai anggotanya. Setelah itu kami diminta mengisi formulir yang berisi isian penjelasan identitas kami secara singkat, baik nama, jabatan, tempat tanggal lahir, alamat, dan sebagainya.

“Selamat pagi Bapak-bapak. Bisa minta tolong dijelaskan sedikit apa yang Bapak ketahui mengenai kasus yang sedang kami tangani ini?” tanya Ketua Tim.

“Maaf Pak, saya masih baru menduduki jabatan kasubdit. Saya tidak tahu sama sekali permasalahan apa sebenarnya yang terjadi. Kejadian itu kalau tidak salah saya baca dalam surat panggilan terjadi 8 tahun yang lalu. Sementara saya menjabat baru setahun ini,” kata Pak Rusdi dengan sangat santun. Tak terlihat lagi kegagahan dan kegalakannya yang sering terlihat di kantor.

“Sama Pak, saya juga baru 1,5 tahun ini menjabat sebagai kepala seksi. Sampai saat ini pun saya masih dalam taraf belajar dengan pekerjaan saya ini,” sambung Mas Antok dengan pelan. Tak terlihat lagi sikap kritis dan percaya dirinya yang biasa terlihat sehari-hari.

Ketua Tim Pemeriksa itu mengangguk-angguk sambil membaca formulir yang telah diisi, lalu menatap ke arahku, “Berarti tinggal Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino yang memenuhi persyaratan untuk memberikan keterangan. Saudara ada pada saat kejadian dan kalau melihat latar belakang pendidikan Saudara yang sarjana pasti dapat menjelaskan dengan gamblang.”

Aku hanya terdiam dan tidak mengerti apa maksud perkataannya itu.

“Bapak-bapak yang lain kami persilahkan meninggalkan ruangan. Di luar tersedia ruang tunggu apabila Bapak akan menunggu. Akan tetapi apabila Bapak masih ada pekerjaan lain diperkenankan untuk kembali ke kantor dan kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak. Sementara Saudara Rocky kami tahan dulu disini untuk memberikan keterangan, semoga malam nanti sudah bisa pulang,” lanjut Sang Ketua Tim dan duerr....aku langsung syok mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. “Seingatku aku diminta ikut untuk membantu membawa berkas dan tentu saja ditambah tugas tambahan yang kuajukan sebagai driver dadakan. Mengapa sekarang aku yang diperiksa dan mereka boleh pulang ?” kataku dalam hati.

Pak Rusdi menepuk bahuku dan berkata, “ Tinggal dulu ya Ki.Tolong bantu Bapak-bapak ini menjelaskan. Saya yakin kamu pasti bisa.”

Aku hanya melongo tidak menjawab sambil menatap semua orang termasuk petugas pemeriksa meninggalkan ruangan sempit itu.

Tak lama kemudian dua orang petugas yang berbeda masuk kembali ke dalam ruangan. Duduk manis dihadapanku (meskipun aku merasa sama sekali tidak manis, yang kurasakan malah super kecut dan pahit) kemudian memperkenalkan diri dan memulai pemeriksaan dengan kalimat tanya yang menurutku hanya formalitas belaka. “Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, apakah Anda dalam keadaan sehat dan siap menjalani pemeriksaan pemberian keterangan saat ini?” tanya salah seorang petugas.
Mau tidak mau kujawab “Sehat Pak. Saya siap memberikan keterangan.”
Aku tidak dapat membayangkan seandainya kujawab “ Saya sakit Pak. Saya terpaksa duduk di sini karena keadaan dan nasih buruklah yang membawa saya ke sini.”

Kalau kujawab seperti itu pasti pemeriksaan dihentikan dan bisa-bisa di kantor aku diamuk bukan hanya oleh Pak Rusdi tapi juga oleh Direkturku.

Kembali ke laptop...

Selanjutnya pemeriksa menjelaskan secara singkat kasus yang sedang mereka tangani dan kenapa mereka meminta perwakilan dari unit kerja kami untuk memberikan keterangan. Seperti yang kuduga ternyata diindikasikan terdapat pengeluaran fiktif dalam jumlah yang cukup besar (paling tidak cukup untuk membeli rumah mewah beserta isinya). Mereka juga menunjukkan dokumen-dokumen yang telah mereka peroleh dan yang mengejutkanku dokumen yang mereka miliki jauh lebih lengkap daripada  yang ada padaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen dimaksud. Selain menunjukan dokumen-dokumen yang mereka miliki, juga ditunjukan orang-orang yang telah mereka periksa yang sebagian besar adalah orang-orang yang kukenal dan sering hadir dalam rapat-rapat yang kami adakan.
Setelah menjelasakan secara singkat kasus yang mereka hadapi mereka mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang menurutku tidak terlalu sulit,  yaitu mengenai prosedur pengalokasian beserta dasar hukumnya. Aku dapat menjelaskan dengan tenang karena suasana yang mereka bangun tidak seperti yang kubayangkan. Selama ini kubayangkan kalau berhubungan dengan aparat dimana kita sebagai “terperiksa” maka yang ada hanyalah bentakan-bentkana, intimidasi, atau sampai seperti yang pernah kubaca di suatu media, dimana ada edisi “injakan kaki” atau “sundutan rokok” dan sejenisnya. Suasana saat pemeriksaan cenderung santai dan lebih mirip dengan diskusi.

Akhirnya edisi diskusi penganggaran selesai juga. Sesi berikutnya cukup memeras otak. Bagaimana tidak, aku harus mengingat-ingat kejadian 8 tahun yang lalu. Siapa saja dan apa peran mereka maisng-masing dalam pengalokasian anggaran untuk kasus yang sedang diselidiki. Belum lagi dalam rapat-rapat yang diadakan ditanyakan siapa saja mitra kerja yang hadir dan apa peranan mereka. Aku sedikit khawatir jangan sampai apa yang kusampaikan tidak sesuai dengan dokumen yang telah mereka peroleh atau aku salah memberikan keterangan yang menyebabkan perubahan nasib seseorang dari “saksi” menjadi “tersangka”. Cara-petugas pemeriksa memberikan pertanyaan masih terlihat santai tetapi pertanyaannya jauh lebih mendalam dan mereka terlihat lebih serius. Beberapa kali aku ditinggal sendiri selama beberapa waktu. Tak jarang pula pertanyaan yang sama diulang-ulang setelah selang beberapa waktu.

“Baiklah Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 diskusi ini kita break dulu, silahkan kalau Saudara akan sholat nanti langsung saja ke musholla. Setelah selesai sholat silahkan kembali ke ruangan ini,” ujar petugas pemeriksa.

“Terima kasih atas bantuannya sejauh ini. Diskusi kita lanjutkan nanti setelah istirahat.,” lanjutnya lagi sambil beranjak dari ruangan.

Aku sebenarnya agak kurang setuju dengan istilah “diskusi” karena setelah sesi pertama selesai selanjutnya pertanyaan hanya searah, mereka bertanya dan aku yang harus menjawab semua pertanyaan. Tidak mungkin aku balik bertanya kepada mereka misalnya, mengenai “apa peranan mereka” atau “dimana mereka waktu kejadian itu” atau “dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen itu”. Kalau kutanyakan hal itu bisa jadi suasana malah menjadi runyam.

Sewaktu aku keluar ruangan aku terkejut, ternyata Pak Rusdi dan yang lain masih ada di luar.

“Wah, Bapak masih di sini. Saya jadi terharu ditungguin Bapak-bapak,” ujarku tersipu-sipu.

“ Bukan nungguin kamu Ki, tapii... mana kunci mobilnya. Bagaimana kami mau pulang kalau kunci mobil kamu pegang,” jawab Pak Rusdi.

“Hehehehe..” aku tertawa kecut sambil menyerahkan kunci mobil kepada Pak Rusdi.

“Bagaimana tadi di dalam?” tanya Pak Rusdi.

“Aman Pak. Pertanyaan-pertanyaannya hanya sekitar prosedur pengalokasian serta kejadian waktu rapat penelaahan dulu,” jawabku.

“Hanya saja banyak yang lupa Pak. Maklum 8 tahun yang lalu,” tambahku lagi.

“Tenang saja Ki, meski kami tidak bisa masuk tapi kami tetap dukung kamu dari jauh. Semoga lancar dan cepat selesai pemeriksaannya,” kata Pak Rusdi sambil menepuk bahuku.

“Terimak kasih Pak,” jawabku. Kami masih berbincang-bincang sebentar sampai kemudian Pak Rusdi dan yang lain pamit kembali ke kantor.

“Kalau sudah selesai pemeriksaanya, nanti telepon saja. Nanti akan ada yang menjemput kamu kembali ke kantor,” kata Pak Arham.

“Terima kasih Pak,” jawabku.

Setelah aku kembali ke ruangan mungilku yang penuh dengan pajangan CCTV kulihat di atas meja telah tersedia sajian makan siang. Tak seperti yang kubayangkan, menu makan siangnya ternyata jauh lebih menggairahkan dibandingkan nasi kotak di kantor. Aku tak tahu apakah itu betul-betul karena memang menunya yang menarik atau karena aku sedang kelaparan setelah dihujani pertanyaan bertubi-tubi selama hampir 3 jam.

Sesi selanjutnya kalau boleh kesebut sesi "remedial" atau sesi "deja vu". Pada sesi ini pertanyaan yang telah diajukan kembal dilontarkan dengan cara dan bahasa yang berbeda serta secara acak diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Petugas pemeriksanya pun bergantian dan kadang diselingi dengan menghilangnya pemeriksa dari hadapanku secara mendadak untuk beberapa menit bahkan pernah terjadi aku ditinggal sendiri sampai setengah jam.
Selama masa “break” itu yang terpikiri di benakku bukanlah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tetapi justru aku teringat dengan nasib RKA-KL yang harus kuselesaikan. Sedari tadi Pak Rusdi tidak menyampaikan kalau aku mendapat dispensasi penyelesaian kewajibanku karena harus memenuhi panggilan tugas negara ini. Ini berarti mau tidak mau aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Meskipun mas Ridho sudah menyanggupi untuk mengambil alih pekerjaanku hari ini tapi aku belum merasa tenang juga. Aku khawatir mas Ridho kesulitan menghadapi mitra kerjaku yang aneh bin ajaib itu.

Akhirnya menjelang maghrib edisi tanya jawab berakhir juga. Tinggal edisi selanjutnya yaitu edisi pemberkasan. Mengingat pemeriksaan yang dilakukan masih dalam tahap penyelidikan maka yang dibuat bukanlah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tetapi semacam surat pernyataan pemberian keterangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepada saksi-saksi serta bukti-bukti yang dikumpulkan  baru nanti dapat diputuskan apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan ditetapkan tersangkanya.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang agak menegangkan bagiku adalah ketika petugas pemeriksa menyodorkan daftar nama yang sebgian aku kenal baik, sebagian lagi aku hanya tahu namanya, bahkan ada yang sama sekali tak kukenal. Pertanyaan yang diajukan adalah siapa saja yang aku kenal, dimana aku mengenalnya, sejauh mana aku mengenalnya, apa yang pernah mereka berikan kepadaku, apa yang pernah aku terima, dan seterusnya dengan kalimat tanya yang berbeda-beda dan berulang-ulang. Tentu saja semua pertanyaan itu kujawab apa adanya dan kalaupun aku lupa kujawab saja apa adanya bahwa aku lupa. Khusus untuk pertanyaan “Apakah Saudara pernah menerima sesuatu ?” dan pertanyaan sejenisnya, tentu saja kujawab apa adanya pula karena memang aku tidak pernah menerima sesuatu apa pun dari mitra kerjaku.

Ketika istirahat menjelang maghrib terdengar seseorang memanggiulku “Bro

Ki, masih betah di sini ?”

Aku menengok, ternyata dari balik sebuah pintu muncul sesosok wajah yang sangat kukenal. Teman sekantorku yang telah memutuskan bermigrasi menjadi bagian dari unit penegak hukum  ini meskipun tugasnya tetap sama dengan tugasnya yang lama, tidak jauh dari menghitung angka-angka.

“Tadi aku sempat ngobrol dengan Pak Rusdi, Pak Arham, dan mas Antok, “ lanjutnya lagi.

“Udah selesai belum ?”

“Belum, tapi katanya tinggal pemberkasan aja,” jawabku.

“Santai sih pemeriksaanya. Mereka juga baik-baik,” lanjutku.

“Ya santailah, kalau kamu kena OTT atau kamu pernah terima sesuatu baru beda rasanya. Kamu merasa gak terlalu tegang karena gak punya salah” katanya pula.

“Bener juga ya,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Biasanya dipanggil lagi gak kalau begini? Tadi banyak yang aku lupa. Maklumlah udah 8 tahun yang lalu. Mana aku ingat detail kejadiannya,” tanyaku lagi.

“Tergantung kebutuhan juga sih. Tapi kalau level pelaksana dan gak menerima apapun atau gak liat suatu kejadian yang aneh biasanya jarang dipanggil lagi. Lagian sebenarnya kan bukan kamu yang dipanggil tapi kamu hanya mewakili institusi aja,” jawabnya lagi.

Aku hanya mengangugk-anggukkan kepalaku mendengar jawabannya.

Akhirnya sesi pemberkasan selesai sekitar pk.20.00 dan setelah prosesi penandatanganan surat keterangan dan berbasa-basi sebentar dengan para petugas yang setia menemaniku dari pagi hingga malam harinya akhirnya aku diperkenankan pulang dan diantar sampai ke pintu keluar. Tentu saja dengan sikap mereka yang tak berubah, tetap sopan dan ramah serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuanku seharian ini.

Sampai di luar, sesuai arahan Pak Arham agar segera menelepon kalau sesi pemeriksaan telah selesai,  maka kutelepon Pak Arham.

“Assalamualaikum Pak Arham. Ini Rocky Pak. Saya sudah selesai dan sudah boleh pulang Pak.”

“Wah mas Aki, maaf mas...saya sudah pulang. Ini saya sudah di rumah. Di kantor juga sudah pulang semua, jadi kelihatannya tidak ada yang bisa jemput mas Aki. Mas Aki bisa kan pulang sendiri? Tadi dibuatkan surat tugas tidak ? kalau ada surat tugas berarati mas Aki bisa langsung pulang ke rumah. Tidak perlu kembali ke kantor lagi,” Jawab Pak Arham.

Malangnya nasibku, karena rencana awal aku hanya membawakan berkas Pak Rusdi sehingga tidak disiapkan surat tugas buatku. Aku pun tak menyangka harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan selama ini.

Selanjutnya kutelepon Pak Rusdi. Ternyata tidak diangkat. Kucoba lagi sampai tiga kali ternyata tidak juga diangkat. Akhirnya kucoba telepon mas Antok.

“Mas, saya sudah selesi nih,” kataku.

“Waduh Ki, aku udah di KRL. Pak Rusdi juga tadi udah pulang duluan. Katanya ada keperluan,” jawab mas Antok.

Hmmm...ini berarti aku harus kembali ke kantor sendiri. Kubuka dompet ternyata aku lupa membawa uang. Kucoba merogoh saku celanaku, ternyata ada terselip beberapa koin seribuan dan limaratusan. Kuhitung 1..2..ada 2 koin seribuan. Lalu... 1..2..3.. ternyata ada 3 koin limaratusan. Jadi total ada uang Rp3.500,0. Pas sekali untuk ongkos naik bus Trans Jakarta.

Sesampainya di kantor aku segera ke ruanganku dan ternyata mas Ridho belum pulang dan masih menungguiku.

“Wah. Akhirnya pulang juga kamu Ki. Hampi aja aku nginep di kantor nunggguin kamu. Ini udah selesai semua mainan kamu,” katanya sambil menyerahkan berkas hasil penelaahan.

“Tadi sudah langsung mereka perbaiki. Besok tinggal kamu selesaikan aja proses administrasinya,” lanjutnya lagi.

“Terima kasih banyak mas. Jadi ngerepotin nih,” jawabku sambil betul-betul terharu atas bantuan mas Ridho. Aku betul-betul bersyukur memiliki teman seperti mas Ridho.

“Santai aja Ki. Gimana tadi di sana. Seru gak ?” tanyanya.

“Seru apanya mas..capeknya itu loh. Seharian ditanya-tanya terus,” kataku.

“Tapi alhamdulillah, udah selesai dan aman tentram damai. Kondisinya tidak seperti yang dibayangkan selama ini. Mereka betul-betul udah profesional kok,” lanjutku lagi.

“Siiplah kalau begitu. Sekarang kita pulang dulu, istirahat. Apalagi kamu seharian nonstop. Besok dilanjut lagi ceritanya,” ujar mas Ridho sambil bersiap-siap untuk pulang.

Setelah kejadian itu aku mencoba mencari informasi mengenai kemungkinan kelanjutan hasil pemeriksaanku. Sebagian besar orang yang kutanya berpendapat tidak akan ada kelanjutan panggilan lagi mengingat yang kutahu hanya sedikit dan jawaban yang dapat kuberikan lebih banyak bersifat normatif dan prosedural saja. Ada teman yang ahli hukum mengatakan kalau aku bukan saksi penting karena sebenarnya aku tidak tahu apa-apa atas kasus tersebut.

Setelah berselang hampir 2 tahun dari kejadian itu dapat kukatakan kalau aku sudah hampir lupa dengan kejadian tersebut. Tiba-tiba...

“Ting..tong..ting..tong...” terdengar ponselku berdering. Kulihat di layar tertera nama istriku yang baru kunikahi 3 bulan yang lalu.

“Assalamu'alaikum... ada apa Honey ?” ujarku menjawab panggilan telepon itu.

Terdengar suara istriku bergetar di seberang sana seolah akan menangis, “ Wa'alaikumsalam, Mas ini Bapak, Ibu sama kakak kakak sedang kumpul di rumah. Waktu sedang ngobrol di teras barusan ada tamu datang pakai seragam. Dia bawa surat panggilan pemeriksaan atas kasus korupsi untuk kamu. Ada apa sebenarnya Mas ?”
Kemudian terdengar pelan isak tangis istriku.

“Haaah...” aku ternganga.

Gerimis Menangis

Bocah kurus yang beringus
Melangkah terus menenteng kardus
Wajah tirus menatap lurus
Terberangus raga tak terurus

Wanita menjelang senja
Bergaya layaknya remaja
Terlupa mahligai keluarga
Terbawa pesona pemuda

Lelaki berkumis yang tak lagi klimis
Hati miris ucap tak digubris
Kekasih manis beri luka mengiris
Mimpi dikais di ujung gerimis


Edisi bengong dalam bus jurusan Senen-Cimone yang ngetem

CURCOL SI AKI (Episode I : Hari yang Mengejutkan...)


“Wuaahh...akhirnya selesai juga,” aku menatap tumpukan Kertas Kerja RKA-KL beserta data dukungnya yang telah kutandai bagian-bagian yang memerlukan perbaikan. Juga telah kusiapkan resume perbaikan yang harus dilkaukan. Ini adalah satker terkahir yang belum kuselesaikan. The last but not the least...paling akhir tapi petugas-petugasnya yang paling susah mengerti kalau dijelaskan dan besok adalah batas terakhir penelaahan. Mas Ridho teman sebelahku hanya melirik sambil tersenyum, “Wah, udah siap karnaval nih RKA-KL-nya.”
Mas Ridho sering meledek aku karena kebiasaanku memasang kertas sign it berwarna warni pada bagian-bagian dokumen yang memerlukan perbaikan.

Waktu sudah mendekati pukul 17.00 dan meja segera kubereskan agar tak ber”berkas” lagi. Aku memang lebih suka pulang tepat waktu daripada menunda pekerjaan dan menyelesaikan setelah jam kerja alias lembur. Tiba-tiba perasaanku tidak enak, terasa ada yang memperhatikanku dari sisi sebelah kiri. Kupalingkan wajahku ke kiri dan...benar saja  !! Seraut wajah yang terlihat kusut menatapku dari ruang kaca di sebelah kiri lalu melambaikan tangannya.

“Arrgghhh.. bakalan gagal pulang nih,” kataku dalam hati. Kasubditku tercinta ini memang punya hobi yang agak unik. Beliau suka mengajakku diskusi tentang apa saja menjelang jam pulang, khususnya kalau di mejanya sudah tidak ada lagi konsep nota yang harus diperiksa atau surat masuk yang harus didisposisi. Biasanya aku terselamatkan oleh adzan Maghrib. Beruntunglah aku tinggal di Indonesia tercinta yang adzan maghribnya berkumandang dengan indahnya di kisaran pk.18.00. Tak bisa kubayangkan kalau aku tinggal di Azerbaijan atau Usbekhistan atau negara lain yang waktu sholat maghribnya pada waktu-waktu tertentu baru masuk sekitar jam sembilan malam. Kalau itu terjadi bisa-bisa aku pulang hampir tengah malam.

“Siap Pak, apa yang harus saya kerjakan,” ujarku sambil duduk dihadapannya. 
Hal yang sama yang selalu kukatakan setiap ada panggilan diskusi menjelang petang.  Pak Rusdi hanya menyodorkan selembar surat dan perintahnya singkat, “Baca!”
Kuambil surat tersebut, mataku terbelalak membaca kop surat tersebut. Sebuah surat panggilan permintaan keterangan alias pemeriksaan dari institusi penegak hukum untuk besok pagi !!
“Panggilannya ditujukan kepada Pak Dirjen, hanya Beliau tidak bisa hadir karena masih berada di luar kota. Barusan Pak Direktur minta saya mewakili karena besok Beliau ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Pak Rusdi menjelaskan.
“ Kasus ini mengenai beberapa kegiatan fiktif yang kejadiannya sekitar 8 tahun yang lalu,” lanjutnya lagi.
“Waktu kejadian itu bahkan saya belum bertugas di sini. Mungkin kamu juga masih baru waktu itu. Coba kamu catat dokumen-dokumen yang perlu saya bawa besok pagi dan tolong kamu siapkan malam ini juga,” kemudian Beliau mendiktekan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Panggilan sore ini begitu singkat tetapi berdampak sistemik. Kalau biasanya selesai saat waktu sholat Maghrib dan setelah sholat aku bisa pulang, kali ini pertemuan tidak sampai 10 menit tetapi bisa dipastikan untuk menyelesaikan arahan Beliau butuh waktu cukup lama. Untung saja setiap dokumen selalu aku “scan” dan kubuat pertelaahan agar mudah mencarinya. Juga untuk regulasi-regulasi sudah kubuatkan dalam bentuk file pdf secara tematik berurutan dari tahun ke tahun. Hal ini sudah menjadi kebiasaan pada subdit kami  Alhamdulillah..seluruh dokumen yang diperlukan ada pada arsip digital subdit kami. Sekitar pukul 20.00 semua berkas telah aku copy dan aku letakkan di meja Pak Rusdi.
              
Keesokan paginya ketika aku sedang mempersiapkan rapat penelaahan RKA-KL tiba-tiba terdengar suara, “Ki, ke ruangan sebentar.”
Aku pun bergeas ke raungan Pak Rusdi. Lalu Beliau beranjak dari kursinya sambil berkata, “Ikut saya menghadap Direktur. Bawa itu sekalian !” katanya sambil menunjuk berkas yang telah ku-copy semalam. Aku pun mengikuti Beliau menuju ruang Direktur.
“Memang ini bagian dari tanggung jawab kita dalam membina K/L. Meskipun kita tidak terlibat di dalamnya tetapi secara moral kita tetap bertanggng jawab atas apa yangterjadi di K/L. Dalam melkaukan pembinaan kepada K/L sebaiknya kita tidak hanya memberikan pengertian mengenai sistem penganggaran tetapi juga mengingatkan mereka untuk tidak melakukan pelanggaran. Bisa juga kita kasih contoh kasus-kasus yang pernah terjadi supaya mereka sadar apa akibatnya kalau melakukan pelanggaran. Urusannya bukan hanya dengan auditor tetapi juga dengan penegak hukum. Tidak apa-apa, ini akan jadi pengalaman baru untuk kamu Ki,” kata Direkturku sambil tersenyum menatapku. Aku agak terkejut mendengar perkataan Direkturku tadi. Keterkejutanku pertama, karena ternyata beliau tahu namaku. Aku kira aku tidak dikenal atau bahkan namaku sudah terlupakan karena selama sembilan tahun bekerja aku belum pernah dimutasi sementara teman-temanku yang lain telah mengalami tour of duty, bahkan ada yang telah mengalami 2 kali mutasi. Keterkejutanku yang kedua, karena Beliau menyampaikan arahannya kepadaku bukan kepada Pak Rusdi. Sambil masih agak terkejut disertai sedikit kebingungan juga, aku kembali mendengarkan arahan Direkturku mengenai beberapa hal yang diperhatikan ketika menjawab pertanyaan penegak hukum. Disamping itu Beliau juga menceritakan pengalaman-penaglaman Beliau ketika diperiksa pengeak hukum baik sebagai saksi kejadian maupun saksi ahli.   

Selesai mendapat arahan Direktur aku dan Pak Rusdi kembali ke ruangan dan Beliau meminta aku dan Mas Antok, kepala seksiku, untuk bersiap-siap mendampingi Beliau. Aku masih sedikit bingung, bukan karena harus mendampingi dalam pemberian keterangan / pemeriksaan, tetapi lebih karena hari ini adalah batas akhir penelaahan, sedangkan masih ada 1 satker yang belum kutelaah. Aku tidak berani menyampaikan hal tersebut kepada Pak Rusdi dan berharap Mas Antok yang akan melaporkan. Akan tetapi ternyata hal itupun tak dilaukannya. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku sambil berbisik,” Tenang Bro, biar urusan RKA-KL aku yang beresin. Asal jangan lupa contekannya ditinggal juga. Jangan dibawa!” bisik mas Ridho sambil tersenyum.
“Makasih Mas, gak enak nih jadi ngerepotin,” bisikku setengah mendesis.
“Santai aja, kamu kan juga sering bantuin aku kalau sedang banyak kerjaan. Kita ini satu tim, kita harus saling isi, saling tolong menolong. Nikmati aja perjalananmu,” katanya lagi sambil nyengir kuda.
Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Aku berjalan tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Pak Rusdi dan Mas Antok sambil membawa berkas yang lumayan berat yang ku-copy semalam. Di lobby sudah menunggu Pak Arham dari bagian Kepatuhan Internal dan Bantuan Hukum yang bertugas mendampingi.
“Pakai mobil saya saja.” Kata Pak Rusdi.
Mengingat aku yang paling junior dan aku pula satu-satunya yang bukan pejabat struktural maka kutawarkan diriku untuk mengemudikan mobil Pak Rusdi. Lengkap sudah tugasku hari ini, angkut-angkut barang  lalu menjadi driver, setelah sebelumnya semalam menjadi tukang foto copy. Mungkin memang ini konsekuensi menjadi pegawai paling junior. (Bersambung)

Cinta Tak Bertepi


Cinta tak bertepi
Bisu dalam kata, sepi dalam canda
Selaksa pengorbanan tlah terbukti
Terpatri dalam bilur kebahagiaan
Dalam naungan ridho Ilahi

Cinta tak bertepi
Terdiam dalam keabadian
Tertunduk dalam kuasa Ilahi
Menanti panggilan Sang Kholiq
Tuk menyatu kembali dalam surga-Nya


Teruntuk kedua orang tuaku yang cinta mereka tak pupus sampai Sang Khaliq memisahkan dan semoga menyatu kembali di surga-Nya nanti.

Edisi nyekar 09052017

Negeri Atas Uang

Wahai kawan…pernahkah kau dengar negeri atas uang ?
Negeri nun jauh di sana yang didirikan di atas uang
Yang pemimpinnya bisa dibeli dengan uang meski tak suka uang
Politisi, jaksa, hakim, pendidik, tokoh agama, dan masyarakat pun bisa dibeli dengan uang
Bahkan para pesakitan bisa jadi pahlawan kalau disukai para pemilik uang
Sebaliknya para pahlawan bisa jadi penjahat kalau tidak disukai pemilik uang
Mayatpun bisa hidup kembali kalau diminta para  pemilik  uang
Uang menjadi panutan di negeri itu meski tak terdaftar sebagai agama di kementerian manapun
Karena itu jangan macam-macam dengan para pemilik uang..

Enyah kau tikus tikus kotor....kau masih bisa hidup di sini bukan karena kau layak hidup di sini
Kau masih bisa tidur nyenyak di sini karena kami pemilik uang masih senang bermain denganmu
Kami masih senang melihatmu menari kegirangan ketika sekeping uang kami lemparkan padamu
Kami masih senang melihatmu menderita karena tak punya uang
Kami masih senang melihatmu mengemis ngemis dan berebut atas nama uang

Negeri ini memang negeri atas uang
Kami bangun hanya untuk kami para pemilik uang
Kali-kali kami bersihkan, gedung megah kami bangun... semua untuk kesenangan kami
Bukan untuk kalian para tikus kotor.. jadi kalian jangan senang dulu
Tapi tak apalah kalau kalian ikut senang
Supaya kalian tak lari dan masih bisa kami suruh- suruh
Masih bisa kami maki-maki.. masih bisa kami jadikan kambing hitam
Kalau tak ada kalian siapa lagi yang harus kam persalahkan

Negeri ini negeri atas uang.. yang didirikan atas nama uang
Untung aku tak tinggal di negeri itu..karena aku hanyalah tikus kotor yang tak punya uang


Edisi menunggu jemputan yang tak kunjung tiba

Pak Cilik


Coret-coretan yang dibuat sewaktu Workshop Menulis Inspiratif tanggal 13 April 2017...


EDISI : PAK CILIK



Pagi ini Pak Cilik sedang mematutkan diri di depan cermin. Bajunya rapih, setrikaannya licin sampai-sampai kalau ada lalat yang menclok pasti kepleset dan langsung meluncur jatuh bagaikan naik perosotan di water boom. Sepatunya juga gak kalah keren..kinclong laksana cermin. Saking kinclongnya sering jadi rebutan dipinjam para jomblo di kantornya buat ngaca. Meskipun begitu  dresscode kerja Pak Cilik tidaklah mahal dan disesuaikan dengan budgetnya yang tidak seberapa sebagai PNS cilik.


Setelah menyeruput kopi buatan istri tercinta yang menurutnya lebih lezat dari kopi luwak di berita-berita, Pak Cilik langsung menaiki sepeda motor tuanya yang masih kelihatan kinclong dan terawat. Prinsip Pak Cilik memang "Biar miskin asal keren, slamet..slamat..slumut.."


Jam menunjukkan pukul 07.00 waktu Pak Cilik sampai di kantor..absen lalu langsung tancap gas siap-siap bekerja. Mejanya rapi luar biasa, tidak ada tumpukan dokumen yang menumpuk di mejanya karena memang tugas Pak Cilik di kantor bukan menumpuk berkas tapi menerima surat, dicatat, langsung diantar ke unit tujuan. 


“Pageeee Pak Cilik, rajin amat pagi-pagi udah kerja, santai dulu dong. Jangan terlalu serius gitu” ujar Ricky pegawai muda yang belum lama pulang tugas belajar dari Amerika. 


“Pagi juga Ricky, kalo kerja pagi pagi gini lebih enak, masih segerr..:”


“Seger apaan Pak, kalau mau seger ke kantin dulu sambil liat yang seger-seger” ujar Ricky sambil ngeloyor ke kantin.


“Hahaha..kamu ini ada ada aja” kata Pak Cilk sambil mulai mencatat surat yang masuk.





Jam menunjukkan pk 09.13 waktu Ricky muncul dengan bersiul-siul dan berjalan menuju kursinya.


“Bruukk....” dan ruangan serasa bergetar 4.5 skala richter waktu Ricky menjatuhkan badannya yang gemuk tinggi ke kursi.  


“Gak ada kerjaan Ky..kok kayaknya santai banget” kata Pak Cilik sambil melirik Ricky yang asyik main game di komputernya.


“Tuh numpuk gitu” ujar Ricky sambil memonyongkan mulutnya ke arah tumpukan dokumen di samping komputer sementara matanya masih melotot ke monitor.


“Ntar aja deh dikerjain sambil lembur” 


“Loh bukannya enakan dikerjain sekarang, jadi nanti gak usah lembur. Jam lima tet bisa langsung pulang”.


“Iyeee.. Saya tau.. prinsip Pak Cilik kan setelah jam kerja waktu Bapak buat anak istri tercinta. Lah Bapak enak udah punya istri. Kalo saya.. status masih jomblo keren. Makanya dong cariin jodo Pak, minimal yang kayak Isyana Saraswati atau Raisa getoo..”


“Kamu tuh udah sekolah sampe Amrik, cari bini satu aja gak dapet-dapet”


Ricky hanya nyengir kuda mendengar sentilan Pak Cilik.


Tiba –tiba... telolet..telolet.. suara HP Pak Cilik berbunyi  


“Halow..ya istriku tercinta ada apaa...kangen yaa.. haa...apaaaa.... truss.. laluu...kemudiaan...” nada suara Pak Cilik semakin lemah dan bergetar waktu menjawab telepon dari istrinya. 


“Kenapa Pak, ada yang sakit ? Tapi Bapak sehat kan ?” berondong Ricky sok perhatian.


“Anak saya yang sedang hamil kepeleset dan harus operasi caecar, besok pagi harus ada uang buat bayar operasinya. Mau pinjam koperasi saya masih punya pinjaman”


“Coba aja top up pinjamannya Pak, kan ini darurat.”


“Saya coba deh” Pak Cilik langsung berjalan keluar  menuju koperasi.




Satu jam berselang...


“Alhamdulillah, baik juga tuh pengurus koperasi. Saya masih boleh pinjam lagi.” Ujar Pak Cilik sambil masuk ruangan. Dikeluarkannya amplop tebal dari sakunya dan dimasukkannya ke dalam tasnya.


“ Bulan depan habis deh tunjangan saya terpotong-potong angsuran utang”


"Gak apa Paak...yang penting anak selamat.”


“Iya bener juga ya.. makasih ya Ky sarannya. Meski cari bini gak dapet-dapet kadang ide kamu bagus juga”


“Waduh, soal jomblo keren jangan disinggung-singgung dong Pak. Bikin hati merana”





Jam menunjukkan pukul lima sore waktu Pak Cilik siap-siap berkemas pulang. Tiba-tiba..


“Haaah..kamu mau kemana Ky, katanya mau lembur?”


“Olahraga dulu dong Pak biar sehat, langsing, dan tambah keren. Gimana gak enak Pak kerja di sini, udah dapet sehatnya, dibayar pula lemburnya. Lumayan Pak dikumpul-kumpulin buat tabungan nikah. Bapak juga sekali-kali lembur dong, lumayan kan Pak kalau dikumpulin bisa buat tabungan kalau ada apa-apa kayak tadi”  


“Gimana ceritanya..gak ada kerjaan kok disuruh lembur.. Lembur kan untuk pekerjaan yang mendesak yang tidak dapat diselesaikan jam kerja. Kerjaan saya juga gak begitu banyak, sebelum jam lima udah beres semua. Kamu sendiri juga tuh.. Dari tadi seharian main game, sekarang olahraga..trus tuh tumpukan berkas kapan dikerjain ?”


“Santai aja Paak.. kerjaan gitu setengah jam juga kelar. Olahraga dulu baru kerjaa..”


“Kamu ituu... Saya pulang duluan deh, mau nyetorin duit dulu”.


“Okaayyy ati-ati Pak”.



Setelah absen Pak Cilik berjalan menuju ke parkiran motor sambil merenung..”Memang Allah Maha Adil, aku sudah berusaha jujur dan waktu terkena musibah Allah langsung kasih jalan keluarnya. Pokoknya jujur..jujur..jujur.. Mungkin kalau aku seperti Ricky yang jam kerja buat main game, lembur buat olahraga..pas ada masalah gini Allah gak akan bantu”


Pak Cilik memang orang cilik tapi hati nuraninya tidak cilik, dia selalu berusaha untuk jujur.   


“Telolet..telolet..telolet..”


“Ya Tong ada apaa..”


Lamat-lamat terdengar suara anaknya dari seberang telepon.. “Bapaak.. aku harus bayar UKT sama biaya buat penelitian, totalnya sepuluh juta, paling lambat minggu depan harus udah lunas”


“Haaaah...”


Entah kapan Pak Cilik  dapat terus bertahan menjadi orang cilik yang tidak bernurani cilik...