Critical Pedagogy

“Biasa ‘kan ganti pejabat ya ganti kebijakan”, celetuk bu Doktor Anita pada salah satu grup WhatsApp yang sedari pagi riuh beberpa waktu yang lalu ketika menanggapi program MBKM-nya om Nadiem. 

 

MBKM, Mahasiswa Belajar Kampus Merdeka. Terobosan pak Menteri yang ternyata tidak sesederhana nama yang digaungkan. Banyak komponen yang harus dikaji, dievaluasi dan direvisi sehingga memaksa para pelaku pendidikan untuk benar-benar paham esensinya sebelum ikut serta dalam implementasi kebijakan tersebut agar tujuan yang diharapkan tercapai maksimal.

 

Dari filsafat ilmu Pendidikan, kata ‘merdeka’ merupakan salah satu implementasi teori Paulo Freire tentang ‘critical pedagogy’ atau ‘pedagogi kritis’. Pelajar distimulasi agar dapat berpikir kritis terhadap perkembangan sosial dalam bidang pendidikan, khususnya pada sistem, kebijakan, dan atau metode pengajaran (pedagogi) dalam arti luas. Pendidikan yang mengajarkan keadilan, kesejahteraan sosial dan demokrasi yang tidak membenarkan sikap opresif. 

 

Lalu, apakah pemahaman akan teori pedagogi kritis ini telah dimaknai demikian? Jika masih ditemukan banyak kecurangan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa bangga dengan berderet gelar akademik, masih hangat pemberitaan tentang ‘sex predator’ kampus? Masih ada saja mahasiswa atau pelajar yang terpaksa berhenti melanjutkan studi mereka karena kendala biaya? Serta beragam fenomena kompleks yang perlu dibenahi lebih dari sekedar menghabiskan anggaran untuk sosialisasi, mengadaptasi kurikulum, menyelenggarakan berbagai pelatihan, seminar dll bagi para pendidik. 

 

Kalaupun 4 atau 5 tahun ke depan para generasi muda ini (baca: mahasiswa) terjun ke dunia kerja, apakah bekal pedagogi kritis yang mereka dapatkan di kampus akan sejalan dengan institusi ataupun perusahaan yang mempekerjakan mereka? Bukankah masih marak kolusi dan korupsi? Implementasi talenta manajemen yang masih sebatas wacana? Sistem birokrasi yang bersifat subjektif dalam beberapa hal? Serta berbagai masalah lain yang terkadang salah dibenarkan dan yang tidak lazim menjadi lazim?

 

Siapapun pejabat atau pimpinannya, tidak mudah untuk mereformasi satu bidang dalam waktu yang cepat dan memuaskan semua pihak. Kebijakan baru pasti dibuat berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang valid dan reliable. Pemikiran “ganti pejabat pasti ganti kebijakan” akan lebih terdengar positif ketika disugestikan menjadi, “ganti pejabat pasti kebijakannya menjadi lebih baik”. Lalu membuka diri untuk menerima hal-hal baru, berusaha mengatur langkah agar tidak tertinggal, melihat hal-hal sulit menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan. Dan diatas itu semua, mengasah kemampuan berpikir kritis dari hal-hal kecil di lingkungan terdekat seperti keluarga, pekerjaan, kehidupan sosial dengan mempertajam empati. Memulai dari diri kita sendiri sepertinya merupakan jalan terbaik ketika kita menjadi bagian dari ekosistem yang menurut kita ‘salah’.

 

 

 

 

 

 

 

DESEMBER: CERITA DAN AIR MATA

Senin sore di penghujung Desember 2021, 

Hujan masih menyisakan aroma sejuknya …

Hari-hari yang cukup melelahkan, dengan berbagai tenggat akhir dan awal tahun.

 

Aku beranjak dari meja kerjaku; Laptop yang masih menyala, tumpukan kertas, peralatan tulis, air es pada 2 botol beling dengan masing-masing tersisa setengahnya, kudapan dan gawai yang tersambung pada saklar listrik dalam posisi ‘charging’

 

Aku melirik ke jam dinding sejenak, pukul 17.25 … lalu mendekat ke jendela, menyibak tirai putih tipis yang sedari tadi bergerak mengikuti irama angin … 

 

Ah … bau tanah tersiram hujan selalu mampu menenangkan penat … 

 

Aku membuang pandang ke luar, menghadiahkan netra dengan tanaman-tanaman hijau yang berjejer rapi pada pot-pot keramik besar di teras … 

 

Sudah dua lustrum berlalu, namun cerita di penghujung Desember satu dasawarsa yang lalu masih tetap bergala.

 

“You know what? I can’t stop thinking of you here! I really miss you, hun … miss you soooo bad!”

 

Suaramu kencang diujung telpon, 

 

“Lagian jalan-jalan sendiri, ngga ngajak-ngajak”, aku menjawab setengah merajuk yang langsung disambut gelak tawamu yang khas.

 

“Yep, someday! Asik banget ya ngebayangin kalo nanti kita bisa berdua kesini, kemana-mana pake train, honey-moon, hmmm … always pray for our best, ok?” suaramu terdengar parau.

 

Saat itu aku hanya mengangguk, ikut masuk ke dalam hayalanmu.

 

Aku tersentak merasakan semburan angin kencang yang tiba-tiba menerpa, awan menggelap, bersiap mencurahkan rebas …

 

Tiba-tiba ada rasa sakit yang kembali menyelinap, rasa sakit yang sama yang belum juga bisa mereda.

 

Sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an dari masjid menjelang Magrib. 

 

Aku mengusap ujung mataku yang terasa basah, menghela nafas dalam, mengeluarkan sesak, lalu bergumam dalam hati, “It’s past! That best prayer had been answered … Tuhan tidak pernah salah. Dia menitipkan luka pada kita karena tau kalo orang-orang yang kita sayang lemah, tak seberdaya kita ketika harus menentang norma. Dia juga mematrikan rasa agar kita berhenti ‘mencari’ dengan cara yang salah. Berdarah dan bersimbah air mata sesaat setelah melalui perjalanan yang indah sangatlah menyiksa. Menyesali pertemuan yang pernah ada sama dengan memaksa takdir memutar masa. “Just pray for our best, ever and after …” Karena, tidak ada yang bisa menerka hilir dari rasa yang masih terus ada … 

 

** Can you hear me? Can you hear me?
Through the dark night, far away
I am dying, forever crying
To be with you, who can say

 

 

**Sailing, Rod Stewart