Tampilkan postingan dengan label humor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label humor. Tampilkan semua postingan

Prapatan: Prapto dan Prapti dalam Tulisan (Cerita Fiktif Belaka)

SALAH SASARAN

Prapto dan Prapti memutuskan membangun biduk rumah tangga pada empat bulan silam. Terhitung masih pengantin baru, kedua insan ini senantiasa diselimuti perasaan rindu yang menggelora. Keduanya masih terbuai dalam pusaran kasmaran yang memang membuat ketagihan.

Sayangnya tuntutan pekerjaan dan kerasnya ibu kota membuat intensitas pertemuan mereka menjadi tak total. Waktu mereka lebih banyak berkutat di jalan, kantor dan peraduan. Untung di zaman sekarang berbagai media sosial bisa memudahkan segala urusan, pun mengungkapkan perasaan.

Prapto dan Prapti menjaga kualitas komunikasi dengan rutin berbalas pesan whatsapp tiga detik sekali. Hal yang serupa terjadi di akun media sosial mereka yang lain. Berbagai tulisan nyata menunjukkan yang dirasa. Mulai dari rindu, cinta, hingga sindir-sindiran berbau romansa. Semuanya demi menjaga manisnya berumah tangga.

Siang ini Prapti sungguh merasa lelah. Berkas-berkas pekerjaan masih menumpuk di mejanya. Meskipun dari pagi hari sudah bersusah payah tapi sepertinya tumpukan kertas di meja tak kunjung musnah. Untuk sekadar mengendurkan kepenatan, terpikir untuk memainkan musik perlahan. Dipilihlah daftar lagu yang masih tersimpan agar bisa segera didengarkan.

"Astaghfirullahaladzim," ucap Prapti lirih saat tersadar.

"Kemarin kata pak ustadz, musik kan gak boleh," seketika Prapti mematikan dan membatalkan niatnya.

Menghibur diri dan mengalihkan perhatian, akhirnya Prapti mengambil ponselnya dan membuat status whatsapp.
"Kangeen The Groove"

Di sisi kota Jakarta yang lain, Prapto sedang duduk santai di meja kerjanya. Pekerjaannya hari ini relatif tak menguras pikiran. Di siang hari yang terik Prapto juga masih terlihat segar karena pendingin udara di ruangannya baru saja diganti. Dalam kesenggangan, Prapto menengok ke arah ponselnya yang baru tiga detik yang lalu diletakkan.

"Wuih, bojoku bikin status whatsapp," bisik Prapto dalam hati.

Sejenak Prapto merenung dan mengernyitkan dahi, kemudian bergumam, "sejak kapan aku diberi panggilan the groove sama Prapti?"

Dengan cekatan Prapto langsung membalas status istrinya itu, "Tenang honey, The Groove ba'da maghrib sudah sampai rumah"

Prapti heran menerima balasan whatsapp dari suaminya. Namun tak butuh waktu lama Prapti tertawa-tawa sendiri dan segera menyadari keluguan suaminya. Dia hanya membalas pesan dengan emoticon mencium.

Rupanya Prapto masih penasaran kenapa dirinya dipanggil 'The Groove' oleh istrinya. Bergegas dia raih papan ketik di depannya dan mencari arti 'The Groove" di internet.

"Hmmh, ternyata artinya alur, maksudnya apa ya?" Prapto mandang ke langit-langit sambil mencoba berfilosofi.

"Ooh, mungkin maksudnya, aku lah sekarang yang menjadi alur cerita hidupnya," Prapto senyum-senyum sendiri.

"Romantis sekali emang bojoku iki, jadi ingin cepat pulang"

Beberapa waktu kemudian, senja mulai berkunjung, tanda waktu bekerja sudah di ujung , dan saatnya menembus kemacetan menuju rumah kontrakan. Sepanjang perjalanan pulang Prapto masih saja senyum-senyum sendiri dan merasa berbangga hati. Motornya terus ditunggangi melaju bak kuda poni.

Hingga akhirnya alam beralih dari terang ke gelap. Prapto menginjak rem tepat di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan perasaan deg-degan Prapto mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikuum"

Prapti yang sudah sampai rumah sejak sore tadi perlahan membuka pintu dan menjawab salam suaminya, "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh"

Langsung diraih tangan suaminya dan dicium sepenuh hati sebagai wujud bakti seorang istri. Prapto pun memberikan kecupan kecil di dahi sang istri sebagai tanda sayang seorang suami.

Tak lama kemudian, dengan semangat dan suara lantang, Prapto membentangkan tangan dan berteriak, "The Groove sudah pulaaang!"

- Sekian -

GEMESS (Garing mak Kress): Salah Kaprah

Ada yang beda dengan Dimas akhir-akhir ini. Sebenarnya penampilannya masih sama, tapi kini dia selalu didampingi pria berpeci dan bersafari. Badannya tak gempal namun cukup besar. Posturnya lumayan tinggi dan sesekali berkacamata legam. Hampir di setiap langkah Dimas selalu ada jejak pria itu di belakangnya. 

"Wah, jangan-jangan sekarang Dimas dijaga bodyguard", sekilas terbersit pertanyaan dalam hati. 

Bersamaan dengan itu terbersit pula keraguan yang tak kalah gaduh, mengingat sesekali pria misterius itu terpergok berbekal tas jinjing semi koper yang dikempit, kadang di sebelah kanan, kadang di sebelah kiri. 

"Ooh, mungkin dia semacam pengawal atau asisten pribadi si Dimas" coba menyimpulkan sendiri. 

*****

Beberapa bulan yang lalu Dimas berhasil memenangkan pemilihan lurah di daerah kami. Dia menjadi lurah termuda sepanjang sejarah berdirinya kelurahan kami. Sebagai teman dari SD hingga SMA aku ikut merasa bangga. Sejak SMP, Dimas memang sangat aktif berorganisasi. Prestasi di bangku sekolah dan kuliahnya juga mentereng. Ranking satu tak pernah lepas dari genggamannya ketika sekolah. Pun begitu waktu kuliah, di saat aku dan teman-teman seangkatan masih berkutat menyelesaikan skripsi, Dimas sudah mulai mengerjakan tesisnya. Dia memang tampak menonjol diantara teman-teman sebayanya. Meski agak mengejutkan, namun dia memang layak mencalonkan diri menjadi lurah waktu itu. Terbukti, akhirnya dia berhasil terpilih. 

Namun sayang, torehan gemilangnya di bidang pendidikan dan karir tak berbanding lurus dengan prestasinya di bidang
percintaan. Hingga kini menginjak pertengahan kepala tiga, statusnya masih saja lajang. Setiap kali kami menanyakan perihal pasangan hidup, jawabannya selalu diplomatis, "Nanti ada waktunya, jodoh pasti ga kemana". Saat kami mencoba mendesakknya dengan pernyataan semacam, "jangan terlalu pemilih, pacaran aja dulu buat kenal lebih dekat". Dia selalu menimpali dengan pernyataan yang sama, "aku ga mau pacaran, kata pak ustadz dilarang agama...jadi nanti kalau uda nemu yang pas, langsung nikah aja". Tapi faktanya, sampai sekarang belum nikah juga. Entah belum nemu yang pas atau sudah terkuras dengan urusan sekolah dan karirnya. Tapi yang membuat aku salut, apapun kondisi dan statusnya, dia tetap memegang teguh prinsip "ga mau pacaran dan langsung nikah" yang memang sesuai dengan tuntunan agama. 

*****

Tiba juga akhirnya hari dimana kami sudah merencanakan untuk mengadakan reuni akbar SMA. Aku yang didapuk sebagai ketua panitia berusaha sekuat tenaga agar banyak teman seangkatan yang bisa datang. Mengingat beberapa dari kami juga sudah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Dari jauh-jauh hari sudah kami informasikan jadwal hari ini agar teman-teman bisa mengosongkan waktunya. 

Ini juga berlaku buat Dimas yang sekarang sangat sibuk dengan aktifitasnya sebagai lurah. Maklum, meski rumahnya masih dekat dengan kami tapi tak bisa dipungkiri jadwalnya padat berisi. Bahkan untuk sekedar bertemu sehari-hari saja harus buat janji dan tak bisa berlama-lama. Oleh karena itu aku sangat bahagia saat kemarin Dimas memastikan akan hadir dalam reuni hari ini. Sekalian saja aku minta dia buat memberikan sambutan, sebagai pimpinan tertinggi di kelurahan kami juga. 

Singkat cerita, rangkaian acara reuni akbar pada hari ini telah berjalan lancar. Kini tinggal acara ramah tamah yang diisi makan-makan dan ngobrol-ngobrol bebas saja. Setelah dari awal acara sibuk mondar-mandir untuk mengecek kesiapan acara, sekarang aku bisa bernafas lega dan mulai mencari teman-teman akrab dulu untuk berbincang segala macam. Seketika langsung terlintas nama Dimas di kepala. Clingak clinguk kana kiri, akhirnya kutemukan juga Dimas sedang duduk makan bakso. Tak ada yang mengajaknya ngobrol, dia hanya khusyuk menguyah butiran butiran baso di mangkuknya. Aku sedikit mengernyit heran karena Dimas terkenal supel dan baik, kenapa tak ada yang menghampirinya. "Apa mungkin sungkan karena dia sekarang Pak Lurah? "Atau semenjak jadi lurah Dimas jadi berubah? " Pertanyaan pertanyaan itu terlontar dalam pikiran dan tak ada yang bisa dimintai jawabannya. 

Alamak, setelah sedikit teliti mengamati lagi, ternyata di belakang Dimas ada sosok pria yang selalu sama. Bersafari, berpeci, berkacamata legam, dan kali ini dia mengempit tas jinjingnya di sebelah kiri. Eh tunggu, sekarang wajah pria itu mulai dihiasi kumis yang mulai menebal. "Mungkin dia yang membuat teman-teman ga berani mendekati Dimas!" aku menebak sendiri. 

Karena sudah lama penasaran, sepertinya ini momen yang tepat dan langka untuk menanyakan ke Dimas, siapa sebenarnya pria itu. Bergegas aku berjalan menuju ke arah Dimas, takut keburu dia pergi meninggalkan lokasi. Saat sudah dekat, aku mencoba memberanikan diri menyapanya. 

"Halo Pak Lurah, apa kabar?"

"Ah elu, bisa aja, sini duduk sini... dari tadi ga ada temen gw"

"Hahaha.. pada takut kali sama Pak Lurah" saya masih berseloroh sambil duduk di samping kanan Dimas

"Apa kabar lu ndro? ah, uda lama ya kita ga ngobrol-ngobrol gini"

"Alhamdulillah baik, maklum lah gw sama Pak Lurah yang super sibuk ini"

"Alaah, uda ah ga usah Pak Lurah Pak Lurah an segala" 

"Siap pak lurah Dimas!" saya masih belum bosan menggodanya. 

"Hahaha... ssst.. mending kita ngomongin hal yang lebih penting Ndro"

"Weits... apa tuh... tunggu... hmmh... bukan tentang cewek kan? "

"Ah elu, sejak kapan jadi dukun, bisa nebak arah pemikiran gw, hehe..." Dimas sedikit terkekeh. 

"Yaa.. elu belum nikah kan Dim?" "Jadi hal penting apa lagi kalau bukan cewek..hehe"

"Jangan kenceng-kenceng.. nanti diomongin orang, masa Pak Lurah ga laku"

"Hahaha.. elu sih dari dulu gw suruh pacaran ga pernah mau.. sekarang susah sendiri kan"

"Bukan gw ga mau Indro, pacaran kata pak ustadz ga boleh, jadi gw maunya kalau uda ketemu yang mau, langsung nikah aja"

"Jawaban lu masih sama dari dulu, susah kali Dim ketemu yang mau terus langsung nikah, gimana caranya itu.. susah!" saya masih ngeyel dan berusaha meyakinkan Dimas untuk mulai merubah pemikirannya. 

"Kalau dulu mungkin susah Ndro, sekarang kan gw lurah, punya kuasa... jadi gampang lah itu"

"Maksudnya? lu mau maksa anak orang nikah, kalau ga mau rumahnya digusur gitu? "

"Haha.. gila lu.. ya ga gitu lah.. dzolim itu"

"Terus?"

"Terus..ya ini.. sekarang gw bisa bawa Bapak di belakang gw ini kemana-mana?" ucap dimas sambil mengarahkan jempol kanannya ke belakang. 

Aku yang semakin bingung dan bengong hanya terdiam dan tak menimpali.

"Ndro?"

Aku tersentak sejenak dari keterdiamanku. "Ah ini saat yang tepat untuk tanya siapa pria itu" batinku

"Kenapa lu Ndro?"

"Hehehe.. ga papa kok Dim" aku menjawab sambil sedikit membungkuk ke arah telinga Dimas. 

"Dim, jadi sebenarnya pria itu siapa? bodyguard?" bisikku hati-hati takut pria itu mendengarnya. 

"Hahahaha.. bukaan!" Dimas malah tertawa keras. 

"Ssst..! " cegahku. 

Dimas pun berdiri dan mengajakku berpindah posisi sedikit ke pojokan. 

"Bapak tunggu sini aja dulu ya.. saya mau ngobrol sama teman saya dulu" Dimas menoleh ke arah pria misterius tadi. 

"Siap, Pak! " jawab pria itu tegas. 

Setelah sampai di pojokan, sambil mengambil segelas air mineral, Dimas tampak akan memulai penjelasannya. 

"Jadi dia itu siapa?" tanyaku tak sabar. 

"Sabar...", Dimas duduk sebentar sambil menyeruput air beberapa tegukan. 

Kemudian dia kembali berdiri. 

"Jadi... dia itu bukan bodyguard... dia itu kepala KUA di sini, penghulu lah orang biasa bilang"

"Lah.. lalu.. kenapa kau bawa dia kemana-mana? " "Lalu apa hubungannya sama pernyataan lu tadi yang tentang kuasa dan nikah?" aku langsung memberondong pertanyaan.

"Gini... gw tadi bilang kan, gw ga mau pacaran, pengennya pas ketemu yang mau, langsung dinikahin aja"

"Ho oh, terus? "

"Lu bilang susah kan, nah gw kasih tau semenjak gw jadi lurah, itu ga sulit"

"hmmhh? "

"Iya, karena gw lurah, gw bisa suruh pak penghulu itu selalu ikut kemana gw pergi"

"haa? "

"Jadi...kalau gw ketemu cewek yang gw taksir, dan pas gw tanya mau nikah sama gw apa ga, dia mau" dia sedikit mengambil napas

"Gw kan bisa langsung nikah tu... uda ada penghulu yang siap sedia di dekat gw... gampang kan?" 

"makanya ke sini dia jg gw ajak, siapa tau ada temen SMA kita yang cantik dan belum nikah... kan bisa gw tanya, kalau mau langsung dah kita nikah di sini... penghulunya uda siap.. "

"baru gw mau nanya ke elu selaku ketua panitia"

"Oalah Pak Lur.. Pak Lur... " 

"KOPLAK lu! " sergahku. 

Sejak saat itu, aku tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya warga yang berani "ngatain" lurahnya. 

* Sekian *

GEMESS (Garing mak Kress) : Tobat

Bulan Ramadhan sudah berlalu, pun begitu dengan bulan Syawal. Tetapi sebagai umat Islam tentu bekasnya tak boleh sirna begitu saja. Periode pembelajaran selama Ramadhan dan periode pembiasaan selama Syawal harus bisa dijadikan pijakan untuk berubah dan berbenah. 

Momentum itu juga disadari oleh Paimo yang terkenal sebagai anggota geng motor terkemuka di kampungnya. Dia yang sudah jadi dedengkot diantara sekawannya memutuskan untuk bertobat dan pensiun dari geng motor yang dirintisnya itu. Agar tidak hanya dianggap isapan jempol, Paimo mulai merancang program dalam rangka mewujudkan tekad insyafnya. 

Ketika dulu masih aktif di geng-nya, Paimo selalu berlagak bak raja jalanan. Rambu lalu lintas hanya seperti hiasan. Lampu merah pun tak ubahnya sebuah pajangan. Dia menggeber motor seenak udelnya seolah nyawanya ada cadangannya. Oleh karena itu, langkah pertama dalam gerakan pertobatannya adalah mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Dia berjanji pada diri sendiri dan juga Ilahi, akan menaati rambu dan lampu yang mengatur lalu lalang kendaraan di jalanan. 

Tapi berubah menjadi baik memang tak semudah membalikkan telapak tangan, selalu saja ada halangan dan tentangan. Kawan-kawannya selalu mencibir dan mengajaknya kembali. Belum lagi masyarakat sekitar yang resisten. Paimo berjuang menghadapi itu semua agar tetap bisa teguh dan mencapai 'taubatan nasuhah'. Hingga akhirnya dia mencoba men-curhat-kan perjuangannya kepada sang ibu. 

"Mak, susah ternyata ya mau tobat itu, ada aja halangannya"

"Sabar nak, memang gitu, kalau mau jadi baik, pasti setan-setan berbentuk jin dan manusia ga suka...jadi kamu harus kuat ngelawannya", sang ibu mencoba menyemangati anaknya.

"Iya mak, masa aku uda bener aja, masih ada yang maki-maki dan nyalah-nyalahin"

"Waktu itu pas lampu merah, aku berhenti... eh malah diteriakin bego dan diklakson-klaksonin sama angkot di belakang", Paijo melanjutkan ceritanya. 

"Hehehe... biasa itu nak di sini, cuekin aja... yang penting kamu benar ya ga usah didengerin"

"Ho oh sih mak, aku cuekin aja... aku anggap itu ujian orang tobat"

"Ada lagi ni mak, pas aku kasih tau kalau ga boleh parkir di pinggir jalan situ, eh... malah diajak berantem sama tukang parkirnya, yang salah siapa yang marah siapa"

"Hahaha... itu juga biasa nak disini... tapi kamu ga berantem kan?"

"Engga dong mak, aku tinggalin aja... aku kan sudah insyaf", Paimo menjawab dengan dada sedikit membusung. 

"Tapi ya mak, yang paling parah kemarin, aku dibilang gila, sampek mau digelandang ke kantor polisi, ya ga takut lah aku... orang posisiku benar"

"Wuih hebat kamu nak, emak bangga... tapi emang gimana kejadiannya?"

"Jadi gini mak..", Paimo membenarkan posisi duduknya

"Pas di lampu merah perempatan sana, aku kan mau belok kiri... lampu ijonya nyala, tapi aku langsung ngerem mak, berhenti..."

"Loh, lampu ijo kok berhenti?" Ibu Paimo nampak mengernyitkan dahi

"Bentar mak, ceritaku belum selesai, iya lampunya ijo, tapi rambunya nyuruh berhenti... ya aku berhenti.. konsisten"

Dahi ibu Paijo yang sudah keriput makin kelihatan mengkerut. 

"Eh.. orang-orang pada nglaksonin dan maki-maki....padahal kan aku cuma mematuhi rambu lalu lintas.... "

"Sampai akhirnya ada yang turun dari motornya dengan wajah emosi... coba kutenangkan dan kujelaskan... tapi dia malah makin emosi dan bilang aku gila... bener-bener ga ngerti aku", Paijo geleng-geleng.

"Denger dari ceritamu sih, sepertinya kamu memang gila nak, yuk kita cek ke dokter"

"Aduh emak, aku cuma patuh sama rambu lalu-lintas mak", Paijo tak terima. 

"Emang rambu yang kaya gimana sih nak, emak masih ga paham"

"Itu loh mak, di bawah lampu merahnya kan ada tulisan 'belok kiri mengikuti lampu'... ya aku patuhi"

Kini kerutan di dahi ibu Paijo nampak mulai ada yang terkelupas. 

"Yaudah kan, disuruh ngikuti lampu ya aku ikutin, aku berhenti lah di belakang lampu, aku tungguin lampunya, karena dia masih diem aja di situ ya aku diem juga dong mak, kalau dia jalan ya aku ikut jalan...namanya juga ngikutin...tapi kan lampunya masih diem aja di situ... ya aku juga diem aja disitu.. ga salah kan mak? "

Sang ibu tak berkata-kata, hanya mengangkat gagang telepon sambil membuka-buka buku telepon mencari sambungan ke rumah sakit jiwa terdekat. Tamat

GEMESS (Garing mak Kress) : Toleransi

Drrt... drrt... drrt...., handphone Rangga bergetar di atas dashboard motornya. Tampak muncul nama 'Cinta' yang masuk sebagai orderan pertamanya di pagi ini. Bergegas dia sentuh layar handphone untuk mengambil pesanan yang masuk.

"Alhamdulillah, berkah puasa, pagi-pagi udah dapat penumpang, cewek pula"

Direngkuhnya handphone dari tatakannya untuk menghubungi sang pemesan.

"Halo Cinta, ini Rangga... kamu ada di mana? aku tunggu tepat di pintu keluar stasiun ya...aku yang melambai-lambaikan tangan." ucap Rangga sok akrab sambil melambai-lambai sebagai tanda"

"Oh iya mas Rangga, aku uda ngelihat mas, ini aku lagi jalan ke sana, ditunggu ya mas, aku matiin dulu teleponnya" jawab Cinta sembari jalan keluar dari peron stasiun.

"Eh, biar aku aja yang nutup teleponnya, kan aku yang nelepon duluan" ujar Rangga makin menggila.

"Oke mas, silakan!" jawab Cinta singkat.

"Tapi, kalau Cinta mau nutup teleponnya duluan gak papa deh, Rangga ngalah demi Cinta, silakan Cinta yang nutup teleponnya" timpal Rangga yang makin menjengkelkan.

Seketika lenyaplah suara di handphone Rangga, nampaknya Cinta mulai kesal dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Sabar... cobaan orang puasa" gumam Rangga pada dirinya.

Dari kejauhan terlihat sosok wanita berparas cantik berambut lurus panjang dengan make up yang natural. Bentuk tubuhnya yang ideal dibalut blus dan rok di atas lutut dengan warna senada. Kaki indahnya dialasi dengan sepatu hak tinggi yang menyebarkan suara 'tok.. tok.. tok.." seiring derap langkahnya.

"Wuiiih cantiknyaa.... rezeki anak soleh", Rangga hanya bisa bicara lirih sambil tetap melambaikan tangannya.

"Astaghfirullah... puasa Rangga.. puasa... Astaghfirullah", Rangga tersadar bahwa dirinya sedang puasa dan apa yang dilihatnya dapat membuatnya hanya mendapat lapar dan dahaga.

Akhirnya sosok Cinta sudah ada di depan mata, meski sangat ingin menatapnya tetapi Rangga mencoba menjaga pandangannya.

"Ini Cinta helmnya, meskipun belum Purnama, aku akan mengantarmu ke mana saja kau mau"

"Apaan sih mas, uda cepetan, saya udah mau telat"

Cinta segera naik ke jok belakang motor dengan mengambil posisi duduk miring. Rangga yang sudah siap dan berbunga-bunga perlahan mulai menggeber motornya. Sepanjang perjalanan Cinta hanya diam, sibuk dengan handphonenya. Sedangkan Rangga, sibuk memandangi Cinta dari spion di kanan kirinya. Ingin rasanya Rangga mengajak ngobrol Cinta, tapi masih bingung akan mengusung tema apa. Hingga akhirnya..

"Cinta puasa gak? "

"Puasa lah mas! Mas jangan sok akrab deh panggil nama doang! "

"Maaf mbak Cinta, jangan marah-marah dong, kan lagi puasa katanya"

Cinta tidak menimpali dan kembali sibuk mengetik di handphone nya.

"Wah, ini warung-warung masih pada buka ya mbak Cinta, padahal kan orang pada puasa" Rangga keukeuh mencoba mengajak ngobrol Cinta

"Ya tapi uda pada ditutup kain semua tuh Mas, itu kan karena menghormati orang yang puasa, mereka kan juga buka warung buat cari uang. Itu yang namanya toleransi mas" kali ini entah kenapa Cinta mau menimpali dengan jawaban yang cukup panjang.

"Ooh, gitu ya mbak, ditutup gitu supaya toleransi sama yang puasa ya"

"Iya dong mas, masak gitu aja ga ngerti sih! "

"Hehehe.. bener juga ya mbak... masak gitu aja aku gak ngerti"

Suasana hening beberapa saat setelah percakapan itu, hingga tiba-tiba Rangga menghentikan laju motornya dan menepi.

"Loh...mas kenapa berhenti? kantor saya kan masih jauh! "

"Maaf Cinta, eh mbak Cinta...boleh turun sebentar? sebentar saja gak lama. Ini demi toleransi mbak."

Cinta yang makin ga ngerti dan mulai emosi, akhirnya hanya bisa menuruti.

"Cepet ya, jangan lam-lama, saya keburu-buru nih! "

"Siap mbak Cinta, bentar aja kok ini"

Rangga bergegas membuka bagasi motor, tak ada angin tak ada hujan, dia mengambil jas ujan model ponconya. Setelah berhasil membuka lipatannya, Rangga segera memakai jas ujan yang dibawanya.

"Apaan sih mas, terang benderang gini pakai jas ujan, gila kali ya"

"Tenang mbak Cinta, jangan marah-marah"

"Hadeh, yaudah lah terserah ayo cepetan berangkat" Cinta segera naik kembali ke motor Rangga yang sudah di starter kembali.

"Ayo mbak tolong dipakai jas ujannya" Rangga mencoba menjulurkan jas ujan ponco itu untuk menutupi Cinta

"Astaga, apa apaan sih mas, saya ga mau, gerah tau, mas aja sana yang gila sendirian pake jas ujan"

"Ga bisa mbak Cinta, mbak harus pakai jas ujan, ini demi toleransi di bulan puasa mbak.

"Toleransi dari hongkong, apaan sih mas, uda ayo berangkat aja, pokoknya saya ga mau ikut-ikutan gila pakai jas ujan panas-panas gini"

"Tolong mbak Cinta, dipakai jas ujan ini, beneran ini demi toleransi, menghormati orang yang puasa"

"Paha mbak dari tadi kelihatan ke mana-mana jadi saya harus nutup pakai jas ujan karena saya ga punya kain buat nutupinnya"

Seketika Cinta langsung turun dan lari ke warung yang tadi dilewatinya. Diambilnya kain penutup warung dan disarungkan ke tubuhnya sambil menahan malu. Tamat! 

GEMESS (Garing mak kress) : Menuliskan Ide

Supangat sedang giat-giatnya belajar menjadi seorang penulis. Impiannya sejak kecil memang ingin menjadi penulis hebat. Namun karena kesibukan mengejar karir sebagai birokrat, baru akhir-akhir ini dia bisa meluangkan waktunya untuk kembali menekuni dunia tulis menulis. Demi meningkatkan kualitas tulisannya, Supangat juga tak segan untuk mengikuti berbagai pelatihan menulis dari banyak narasumber.

Hingga suatu hari, tanpa diduga di kantor Supangat diadakan pelatihan menulis untuk pegawai yang memang memiliki semangat tinggi untuk membuat karya dari goresan pena (meskipun kini sudah beralih ke keyboard komputer)

Mendengar info tersebut Supangat begitu bersemangat. Tak berpikir dua kali dia langsung menghubungi panitia untuk mendaftar menjadi peserta. Apalagi pembicaranya kali ini adalah seorang penulis yang sudah cukup punya nama.

Singkat cerita, hari itu tiba, Supangat yang sedari rumah sudah berbunga-bunga, segera mengambil bangku terdepan supaya lebih serius menyimak seluruh isi acara. Selama lebih satu jam narasumber menjabarkan berbagai tips dan trik membuat tulisan yang menarik dan disenangi pembaca. Bukan hanya itu, dari materi yang disampaikan juga diselipkan kata-kata motivasi yang sekiranya bisa membuat peserta tergugah untuk mulai mencoba menulis sebanyak-banyaknya.

Saking serunya, Supangat hanya bisa terperangah dengan mulut menganga diiringi anggukan kepala menyimak kalimat demi kalimat dari ahlinya. Dari raut wajahnya tampak rona berseri-seri sambil berimajinasi.

Tibalah saat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Supangat, sesi tanya jawab. Di benaknya sudah tercatat pertanyaan yang akan diutarakannya agar dapat diberikan solusi terbaik langsung dari pakarnya. Tak lama dari MC mempersilahkan bertanya, Supangat sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, untungnya sebelum berangkat kantor tadi Supangat tidak lupa mandi dan pakai minyak wangi.

Setelah dipersilahkan, Supangat langsung meraih mic yang sudah disediakan panitia. Setelah memperkenalkan diri, Supangat langsung mengutarakan pertanyaannya.

"Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Mbak, Jadi begini... " sejenak Supangat menghela nafas.

"Sebagai penulis pemula yang sedang mencoba semangat untuk konsisten menulis, seringkali saya mendapat masalah ketika ingin merealisasikan ide saya. Setiap hari saya selalu ada ide yang ingin saya tulis, tetapi sering kali hanya jadi wacana karena tersita kesibukan yang lain. Mohon pencerahannya Mbak bagaimana tips dan cara menyiasatinya?"
 "Makasih" Supangat menutup pertanyaannya.

Menanggapi pertanyaan Supangat, narasumber yang merupakan seorang wanita muda tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat mic ke depan mulutnya.

"Baik, pertama saya apresiasi sekali ini mas Supangat yang selalu punya ide tiap hari karena yang mahal dari sebuah tulisan itu adalah ide nya. Banyak orang bahkan penulis profesional sekalipun yang malah kesulitan mencari ide tulisannya".

"Kalau dari saya mas, mungkin perlu dirasakan lagi seberapa ingin ide yang ada itu ingin Mas Supangat tulis dan sampaikan. Jadi kita harus benar-benar punya keinginan yang besar untuk menuangkan ide kita tersebut."

 "Tips yang mungkin bisa saya sarankan adalah cintai lah objek atau hal-hal dari ide yang Mas Supangat punya. Karena semua orang sudah pasti setuju bahwa jika kita mencintai sesuatu pasti kita akan berkorban dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya."

"Saya kira begitu juga dengan Mas Supangat, kalau Mas Supangat benar-benar mencintai apa yang menjadi ide Mas tadi, pasti akan berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk bisa menulisnya. Mungkin itu mas yang bisa saya sampaikan"

Narasumber dengan lugas dan jelas menjawab pertanyaan Supangat.

Mendengar jawaban dari pembicara, Supangat tampak malah menundukkan kepala dan mulai menitikkan air mata. Sontak seisi ruangan menjadi bingung, apalagi sang narasumber. Dia jadi salah tingkah dan jadi berfikir apa ada yang salah dengan jawabannya.

"Waduh, Mas apa jawaban saya ada yang salah atau menyinggung? Maaf lho mas" mbak narasumber mencoba mengkonfirmasi

"Ngga kok mbak, ga ada yang salah" jawab Supangat sambil tetap tertunduk.

"Benar yang mbak katakan tadi, kita memang harus benar-benar mencintai ide yang ingin kita tuliskan, tapi mbak... " kalimat dari mulut Supangat terhenti.

"Tapi mbak... masalahnya.... dia sudah punya suami..." Supangat mencoba melanjukan dengan suara yang mulai terasa berat dan air mata yang makin deras.

"Saya benar-benar mencintainya mbak, tapi dia lebih memilih orang lain...makanya saya selalu ga kuat menuliskan ide saya itu" Mas supangat malah terus curhat.

Sesaat kemudian Mas Supangat lari ke pojokan sambil sesenggukan berusaha menahan tangis dan sesekali menyeka air mata. Tamat!



GEMESS (Garing mak Kress) : Cantik

Jam dinding telah menunjukkan pukul 21.30. Di luar rumah terdengar suara tetesan air masih cukup deras turun dari langit. Suasana malam yang dingin menyeruak ke segala penjuru rumah. Kenyataan bahwa malam itu adalah malam jumat menambah sakral aura yang terpancar di dalam kamar.

Belum selesai angan melayang, terlihat daun pintu terbuka perlahan. Nampak sosok wanita pendamping hidup memasuki kamar dengan derap langkah yang nyaris tak terdengar. Kubayangkan dia berjalan melenggak-lenggok bak model kawakan. Bajunya tipis menerawang membuat settingan ruangan berubah menjadi peragaan busana musim panas. Bukan... yang dikenakannya bukan lingerie, hanya sisa kaos kampanye salah satu politisi. Dalam genggamannya sudah ada dua gelas teh manis hangat untuk kami berdua, meniru iklan di televisi.

Di sampingku yang sedari tadi berbaring santai, sang istri duduk perlahan dan menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Pah, ini tehnya diminum dulu mumpung masih hangat" istriku berujar sambil meletakkan gelas satunya di atas meja.

Tak lama kemudian dia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di samping bantal.

"Kalau ga pakai kaca mata gini, mamah kelihatan lebih cantik ya" aku memulai obrolan dengan menyeruput teh hangat yang begitu nikmat membasahi kerongkongan.

"Ah, Papah gombal banget, mentang-mentang malam jumat, modus nih.. modus.." cibir istriku

"Beneran ini mah, papah ga bohong" aku coba meyakinkan.

"Papah ih, mamah kan jadi malu. Kalau gitu, apa mamah pakai kontak lens aja mulai sekarang? Tapi berarti besok harus beli Pah, mamah kan belum punya" cerocos istriku dalam satu helaan nafas.

"Loh.. loh.. kok bisa tiba-tiba nyambung ke situ? aku mengernyitkan dahi.

"Ya kan supaya aku selalu terlihat lebih cantik di depan suami, Pah. Jadi ga perlu pakai kaca mata lagi, sesuai keinginan Papah tadi. Ooh, apa sekalian operasi lasik aja ya Pah?" Istriku terus saja nyerocos tak terhentikan.

"Oalah mamah, maksud papah tadi, kalau papah lagi ga pakai kaca mata gini, mamah terlihat lebih cantik, beneran deh, kelihatannya agak buram-buram gitu" aku coba menjelaskan

Seketika pandanganku yang semula buram menjadi gelap dipenuhi kunang-kunang dengan remote TV masih tergeletak di atas kepala. Headshot!

GEMESS (Garing mak Kress) : Anak Kebanggaan

Alkisah di sebuah kota metropolitan terdampar seorang anak perantauan ingusan bernama Paijo. Paijo anak tunggal berasal dari desa kecil di timur pulau jawa. Dia pergi jauh dari orang tua demi bisa mencari nafkah. Ibunya sangat berat melepasnya. Air mengalir dari mata yang masih sembab dari semalam saat prosesi pamitan.

Singkat cerita, Paijo berhasil jadi karyawan sukses di salah satu kantor pemerintahan. Sebagai persiapan mudik ke kampung, Paijo membelikan baju gamis panjang warna putih plus jilbab buat ibunya. Agar pas lebaran nanti ibunya dipanggil "Bu Haji".

Lebaran pun hampir tiba dan Paijo sudah kembali ke kampung halamannya dengan status "pria sukses". Setelah sungkem ke ibunya, bergegas dibukanya tas ransel merk ternama kebanggaannya.

"Mbok, ini aku beliin baju gamis buat sholat ied lusa" Paijo menyodorkan bungkusan plastik transparan dengan label harga yang masih terpampang.

"Ini merk mahal lho Mbok" tambah Paijo membanggakan.

"Aduh le.. thole... ibu ga suka baju warna putih gini... cepet kotor" sang ibu ternyata kurang puas dengan oleh-oleh dari Paijo

"Oalaah.. ibu ga bilang sih... tapi tenang Bu, besok aku beliin lagi di pasar depan... aku pilihin yang paling mahal"

"Waah.. beneran le? kowe banyak duit tho? " Wajah ibunya mendadak berubah jadi sumringah

"Tenang bu... Aku saiki wis sugih" Paijo membusungkan dada

Akhirnya keesokan harinya Paijo mencari-cari gamis sesuai keinginan ibunya. Setelah putar-putar pasar, pilihan jatuh pada gamis panjang warna hitam dengan harga paling mahal.

"Ibu pasti suka kali ini" batin Paijo

Ternyata benar, ibunya sangat senang dibelikan gamis hitam panjang.

"Nah ini baru pas... warna hitam... favorit ibu... ga gampang kotor jadi ga perlu sering-sering dicuci" sang ibu tersenyum lebar membentangkan gamis yang baru saja dibelikan.

Keesokan hari setelah sholat ied dan salam-salaman, sambil makan ketupat, Paijo dan keluarga berbincang bersama.

"Paijo ini emang kebanggan si mbok dari dulu" ujar ibu Paijo singkat sembari masih memakai gamis hitam pemberian Paijo dan menyendok makanan.

Seketika Paijo jadi membesar kepalanya.  "Pasti ini karena aku uda sukses dan bisa membelikan ibu baju mahal" Paijo sombong dalam hati.

"Ah ibu, itu kan cuma baju aja.. ga seberapa harganya" Paijo mencoba rendah hati tapi dengan wajah yang masih tampak angkuh

"Eh.. bukan itu le, si mbok bangga bukan karena itu" Ibu Paijo membantah.

"Ooh.. bangga kenapa mbok?" Paijo penasaran.

"Iya, si mbok dari kowe cilik selalu membangga-banggakan kowe di depan teman teman si mbok" Ibu Paijo memulai ceritanya.

"Karena di antara kami semua cuma si mbok yang anaknya ga gampang kotor" Ibu Paijo melanjutkan sambil nyengir