Pahlawan Kesiangan

Kala itu Suparman sedang makan siang di pusat berbelanjaan dekat kantornya. Dia pergi sendiri karena teman-temannya sudah punya agenda makan siang masing-masing. Alhasil dia menghabiskan waktu istirahat kantornya di warung ayam goreng franchise ternama. Sendiri tapi tak merasa sepi karena sudah ditemani wifi.

Saat sedang asyik berselancar di dunia maia..eh..maya, Suparman dikagetkan dengang getaran berirama dari handphone yang dipegangnya. Tampak ada notifikasi singkat yang bertuliskan "kamu lagi dimana?". Seketika Suparman langsung melayangkan pikirannya, siapa gerangan di sana wanita yang begitu perhatian dengannya. Tapi setelah berpikir agak lama, Suparman tersadar bahwa tak pernah ada whatsapp dari cewek sepanjang hidupnya, kecuali dari emak, embah putri, dan emak lampir a.k.a bosnya. Gelagapan dia melihat jam tangan, ternyata sudah hampir jam satu. Secepat kilat matanya mengalihkan pandangan kembali ke handphone dan melihat notifikasi tadi. "Alamak, dari emak lampir", gumam Suparman dengan wajah mendadak berkeringat.

Bergegaslah Suparman beranjak dari tempat duduknya untuk segera kembali ke kantor. Untung makanannya sudah habis dan dibayar, jadi bisa langsung ngacir ke parkiran mobil. Singkat kata Suparman sudah berhasil duduk di balik kemudi. Ketika hendak menghidupkan mobilnya, tak sengaja pandangannya menuju ke sudut parkiran. Tampak seorang lelaki dan perempuan dengan gestur tubuh yang menunjukkan mereka sedang berdebat. Setelah dilihat agak lama ternyata yang perempuan, Sulis teman kantor Suparman. Makin lama perdebatan mereka makin heboh cenderung ke pertengkaran, hingga si lelaki menunjuk-nunjuk si perempuan. Jiwa ksatrianya merasa tergugah, Suparman langsung membuka pintu mobil nya dan menghampiri dua orang tadi. Pas saat si lelaki terlihat akan melayangkan sebuah tamparan, Suparman langsung berlari sambil berteriak kencang, "Woii...hentikan!!". Lagak Suparman sudah mirip adegan sinetron.

Mendengar teriakan dan napas Suparman yang ngos-ngosan, si lelaki dan si perempuan menoleh bersamaan.

"Siapa Lo?", tanya si lelaki dengan nada tinggi.

Merasa ditantang, Suparman juga ikut emosi. Dia lalu menjawab dengan nada tinggi pula, "Gue..!".
Tiba-tiba mulut Suparman terhenti. Otaknya mencoba berpikir cepat, jawaban apa yang bisa membuat lelaki itu keder. Sempat terlontar niat untuk bilang kalau Suparman adalah kakaknya. Tapi menilik perbedaan warna kulit Sulis yang putih dan Suparman yang tak putih, diurungkan niat menjawab itu.

"Gue temenya dia!", Suparman lantang sambil menunjuk ke arah Sulis.

"Tenang lis, ada gue", ucap Suparman lirih di sebelah Sulis.

"Cuma temen aja belagu lu!", nada bicara si lelaki makin meninggi.

Merasa diremehkan, sontak Suparman meralat pernyataannya, "Tapi ini bukan sekedar temen, gw temen dekatnya Sulis!" jawab Suparman.

"Biar lu makin jelas, dengerin ni, Gue Pacarnya Sulis, mau apa lu sekarang!" Lanjut Suparman dengan tetap lantang.

"Gw suaminya, mau apa lu sekarang!", dengan cepat si lelaki membalas pernyataan Suparman.

Suasana menjadi hening sejenak...

"Cut...cut...sip...sip...kita lanjut adegan berikutnya ya", ujar Suparman sambil menyilangkan tangan bak sutradara sinetron yang sedang syuting.

"BUKK!", bogem mentah tak terelakkan mendarat di pipi kanan Suparman.

Suparman melangkah cepat kembali ke mobilnya dengan meringis menahan sakit dan malu. Sampai di mobil Suparman langsung menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengamankan diri.

Singkat cerita akhirnya Suparman telah sampai kantor dan duduk di mejanya. Pipi kanannya kelihatan mulai bengkak dan membiru. Tangannya masih mengelus-ngelus menahan sakit dan wajahnya terlihat masih meringis. Merasa badannya jadi tak enak, Suparman mencoba meletakkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata. Tidur sebentar mungkin bisa meredakan rasa sakit di pipinya.

"BUKK!", setumpuk berkas mendarat di pipi kiri Suparman yang hampir terlelap.

"Baru nyampe kantor jam segini, uda mau tidur lagi!", nampak bos Suparman sudah berdiri di samping Suparman yang tergolek lemah.

- Tamat -



Gladiator-gladiator “Tua”

Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4 sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.

Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator. Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut. Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”
-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.

Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah dibaca.

  1. graha: gedung, bangunan
  2. Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
  3. tanda: pegawai
  4. arya: gelar bangsawan, ningrat
  5. jawara: juara
  6. atma: jiwa, ruh
  7. huraga: raga, badan, tubuh
  8. lontar: kertas
  9. parepatan: rapat, perundingan, musyawarah