Tampilkan postingan dengan label pujiastuti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pujiastuti. Tampilkan semua postingan

Cinta Pertama

Hari pertama masuk sekolah, selalu lebih sibuk dari biasanya. Setelah libur panjang, sulit sekali membiasakan diri bangun pagi, segera mandi, sarapan, dengan perlengkapan sekolah yang lengkap. Tapi, itu hari pertama di SMPN impiannya. Tak ada alasan buat Sasti bermalas-malas. Dia sudah siap berangkat jam 5.30 bersama Bunda yang menyempatkan diri mengantar dengan naik angkot. Seminggu ini dia harus masuk pagi karena MOPS dimulai. Kebetulan sekolah barunya harus ditempuh dengan 30 menit naik angkot, karena akan butuh waktu paling cepat 1,5 jam jika berjalan. Dan, kakinya bisa bengkak sebesar talas.

“Ingat ya, Sasti belajar sungguh-sungguh,” Bunda masih di sampingnya saat sudah turun angkot, tapi dia sudah tidak ngeh Bunda bilang apa. Dia kagum dengan bangun bercat putih gading yang cerah di depannya dan gerbang yang begitu megah di antara rerumputan yang membentuk bukit seakan menyambutnya. Ahhh ... sayang, sekolah ini hanya satu lantai. Padahal, Sasti ingiiin sekali naik turun tangga di sekolah.

“Sastiiii!” Bunda panik anaknya tak menghiraukan. “Eh, iya Bun. Bunda bilang apa tadi? Eh..he..he..”

“Jangan pacaran dulu kalau masih sekolah!” Bunda segera sadar anaknya sedang mengalami gegar budaya, jadi dia harus langsung ke inti permasalahan.

“Siap, boss! Sekarang anakmu ini minta doa restu ya, Bun. Sasti menuntut ilmu dulu,” sigap dia cium tangan Bunda supaya bisa segera melihat lingkungan di dalam gerbang itu.

Murid-murid sudah banyak berdatangan. Yang sudah berseragam putih biru cerah-cerah pasti kakak kelas. Panjang kaus kaki putih mereka sama setinggi betis, sepatu hitam bertali putih. Pakai topi, dasi menyilang, heeiii panjang rok di bawah lutut ukurannya juga sama semua. Disiplin sekali sampai cara berpakaian pun persis seragam. Ia segera bergabung dengan murid-murid berpakaian putih merah.

Ahh .. Tuhan, terima kasih sudah mengabulkan doa ku buat sekolah di sini.

------

Karena Bunda sudah mewanti-wanti jangan pacaran, Sasti jadi menjaga jarak dengan murid laki-laki. Kalau dekat-dekat, dia takut melanggar pesan Bunda. Padahal ya, dengan satu angkatan ada sembilan kelas, satu kelas ada 40 anak, cowok macam apa juga ada. Dari yang pinter doang sama ganteng doang, yang gabungan keduanya, sampai yang pura-pura pintar sama pura-pura ganteng juga ada. Tapi, yahhh ... selain pesan Bunda, anak dari sekolah kampung kayak Sasti pasti minder-minder gitu.

Paling-paling, dia hanya menyimpan kagum sama Indi, ketua kelasnya. Kagum yaaa, bukan suka, apalagi cinta! Indi itu, ga ganteng-ganteng amat (tetep enak kok, dilihat), tapi dia pinter dan sangaaat bertanggung jawab sama kelas. Mulai dari melapor guru piket kalau guru terlambat datang, menugaskan murid piket untuk ambil kapur tulis, menghapus papan setiap pergantian mata pelajaran, sammmmpaaiii, menemani anak-anak piket kebersihan setiap hari.

Murid-murid kelas satu sekolah siang karena di pagi hari ruangan dipakai kelas tiga. Nahh,  pulang sekolah jam 5 sore, setiap piket harus mengepel sekolah. Ohhh jangan bayangkan cara mengepel petugas pembersih commuter line saat ini, ya. Metode mengepel di SMPN impiannya itu adalah yang terbersih di dunia. Pertama, semua kursi diangkat ke meja, lalu lantai disapu. Jangan lupa meraba setiap kolong meja untuk membuang sampah yang tersisa. Ambil ember-ember berisi air, dan guyurkan ke setiap penjuru lantai kelas. Gosok-gosok menggunakan sabun dengan sapu lidi sambil usir air keluar. Lalu, pel dengan kain pel sampai agak kering. Sentuhan terakhir adalah, menata kembali pot-pot tanaman hias di tempat terbaik. Karena letak kelasnya paling pojok dan berbatasan dengan toilet sekolah, maka lantai depan toilet menjadi medan tempur mereka juga. Pfuiihhh. Begitu melihat lantai berkilat-kilat, lelahnya pasti segera hilang. Mereka akan tertawa-tawa lagi sambil pulang.

Suatu ketika, ada musibah buat kelasnya yang sempat membuat pak Sumadi, sang wali kelas yang baik dan kebapakan, kecewa. Setiap upacara, sekolah akan mengumumkan 3 juara terbaik kebersihan pekan sebelumnya. Ketua kelas yang dipanggil akan berdiri di depan, bangganyaa. Indi pernah juga mewakili menerima penghargaan itu. Tapi, suatu waktu ketua kelas 1-9 ini dipanggil di kelompok terpisah, sendiri pula.

“Ini contoh kelas yang curang dan malas. Membersihkan hanya di kelas bagian depan saja. Dikira guru tim penilai hanya melihat lewat jendela??? Sampah-sampah malah dikumpulkan di pojok belakang kelas. Mau jadi apa kalian, kalau masih kecil begini belajar curang?” Suara pak wakepsek menggema dengan toa ditambah teriakannya penuh emosi. Semua murid 1-9 tertunduk, ahhh ... piket hari apa sih yang seperti itu? Hari-hari penuh keringat dan aroma depan toilet membayangi Sasti lagi. Rasanya lelah sekali. Bagaimana dengan Indi, yang berdiri sendiri?

Kejadian itu, ya sudah, untuk pelajaran. Hari-hari berikutnya, mereka sudah tendang-tendangan, dorong-dorongan, dan ledek-ledekan lagi. Pelajaran olahraga adalah favorit, karena berarti bisa bergerak, berlari di lapangan basket. Sasti hampiiir saja punya pacar setelah pelajaran olahraga (huehue, yakin banget sih loo) kalau sajaa...

Setelah berganti seragam normal dan keluar dari toilet, murid-murid laki-laki sedang duduk bergerombol di depan kelas. Sepertinya ada satu orang korban gurauan mereka, yang didorong-dorong, ahhh si Anas. Itu kan biasa, Sasti lewat aja dooong.
“Nas .. ayo Nas. Lewat tuh,” sekilas dari agak jauh Sasti mendengar celetukan. Dia melihat ke Anas karena penasaran reaksi anak itu dan ada apa sebenarnya.
Ehh... semakin dekat,”Sasti.. Sastiii... Anas nih.. Ha ha ha ...” Ya ammpuun, batinnya. Sekejap dia sempat melihat Anas hanya tertawa-tawa. Ihhh apaan sih, kok keroyokan? Dan spontan Sasti melengos dengan angkuh, jalannya dipercepat masuk kelas.

Haduuhh, temen-temen. Kok tega ngeledek aku? Anas kenapa ya? Kalo suka, kenapa ga bilang aja? Kenapa malah jadi bahan godain aku? Sesorean itu Sasti hanya bisa coret-coret buku tulisnya dengan  arti sebenar-benarnya. Saat itu, dia menyimpulkan, hampir punya pacar kalau saja Anas lebih gentle berani bilang. Hahaha... Sas, die... elu kan masih anak SMP!

---

Oke, kelas satu berlalu tanpa ada pacar-pacaran. Tapi, dia cukup bangga melihat buku tahunan yang dibagikan saat ambil rapor kenaikan ke kelas 2. Setiap tahun, sekolah membuat buku tahunan. Setelah nama-nama kepala sekolah & jajarannya sampai wali kelas serta guru mata pelajaran, akan ada laporan murid-murid berprestasi, ada nama dan nilai. Kelas tiga akan disebut 10 besar nilai tertinggi untuk setiap mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan. Kelas 1 dan kelas 2, ada pengumuman peringkat tiga besar setiap kelas. Dan, namanya nyaris ga ada lhooo... hi hi hi. Dia peluk erat-erat buku itu sambil guling-guling di kamar. Rapor jadi kurang penting.

Kelas 2 terbagi pagi dan siang. Sasti merasa lebih segar belajar pagi hari. Lagipula, dia sudah merasa cukup mengepel kelas dengan metode terbersih sedunia. Kalau sekolah pagi, piket sepulang sekolah hanya menyapu lantai, dan memastikan tidak ada sampah berserakan. Yesss.

Hari-hari di kelas 2 terasa cepat sekali, tiba-tiba usai satu semester dan saatnya class meeting, pertandingan olahraga antarkelas yang membosankan buatnya. Huhh cabang basket dan cabang voli sudah ada atlet-atletnya, sedangkan dia baru belajar service dan dribble. Andai saja, ada perlombaan mematahkan batu bata, atau cara membanting orang seperti yang sudah dikuasainya dari ekskul Jiu Jit Su. Siapa juga yang mau dibanting? Sasti memilih sendirian di kelas sambil corat coret bikin sketsa baju, sementara teman-temannya menyebar ke kantin, jadi supporter di lapangan, atau sekedar nongkrong-nongkrong di luar kelas.

Dia mulai terusik melihat bekas pembungkus makanan ringan bervetsin bertebaran di kelasnya, dan mulai memunguti satu per satu mulai dari baris tempatnya duduk. Ketika mendekati pintu, dia baru sadar ternyata engga sendiri. Seperti ada pandangan mata yang sedari tadi mengikuti gerakannya. Penasaran, dongg jadilah dia menoleh ke arah pojok seberangnya.

Ada anak laki-laki di sana... sedang senyum!!! Sasti langsung mengalihkan lagi ke lantai mencari sampah. Ehh.. dia senyum sama siapa ya? Sasti menoleh lagi, tadinya berniat mau sopan untuk senyum balik. Dan ... ehh dia masih senyum. Jangan-jangan ada temennya di luar pintu. Sumpah, Sasti ingin senyum karena ingin sopan atau berkernyit karena heran. Tapi ... matanya malah bergerak duluan dan melotot!!! Aduhh kok gue ge er banget sihh? Sasti segera menghambur keluar mencari tong sampah.

Dia mencari sudut sepi di seberang kelas. Sambil duduk memeluk lutut, dia rekonstruksi lagi kejadian tadi. Ya ampuun Sas, elo culun banget dehh. Kenapa ga senyum aja dulu? Siapa tahu terus anak cowok itu ngajak kenalan. Siapa namanya? Mmm ... Sasti memejamkan mata sambil mencoba mengingat. Tadi sempat kebaca sih papan namanya, Jay apaaa gitu. Dan elo lihat kaan sekilas kayak apa dia? Kulit putih, rambut kecoklatan alami, bukan karena kurang gizi, cambangnya sampai mendekati rahang, matanya coklat transparan kena sinar matahari. Miriip ... sama Robin, siapa ya kata Bunda pemerannya? J a ... mes ... Gg ... Gordon Lewitt!!! Ahh.. Sastiiii!!!!

---

Sasti sudah bisa menenangkan diri setelah insiden Jay Gordon Lewitt. Saat ambil rapor kemarin, ada peristiwa yang mengejutkannya: Yaya, si cewek populer minta pindah duduk sama dia. “Bahasa Inggris loe keren. Gue pengen sering latihan.”
Wahh Yaya, si ketua osis dan ranking 2 di kelas pengen latihan bahasa Inggris sama gue, bisa juga dongg gue belajar pelajaran yang lain sama dia. Dengan berat hati, dia diskusi sama Ina, teman duduknya satu semester ini. “Ga apa-apa, Sas, santai aja. Kita kan masih bisa pulang bareng terus,” Ina menjawab bijak sekali. “Oke, Na. Terima kasih, ya.”

Kalau setiap awal pekan upacara mengumumkan juara kebersihan, setiap awal triwulan, saat upacara akan diumumkan nama murid yang nilainya ada di peringkat sepuluh besar sekolah di triwulan sebelumnya. Karena tengah semester ada rapor bayangan, dan akhir semester ambil rapor betulan. 6 kali triwulan, nama Yaya selalu dipanggil ke depan dengan posisi yang nyarisss stabil. Meski pintar, Yaya ga melulu bicara pelajaran. Dia tidak sungkan berbagi dan bertanya hal-hal yang personal. Sasti bahkan tahu keluarganya. Yaya dari keluarga sempurna yang nyaris Sasti ga punya. Bundanya Yaya murni mengurus rumah dan mendidik Yaya serta satu adik lelakinya. Paras ayu dan cerdasnya Yaya menurun dari Bundanya, ketegasan dan ketegarannya, mungkin dari ayahnya.

Karena pintar juga dia terpilih jadi ketua OSIS. Tapi Yaya, yang anak gaul, luwes juga berteman dengan murid-murid yang punya citra miring di sekolah. Biar gampang menertibkan kali, ya. Bahkan, Yaya punya pacar. Setiap awal pekan adalah saat seru mendengar cerita Yaya dengan cowok yang berani mendeklarasikan diri sebagai pacarnya. “Kenapa sih, elu mau sama bad boy?” Sasti pernah protes suatu kali.

“Sas, justru karena nakal, dia tahu mana yang harusnya engga gue lakuin. Malah melindungi gue.”

“Lahh ... Ketua OSIS pacaran sama ketua geng,” Sasti masih protes.

“Seru kan? Gue mah pacaran, jalan bareng doang. Paling-paling makan bareng, nonton, pulang bareng. Yaaa pegangan tangan dikit lahhh,” Yaya berseloroh dengan senyum. Jelas sekali keceriaan bersinar di wajahnya.

“Kayaknya, elu harus punya pacar deh Sas. Biar ngerasain juga, jangan senyam senyum ngebayangin aja kalo gue cerita,” Mata Yaya mulai menyeringai nakal “Mmm... siapa yaa di sini kira-kiraa...”

“Wahh stop stop. Denger elu berantem ama si Momo aja gue udah pusing kasih saran.” Sasti berusaha menghentikan ide liar Yaya. Duhhh jam istirahat pagi ini kok lama banget yaaa.

“Ahh ... itu mah sebentar doang. Lagian, kan selesai sendiri. Tahu ga Sas, biar tambah semangat belajaar. Buktiin ke Bunda kalo pacaran bisa tambah berprestasi,” Yaya mantap sekali berorasi, laganya puas seperti habis menang lomba debat.

Pak Wakepsek masuk menggantikan Bu Titin, guru kesenian, yang ternyata berhalangan hadir. Beliau berinisiatif menyuruh mereka mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tapi Yaya sudah terlanjur mengungkit hal tabu yang sebenarnya bikin Sasti penasaran, pacaran dan menemukan cinta pertamanya. Ehhh kebalik ga sih? Tetiba dia terhenyak, seluruh kelas juga mendadak sepi ketika pak Wakepsek berteriak lantang,

“Stop, yang di sana tidak usah ikut bernyanyi!” seraya menunjuk tepat ke arah Sasti. Suaranya fals dan pitchi. Yaya menutup mulut menahan supaya cekikikannya ga keluar. Sambil mengarahkan tangan ke telinga Sasti,

“Makanya, cari pacar,” bisiknya pelaaaan sekali.

Anaaaass, elu dulu serius ga sih? Dan Jaaaayyy, elu dulu kenapa ya? Ahh Yaya, punya pacar itu yang penting ditembak, masa anak perempuan yang duluin? Anak lelaki di SMPN ini kan pada ga gentle ama gue.

---

Sudah tahun ajaran baru lagi. Meski ini tahun kedua dia berseragam putih abu-abu di SMAN pilihannya, setiap melihat murid berseragam putih biru, masih mengingatkan Sasti dengan SMPN nya yang ngangenin itu. Penerapan kedisiplinan, sih kurang lebih sama. Tapi tak ada lagi momen mendebarkan menunggu nama dipanggil ke depan saat upacara karena prestasi. Atau, kejutan tambahan untuk Bunda saat nama ikut mejeng di buku tahunan. Yahh walau Sasti berhasil melalui tiga tahun tanpa pacaran, yang kadang membuatnya sedikiiiit menyesal, dia selalu bangga dengan disiplin dan model kompetisi yang diciptakan di sekolahnya dulu. Model yang sudah terlanjur membentuk kedisiplinannya dan semangat menonjolkan diri menjadi yang terbaik.🌾

The Lonely Statue

Come and visit Odaiba! Along the trip by taking Yurikamome line, you will see an artificial beach with unbelievable beauty. To get to the beach, just get off in Daiba station and feel the sensation of modernized life and its chemistry with natural scenery. 

'Liberty statue' of Odaiba
There is a unique statue stands tall there and it looks like the liberty statue in New York. Fenced by green trees in the border of the sea, it’s truly an attracting icon for tourists to keep their memorable moment by taking pictures with this statue.

However, I look at this statue as a lonely one. There’s a peaceful sea ahead with a strong lovely Rainbow bridge across it, couples hold hands with cheerful faces, children run and laugh happily, group of people talk and smile to each other, but this statue….? It can only stand there days and nights, sunny and rainy, windy or dried, with no expression, and can’t ever feel the happiness surround it. 

And the more annoying thing is, it must carry those heavy books in its left hand and uphold the torch in its right hand. Thanks God it’s just a statue, because it must be exhausting to do such thing for human for years … 😊

Well, once in your life… you might feel you’ve been carrying such a heavy burden on your shoulder. Failures, problems, challenges, conflicts, anger, sadness, and being away from your comfortable life make you feel that you are the only poor guy in the world. 

You can’t enjoy the happiness that people around you share, you can’t see how colorful the world is, you can’t hear a lovely voice of the pigeon singing, you can’t feel the worthiness of one sunny day in winter, and then, you can’t even say one good thing to expel your gratitude to your Creator. 

Oh, no! Don’t get drown too far. Look at around you; find friends and a good community. Friends who will always happily ask how your life is going, the ones who can encourage you, and always say, “Sure we can!” with their smiley faces, and people who can inspire you with their unswerving efforts without saying any complaints. Don’t forget, at least you have your beloved family who really care and support you for your goodness! 

Life is just a flat boring thing without challenges and problems. Once we try to just go through it as we can, we’ll make it as a memorable history. So, if you pass by the Daiba beach and you see the ‘liberty’ statue, you can promise to yourself that YOU are not that lonely statue!🌾

*it is also published @saungkemangiblogspotcoid.

Alkisah, sebuah tempat bernama Tangerang Raya

Perjalanan dengan roda empat ternyata membawa pengalaman yang membekas buat saya. Karena cuma duduk manis, kali ya. Saya jadi sering membatin dan memikirkan pemandangan yang saya lihat sepanjang perjalanan, terutama dari sisi perkembangan pembangunan infrastruktur, kegiatan perdagangan, atau sekedar produk yang jadi komoditas khas. Kadang takjub, kadang miris.

Seperti perjalanan kali itu, ketika memenuhi undangan pernikahan di tiga tempat: Legok di Kabupaten Tangerang, Ciledug di kota Tangerang, dan di lingkungan rumah sendiri, Pondok Aren – Tangerang Selatan. Karena cuaca terlihat tidak menentu, kadang terang tapi tiba-tiba gelap, kami memutuskan mengendarai Fazan, kendaraan roda empat sejuta umat di zamannya, 2012.

Waww … kami melewati rute saya latihan stir mobil di bilangan perumahan elit Bintaro Jaya. Bak jalan protokol   pusat Jakarta tempo dulu, jalannya terbilang lebaaar untuk satu arah. Di kanan kiri jalan mulai bertumbuhan gedung-gedung bertingkat, semacam rumah sakit, tempat makan cepat saji, pom bensin, kantor bank swasta terkemuka, toko buku, penjual mobil,  daan lain-lain tempat memanjakan diri, mata, lidah, atau sekedar hobi. Tak jarang, perempatan jalan dibuat tidak sebidang. Ada jembatan layang yang menghubungkan salah satu sisinya. Jalannya sudah teramat sangat ramai oleh pengguna kendaraan baik roda empat maupun dua, dibandingkan saya belajar dulu. Sungguh, berbanding terbalik dengan kemampuan stir mobil saya yang justru mengalami kemunduruan (#gapenting).

Contoh tata kelola kawasan yang salah bisa dilihat di jalan Mandar Raya, tepat di depan PKN STAN. Di awal pembangunan real estat ini, wilayah tersebut oleh Pengembang diperuntukkan sebagai kawasan rumah tinggal. Setelah jalannya menjadi akses utama menuju Ibukota Negara dan begitu ramainya, penghuni aslinya ga betah kali ya, atau memanfaatkan peluang? Kawasan ini berubah fungsi menjadi wilayah komersil. Rumah-rumah tinggal berubah menjadi salon kecantikan, mini market, toko kue, butik, rumah makan. Dengan lahan parkir yang minim, jadilah banyak kendaraan roda empat ‘luber’ sampai ke badan jalan. Macet, tak terhindarkan. Mungkin, orang bisa seenaknya saja ya, merubah tempat tinggal menjadi tempat usaha? Kalau pun macet karena pelanggan tak punya lahan cukup untuk parkir, itu bukan masalah pengusaha. Siapa suruh ambil rute jalan itu, kan?

Bisa jadi pengembang menyadari dampak kekeliruan tata letak peruntukkan rumah tinggal itu. Pada proses pengembangan kawasan hunian elit selanjutnya, dibuat kluster-kluster yang letaknya tidak bertepatan dengan ruas jalan utama. Di sepanjang jalan utama, sudah disiapkan untuk kawasan usaha, sehingga bangunannya dilengkapi juga dengan lahan parkir yang lebih memadai.

Apa berhenti sampai Bintaro Jaya? Ternyata jalan lebar dan mulus itu teruuus membentang menghubungkan titik-titik yang bahkan saya fikir terlalu jauh kalau lihat di google maps. Setelah melewati Alam Sutera, BSD, ternyata ada yang namanya Gading Serpong, teruuus, sampai Cisauk. Lahan-lahan hunian yang masih kosong ditanami rumput hijau, atau bahkan ditumbuhi pohon-pohon yang teduh. Alat-alat berat terlihat sibuk keruk sana, timbun sini. Memamerkan harmonisasi proses pembangunan dan hasilnya.

Saya baru tahu, loh yang namanya ICE BSD, ternyata gedungnya lebih besar dan megah dibandingkan mal terkeren di Bintaro Jaya: Bxchange (#emot nyengir). Sampai di Lippo Karawaci, ada bangunan Puskesmas kokoh nan bersih, kelihatan sekali wibawanya walau gedungnya tak seberapa besar. Letaknya tepat sebelum sekolah elit berlogo elang. Di plang namanya, tertulis “sumbangan R.S Siloam” atau semacam itu lah. Nahh, rumah sakit itu, kata suami saya, bekerja sama dengan BPJS punya rakyat kebanyakan dengan pelayanan premium. Kagum saya mendengarnya.

Kluster-kluster yang sudah terisi, dibentengi dengan tembok dan pintu gerbang. Jangan coba-coba datang kalau belum janjian sama penghuni rumah. Pengalaman saya bertamu ke salah satu klusternya, satpam penjaga akan mengetes berkali-kali alamat yang kita tuju. Password nya harus tepat, atau Anda dicurigai. Bukan melas ya, perumahan ini jelas diperuntukkan buat pegawai yang penghasilannya, minimal satu setengah kali dari penghasilan PNS Kemenkeu macam saya (#perludisebutgitu?).

Saya jadi mikir, bagaimana pengembang itu mengelola uang ya? Darimana mereka mendapat uang untuk membangun fasilitas sehebat itu? Jalan yang mulus dan luas, fasilitas pengisi waktu luang yang kekinian, sekolah, rumah sakit. Dari hutang? Emisi saham di pasar modal? Cicilan pembeli rumah?

Jadi, buat anda-anda yang mampu membeli rumah di kawasan elit seperti itu, jangan heran kalau harga rumah yang dijual rasanya setinggi bintang di langit. Mahalll. Karena, Anda tidak hanya membeli hunian nyaman di lingkungan nyaman. Tapi, Anda sudah berpartisipasi membangunkan infrastruktur buat kami, rakyat biasa penghuni Tangerang melalui jalan-jalan luas yang menghubungkan satu Tangerang yang baru belajar mandiri di Selatan, kota Tangerang yang sudah mapan di tengah, dan kabupaten Tangerang senior dengan klimaks pembangunannya di Utara. Sebaliknya, kalau Anda cari rumah di kawasan masuk ‘kampung’ dengan harga menyerempet rumah di kawasan elit tersebut, harusnya difikir-fikir lagi. Apa kontribusi pengembang terhadap infrastruktur sampai harganya ikut-ikutan setinggi gunung? Hanya karena pembiayaan lewat bank, atau pengembang sekedar ingin marjin tinggi, atau pengembang tidak sanggup efisien saat membangun rumah?

Saya jadi mikir lagi, apa peran Pemerintah Kota dalam membangun infrastruktur dan tata kota? Menurut kesimpulan saya yang kemungkinan salah besar, pekerjaan Pemerintah Kota sangat berat. Yang harus ditata adalah kawasan hunian lama atau pinggir jalan rute lama, yang pemiliknya sudah kadung merasa sangat memiliki. Tidak tahan membiarkan lahan kosong yang tadinya berfungsi sebagai serapan air. Membuat bangunan tanpa memikirkan ruang parkir, mengabaikan pembuatan drainase, bahkan kadang mendirikan tembok pas di sisi jalan. Tiap tahun Pemkot harus menghabiskan anggaran membuat saluran air, yang kalau sudah selesai setelah menyebabkan kemacetan amit-amit, ditutup lagi dengan semen permanen oleh pemilik bangunan di sekitarnya. Jadilah, jalan yang kini sebagian besar dicor berubah fungsi menjadi sungai atau danau di musim penghujan.

Itulah cerita saya tentang sebuah kawasan yang namanya berbeda-beda, tapi sepertinya terhubung entah sengaja atau tidak oleh kegiatan pembangunan pengembang. Luasnya, entah sama atau lebih dari calon kawasan pemukiman baru yang sekarang sering jadi kontroversi. Kalau orang-orang begitu paranoid terhadap pembangunan kawasan pemukiman baru terintegrasi itu, saya justru terpaksa harus mengakui: pengembang telah sangat berperan menata kota saya jadi lebih rapih dengan konektivitas yang tinggi. Wahh ... tulisan ini semestinya berjudul "Entah" saja.🌾

Di Mana Tuhan?

Tetiba saya disergap pertanyaan itu oleh seseorang menjelang masuk elevator menuju ruang kerja. Kami hanya bertiga waktu itu, tapi pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuat saya sangat kikuk dan kaget. Ehh … serius atau bercanda nih? Berseloroh hal mendasar di lift?

Untuk meyakinkan, saya beri ‘umpan’, “Wahh buat apa bertanya begitu, Pak? Maqom saya belum sampe, kayaknya,” tidak lupa menebar senyum.”Lho … bukan soal maqom-maqoman, mbak. Supaya ibadah kita lebih khusyuk kalau kita tahu di mana Tuhan.” Nampaknya serius, tapi perjalanan lift kan tidak lebih cepat dari (sekitar) 5 kedipan mata.

Saya tidak bisa bermain voli, tapi saat itu saya merasa menjadi seorang tosser dadakan, melempar pertanyaan kepada muslimah anggun berhijab di sebelahnya, “Mungkin mbak Anggun bisa jawab, Pak … hehehe.” Si bapak menatap mbak Anggun sambil tetap melibatkan saya dan berujar, ”Pakai jilbab kan biasanya sudah punya ilmunya.” Ehmm… rasanya seperti kena smash. “Wah, jadi kita mau bicara di level apa nih? Syariat, tarikat, atau makrifat?” Saya berseloroh sok ‘punya ilmu’nya.

“Kita bicara di level PNS aja, lah yaa. Kita kan PNS.” Dan, saya merasa terselamatkan ketika pintu lift terbuka, bapak & mbak Anggun keluar di lantai yang berbeda dengan saya. Itu saja, dan saya lega.

Saya baru terfikir kira-kira jawab apa, justru saat pulang kantor, ‘terjebak’ menunggu hujan berhenti di musala Bxchange dari waktu maghrib sampai isya, sesekali melirik kedai ‘Marugame Udon’, berharap antrian mengularnya jadi pendek supaya saya bisa duduk di salah satu kursinya sembari menyesap ocha panasss. Alhamdulillah … enaknya jadi ibu bekerja kekinian, bisa menunggu hujan reda tanpa meninggalkan sholat, sambil cuci mata di mal. Eh...he...he...he.

Tapi saya kan bukan sufi, lagian, bacaan tentang tauhid sulit menarik minat saya (haddeuuhh… sambil tertunduk lemas).

Berkali-kali order ojek on line dengan gonta ganti provider gagal, membuat memori saya belasan tahun yang lalu tentang pertanyaan “di mana Tuhan” datang lagi lamat-lamat. Tepatnya, 2 minggu sebelum pernikahan saya. Mantan calon suami datang selepas pulang kerja mengantar kelengkapan dokumen nikah, diantar mas-mas yang katanya teman baiknya.

Mungkin supaya cair, si mas ‘teman baik’ mulai berbincang masalah agama. Karena saya berjilbab, kali yeee. Eh, ujungnya dia tanya,”Mbak tahu ga di mana Allah?” Pertanyaan macam apa itu? Saya membatin. “Wah, terus terang saya tidak pernah berfikir begitu.”

“Lho … gimana sih? Ini penting, menyangkut tauhid! Buat apa sholat kalau di mana Allah ga tahu?”

Ehm, jiwa muda saya terpancing. Siape elu menyepelekan sholat gue, “Saya sholat untuk ingat Allah, supaya saya tenang.”

“Emang ga belajar tauhid?” mantan calon suami saya diam, tidak berusaha menjawab sekedar membantu saya. Gue dites nih?? “Di atas langit, kalo berdasar al Baqarah 255. Toh, kita berdoa juga menengadahkan tangan ke atas.” Ahh…jangan tanya saya tentang dalil yang saya kutip. “Jauh amat. Padahal Allah jawab di ayat berikutnya,’Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat’. Jadi, di mana Allah?” It was getting me frustrated, tapi belum menemukan cara yang sopan untuk mengusir.

“Berarti di bawah? Kata Rasulullah, saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya kan saat sujud,” saya masih berusaha sopan.

“Itu lah kalo pemahaman masih tingkatan syariat. Allah itu sesungguhnya dekaaat, lebih dekat dari urat leher sendiri. Lihat surat Qaf ayat 16. Itu pemahaman kalau orang sudah mencapai tingkatan makrifat. Keberadaan Allah itu dekat sekali, bahkan menyatu dengan kita. Kalau sudah makrifat, orang ga perlu lagi amalan-amalan syariat seperti sholat.”

“Lho? Jadi engga sholat? Rasulullah saja yang begitu dicintai Allah tetap sholat!” Intonasi saya mulai naik. Alamak, sudah ngantuk nih jangan pula diajak diskusi berat.

“Rasulullah itu teladan, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa-bisa ditiru umatnya. Tidak sembarang orang ada di tingkatan makrifat,” kilah si mas.

“Tapi Rasulullah tidak pernah menyampaikan juga bahwa kalau sudah sampai tingkatan tertentu, orang boleh tidak sholat.”

“Ada buktinya. Tahu konsep mukjizat, karomah, maunah?” Entahlah, ilmu saya kali ya, yang belum sampai. Selebihnya, saya jadi ikutan diam dan mengangguk sesekali sekedar menghormati. Menjelang tengah malam, saya semakin shock, penat, dan merasa indoktrinasi ini tak berujung, saya tegas menyela,”Maaf mas-mas. Saya mau istirahat!” Mereka pulang meninggalkan saya yang panik. Kenapa gue baru tahu temennya sekarang ya? Dia juga ikut faham itu? Siapa imam gue kalo dia sudah merasa di tingkatan makrifat?

Keesokan harinya, sekejap dari salam terakhir sholat shubuh, saya marah-marah di telepon,”Mas menganut faham seperti itu? Kenapa teman dekat mas seperti ingin mendoktrin aku?” Berkali-kali mantan calon saya itu bilang, dia tidak terafiliasi dengan faham fanatik apa pun. Sholat tetap kewajiban buatnya, sampai maut menjemput!!! Dia hanya hendak mengenalkan lingkungan macam apa yang ada di dekatnya, supaya saya tidak kaget. Maklum, masih asing dengan plularisme (nahh kan.. menuliskannya saja salah). Sampai berkali-kali meyakinkan saya dengan sumpah, akhirnya jadi juga dia suami saya.

Setelah memutuskan menarik sauh untuk berlayar, mengarungi samudera kehidupan bersama suami, saya lalai lagi dengan esensi mencari di mana Tuhan? Buat saya, hidup itu macam menembus gelombang tinggi menuju badai, dari satu ke yang lainnya. Saya disibukkan dengan bagaimana mempertahankan bahtera agar tidak tenggelam saat ombak menghempas. Panik menjaga supaya tidak oleng meski digoyang riak-riak kecil. Yahhh … sering juga sih perjalanan seindah laut yang tenang di malam hari berhias gemintang.

Tapi, coba bayangkan! Pekerjaan beres, anak keluar masuk rumah sakit. Keluarga sehat, ekonomi terasa jauh dari pas-pasan. Keuangan mulai stabil, keluarga dekat minta perhatian. Pekerjaan dan keluarga terkendali, eh… mantan minta balikan (ha ha ha … bohong banget nihhh).

Saya benar-benar tidak ingat pentingnya mencari di mana Allah. Kalaupun kemudian saya sering-sering memanggil nama-Nya, hanya karena saya benar-benar perlu meyakinkan diri bahwa Dia bersama saya melewati gelombang dahsyat kehidupan. Kalau saya lantas banyak-banyak memohon ampun, hanya semata supaya Dia memaafkan khilaf saya saat salah bermanuver melintasi badai cobaan. Lalu, kalau pun harus bersujud dalam-dalam, lebih karena memohon bimbingan-Nya supaya saya tidak sesat mengambil haluan. Tapi, kalau ditanya di mana Allah, di mana Tuhan, saya menyerah menjawab.

Ahhh … kok jadi panjang ya? Biarlah saya tayangkan saja ke BnD. Setidaknya, saya bisa memohon, jangan tanya saya lagi, ya, di mana Tuhan. Kalau mau memberitahu dengan dalil yang mencerahkan, saya tidak menolak, malah belajar. Karena kalau saya diminta jawab, lagi-lagi hanya akan mengingatkan kejadian traumatis yang nyaris membuat saya gagal kawin. Mudah-mudahan, mbak Anggun sudah memberi jawaban yang memuaskan. 🌾

Bis Jemputan dan Perilaku Ekonomi

Kalau ilmuwan menggunakan laboratorium untuk melakukan pengamatan, percobaan dan pengambilan kesimpulan, ekonom ala-ala macam saya yang malas melakukan observasi ke daerah pedalaman Indonesia, cukup menjadikan populasi rombongan kereta (roker), sopir bajaj, dan sopir jemputan di stasiun Tanah Abang sebagai objek pengamatan, membandingkan dengan teori ekonomi yang samar-samar masih teringat, dan menarik kesimpulan ‘nyerempet’ motivasi ekonomi gitu. Supaya kelihatan ilmiah, saya membatasi lingkup populasi dengan roker PNS Kementerian yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.

Ketertarikan saya untuk mengamati dimulai dari fonomena euphoria roker yang menuntut unit mereka bekerja menyediakan jemputan stasiun-kantor di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Tercatat 5 eselon 1 yang pada mulanya mengadakan jemputan. Kadang, rekan se-Bajaj saya di luar eselon 1 tersebut berceletuk, “Sayang Setjen ga ada jemputan”, atau, “Andai saja DJA juga ada jemputan”. Pada akhirnya, jemputan 2 eselon 1 bubar, sementara saya kerap mendapat tawaran dari anggota 3 jemputan eselon 1 lainnya untuk ikut bergabung jadi peserta jemputan. Kalau saya jawab, “Ah, nanti saya menggusur hak pegawainya sendiri.” Jawabannya biasanya sama,”Ga juga, kok. Siapa aja yang datang duluan.”

Sebenarnya, perlu ga sih jemputan itu? Kenapa pada akhirnya jemputan ini mengalami kemunduran?

Konon, keputusan ekonomi  diambil berdasarkan motivasi para pelakunya, setelah mempertimbangkan manfaat dan biaya memperoleh manfaat tersebut. Masih ingat kan semboyan, dengan biaya seminimal mungkin memperoleh manfaat sebesar-besarnya? Manfaat maksimal setelah memperhitungkan biaya, kita sebut saja pay-off, yaitu tingkat kepuasan bagi seorang pelaku ekonomi.

Pay-off idaman bagi setiap roker adalah tiba di kantor paling lambat jam 7.30 dengan biaya minim, paling tinggi sebesar tarif jemputan, Rp5.000,00. Apalagi, ada yang benar-benar gratis. Sementara, pay-off bagi penjemput: penumpangnya penuh, mengantar tepat waktu, lebih maksimal lagi kalau ada tambahan uang saku paling tidak untuk membayar jatah preman di tempat tunggu stasiun tanah abang. Dengan kondisi seperti ini, terjadi kesepakatan -ekuilibrium, istilah kerennya- bis akan berangkat paling lambat pukul 7.10 dari stasiun tanah abang, dengan biaya Rp5.000,00 untuk 3 eselon 1. Sementara, 2 lainnya gratis dengan jadwal keberangkatan sama.

Kiranya, ekuilibrium ini tidak sustain, karena masih ada pay-off yang lebih tinggi bagi masing-masing peserta jemputan. Seperti misalnya, karena sering terjebak ‘bekerja nyaris jam pulang kantor’, sehingga pulang malam, atau aktivitas rumahan ibu-ibu yang padat sebelum berangkat kerja, jadi lebih memilih jadwal kereta yang lebih telat di pagi hari. Awalnya ada toleransi menunggu penumpang lain yang agak siang supaya fasilitas ini tetap dimanfaatkan secara optimal. Namun, perubahan komitmen ini, mengundang peserta lain untuk melakukan ‘penyimpangan’ juga demi mendapat pay-off maksimalnya. Menunggu late comer membuat mereka pulang lebih sore dengan ongkos lebih mahal dan terlambat bertemu keluarga. Mereka kemudian merubah tingkat kepuasannya kepada: sampai kantor maksimal jam 7.30, dengan biaya setidaknya Rp8.000,00 s.d Rp9.000,00 menggunakan bajaj bertiga dengan roker lainnya. Karena penumpang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, jemputan jadi tidak optimal kan? Apalagi, sopir penjemput ada tugas lain yang menyebabkan kadang jemputan ada, kadang tidak.

Mau membahas arah sebaliknya, kantor-stasiun?? Dengan maraknya rapat dalam kantor yang mengharuskan pulang lewat waktu Isya, ST luar kantor, atau ‘tiba-tiba’ ada pekerjaan menjelang jam pulang, pemandangan apa yang bisa dibayangkan dari bis-bis jemputan ini? Malas saya kumat untuk menganalisis dengan hitung-hitungan pay-off. Hehe… Bis yang bertahan lama meski sebagian besar penumpangnya lowong, bisa jadi, hanya karena sang sopir memiliki kepuasan immateri berupa dedikasi atas pekerjaannya: mengantar pegawai-pegawai ini ke tujuan, berarti menjalanksn tugas dengan baik.

Di setiap kesepakatan, perlu konsistensi dari semua pihak yang terlibat untuk tidak menyimpang dari kesepakatan itu. Iming-iming ‘pay-off’ yang lebih menggiurkan untuk setiap roker, membuat ‘kebaikan hati’ instansi memfasilitasi pegawainya sampai kantor tepat waktu dengan ongkos seminim mungkin -secara mengejutkan- tidak menjadi pilihan pertama bagi pegawainya sendiri, gratis sekalipun. Padahal, menurut pengamatan ‘ala-ala’ saya, jemputan itu semacam ‘campur tangan’ pemerintah menekan laju permintaan akan jasa bajaj yang kalau begitu banyaknya, ditangkap sopir bajaj sebagai kesempatan menaikkan harga. Yang lebih prihatin lagi, operasional jemputan ini kan pakai uang negara, menyia-nyiakan fasilitas ini berarti menyiakan keringat pembayar pajak. Hallaahhh, berlebihan ya? Namanya juga ala-ala … 🌾


Sodara Ketemu Gede

Neng kenal  mba Yayun, Tirta, dan mas Akmal saat wawancara beasiswa di gedung A Bank Indonesia. Dia heran dengan kepribadian ketiga orang ini yang ramah dan langsung ‘nyetel’ ngobrol ngalor ngidul seputar materi tes matematika dan wawancara saat itu. Padahal, banyak orang yang baru kita kenal harus ditanya berkali-kali untuk memulai percakapan. Pertemuan selanjutnya, dan menandai dimulainya persaudaraan mereka, di pesawat JL726 tujuan Jakarta-Tokyo, 8 Juli 2009.

“Lu udah tahu bahasa Jepang yang harus diucapin setelah selesai makan?” tanya Tirta.

“Hah?? Emang bakalan penting kita pake kalo di sana? Gue cuma tahu arigatou,” Neng jadi takjub dengan kesiapan orang satu ini.

“Lho … kalo ke Negara orang, kita harus tahu tata krama yang berlaku di sana. Sehabis makan, bilang ke koki nya,’gochisyoo samadeshita,’ mereka akan respek banget.” Well … oke, oke, Neng pun terbata-bata bagai merapal ‘mantra’ gochisyoo samadeshita … berkali-kali.

Mereka kemudian bergabung dengan 40 penerima beasiswa lain dari berbagai Negara di Asia menuju International University of Japan di pelosok provinsi Niigata. Di sana mereka dikarantina selama 3 bulan untuk belajar bahasa Inggris dan pengenalan teori ekonomi. Di tempat ini pula proses keeratan mereka mengalami ‘kontraksi’ … halahh … alias cobaan-cobaan ketika lebih banyak ketidaksepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat. Susah yaa?? Tapi itu yang bikin berkesan. Contohnya ini.

Perdebatan pertama mereka terjadi di dapur bersama kampus. Sayangnya, mereka tidak sedang berdebat mengenai kebijakan rencana pengurangan subsidi bbm atau self buyback Emiten di pasar modal Indonesia. Mereka saat itu sedang berdebat sengit tentang bagaimana bertahan hidup secara koloni. Hahaha …

Patungan dengan mengiur kah? Masing-masing menyumbang bahan mentah kah? Atau beli saja kah? Akhirnya, diputuskan mencoba untuk patungan dengan porsi minimalis terlebih dahulu. Karena, dalam penentuan menu apa yang akan dimasak kembali terjadi argumentasi. Sayurnya oke, tapi yang satu usul lauk daging, yang lain lebih suka ikan, malah ada yang usul dia sumbang masakan bekal dari Indonesia saja, tidak usah patungan uang. Neng sendiri? Kenapa menu saja harus menguras waktu, fikiran dan tenaga? Makan itu kan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Jadi, seharusnya sepanjang makanan itu bisa menunjang energi untuk hidup, yaa tidak perlu berpusing-pusing atau ngotot. Kongsi ini berjalan dua hari, selanjutnya masing-masing bertahan hidup dengan cara sendiri-sendiri.

Untungnya, mereka saling mendukung secara akademis. Kalo Tirta dan Mba Yayun berbagi ilmu matematika dan ekonomi, Neng bisa berbagi tentang menautkan ide ketika menulis esay, dan mas Akmal paling jago membuat momen hidup lebih meriah dengan social life skill-nya yang mumpuni: main tenis, billiard, bulutangkis, sepedaan, bahkan jalan kaki akibat tertinggal shuttle bus.

Yang paling mengherankan adalah, ketika mas Akmal ngotot berterima kasih ke Neng karena math exam pertamanya dapat 96, wowww. “Wahhh, untung kamu ngajarin cara menghitung maximizing profit ini, Neng. Thank you banget, lhoo.”  Neng bingung, karena merasa hanya berdiskusi intens dengan mas Akmal tentang tema yang harus lebih fokus untuk tugas writing bahasa Inggris,”Kita kan hanya belajar kohesivitas bikin essay, mas?” Neng coba mengingatkan. Dia sendiri hanya dapat 68, he he he …

Sesekali mereka buat acara makan bareng atau barbeque bersama senior Indonesia yang kebetulan tidak ‘mudik’ saat liburan musim panas itu. Lalu, mencoba menikmati hidup dengan berpetualang mengunjungi sahabat Jepang di Ojiya, kota kecil lain di Niigata, dengan kereta lokal. Segala perang argumentasi yang berujung guyon dan tawa pelepas stres, diskusi kelompok, masak, jalan-jalan, dan olahraga bersama, sungguh jadi hiburan yang menenteramkan saat kita berada dalam keterasingan dan pertama kali menjalani hidup jauuuuh dari keluarga.

Bulan Oktober 2009, mereka berpisah untuk memulai kehidupan akademis di kampus pilihan masing-masing. Mba Yayun tetap di IUJ, kemudian khusyuk belajar dan merawat keluarga yang langsung diboyongnya sebulan setelah tiba di Jepang. Tirta dan mas Akmal kuliah di Universitas Yokohama, untungnya ditempatkan satu dormitory dengan Neng yang kuliah di Tokyo. Dan Neng? Dia merasa tertatih menyelesaikan tugas-tugas dan ujian karena kurikulum yang dipadatkan harus selesai dalam waktu 1 tahun masa kuliah. Kecemasan dan kekhawatiran memahami formula-formula matematika yang bercampur huruf dan angka, sering menutup kemeriahan Roppongi dan futuristiknya Odaiba, distrik tempat dia kuliah dan tinggal, dari pandangan Neng.

Tapi, untungnya dua Saudara barunya itu tetap memantau, memastikan dia baik-baik saja. Biasanya, jam 9 malam setiba dari kampus telepon kamar dormitory nya berbunyi : Kriiing … kriiing, kalau diangkat, terdengar suara mas Akmal dari Lantai 5 tower yang sama bercampur dengan suara sesuatu dimasukkan ke dalam minyak…sreeeenggg .. cessss…klontang.
“Neng, belum makan kan? Yuk, sini aku masak kebanyakan nih. Datang, ya biar ga mubazir.” Lalu Neng pun khusyuk makan sambil sesekali memberi saran atas rencana mas Akmal membawa keluarganya tinggal di Yokohama. “TIEC yang tower family sudah penuh, Neng. Jadi terpaksa cari apatto di Yokohama. Mudah-mudahan istri dan anak-anakku betah.” Minimal, Neng membesarkan hatinya, “Wahh… masak ga betah? Tinggal di luar negeri kan bagaimana pun pengalaman langka.” Undangan makan dari mas Akmal sering menimbulkan rasa haru. Bapak satu ini sungguh-sungguh sekali memasak setiap hari dengan hasil, sepanjang Neng memenuhi undangannya: sayur sawi bumbu tumis cabai, sop dengan bumbu tumis cabai, atau kentang juga dengan rasa tumis cabai.

Kalau bukan undangan makan yang datang, dering telepon kamar dormitory hampir pasti berasal dari tower B tempat Tirta bersemayam. Kriiiing … kriiing … kriiing. Dan setelah Neng jawab, “Hallo??”
“Waduuuhh, Neng baru pulang lo? Berkali-kali gue telepon. Syukur deh ternyata lo masih hidup. Ha ha ha … gue pikir udah loncat lo dari lantai 14. He he he … jangan nekad ya, sist. Kata si Dany elo terlalu serius sihh belajar. Nikmati hidup lah, sekali-kali.” Neng tahu banget dia guyon, serem ya? Tapi Neng justru terbahak-bahak, menghibur diri. Perhatian dan kalimatnya bukan tanpa alasan. Ada kejadian saat Neng tiba-tiba tidak bisa dihubungi, yang akan diceritakan di bagian akhir tulisan ini.

Sebenarnya Neng setuju banget dengan selorohan Tirta tentang menikmati hidup. Di antara perasaan tertekan melalui masa kuliah, Neng bersyukur bisa mengambil keputusan-keputusan spontan di sela tenggat waktu mengumpulkan tugas. Seperti hari Sabtu itu, saat khusyuk menyimpulkan jurnal Eugene F. Fama tentang konsep pasar yang efisien dan hanya satuuuu stasiun lagi menuju kampus, tiba-tiba iphone 3G-nya bergetar…drrrttt. SMS dari mas Akmal, ”Neng, Wahyu sama keluarganya mau main ke Yokohama, jam 7.30 kita kumpul di Shibuya eki. Ikut, yukk”. Waahhh masih jam 7.06!!! Segera saja dia batalkan niat menambah paragraf  policy paper, dan memilih putar balik di stasiun Roppongi menuju Shibuya: Yokohama, here I come. Padahal, dosen pembimbing sudah menunggu kemajuan tugas akhir itu hari Selasa nya… Jadilah dia menikmati suasana pelabuhan Yokohama untuk pertama kali dan mengakhiri petualangan di China town menjelang jadwal kereta terakhir ke Tokyo berangkat.

Itu di luar permintaan menginap dari istri mas Akmal untuk menemani mereka saat, ternyata, kenyamanan menggunakan ojek dan angkot reot di Kemanggisan lebih menggiurkan daripada riwayat hidup ‘pernah tinggal di Luar Negeri’. “Di sini sepi, Neng. Nita belum punya teman. Mau ke mana-mana susah, harus tunggu jadwal bis, jalannya pelaaan. Di Jakarta mah gampang, ke mana-mana tinggal panggil ojek, angkot juga ada setiap saat”. Jadilah dia sulit menolak kalau Nita sudah meminta Neng menemani mereka di akhir pekan. Daibutsu, pantai dan kuil-kuil Yokohama, target wisata dalam rangka menghibur diri. “Tugas kuliah mah ga usah dipikir, Neng. Waktunya kelar, juga kelar sendiri”. He he he … iya, sih … asal dicicil ngerjainnya.

Keluarga barunya ini juga perhatian, luar biasa perhatian. Seperti saat akhir term musim gugur itu, ketika Neng malas hadir di acara BBQ kawan-kawan satu sponsorship beasiswa kampus. Sebenarnya, dia berniat mengerjakan tugas akhir Statistik dan essay Structural Reform dan Public Expenditure sebelum libur akhir tahun yang cuma seminggu tiba. Neng pengen pulang ke Indonesia, ga mau diganggu urusan tugas.

Hanya saja, itu hari Sabtu… gengsi dong kalo ketahuan ke kampus. “Oh my God, don’t you even take a break???” Bisa dicap kerajinan, dia … dan itu cukup memalukan. Maka, dia beralasan ke Ciu Jian (Cici), ketua grup mahasiswa, ”Akmal invited me to come to his apatto in Yokohama.” Hmmm, diundang kan ga berarti kita datang, ya? Jadi… ga bohong-bohong amat. Nahh … si Cici yang satu tower sama Tirta ketemu, dan kebetulan Tirta akan pergi ke Yokohama. “Hi, Tirta. We're going to have BBQ party without Neng. She said Akmal invited her to Yokohama.” Setelah tidak berhasil menghubungi Neng lewat telepon kamar dan hp (kebetulan HP Neng jatuh di kampus), Tirta berbaik sangka Neng sudah berangkat duluan.

Ternyata, di Yokohama dia tidak ada. He he he … mereka panik.,”Lho, kata Cici, Neng ke sini??” Akhirnya, mereka mencoba menghubungi salah satu kawan Indonesia yang tinggal di tower yang sama dengan Neng untuk mencoba mengecek ke kamarnya. Nihil, berkali-kali bel pintu dibunyikan, tidak ada jawaban dari dalam.
Jam 9 malam, tepat Neng membuka pintu kamar dormitory, telepon kamar berbunyi riuh … kriing …kriiing. “Moshi-moshi? Aduuuhhhh Neng san, kemane aje sih luuuuu?” Suara Tirta di seberang terdengar menahan emosi. “Kenape emang, bro? Gue dikejar deadline tugas akhir banyak banget, bro. Kalo ikut BBQ, keburu ide dan mood nya hilang”. “Lu udah bikin panik perkumpulan mahasiswa Indonesia se-Odaiba, tahu engga? HP punya, tapi ga bisa dihubungi.” Neng tahu Tirta lebay. “Maaf-maaf, bro. HP gue belom ketemu, dan belom ada dana buat beli baru. Maaf ya, bro”. Lalu, dia cerita bagaimana kekhawatiran Neng hilang dimulai dan permintaan kepada kawan Indonesia mengecek kamarnya. Well…well.. .terima kasih ya, teman-teman. Untung Neng belum dilaporkan hilang ke KBRI atau kepolisian Jepang.

Begitu lah sekelumit kebersamaan Neng dengan orang yang tadinya asing dan menjadi begitu dekat, bagai Saudara yang baru dipertemukan setelah dewasa (hmm… masih gengsi bilang tua). Kedekatan dan rasa terikat itu yang membuatnya bisa mengimbangi perasaan tertekan dengan rileks sehingga kuliah bisa selesai. Ikatan itu juga yang sering mengingatkan dia untuk selalu menjaga diri dan kehormatan saat jauh dari pengawasan keluarga tercinta. Ikatan yang membuat Neng merasa, keberadaannya dirasakan orang dan saling memberi motivasi itu penting sekali, tidak hanya untuk orang lain, tapi juga untuk semakin menguatkan diri sendiri.

Benar kata Imam Syafii, merantau bisa memberi kita pemahaman. Bukan hanya ilmu tapi pelajaran hidup dan pengganti atas apa-apa yang kita tinggalkan: saudara & kawan.🌾


Kakak Ga Jadi Nyantren

Gelap mulai menaungi desa Cilimus di kaki gunung Ciremai. Mendung  menggelayut disusul rintik-rintik hujan yang kelamaan jadi deras. Sepi, semakin sepi saja rasanya karena satu anggota keluarga yang selalu setia berlelah-lelah dalam kemacetan bersama ketika berpetualang dengan Fazan (nama kendaraan roda empat mereka) harus tinggal di sini. Tadi, di pintu kamar asrama, Kakak melambaikan tangan dengan wajah sumringah.

“In syaa Allah, aku akan mulai mandiri, Bu.” Mantap dan ceria sekali dia berucap sebelum mencium tangan Ibu. Sementara, dada Ibu begitu sesak dan kelopak matanya mulai panas menahan tangis. “Ahh … anakku, kenapa kamu tidak belajar mandiri bersama Ibu saja?” Begitu selalu protes di batin Ibu setiap kali mendengar alasan Kakak ingin sekolah di pesantren. Supaya banyak kegiatan positif, bu. Ga main HP terus, bu. Tetap rajin ibadah, bu. Tambah hafalan Al Qur’an, bu. Ya…ya… sungguh mulia, keinginanmu, nak. Tapi kenapa tidak terbersit untuk melakukan semuanya di dekat Ibu?

Jadilah perjalanan pulang Kuningan, Jawa Barat kali itu menuju Tangerang Selatan di Banten begitu panjang. Suhu dingin di dalam mobil yang bertambah-tambah oleh hujan deras tidak terasa oleh isak tangis Ibu. “Sudahlah, mulai ikhlas, Bu. Doakan semoga anak kita jadi orang shalih pembela agama”. Konsentrasi menyetir Ayah sepertinya mulai terganggu  dengan sedu sedan Ibu.

Pelan-pelan ibu mengendalikan diri dan isaknya reda seiring mendung yang menyingkir memperlihatkan suasana malam yang mulai datang. Dibukanya kaca jendela mobil supaya udara alami kota Kuningan bisa lebih menyegarkan batinnya. Seolah baru terjaga dari tidur, ibu melihat sisi-sisi jalan saat warung-warung mulai terlihat sepi dari pengunjung. Temaram lampu dari balik jendela, menghantarkan bayangan siluet manusia bergerak kian ke mari. Ada yang duduk mengangguk-anggukan kepalanya, ada yang menggerakan tangannya sambil berbicara ngalor ngidul, dan ada yang sibuk keluar-masuk dapur membawa tumpukan piring dan masakan. Dalam udara yang dingin … berteman angin dan terang bulan. Seandainya orang-orang itu adalah keluarganya, tentu saat ini Ibu berada di tengah kehangatan ruang itu, menikmati suasana dan santapan lezat … tanpa perlu kesepian seperti ini. *).
---

Itu lah suasana kebatinan yang selalu membayangi Ibu setiap memikirkan harus mengantar Kakak tepat seminggu setelah lebaran, untuk mondok di Pesantren. Karena urusan mondok ini menyangkut ideologi, kemandirian, dan kenyamanan belajar, setelah mencari referensi dari beberapa kawannya yang terpercaya, Ibu, Ayah, dan Kakak sebenarnya sepakat memilih Ponpes Al Multazam di Kuningan, Jawa Barat. Jauh, memang.

Tapi, kakak yang sedang semangat-semangatnya beraktualisasi diri penasaran juga, apa nilai UN nya masih bisa bersaing di sekolah negeri. “Kenapa engga?,” fikir Ibu. “Tapi, pilih aja sekolah yang favorit sekalian, Kak. Supaya kalau pun akhirnya berubah fikiran, tidak sekedar meninggalkan kesempatan menuntut ilmu di pesantren”. Sebenarnya, Ibu tidak yakin Kakak diterima di SMA Negeri favorit. Walaupun katanya nilai UN se-Banten tahun ini turun, tapi peringkat lolos di kedua SMAN yang Ibu sodorkan tinggi dan nilai UN kakak jauh dari limit angka 30. Lihat saja yaa, nanti.

Di masa-masa menjelang akhir Ramadhan adalah saat-saat terberat Ibu untuk berusaha ikhlas melepas Kakak sekolah di pesantren. “Dia bukan milik mu. Kelak, dia juga akan meninggalkan kamu. Titipkan saja sama Tuhan. Toh, mendidiknya di rumah juga atas izin dan rahmat Tuhan”. Tapi, yang menambah berat juga soal biaya. Setelah dihitung-hitung, SPP sebulan, uang saku, biaya membeli penganan untuk Kakak, ongkos menjenguk plus biaya kuliah tante dan sekolah Adek yang di SD swasta, berputar-putar juga di kepala membuat Ibu pening. Ibu tahu, Allah selalu memberi jalan keluar tambahan rizki. Tapi, sepanjang perjalanan hidup mengadukan kesulitan ekonomi, solusi yang didapat Ibu sebagian besar melalui APBN. Yaa ampuun, Ibu jadi takut, jangan-jangan defisit APBN bertambah gara-gara meningkatkan kesejahteraan Ibu. Naif banget, tapi Ibu mikir defisit itu akan jadi tanggungan Kakak, Tante, dan Adek kalau mereka besar nanti.

Tahun lalu, hasil UN terendah yang diterima di SMAN 1 dan SMAN 4 masing-masing 33 dan 30. Tidak perlu lagi disebut nilai UN Kakak, cukup diberi petunjuk di atas karena menurut Ibu itu bukan hasil optimal. Dari semangatnya ikut pendalaman materi, bimbingan belajar tambahan, mengajari teman-temannya, belajar kelompok hampir tiap hari, semua atas kemauannya sendiri, menurut Ibu seharusnya minimal Kakak dapat 32. Sedikit di bawah Ara, siswi ranking 1 yang selalu ingin disainginya. “Maaf ya, Bu aku kurang sungguh-sungguh waktu UN. Kalau aku serius, mungkin nilai UN ku bisa bagus,” Kakak beralasan saat melihat wajah datar Ibu melihat SKHUN-nya.”Menurut Ibu, kamu terlalu tenang karena sudah mendapat sekolah”. Ibu menghela nafas, bukan seperti ini yang dia ingin lihat dari anaknya yang selama ini begitu semangat. Sepertinya, Kakak kendur di saat dia harus berlari kencang.

Dari pengalaman Ibu dan Ayah membesarkan Kakak dan Adek, mendidik anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Kakak dan Adek masih harus dituntun belajar membaca dan mengeja huruf-huruf hijaiyah di rumah, walaupun setiap Senin-Jumat sekolah hampir seharian. Mereka harus sedikit dibuat kapok karena sampai kelas 4 lalai dengan perkalian. Dibujuk tiap Isya dan Shubuh supaya mau berjamaah di mesjid. Bahkan, dibimbing dan ditemani dari seleksi masuk sekolah yang satu ke yang lain supaya belajar bagaimana rasanya gagal dan menginginkan keberhasilan. Sepertinya, Ayah dan Ibu sudah ‘jungkir balik’ bekerja sama menanamkan semua hal baik, kalau itu disebut kebaikan. Kalau kelak mereka faham agama, disiplin dalam hidup, bertanggung jawab dalam berkarya dan merasa bisa seperti itu karena sekolah di pesantren… ahh … hanya untuk materi sajakah Ayah dan Ibu akan dikenang karena bisa menyekolahkan Kakak di pesantren?

Tanggal 20 Juni pengumuman akhir hasil seleksi masuk SMAN se-Banten, dan Ibu tidak berminat melihatnya. Yang membuat Ibu terkejut, ketika di WAG SMP kakak, seorang Ibu meminta restu karena anaknya diterima di sekolah yang juga didaftar Kakak. Ibu penasaran… ehhh, ternyata Kakak diterima juga, walaupun masuk 50 besar dari bawah. Yang penting kan keterima dulu. Dan Ibu merasa, inilah keajaiban atas kegalauannya melepas Kakak. Ayah menyerahkan kepada ‘perasaan halus’ Ibu untuk memberi saran kepada Kakak, mana yang sebaiknya dipilih.

“Ibu dan Ayah minta waktu untuk mengumpulkan tabungan lagi, buat membiayai cita-cita kakak. Dokter hewan, Psikolog, atau Astronom itu bukan jurusan yang bisa diambil di sembarang Universitas. Kalau Kakak bersedia sekolah di SMA Negeri, uang yang seharusnya dikeluarkan bisa disimpan dulu sampai nanti saatnya Kakak kuliah”. Begitu mohon Ibu, yang akhirnya meluluhkan keinginan kuat Kakak sekolah di pesantren.

“Kalau kita tinggal di tempat yang terlindung dengan higienitas tinggi, Kak, kita tidak akan pernah bisa menguji daya tahan tubuh kita. Pesantren itu lingkungan pilihan, fasilitas serba ada karena kebanyakan orang tua mampu mendukung kelancaran proses belajar dengan materi. Pelajar-pelajar yang lurus akhlaknya, karena secara sadar ingin menggembleng diri. Ustaz-ustaz yang faham agama karena itulah yang diajarkannya setiap hari. Sekolah di SMA negeri, bisa membuat kita waspada saat kita harus pandai memilih teman, belajar dengan fasilitas seadanya karena pelajarnya dari lingkungan yang minim sumber daya. Di situ biasanya daya tahan kita diuji. Giat-giatlah, Kak.” **). Ibu mencoba memberi tips kepada Kakak menjelang daftar ulang di SMA Negeri, yang itu berarti dia harus meninggalkan masa orientasi santri.

Kakak sudah legowo tidak jadi sekolah di Pesantren, itu katanya, itu yang terlihat. Dengan penuh kesigapan, setiap hari sekolah, dia disiplin bangun sebelum subuh, sarapan dan langsung mandi setelah subuh, supaya jam 6 tepat bisa berangkat sekolah. Dia jadi seksi kebersihan, yang katanya, tugasnya mengawasi petugas piket setiap hari. Satu kejutan lagi, hasil tes penempatan kelas ternyata sudah keluar dan kakak masuk kelas IPA-3, dari 5 kelas IPA. “Ya, iyalah Bu… aku sungguh-sungguh. Kalau aku merasa sudah kesulitan belajar, aku kan sholat tahajud juga sama puasa,” begitu katanya ketika Ibu terlihat heran dengan ‘keberhasilan’ Kakak menembus kelas IPA.

Hidup masih berlanjut dan panjang. Ibu dan Ayah hanya bisa terus menjadi teman bicara, memberi sarana, dan yang terpenting berdoa. Menitipkan Kakak, Tante, dan Adek sama Tuhan. Karena jauh ataupun dekat, Kakak, Tante, Adek, Ibu dan Ayah, sesungguhnya milik Tuhan.🌾

*) terinspirasi tantangan meneruskan paragraf mba Embun.
**) terinspirasi obrolan sarapan pagi dengan mba Embun

Karena Satu Ampulnya Begitu Berharga

Pertama kali saya mendengar kata donor darah saat tingkat dua kuliah di STAN. Waktu itu, idealisme sebagai mahasiswa sedang tinggi-tingginya. Kayaknya, keren bangettt nih bisa memberi sesuatu buat kemanusiaan. Walaupun membayangkan jarum akan masuk lamaaaa menembus kulit dan pembuluh darah, lalu darah itu mengalir keluar dari tubuh, sempat membuat lemas sekaligus cemas. Apa gue ga bakal pingsann yaa?

Alhamdulillah, pengalaman pertama (dan ternyata jadi pengalaman terakhir donor di kampus) ga bikin paranoid. Proses pengambilan darah lancar jaya. Sang jarum tidak perlu ditusuk, tapi dicabut lagi, untuk kemudian ditusuk lagi di tempat berbeda, demi mencari pembuluh darah yang bisa lancar mengalirkan darah.

Setelah bekerja, kadang-kadang motivasi donor lebih materialistis. Supaya dapat sarapan gratis lah, suvenir unik lah, atau koleksi penghargaan 10 kali donor, 20 x donor, dst. Anehnya, ketika niat saya bener-bener ingin sarapan gratis atau suvenir, adaaaaa saja halangan sehingga ga jadi donor. Tiba-tiba ketika pemeriksaan Hb, ternyata di bawah ambang batas. Jadinya ga boleh donor kan. Atau, Hb mepfett lolos lewat ambang batas, ternyata tekanan darah terlalu rendah, ga jadi seneng-seneng deh pamer suvenir.

Cita-cita dapat piagam 10 x pun selalu pupus dalam waktu hampir 2 dasawarsa, iya ... 19 tahun. Setelah tercatat dalam kartu sekitar 5 kali donor, tiba-tiba kecopetan, sang kartu turut hilang: 2 kali seperti ini, sebelum PMI mengotomasi sistemnya. Selanjutnya, karena hamil, menyusui, hamil lagi, menyusui lagi, atau jadwal donor di kantor berbenturan dengan periode bulanan perempuan.

Ketika benar-benar vakum mendonor hampir 5 tahun, saya justru baru terusik untuk mencari tahu bagaimana sih hukumnya secara agama kalau darah yang saya sumbangkan masuk ke dalam metabolisme tubuh orang lain. Apa mereka menjadi mahram saya, yang berarti juga bagi anak-anak saya? Alhamdulillah, dengan mengandalkan mbah Google, saya dapat beberapa referensi yang meyakinkan saya, bahwa sebagai pendonor, saya tidak melanggar ketentuan agama, sepanjang tidak membahayakan diri saya. Pun, darah yang didonasikan tidak menyebabkan pendonor jadi mahram bagi penerima. Referensi lengkapnya bisa dilihat, antara lain, di pranala berikut yaa:

https://konsultasisyariah.com/5741-donor-darah.html
https://almanhaj.or.id/2199-kondisi-yang-memperbolehkan-transfusi-darah-hukum-donor-darah.html

Dalam periode bisa-dan-tidak bisa yang tak beraturan itu, sedih juga kalau dapat informasi dari mulai zaman pesan pendek, mailing list (dulu ga ada grup wa), Fb, sampai tiba era nya telegram & whatsap: butuh donor segera, namanya x, golongan darah A, persediaan di PMI habis, yang bersangkutan kecelakaan dalam kondisi kritis. Padahal, zaman belum marak medsos, golongan darah saya, katanya, bisa menyumbang ke semua pemilik golongan darah. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya atau salah seorang keluarga dalam kondisi kritis itu, tapi darah tidak tersedia?

Akhirnya, saya menyiasati halangan donor tersebut. Kalau jadwal donor di kantor bersamaan dengan periode bulanan, saya menyingkirkan kemalasan dan, dengan sedikit usaha, pergi ke kantor PMI seminggu setelah haid selesai. Untuk mengatasi Hb dan tekanan darah, saya ikut tips dari om Rumah Kaca untuk minum susu di pagi hari sebelum donor. Tips ini saya tambah dengan makan hati ayam di tukang bubur nasi. Mumpung masih tergolong orang yang boleh donor, karena ternyata ga semua orang boleh mendonor.

Dengan siasat ini, alhamdulillah lama kelamaan kartu donor saya kembali terisi secara beraturan. Kalau sekarang sihh, motivasi saya donor lebih karena mengharap pertolongan ketika suatu saat saya atau keluarga membutuhkan. Na'udzubillah, kalau boleh meminta, jangan sampai mengalami keadaan darurat. Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya, apa yang saya tanam sekarang, bisa dituai kemudian hari. Meski bukan untuk saya, bisa jadi untuk suami, anak, cucu, bahkan cucunya cucu saya. Karena satu tetesnya, ehhh satu ampul dinggg, darah begitu berharga buat kehidupan. Iya engga sih? 🌾






Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

Aku Suka Sepi Ini

Aku suka sepi seperti ini
Ketika bintang-bintang mulai lelah berkedip
dan angin menanan hembus.
Saat dunia terlihat redup
bersama waktu yang seakan terhenti.

Karena dalam sepi begini
Kita bisa berbincang.
Tidak ... bukan kita yang nerbincang.
Tapi aku yang mengeluh, meminta, beberapa kali berterima kasih
dalam tunduk, dengan takzim. 🌾

Ikan Hiu di Tangkapan Nelayan

Konon, sekelompok nelayan Jepang mengangkut tangkapan mereka ke pasar untuk dijual. Tapi, pagi itu lebih banyak ikan yang tidak laku. Sang Kapten meminta salah seorang anggota kelompoknya untuk menyelidiki kenapa ikan-ikan itu tidak laku terjual.

“Lapor, Kapten. Saya sudah cukup mendapat informasi yang bisa dipercaya,” lapor Sang Anggota.

“Baik, apa itu?” Kapten menjawab tanpa basa-basi.

“Saya mencari informasi dari pedagang yang menjual ikan kita dan sekitar separuh konsumen di pasar ikan ini. Kata mereka, daging ikan tangkapan kita kurang segar, jadi kurang sedap dimakan.”

Kapten berfikir keras,”Mmm … begitu kah? … mungkin karena kita bawa ikan-ikan itu ke darat hanya ditimbun es agar tidak membusuk saja. Tapi, mereka sudah mati. Kamu ada ide apa?”

“Ahh, jika begitu, tempat penampungan yang biasa kita pakai, diberi air saja Kapten. Supaya ikan-ikan tangkapan kita tetap hidup sampai di darat.” Sang Anggota mengusulkan.

“Hmm… Patut dicoba”.

Malamnya, mereka kembali berlayar untuk menangkap ikan dengan perlengkapan yang dimodifikasi. Tempat penampungan yang biasanya diisi dengan timbunan es batu, kini diisi air laut. Ikan-ikan tangkapan mereka tetap hidup. Namanya juga usaha.

Keesokan paginya, ikan-ikan tangkapan mereka terjual lebih banyak dari hasil tangkapan kemarin, tapi tetap tidak habis. Kali ini, Kapten tidak meminta anggotanya untuk mencari tahu. ‘Besok mungkin makin baik,’ ia membatin.

Seperti kemarin, malam hari mereka kembali gigih menangkap ikan di laut. Setelah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan dan mereka hendak kembali pulang, tiba-tiba saja seekor ikan hiu terjebak jala mereka.

 “Awas, hati-hati. Kita pisahkan saja di geladak!” Teriak seorang anggota kapal, yang disetujui anggota yang lain.

“Tidak! Masukkan juga hiu ini ke kolam tangkapan kita. Jadikan satu dengan ikan-ikan hidup yang lain,” Kapten punya pendapat berbeda, dan tentu saja dipatuhi oleh anggota lainnya.

Kedatangan hiu di kolam tangkapan, tentu mengejutkan ikan-ikan yang pada awalnya berenang dengan tenang, nyaris tidak bergerak malahan. Mereka jadi sibuk berenang ke sana dan ke mari demi menghindari kejaran hiu ketika lapar. Gimana ya kalau jadi ikan-ikan itu? Lolos dari kejaran hiu pun, mereka akan berakhir di pelelangan ikan.

Tapi begitu lah legenda yang pernah saya dengar dari seorang kawan yang bernama BungA, sebut saja namanya begitu. Pada saat ikan-ikan itu hanya dimasukkan dalam penampungan yang berisi air laut, mereka berenang dengan tenang, merasa damai-damai saja, karena mungkin belum menyadari perubahan kondisi apa yang akan terjadi.

BungA menganalogikan keadaan ikan-ikan yang tenang berenang itu dengan suasana tempat dia bekerja dulu. Rasa aman, lingkungan nyaris homogen, menciptakan zona nyaman yang cenderung membuat kebanyakan kita, menurut BungA nih yaaa, terlihat kurang semangat bekerja, menyiapkan apa adanya, sering tidak fokus karena merasa ada kesempatan untuk memperbaiki besok atau lusa.

Dengan  kedatangan seekor hiu dalam legenda tersebut, menurut BungA, penutur awal legenda ini hendak menganalogikan suasana yang berbeda saat mereka memiliki Pimpinan yang sangat menuntut tapi ekspresif sekali dalam mengemukakan ketidakpuasan. Bahan rapat harus cepat, data harus akurat, informasi harus kredibel, siap dihubungi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan tampilan tayangan presentasi terlihat tidak ideal pun harus siap menuai kritik pedas.

Saat itu, meski rasanya di bawah tekanan, tapi semua orang terlihat sigap dan antisipatif. Setiap tingkatan manajemen sampai ke staf mawas diri dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut BungA lagi, suasana kerja justru lebih bergairah. Tambahan lagi, ikatan persaudaraan sesama mereka jadi lebih kuat karena semua merasa senasib sepenanggungan pernah kena imbas ekspresif sang Pimpinan.

Saya sih tidak sanggup membayangkan situasi kerja seperti yang disebut BungA sebagai bergairah. Pengalaman saya selama 15 tahun, lingkungan saya bekerja terlihat sigap-sigap saja walaupun karakter pimpinan kami sekalem permukaan air laut di pagi buta saat angin malas bertiup. Atasan langsung saya rajin menyiapkan alternatif karena Bos selalu memberi argumentasi sampai dia yakin solusi yang dipilih tepat. Pun, tidak selalu argumen Bos yang akhirnya jadi solusi. Data-data tetap disiapkan tanpa tambahan waktu lembur di kantor, apalagi di rumah. Dokumen yang harus ditanggapi atau diselesaikan tetap siap sesuai jadwal. Kenapa ya? Karena keteladanan kah? Rasa keterlibatan kah?

Oh iya, ikan-ikan yang berhasil dijual kelompok nelayan di awal cerita, kata BungA, jumlahnya jadi lebih sedikit setelah kedatangan hiu. Tapi harganya bisa lebih mahal karena lebih banyak konsumen yang berminat membeli. Daging ikannya jauh lebih segar, kenyal, dan lezat, katanya. Bisa jadi, ikan yang berhasil tetap selamat, adalah ikan-ikan yang paling lincah bergerak menghindar kejaran hiu 🤔. 🌾

Penulis Inspirasi

Pancingan Pak Jo, minggu pagi itu memicu rasa penasaran. Dia minta teman2 menulis nama2 penulis favorit beserta alasannya, supaya jadi inspirasi.

Udah lama juga nih ga nulis asik. Banyak ide, pas ditulis, kok kaku banget, terlalu serius. Nahhh mungkin bisa dimulai dari penulis favorit dulu. Walau awalnya bingung juga, karena aku pembaca buku yang pemilih. Kalau ada yang kasih referensi buku nya bagus, baru mau baca.

Tapi, di antara sedikit koleksi buku yang pernah ku baca, penulis2 nya jadi berkesan.

1. Anis Matta


    Sepanjang yang aku ingat, penulis dengan gaya populer yang pertama kali menginspirasi ku ya... bapak satu ini. Sebelum jadi politikus, Pak Anis rajin menulis tentang keluarga, baik di majalah UMM* atau koran Republ*ka. Tulisannya banyak menggugah peran ayah, ibu, suami, atau istri dalam rumah tangga. Kumpulan tulisannya yang dikompilasi di buku "Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga" bisa dibilang motivator ku buat cari jodoh, biar ada yang ngegombalin halal. He he he..

2. Andrea Hiratta


     Pasti semua tahu dong, cerita laskar pelangi. Selain gaya bahasanya yang detil dan nyastra banget, tokoh2 di buku tetralogi Laskar Pelangi menginspirasi banget, terutamaaaa .... Lintang. Iya, justru bukan si Ikal. Karenaaa ... Lintang itu simbol kecerdasan yang tawadhu, dengan segala kekurangannya, Lintang tetap semangat mencari khazanah ilmu.

3. Daoed Joesoef


    Satu-satunya tulisan populer pak Daoed, Mendikbud Kabinet Pembangunan III, yang aku baca dan aku tahu: Emak. Di novel ini, beliau jelas sekali menggambarkan bagaimana Emak yang seorang guru sederhana berhasil menanamkan ideologi kebangsaan, semangat menuntut ilmu, dan filosofi hidup. Nilai2 yang diajarkan Emak ini yang membentuk pribadi Pak Daoed sampai menjadi putra RI pertama yang meraih gelar DR negara di bidang ekonomi dari Sorbonne. Buku ini yang menyadarkan aku peran penting al umm madrosatun ula.


4. Langit Kresna Hariadi



     Membaca novel karya LKH, bikin seolah-olah kita menyaksikan petualangan-petualangan Gadjah Mada mengembara dari hutan ke hutan demi melindungi simbol tertinggi Kerajaan Majapahit dari incaran pengkhianat yang menyamar. Aku juga bisa merasakan, bagaimana leluhur bangsa ini merajut pulau demi pulau sebuah negara besar bernama Nusantara. Pokoknya, seperti membaca kitab Negarakretagama versi populer.

Sesungguhnya, semua penulis adalah inspirator dengan bacaan, pengalaman dan pengetahuan mereka yang membuka wawasan dan mata kita.

Begitu juga kalau membaca tulisan-tulisan di BnD. Rasanya, seperti benar2 melihat kota2 di Eropa waktu baca Esperanza-nya dik nana, fokus pada pemahaman tidak semata2 pencapaian, bagaimana bersikap di lingkungan yang asing, meresapi apa itu bahagia yang sebenarnya, bahkan analisis dengan gaya bahasa slank tapi tetap ngelmu. Sampai2, aku kok kayak ngerti waktu dik nana nulis cerpen bahasa Jerman 😅😂

Yuppp... bapak/ibu/teman-teman kontributor di BnD sangat menginspirasi. Dengan bahasa yang enak dibaca, gampang dimengerti, dan enggak menggurui. Suksesss buat BnD 👍

"Mak, lihatlah, bagai batang air yang terus mengalir dengan tak pernah memutuskan diri dari sumbernya barang sedetik pun."
                                                         -Daoed Joesoef, 2010       
🌾