Ibu

 Ibu, apa kabar?

Sehatkah di sana?

Apakah Ibu merindukanku?

Seperti aku di sini yang sangat merindukanmu


Aku rindu belaianmu

Aku  rindu semua pertanyaan-pertanyaanmu

Aku rindu masakanmu

Aku rindu kemarahanmu


Ibu, maklumi aku

Hanya Bisa bersapa lewat untaian kata

Lewat layar yang membisu tanpa rasa

Yang sering tak ramah karena tak ada sinyal dan pulsa


Ibu, maafkan aku

Tahun ini sungguh kelabu

Aku terkurung tak berdaya

Tertahan dalam ketidakpastian


Ibu, tersenyumlah

Doakan aku dan seisi penghuni bumi

Agar bisa tabah menjalani semuanya

Agar tetap berjuang dan bertahan


Ibu, tak ada kata yang sanggup melukiskan

Betapa aku khawatir

Betapa ku resah

Dengan keadaan yang membingungkan ini


Ibu, hanya doa yang bisa kupanjatkan

Agar kau selalu sehat dan kuat

Untuk  menyambutku di depan pintu

Ketika semua ketidakpastian ini berakhir


Ibu, bersabarlah

Semuanya hanya ujian yang semakin merekatkan tali kasih kita

Kuingin bumi kembali ceria

Agar aku bisa berlari ke pelukanmu dengan canda dan tawa



Puisi ditulis pada bulan Maret 2020



TEMAN NGOBROL

Suasana masih gelap gulita ketika aku turun dari mobil yang mengantarku sampai di lobi kantor tempatku bekerja. Aku melangkah masuk melewati pintu yang terbuka dengan sendirinya tanpa harus kupencet tombol atau pun kubuka dengan tanganku. Belum ada seorang pun yang hadir di lobi. Hanya ada seorang satpam yang baru bersiap berjaga di meja resepsionis.

Aku mengambil kunci ruangan yang tergantung di bawah meja resepsionis. Kutuliskan namaku di buku sebagai tanda bahwa aku telah mengambil kunci ruangan. Aku masuk ke dalam lift sendirian. Suasana gelap terpampang di depanku ketika lift terbuka. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku sendiri tak tahu kenapa kepalaku harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seorang pencuri yang sedang memastikan keadaan sekeliling aman dan terkendali.

Aku duduk di sofa yang berada tepat di depan kubikel. Angin dingin pagi menyentuh lembut tubuh ketika kubuka jendela agar sinar mentari bisa leluasa menyentuhku. Sejenak aku terdiam tanpa ada niat menyalakan lampu. Aku masih ingin termenung memikirkan apa yang akan kukerjakan sepanjang hari ini di kubikel.  

Pertanyaan rutin muncul dalam hatiku, apakah aku bisa berkontribusi sepanjang hari ini ataukah aku hanya jadi parasit yang duduk diam di kursi empuk dengan fasilitas modern terkini yang selalu setia menemani hari-hariku di kantor. Tak kutemukan jawaban yang pasti, hanya sebait doa yang bisa kulantunkan agar aku bisa bekerja dengan baik sehingga tak ada rasa malu ketika aku berdiri di depan ATM, mengambil uang gaji bulananku.

Kutatap jam dinding yang tak pernah bosan tergantung di dinding ruang kerjaku. Saat itu, baru ku sadar kalau aku berada di kantor terlalu pagi. Untuk melaporkan kehadiran pun masih belum diperbolehkan. 

Tiba-tiba Donita, teman kerja dari ruangan sebelah muncul di hadapanku. Wajahnya terlihat ceria. Kami berdua larut dalam obrolan seru. Setelah beberapa saat, datanglah Sarah dan Indah yang muncul dari pintu kaca ruang kerjaku. Berempat kami larut dalam obrolan seru. Kami tertawa bersama sehingga membuat suasana pagi itu sangat ceria.

"Aku balik ke ruangan dulu, ya. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan," pamit Donita sambil berdiri dan meninggalkan kami bertiga.

Aku mengiyakan. Tinggallah kami bertiga bercengkrama. Tak berapa lama kedua temanku pamit kembali ke ruangannya masing-masing. Setelah keduanya pergi, rasa kantuk menyerangku. Kupikir tak ada salahnya aku tidur sejenak karena hari masih pagi. Kurebahkan badan di sofa panjang yang empuk. Betapa indahnya duniaku saat itu.

                               *** 

Alarm ponselku berbunyi dengan kencang pertanda aku harus bangun. Aku membuka mata dan melihat sekeliling, ternyata suasana masih sepi, tak ada seorang pun yang berada di ruangan. Cahaya mentari sudah tak malu-malu lagi muncul dan menerangi bumi. Aku masuk ke dalam kubikel dan menyalakan komputer. 

Ponselku berdering. Ternyata Donita yang menelepon.

"Halo Rika, aku lagi di tukang bubur ayam nih, kamu mau? Biar kubeliin," ujar Donita.
 "Bubur yang di mana? Kantin bawah?"tanyaku.
"Bukan. Tukang bubur ayam yang mangkal di depan tempat kos-ku,"jawab Donita.
"Cepet banget gerakanmu, tahu-tahu udah balik ke kos-an aja," godaku.
"Maksudnya apa, ya? tanya Donita. Suara Donita terdengar heran atas ucapanku.
"Tadi kan kita masih ngobrol di ruanganku. Tiba-tiba sekarang udah balik ke kos-an buat beli bubur ayam."
"Aku baru mau berangkat ke kantor, lho," ujar Donita.
"Lha, emangnya aku tadi ngobrol sama siapa? Bercandanya jangan kelewatan, ah," tukasku.
"Aku baru keluar dari kos-an lho. Terus mau mampir ke tukang bubur ayam."
"Beneran kamu belum ke kantor?" tanyaku mulai panik.
"Bener, aku belum ke kantor," jawab Donita memastikan.

Aku menelepon Sarah dan Indah untuk memastikan kalau aku memang mengobrol bersama mereka. Bulu kudukku berdiri ketika mereka menjawab bahwa mereka berdua masih berada di atas bis menuju ke kantor. 

Aku keluar dari kubikel. Kuintip ruang sebelah dari kaca pemisah. Kulihat Pak Sena sudah datang dan sedang menatap komputernya. Perasaanku lega karena akhirnya ada orang lain yang menemani.

Aku berjalan keluar dari ruanganku. Rasanya aku perlu menghirup udara segar. Aku masih belum bisa berpikir tenang dengan kejadian tadi. Aku berjalan menuju lift tanpa ada keinginan menoleh ke belakang.  Mukaku pucat ketika lift terbuka. 

"Selamat pagi, Mbak! Rajin banget pagi-pagi sudah di kantor."


Aku berbalik. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutku. 

"Kenapa, Mbak?" tanya Pak Sena ketika melihatku membalikkan badan. 

Suaranya membuatku ketakutan. Pikiranku buntu. Badanku lemas. Entahlah, apakah saat ini aku berada di dunia nyata atau di dunia lain. Aku ingin lari tapi sendi-sendiku terasa lemas  dan membuatku  tak berdaya.

Jakarta, 6 Agustus 2020