Neng kenal  mba Yayun, Tirta, dan mas Akmal saat wawancara beasiswa 
di gedung A Bank Indonesia. Dia heran dengan kepribadian ketiga orang 
ini yang ramah dan langsung ‘nyetel’ ngobrol ngalor ngidul seputar 
materi tes matematika dan wawancara saat itu. Padahal, banyak orang yang
 baru kita kenal harus ditanya berkali-kali untuk memulai percakapan. 
Pertemuan selanjutnya, dan menandai dimulainya persaudaraan mereka, di 
pesawat JL726 tujuan Jakarta-Tokyo, 8 Juli 2009.
“Lu udah tahu bahasa Jepang yang harus diucapin setelah selesai makan?” tanya Tirta.
“Hah?? Emang bakalan penting kita pake kalo di sana? Gue cuma tahu 
arigatou,” Neng jadi takjub dengan kesiapan orang satu ini.
“Lho … kalo ke Negara orang, kita harus tahu tata krama yang berlaku di sana. Sehabis makan, bilang ke koki nya,’
gochisyoo samadeshita,’ mereka akan respek banget.” 
Well … oke, oke, Neng pun terbata-bata bagai merapal ‘mantra’ 
gochisyoo samadeshita … berkali-kali.
Mereka
 kemudian bergabung dengan 40 penerima beasiswa lain dari berbagai 
Negara di Asia menuju International University of Japan di pelosok 
provinsi Niigata. Di sana mereka dikarantina selama 3 bulan untuk 
belajar bahasa Inggris dan pengenalan teori ekonomi. Di tempat ini pula 
proses keeratan mereka mengalami ‘kontraksi’ … halahh … alias 
cobaan-cobaan ketika lebih banyak ketidaksepakatan atau sepakat untuk 
tidak sepakat. Susah yaa?? Tapi itu yang bikin berkesan. Contohnya ini.
Perdebatan
 pertama mereka terjadi di dapur bersama kampus. Sayangnya, mereka 
tidak sedang berdebat mengenai kebijakan rencana pengurangan subsidi bbm 
atau 
self buyback Emiten di pasar modal Indonesia. Mereka saat itu sedang berdebat sengit tentang bagaimana bertahan hidup secara koloni. Hahaha …
Patungan
 dengan mengiur kah? Masing-masing menyumbang bahan mentah kah? Atau 
beli saja kah? Akhirnya, diputuskan mencoba untuk patungan dengan porsi 
minimalis terlebih dahulu. Karena, dalam penentuan menu apa yang akan 
dimasak kembali terjadi argumentasi. Sayurnya oke, tapi yang satu usul 
lauk daging, yang lain lebih suka ikan, malah ada yang usul dia sumbang 
masakan bekal dari Indonesia saja, tidak usah patungan uang. Neng 
sendiri? Kenapa menu saja harus menguras waktu, fikiran dan tenaga? 
Makan itu kan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Jadi, seharusnya 
sepanjang makanan itu bisa menunjang energi untuk hidup, yaa tidak perlu
 berpusing-pusing atau ngotot. Kongsi ini berjalan dua hari, selanjutnya
 masing-masing bertahan hidup dengan cara sendiri-sendiri.
Untungnya,
 mereka saling mendukung secara akademis. Kalo Tirta dan Mba Yayun 
berbagi ilmu matematika dan ekonomi, Neng bisa berbagi tentang menautkan
 ide ketika menulis esay, dan mas Akmal paling jago membuat momen hidup 
lebih meriah dengan
 social life skill-nya yang mumpuni: main tenis, 
billiard, bulutangkis, sepedaan, bahkan jalan kaki akibat tertinggal 
shuttle bus.
Yang paling mengherankan adalah, ketika mas Akmal ngotot berterima kasih ke Neng karena 
math exam pertamanya dapat 96, wowww. “Wahhh, untung kamu ngajarin cara menghitung 
maximizing profit ini, Neng.
 Thank you
 banget, lhoo.”  Neng bingung, karena merasa hanya berdiskusi intens 
dengan mas Akmal tentang tema yang harus lebih fokus untuk tugas 
writing bahasa Inggris,”Kita kan hanya belajar kohesivitas bikin 
essay, mas?” Neng coba mengingatkan. Dia sendiri hanya dapat 68, he he he …
Sesekali
 mereka buat acara makan bareng atau barbeque bersama senior Indonesia 
yang kebetulan tidak ‘mudik’ saat liburan musim panas itu. Lalu, mencoba
 menikmati hidup dengan berpetualang mengunjungi sahabat Jepang di 
Ojiya, kota kecil lain di Niigata, dengan kereta lokal. Segala perang 
argumentasi yang berujung guyon dan tawa pelepas stres, diskusi 
kelompok, masak, jalan-jalan, dan olahraga bersama, sungguh jadi hiburan
 yang menenteramkan saat kita berada dalam keterasingan dan pertama kali
 menjalani hidup jauuuuh dari keluarga.
Bulan Oktober 
2009, mereka berpisah untuk memulai kehidupan akademis di kampus pilihan
 masing-masing. Mba Yayun tetap di IUJ, kemudian khusyuk belajar dan 
merawat keluarga yang langsung diboyongnya sebulan setelah tiba di 
Jepang. Tirta dan mas Akmal kuliah di Universitas Yokohama, untungnya 
ditempatkan satu 
dormitory dengan Neng yang kuliah di Tokyo. Dan 
Neng? Dia merasa tertatih menyelesaikan tugas-tugas dan ujian karena 
kurikulum yang dipadatkan harus selesai dalam waktu 1 tahun masa kuliah.
 Kecemasan dan kekhawatiran memahami formula-formula matematika yang 
bercampur huruf dan angka, sering menutup kemeriahan Roppongi dan 
futuristiknya Odaiba, distrik tempat dia kuliah dan tinggal, dari 
pandangan Neng.
Tapi, untungnya dua Saudara barunya itu
 tetap memantau, memastikan dia baik-baik saja. Biasanya, jam 9 malam 
setiba dari kampus telepon kamar 
dormitory nya berbunyi : Kriiing … kriiing, kalau diangkat, terdengar suara mas Akmal dari Lantai 5 
tower yang sama bercampur dengan suara sesuatu dimasukkan ke dalam minyak…sreeeenggg .. cessss…klontang.
“Neng,
 belum makan kan? Yuk, sini aku masak kebanyakan nih. Datang, ya biar ga
 mubazir.” Lalu Neng pun khusyuk makan sambil sesekali memberi saran 
atas rencana mas Akmal membawa keluarganya tinggal di Yokohama. “TIEC 
yang 
tower family sudah penuh, Neng. Jadi terpaksa cari 
apatto
 di Yokohama. Mudah-mudahan istri dan anak-anakku betah.” Minimal, Neng 
membesarkan hatinya, “Wahh… masak ga betah? Tinggal di luar negeri kan 
bagaimana pun pengalaman langka.” Undangan makan dari mas Akmal sering 
menimbulkan rasa haru. Bapak satu ini sungguh-sungguh sekali memasak 
setiap hari dengan hasil, sepanjang Neng memenuhi undangannya: sayur 
sawi bumbu tumis cabai, sop dengan bumbu tumis cabai, atau kentang juga 
dengan rasa tumis cabai.
Kalau bukan undangan makan yang datang, dering telepon kamar 
dormitory hampir pasti berasal dari 
tower B tempat Tirta bersemayam. Kriiiing … kriiing … kriiing. Dan setelah Neng jawab, “Hallo??”
“Waduuuhh,
 Neng baru pulang lo? Berkali-kali gue telepon. Syukur deh ternyata lo 
masih hidup. Ha ha ha … gue pikir udah loncat lo dari lantai 14. He he 
he … jangan nekad ya, 
sist. Kata si Dany elo terlalu serius sihh belajar.
 Nikmati hidup lah, sekali-kali.” Neng tahu banget dia guyon, serem ya? 
Tapi Neng justru terbahak-bahak, menghibur diri. Perhatian dan 
kalimatnya bukan tanpa alasan. Ada kejadian saat Neng tiba-tiba tidak 
bisa dihubungi, yang akan diceritakan di bagian akhir tulisan ini.
Sebenarnya
 Neng setuju banget dengan selorohan Tirta tentang menikmati hidup. Di 
antara perasaan tertekan melalui masa kuliah, Neng bersyukur bisa 
mengambil keputusan-keputusan spontan di sela tenggat waktu mengumpulkan
 tugas. Seperti hari Sabtu itu, saat khusyuk menyimpulkan jurnal Eugene 
F. Fama tentang konsep pasar yang efisien dan hanya satuuuu stasiun lagi
 menuju kampus, tiba-tiba iphone 3G-nya bergetar…drrrttt. SMS dari mas 
Akmal, ”Neng, Wahyu sama keluarganya mau main ke Yokohama, jam 7.30 kita 
kumpul di Shibuya 
eki. Ikut, yukk”. Waahhh masih jam 7.06!!! Segera saja dia batalkan niat menambah paragraf  
policy paper, dan memilih putar balik di stasiun Roppongi menuju Shibuya: Yokohama, 
here I come.
 Padahal, dosen pembimbing sudah menunggu kemajuan tugas akhir itu hari Selasa nya… Jadilah dia menikmati suasana pelabuhan Yokohama untuk pertama
 kali dan mengakhiri petualangan di China town menjelang jadwal kereta 
terakhir ke Tokyo berangkat.
Itu di luar permintaan menginap dari istri mas Akmal untuk menemani mereka saat, 
ternyata,
 kenyamanan menggunakan ojek dan angkot reot di Kemanggisan lebih 
menggiurkan daripada riwayat hidup ‘pernah tinggal di Luar Negeri’. “Di 
sini sepi, Neng. Nita belum punya teman. Mau ke mana-mana susah, harus 
tunggu jadwal bis, jalannya pelaaan. Di Jakarta mah gampang, ke 
mana-mana tinggal panggil ojek, angkot juga ada setiap saat”. Jadilah 
dia sulit menolak kalau Nita sudah meminta Neng menemani mereka di akhir
 pekan. Daibutsu, pantai dan kuil-kuil Yokohama, target wisata dalam 
rangka menghibur diri. “Tugas kuliah mah ga usah dipikir, Neng. Waktunya
 kelar, juga kelar sendiri”. He he he … iya, sih … asal dicicil 
ngerjainnya.
Keluarga barunya ini juga perhatian, luar biasa perhatian. Seperti saat akhir 
term musim gugur itu, ketika Neng malas hadir di acara BBQ kawan-kawan satu 
sponsorship beasiswa kampus. Sebenarnya, dia berniat mengerjakan tugas akhir Statistik dan 
essay Structural Reform dan
 Public Expenditure sebelum libur akhir tahun yang cuma seminggu tiba. Neng pengen pulang ke Indonesia, ga mau diganggu urusan tugas.
Hanya saja, itu hari Sabtu… gengsi dong kalo ketahuan ke kampus. “
Oh my God, don’t you even take a break???” Bisa dicap kerajinan, dia … dan itu cukup memalukan. Maka, dia beralasan ke Ciu Jian (Cici), ketua grup mahasiswa, ”Akmal 
invited me to come to his apatto in Yokohama.” Hmmm, diundang kan ga berarti kita datang, ya? Jadi… ga bohong-bohong amat. Nahh … si Cici yang satu 
tower sama Tirta ketemu, dan kebetulan Tirta akan pergi ke Yokohama. “
Hi, Tirta.
 We're going to have BBQ party without Neng. She said Akmal invited her to Yokohama.”
 Setelah tidak berhasil menghubungi Neng lewat telepon kamar dan hp 
(kebetulan HP Neng jatuh di kampus), Tirta berbaik sangka Neng sudah 
berangkat duluan.
Ternyata, di Yokohama dia tidak ada. 
He he he … mereka panik.,”Lho, kata Cici, Neng ke sini??” Akhirnya, 
mereka mencoba menghubungi salah satu kawan Indonesia yang tinggal di 
tower
 yang sama dengan Neng untuk mencoba mengecek ke kamarnya. Nihil, 
berkali-kali bel pintu dibunyikan, tidak ada jawaban dari dalam.
Jam 9 malam, tepat Neng membuka pintu kamar 
dormitory, telepon kamar berbunyi riuh … kriing …kriiing. “
Moshi-moshi? Aduuuhhhh Neng san, kemane aje sih luuuuu?” Suara Tirta di seberang terdengar menahan emosi. “Kenape emang, bro? Gue dikejar 
deadline tugas akhir banyak banget, bro. Kalo ikut BBQ, keburu ide dan 
mood
 nya hilang”. “Lu udah bikin panik perkumpulan mahasiswa Indonesia 
se-Odaiba, tahu engga? HP punya, tapi ga bisa dihubungi.” Neng tahu 
Tirta lebay. “Maaf-maaf, bro. HP gue belom ketemu, dan belom ada dana 
buat beli baru. Maaf ya, bro”. Lalu, dia cerita bagaimana kekhawatiran 
Neng hilang dimulai dan permintaan kepada kawan Indonesia mengecek 
kamarnya. Well…well.. .terima kasih ya, teman-teman. Untung Neng belum 
dilaporkan hilang ke KBRI atau kepolisian Jepang.
Begitu
 lah sekelumit kebersamaan Neng dengan orang yang tadinya asing dan 
menjadi begitu dekat, bagai Saudara yang baru dipertemukan setelah 
dewasa (hmm… masih gengsi bilang tua). Kedekatan dan rasa terikat itu 
yang membuatnya bisa mengimbangi perasaan tertekan dengan rileks 
sehingga kuliah bisa selesai. Ikatan itu juga yang sering mengingatkan 
dia untuk selalu menjaga diri dan kehormatan saat jauh dari pengawasan 
keluarga tercinta. Ikatan yang membuat Neng merasa, keberadaannya 
dirasakan orang dan saling memberi motivasi itu penting sekali, tidak 
hanya untuk orang lain, tapi juga untuk semakin menguatkan diri sendiri.
Benar
 kata Imam Syafii, merantau bisa memberi kita pemahaman. Bukan hanya 
ilmu tapi pelajaran hidup dan pengganti atas apa-apa yang kita 
tinggalkan: saudara & kawan.🌾