Tampilkan postingan dengan label Rahman Gunawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rahman Gunawan. Tampilkan semua postingan

Mini Fiksi

Pemuda itu melangkah gontai meninggalkan  wanita yang telah dicintainya sejak duduk di bangku kuliah.

Beberapa jam kemudian sebuah pesan singkat masuk kedalam telepon genggam si wanita yang mengabarkan bahwa si pemuda ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka menganga di pergelangan tangan kanannya.


****


Anak perempuan mungil berambut ikal tertawa geli ketika ayahnya yang berkumis tebal memeluk dan mencium tengkuknya berkali-kali sambil berkata bahwa ia amat mencintai puterinya. 

Ketika tersadar sosok ayahnya menghilang dihadapannya, anak perempuan itu mencari ayahnya dari satu ruang ke ruangan yang lain. Yang ia temukan hanya sebuah buku Yasin bergambar foto sang ayah dengan tulisan, "Mengenang 100 hari wafatnya Suami, Ayah kami tercinta...".

Telaga Air Mata

 Ia hadir disaat kegersangan hati melanda

Angin lelah berhembus menjadi pertanda

Gumpalan awan menjelaga

Rintik hujan mengubah kelopak mata menjadi telaga

Telaga air mata

Sepasang Kaos Kaki Usang

Sepasang kaos kaki usang

Teronggok di sudut kota metropolitan

Kusam, dekil, tak menarik

Ribuan mata enggan tuk melirik


Kaos kaki usang ingin menghangatkan

Melindungi kaki-kaki mulus terawat 

Disimpan rapih dan wangi di dalam laci lemari indah

Atau tergantung di etalase-etalase pusat perbelanjaan mewah berpendingin udara

dan kaki-kaki mulus terawat lalu lalang

Sekedar tuk cuci mata

Sebagaimana dahulu ia pernah merasakannya


Suatu hari, ia bertanya kepada langit

Tentang takdirnya menjadi usang

Namun langit tak menjawabnya

Langit hanya mengutus angin tuk menghibur dirinya


Sepasang Kaos kaki usang kini sadar

Takdir harus dijalani dengan sabar

Meski ia kini teronggok di dalam plastik butut

Ia masih mempunyai manfaat menghangatkan kaki yang juga dekil seperti dirinya

Ia pun bersyukur

Karena baginya syukur melapangkan hatinya










Kebahagiaan Merpati Putih

Seekor merpati putih melesat terbang sayap membentang

Sang bayu menyambut riang dan membiarkan merpati menari dan berputar dipangkuan

Langit pun turut senang dan menitipkan salam

Pepohonan menatapnya penuh keharuan

Merpati putih melepas segala beban 

Menarilah...

Menyanyilah.. 

Kau  berhak untuk berbahagia!


Nyawa seharga seratus ribu


Tuan

Ada kabar bagus..baguuus sekali!

Banyak warga kelas teri yang sedang sekarat

Pagebluk laknat menggerogoti tubuh

yang ringkih dan melarat

Mungkin sebentar lagi nyawanya akan minggat

pundi-pundi harta kita bakal melesat, tuan!

Tiap nyawa, seharga seratus ribu!


Mari kita berdoa tuan, semoga semakin banyak warga kelas teri yang mangkat!


Riak

Keberadaan riak itu biasa

Pada sampan yang berlayar di Samudera kehidupan

Pabila riak berubah menjadi isak

Pastilah ia menyimpan apa yang tak dihendak

Oleh sebab manusia mudah lelah

Segera tuk mendekat padaNYA

Agar lelah DIA ubah menjadi Lillaah

Dengan caraNYA

Dengan keMaha AgunganNYA



Udin dan Gelembung Sabun

Sengatan sinar matahari pada pukul dua belas siang terasa panas menyentuh kulit. Siapapun yang tidak mempunyai keperluan mendesak untuk keluar rumah, lebih memilih berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati hembusan udara segar dari mesin pendingin udara/mesin kipas angin, kipas-kipas dengan kipas tradisional dari anyaman bambu, atau bahkan ada yang berteduh dibawah pepohonan yang berada di halaman rumah.

Bagi sebagian yang lain khususnya para Ibu, sinar matahari yang terang benderang menjadi kebahagiaan tersendiri, karena jemuran pakaian yang memenuhi seluruh tali jemuran bisa kering lebih cepat sehingga sebagian pekerjaan rumah bisa selesai lebih cepat dari biasanya. Di musim penghujan, pakaian yang dijemur lebih lama keringnya. Bahkan, jika telah selesai mencuci kemudian menjemur pakaian lebih pagi, menjelang sore atau malam bahkan esok harinya pakaian masih terasa lembab, sehingga apabila dipaksa untuk di angkat pakaian yang lembab tadi dan ditumpuk selama beberapa jam, pakaian-pakaian tersebut akan mengeluarkan aroma atau bau yang tidak menyenangkan.

Tidak hanya para ibu yang merasakan kebahagiaan, demikian juga dengan para penjual es keliling seperti es serut, es bon bon, es dawet ayu, es cincau dan aneka jajanan es lainnya, mereka berbahagia dengan cuaca saat itu, karena jualan es mereka laris manis diserbu para pembeli yang menginginkan kesejukan dan kesegaran didalam rongga mulutnya untuk melepaskan dahaga akibat udara panas.

Sementara itu, disebuah sekolah dasar negeri di kampung bulakan.

"Teeeeeeeetttttt" suara bel sekolah menggema diikuti oleh sorak sorai teriakan bahagia seluruh murid-murid yang telah menantikan bel pulang berbunyi.

Bagaikan air bah yang sulit dibendung, para murid berlarian keluar ruang kelas setelah mereka satu persatu menciuam tangan sang guru sambil mengucapkan salam perpisahan.

Sang guru membalas ucapan salam anak didiknya sambil tersenyum. Sesekali beliau berteriak mengingatkan anak didiknya untuk tidak saling dorong agar tidak ada yang terjatuh.

Udin terlihat berdiri di antrian paling belakang, ia selalu memilih masuk dalam barisan antrian paling belakang karena tidak ingin berdesakan apalagi terkena imbas ulah teman-temannya yang saling dorong. Bukan tanpa alasan Udin memilih antri paling belakang, itu karena  ia pernah mengalami nasib buruk saat memaksakan diri ikut berdiri antri dalam barisan depan. Saat itu, tubuhnya yang kecil terjerembab hampir menabrak meja belajar akibat terdorong oleh teman-temannya.

Alhasil, tubuh Udin yang terjatuh dilantai menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sang Guru pun hanya bisa membantu Udin untuk bangkit berdiri sambil memberi nasehat pada anak didiknya untuk tidak saling mendorong, karena hal tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain.

Setelah berpamitan dengan gurunya, Udin melangkah keluar ruang kelas. Tempat tinggal Udin hanya berjarak puluhan meter dari Sekolah. Sesampainya di rumah, ia mengganti pakaian dengan pakaian sehari-hari. Kaos lengan pendek warna putih yang sudah mulai terlihat kecokelatan karena dimakan usia, serta celana pendek berbahan katun. 

Selepas shalat dzuhur, Udin melangkah menuju meja makan. Ia membuka tudung saji yang didalamnya sudah tersedia bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu, sepiring telor goreng mata sapi yang diberi bumbu kecap, irisan cabai, irisan bawang merah dan irisan bawang putih, serta sambal terasi yang diberi perasan jeruk limo.

Udin makan dengan lahap, karena makanan yang masuk kedalam lambungnya terakhir berupa ketupat sayur adalah diwaktu pagi hari ketika bel masuk kelas belum berbunyi. Sedangkan pada saat bel istirahat, ia lebih memilih bermain bola di halaman sekolah yang sering dipakai untuk upacara bendera setiap hari Senin pagi atau baris berbaris dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dalam ekstra kurikuler Pramuka. Selesai bermain bola, ia dan teman-temannya membeli jajanan es teh manis untuk melepas dahaga di sebuah warung sederhana yang berada tidak jauh dari bangunan utama sekolah.

Sewaktu sisa makan siangnya masih satu suapan lagi, terdengar suara teman-temannya memanggil namanya, “Uuudiiin…. Uuudiiin….”. 

Emak Udin yang sedang menjahit bagian celana sekolah Udin yang robek, buru-buru buka pintu dan melangkah keluar, “Eeeh… Entong, Abdul, Soleh, sini masuk… tunggu sebentar ya… si Udin ngabisin makannya dulu. Eh iya… kalian udah pada makan?” tanya emak. “Udah Mak Udin. Iya dah…kita tungguin”. Jawab Entong, Abdul, dan Soleh hampir berbarengan. Ketiganya duduk di kursi bambu disudut halaman rumah berlantai keramik sederhana. 

Tidak butuh waktu lama, Udin muncul dari balik pintu. “Maaf ya, tadi tanggung tinggal sesuap lagi…hehe“, ujar udin sambil tertawa kecil.

“Mak, Udin maen dulu ya…” ujar Udin meminta izin ke emaknya. 

“diluar lagi panas, Din, jangan maen jauh-jauh ya, emak khawatir nanti Udin kesambet kalau tengari maen jauh-jauh”, ujar emak memberi peringatan ke Udin.

“Ya Mak, Udin udah janji ama temen-temen mau nyari daon kapuk”, jawab Udin.

“Emang buat apaan daon kapuknya?” tanya emak penasaran.

“Yaaah Emak kagak tau ya? Daon kapuk itu untuk bikin gelembung sabun dan air gelembung sabunnya bakal kita jual keliling kampung, kan lumayan buat duit jajan, gak minta ama emak..ha…ha…ha…” Jawab Udin sambil tertawa.

Sebelum Emak Udin bertanya lagi, Udin melanjutkan penjelasannya, “jadi gini Mak, cara bikinnya; beberapa lembar daon kapuk ditumbuk sampe halus, nah daon yang ditumbuk itu bakal ngeluarin semacam getah yang mirip minyak goreng tapi dia lebih kental, teruus…. daon kapuk yang udah ditumbuk tadi dimasukin kedalam air yang udah dituangin bubuk deterjen, terus daun kapuknya dibejek-bejek sampe kecampur sama air dan deterjen. Naaah….terakhir supaya hasilnya bersih… kagak ada ampas daon kapuknya, Udin dan temen-temen bakal saring pake bahan pakaian bekas. Setelah semua selesai disaring dan diperes, jadi dah gelembung sabun. Kalau gelembung sabunnya di celupin pake sedotan atau disedot sedikit dan ditiup perlahan, sedotannya bakal ngeluarin gelembung sabun yang buaaaaaanyaaaak banget, Mak”, ujar udin menjelaskan ke Emaknya dengan lengkap.

“Oo gitu, Din. Emang kagak beracun getah daon kapuk sama aer deterjennya kalau sampe ketelen?” tanya Emak lagi kerena khawatir anaknya bakal kena bahaya dari air gelembung sabun.

“hhmm…..yaa… jangan ampe ketelen dong Maaak. Udin pernah nyedot aer gelembung sabunnya kebanyakan, jadinya masuk ke mulut. Rasanya Paiiit, Mak… hahahaha” ujar udin sambil tertawa terbahak-bahak.

“Tuh kaaan…..baru aja emak kepikiran. Ya udah, ati-ati aja ya Din, Tong, Dul, Leh. Oh iya, Jangan ampe kesorean ya pulangnya…” pesan Mak Udin mengingatkan.

“Okey Mak…… Assalamuálaykum” ucap Udin pamit, disusul dengan ucapan dari Entong, Abdul, dan Soleh. Mereka pun bergegas menuju jalanan kampung yang mengarah ke sebuah lahan yang ditumbuhi oleh pohon singkong yang berbaris rapih, pohon pisang dipinggirnya dan sebuah pohon Kapuk yang menjulang tinggi namun sebagian batang pohonnya ada yang menjuntai pada posisi yang cukup pendek sehingga mudah untuk dipetik dengan menggunakan sebatang galah bambu.  Pohon kapuk tersebut adalah satu-satunya yang berada disekitaran tempat tinggal Udin dan teman-temannya. 

Udin dan teman-temannya tiba dibawah pohon kapuk. Dengan bermodalkan keberanian, salah satu dari mereka, yaitu Abdul, yang terkenal pemberani dalam urusan panjat memanjat pohon, mulai memanjat dan berhasil memetik sekantong kresek kecil daun kapuk.

Selesai mendapatkan daun kapuk yang diinginkan, merekapun bergegas menuju rumah Entong untuk mengolah daun kapuk menjadi air gelembung sabun. Ditengah perjalanan, mereka mampir sebentar di warung kelontong Mak Enoh. Dengan bermodalkan uang hasil patungan dari uang jajan masing-masing, mereka membeli sebungkus deterjen merk Rindu, sebungkus sedotan plastik, dan kantong plastik bening ukuran seperempat.

Sesampaikanya di rumah Entong, Udin dan teman-temannya mulai mengolah bahan-bahan yang telah mereka kumpulkan untuk membuat gelembung sabun. Mereka pun berbagi tugas, karena sebelumnya Abdul telah melakukan tugas memetik daun kapuk, maka tugas menumbuk daun jatuh kepada Udin, yang memeras daun kapuk yang telah ditumbuk adalah Entong, sedangkan yang memasukan deterjen dan mengaduk-aduk air gelembung serta melakukan penyaringan air gelembung sabun supaya tidak ada ampas daun yang tertinggal, jatuh pada Soleh.

Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, air gelembung sabun akhirnya jadi dan telah dilakukan uji coba dengan hasil memuaskan. Air gelembung sabun tersebut menghasilkan gelembung yang banyak ketika dicelup kedalam sedotan plastik dan ditiup perlahan. Udin dan teman-temannya terlihat kegirangan.

Selanjutnya, merekapun mengatur strategi penjualan. Hasil kesepakatan, Udin dan teman-temannya akan menjual gelembung sabun di beberapa lokasi yang telah ditentukan dengan pembagian tugas sebagai berikut; yang membawa kaleng biskuit berisi air gelembung sabun jatuh pada Entong karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari yang lain. Yang bertugas teriak-teriak seperti layaknya penjual kredit panci atau penggorengan jatuh pada Abdul dan Soleh, karena keduanya dikenal memiliki suara yang bagus ketika mengumandankan adzan, sedangkan Udin mendapat tugas meniup gelembung sabun agar bisa menarik perhatian anak-anak yang mereka temui sepanjang perjalanan menjual gelembung sabun serta mendapat kepercayaan untuk menyimpan uang hasil penjualan gelembung sabun kedalam kantong plastik yang telah disiapkan.

Udin dan teman-temannya siap melakukan perjalanan. Namun sebelumnya, Soleh mengingatkan teman-temannya untuk membaca doa terlebih dahulu dengan harapan gelembung sabunnya dapat habis terjual. Akhirnya, setelah mereka berdoa bersama, Udin, Abdul, Entong, dan Soleh memulai perjalanan untuk menjual gelembung sabun.

“Gelembung Saboooon….. Gelembung Sabooon….. lima ratus perak…”, teriak Abdul dan Soleh saling bersahutan. Beberapa anak yang sedang bermain kelereng tak ayal menghentikan permainannya karena perhatian mereka beralih pada teriakan Abdul dan Soleh. Salah seorang dari anak=anak tersebut memanggil Udin dan teman-teman untuk membeli gelembung sabun. Penjualan pertama gelembung sabun berhasil meraup pundi-pundi uang jajan sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Anak-anak itupun terlihat sangat bahagia ketika mereka meniup air gelembung sabun dari sedotan plastik. Salah satu diantara merekapun sempat bertanya cara membuat gelembung sabun tersebut. Tentu saja Udin dan teman-temannya tidak bersedia memberitahu karena hal itu adalah rahasia “perusahaan”.

Selanjutnya, Udin dan teman-temannya melanjutkan perjalanan menuju lokasi-lokasi yang telah mereka sepakati. Dalam perjalanan, mereka menjumpai beberapa anak yang sedang asik bermain layang-layang, beberapa anak perempuan seusia Udin  yang sedang berkumpul bermain permainan congklak, yang kemudian tertarik untuk membeli air gelembung sabun.  

Sang waktupun beranjak sore. Suara kumandang adzan Ashar mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara Masjid dan Mushola. Udin dan teman-temannya sepakat untuk menghentikan perjalanan dan bersepakat untuk beristirahat disebuah Pos Kamling yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka berempat. Sambil menyenderkan badan dan meluruskan kaki, Udin dan teman-temannya mulai menghitung hasil penjualan gelembung sabun. Dengan disaksikan Abdul, Entong, dan Soleh, Udin mulai mengeluarkan plastik kresek didalam kantong celananya, mengeluarkan uang dari kantong plastik dan mulai menghitung. “lima ratus, seribu……dua ribu…..lima ribu….sepuluh ribu….dua belas ribu, lima belas ribu lima ratus….”,  suara Udin dan teman-temannya kompak menghitung uang hasil penjualan gelembung sabun. Setelah dilakukan pengecekan didalam kantong plastik penyimpan uang dan tidak ditemukan lagi uang yang terselip, akhirnya Udin melipat kantong plastik tersebut dan menyimpannya kembali kedalam saku celananya.

“Alhamdulillaah…. Hasil penjualan hari ini sebesar lima belas ribu lima ratus rupiah, selanjutnya…uang ini mau dibagi rata jadi berapa-berapa untuk kita berempat?” Tanya Udin kepada Abdul, Entong, dan Soleh.

“gimana kalau masing-masing kita mendapat tiga ribu rupiah? Sisanya, kita simpan sebagai modal untuk bikin gelembung sabun lagi. Gimana, setuju gak?”, jawab Soleh yang disambut persetujuan dari Udin, Abdul dan Entong.

Akhirnya, setelah uang hasil penjualan gelembung sabun telah dibagi rata, Udin dan teman-temannya kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia karena sore itu mereka mendapatkan uang jajan dari hasil keringat atau kerja keras mereka, bukan dari meminta uang jajan ke orang tua. Udin dan teman-temannya membuat jadwal rutin berjualan gelembung sabun, hingga pada suatu hari mereka tidak melakukannya karena pohon Kapuk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan gelembung sabun rata dengan tanah dan berubah menjadi sebuah gerbang perumahan mewah.

Udin dan teman-temannya mempunyai kenangan masa kecil yang indah.

Takbir Kemenangan


Photo: @qbayyinah

Tiada yang lebih indah
Selain lantunan Takbir kemenangan
Terucap dari lisan manusia beriman
Yang hanya mengharap keridhoan Tuhan

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
"Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata."

Tiada  yang lebih indah
Selain sebuah pemandangan
Bershaf-shaf umat dalam lautan barisan
Menggemakan Takbir kemudian sujud dalam kekhusyukan

Tiada yang lebih indah
Dari lelahnya para juru dakwah
Dibalasnya ia dengan pahala berlimpah
Dan syurga yang dijaminkanNYA

Tiada yang lebih pedih
Dari letihnya para penebar kebathilan
Tersia-sia atas segala perbuatan
Untuk memadamkan cahaya Islam
وَٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَلِقَآءِ ٱلْءَاخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْۚ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

"Dan orang-orang yang mendustakan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia-sialah amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Dan hanya kepada Tuhan Semesta Alam
Semua dikembalikan.


Gunawan/25072020

Pisah

Aku biarkan amarah bersemayam di dalam kedua bola matanya.
Setelah apa yang telah kulakulan, melulunlantakan pondasi kepercayaan yang telah dibangun sekian lama.
Di sebuah bangku taman usang, sekumpulan burung gereja berlompatan mencari makan.
Aneka warna warni bunga menarik pandangan.
Semua itu tak mampu menyuguhkan kebahagiaan, padaku yang terjebak dalam ruang kata.
Setelah kata-kata itu melesat lepas dari sepasang bibir merahnya dan menghujam tepat di jantung pertahananku; kita...pisah!

Seketika, langit menumpahkan air matanya.



ROHINGYA; Para Pencari Suaka

Sembilan puluh empat nyawa
Terombang ambing di tengah samudera
Di sebuah perahu kusam nan renta
Tertiup angin ombak menggurita

Lapar dahaga mendera
Isak tangis para balita
Kecemasan yang menyiksa
Ajal mendekat jarak sedepa

Mereka adalah anak manusia
Terampas hak asasi kemanusiaannya
Karena ulah penguasa durjana
Demi nafsu dunia

Entah berapa lama menahan asa
Menanti takdir yang akan diterima
Terpasrahkan semua kepala Penggenggam Jiwa
Hingga pertolongan itu tiba

Adalah nelayan Aceh menjadi perantara
Menjemput rezeki dipertemukan dengan pengungsi Rohingya
Terpanggil rasa peduli pada sesama
Memberi pertolongan tanpa jeda

Duhai, Aceh lon sayang
Duhai, Rohingya malang
Doaku, doa kami tak berbilang
Kelak, keadilan kan terbentang


Ahad, 28062020


Isra' Mi'raj

Isra Mi'raj

Ya Rasulullaah, betapa berat beban amanah risalah kenabian yang di letakkan dipundakmu
Dicaci engkau, di sakiti jua dalam dakwahmu
Namun isteri tercinta nan sholehah senantiasa menyemangati dan melindungimu

Tibalah masa kesedihan mengiris hati
Paman tercinta, Abu Thalib wafat tanpa sempat mengucap syahadat
Dalam hitungan hari, pendamping setia nan sholehah, Khadijah sang Ummul Mukminin pun pulang keharibaan Illaahi

Belum cukup ujian menerpa
Kepiluan kembali menguji kesabaran
Dakwah kepada kaum Thaif mendapat pertentangan
Di usirnya engkau bahkan dilempari batu hingga terluka

Mengalir darah segar dari pelipis sosok mulia
Terduduk engkau di bawah sebuah pohon
Hingga malaikat datang menawarkan bantuan tuk menimpakan bukit ke atas mereka kaum kuffar
Namun engkau menolak tawaran tersebut dengan halus, karena engkau yakin anak keturunan mereka kelak akan mengikuti risalahmu

Sedih, pedih, hancur dan remuk redam
Engkau terima takdir dengan lapang dada
Terpanjat sebuah doa; "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua (musibah) itu tidak aku hiraukan".

Di puncak ketidakberdayaan
Hadirlah sebuah undangan dari Tuhan Semesta Alam
Sebagai hadiah atas kesabaran
Dan penghibur dikala kesedihan

Di utusNYA seekor Buraaq menjadi tunggangan
Membawa kekasih mulia Dari Masjidil Haraam menuju Masjidil Aqsha
Terpilih menjadi imam shalat berjamaah
Melintasi tujuh lapis langit hingga Sidratul Muntaha
Perintah shalat lima waktu menjadi tiang agama
Media komunikasi antara Hamba dengan TuhanNYA

Yaa Rasulullaah, Yaa Nabiyullaah, Yaa Habiballaah
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadamu
Ummatmu yang berlumur dosa ini merinduimu
Berikanlah syafaatmu di yaumil akhir nanti

Alloohummaa Shalli 'Alaa Sayyidina Muhammad

GNWN/22032020

Kabut dan Harapan


Kabut yang hadir selepas hujan dini hari memenjarakan kata
Rindu terbang bebas lalu lupa tuk kembali ke peraduan
Masih ada secercah harapan di permulaan hari
Pagi yang menyuguhkan mantra pelipur lara
dan mentari yang kilaunya memanjakan netra

#puisi #puisidanfotografi
#pagi #kata #stasiun #stasiunjurangmangu #tangerangselatan #tangsel #tangsellife #aktivitas

Rindu Menanti



Meski rinai hujan telah reda
Namun detak rindu enggan tuk jeda

Kemanakah merpati putih berkelana?
Membawa kabar angin tak kunjung jua

Lupakah ia?
Ataukah aku yang tak sabar menanti kehadirannya?

GNWN/01022020

Pujian dan Ujian

Pujian dan Ujian
Pujian dapat menjerumuskan
Pabila disikapi dengan jumawa
Sedangkan ujian dapat menyelamatkan
Pabila disikapi dengan keikhlasan atas ketetapan Tuhan

Pujian dan Ujian
Keduanya sama-sama di uji
Sesiapa yang mampu menjalani
Kan tampil sebagai Hamba-Hamba yang di Ridhoi

Pujian dan Ujian
Dua kata yang dibedakan hanya oleh konsonan P
Sesiapa yang tidak mampu menjalani
Ia kan menuai konsekuansi

Semoga diri ini senantiasa selamat dalam menghadapi pujian maupun ujian

GNWN/03012020

Payungnya, Pak! Payungnya, Bu!

Wahai, kawan
Sore ini awan mendung menghiasi langit Jakarta
Sesekali kilat menyambar bersahutan
Pepohonan melambai dihempas bayu

Tahukah kau, kawan
Seiring datangnya hujan, aku melihat keceriaan menghiasi wajah anak-anak yang berkerumun di halaman sebuah stasiun kereta
Sambil membawa payung aneka warna, mereka menawarkan jasa

Payungnya Pak, Payungnya Bu

Aku ingin bercerita kepadamu, kawan
Tentang masa kecilku yang mirip dengan mereka
Ceria di kala hujan tiba
Karena membayangkan uang jajan nampak di depan mata

Singkat cerita, suatu sore aku dan kawan-kawan berdiri di trotoar sebuah jalan
Menunggu angkutan kota berhenti di hadapan
Sebuah payung erat dalam genggaman
Sedangkan tubuh, basah oleh air hujan

Betapa bahagianya aku, kawan
Ketika ada seseorang yang memakai jasa ojek payungku
Ku ikuti langkahnya hingga tiba di sebuah halaman rumah
Kemudian menerima sejumlah uang yang diberikan

Tentu saja saat itu aku menggigil kedinginan,
Bibir membiru, kulit jari keriput oleh dinginnya air hujan
Tapi aku dan kawan-kawan senang
Karena sore itu, kami mendapat banyak uang jajan

Demikian ceritaku, kawan
Kuharap kaupun Bahagia di saat hujan tiba
Seperti bahagianya anak-anak yang menjajakan jasa ojek payung
Demi mendapatkan pundi-pundi uang jajan





Pagi adalah...

Pagi adalah jembatan
Menghubungkan harapan dengan kenyataan
Meski tak selamanya kenyataan sesuai keinginan
Namun pagi adalah sebuah jembatan yang harus dilewati

Pagi adalah inspirasi
Menjadi kekuatah imajinasi para pecinta seni
Lukisan alam yang patut disyukuri
Permulaan hari yang menyimpan sebuah misteri

Pagi adalah anugerah
Sesiapa yang bersyukur, ia kan bahagia
Sesiapa yang tak bersyukur, sesaklah ia
Karna pagi adalah jawaban dari setiap doa

Selamat pagi
Semoga keberkahan senantiasa menyertai


31122019

Kopi dan Kenangan

Kopi dan kenangan
Melebur dalam angan tak berkesudahan
Nikmati saja apa yang ada di hadapan
Karena hidup tak melulu sesuai harapan!

Kopi dan kenangan
Ibarat aku dan kamu dalam persimpangan jalan
Membisu dalam sendunya tatapan
Merangkai rindu yang terlepas dalam genggaman

Kopi dan kenangan
Ibarat genangan yang hadir selepas hujan
Maki yang terlontar oleh lisan sebagian
Tak sedikit yang mengucap kesyukuran

Kopi dan kenangan
Pahit dan manisnya dapat dikendalikan
Seperti hasrat yang berkelindan
Hasrat mencintaimu........iya kamu!

Istirahatlah Tuan

Duhai tuan
Hujan baru saja reda
Sedang engkau sibuk mengeja yang fana
Sadarkah kau jika cahayamu sirna
Seiring usia yang tak lagi sama

Istirahatlah tuan
Simpanlah angan
Helai demi helai rambutmu
Terwarnai dunia semu

Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Dalam sekat lorong ruang ICU
wajah pias menyatu
Tatapan sayu hadirkan jemu
seolah bahagia tercerabut dari tandusnya sang waktu

Satu dua napas tersengal
Mesin kehidupan berkoar bersahutan
Kelopak mata terkatup
Tak ada gairah
Yang ada hanyalah pasrah
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Seporsi Mie Goreng Dingin, Pagi Itu


Jam tangan usang warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku menunjukkan waktu pukul 08.55 wib. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit pemerintah tipe A menuju pintu keluar. Ku sapu pandangan ke kanan, kiri, depan, mencari tempat nyaman untuk sekedar melepaskan penat.

Tak perlu waktu lama, aku menemukan lokasi beristirahat, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari halaman gedung ICU. Aku duduk disebuah kursi besi warna warni pelangi, dibawah pohon rindang yang menaungi beberapa keluarga pasien yang sudah duduk sebelum aku tiba. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ku buka resleting tas dan mengeluarkan sebuah tempat makan plastik.

Di dalam wadah makanan tersedia mie goreng bercampur nasi putih yang sudah mulai terasa dingin. Ku baca Basmallaah kemudian mulai memakannya sedikit demi sedikit meski pada suapan pertama, menu makanan yang sudah di lumat mulutku terasa sukar untuk melintasi rongga leher.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan aliran air yang terasa hangat merayap dari kelopak mataku, aku menangis.


Malam itu, aku bahagia sekali ketika menatap layar ponselku yang menyala karena kiriman pesan singkatmu, "Gimana besok pagi, jadi kan kita ketemu di depan minimarket simpang jalan? Ku jawab isi pesanmu dengan huruf kapital, menandakan betapa antusiasnya diriku untuk berjumpa denganmu, "JADI DOONGGG", disusul emoticon love.

Waktu beranjak naik, sudah pukul 10 malam namun mataku tak mau terpejam. Entah karena rindu yang menggebu atau karena secangkir kopi susu dingin yang ku minum 1 jam sebelumnya. Yang pasti, hatiku sedang berbunga-bunga.

Dia adalah sosok wanita pujaan. Menatap wajahnya meruntuhkan pertahanan jantungku. Tutur katanya ibarat air sejuk pegunungan himalaya yang mengaliri setiap dahaga. Ia adalah bunga kampus, yang kehadirannya selalu mencuri perhatian. Dan aku, adalah pria beruntung yang meraih cintanya dalam sebuah perjuangan panjang.

Pukul 12 malam, kedua mataku masih tak mau terpejam. Lantas, aku melangkah menuju kamar mandi tuk berwudhu, kemudian tak berapa lama 2 rakaat shalat sunnah syukrul wudhu aku lakukan. Beberapa menit kemudian, aku membaringkan tubuh dan perlahan menutup kedua mataku, pulas.

Kriiiiiinnggggg....... Alarm jam meja belajar disamping tempat tidurku berbunyi kencang. Perlahan kubuka kedua mataku kemudian bangkit dari tempat tidur dan mematikan alarm. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Dari speaker masjid yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kos-anku terdengar suara marbot masjid sedang melantunkan ayat suci alqur'an. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap-siap menuju ke masjid.
Ketika hendak membuka pintu kamar, layar ponselku menyala, ada notifikasi pesan darinya, kamu sudah bangun? Sudah siap-siap ke masjid kan?. Sebuah emoticon senyum terkirim kemudian, "Alhamdulillaah, ini baru aja mau buka pintu kamar. Aku shubuhan dulu ya...", disusul emoticon senyum.

Selesai melaksanakan ibadah shalat shubuh, aku bersegera kembali ke kamar kos untuk berganti pakaian. Pakaian spesial yang telah aku persiapkan untuk bertemu dengan sang pujaan. Selesai berpakaian, aku menuju dapur kecil di sudut kamar, mengambil dua bungkus mie goreng kesukaannya kemudian memasaknya hingga matang. Mie goreng yang telah matang, aku simpan di dalam wadah plastik, kemudian aku masukkan kedalam tas slempang. Aku dan dia sudah berjanji untuk menyantap bersama mie kesukaannya ketika bertemu nanti.

Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, udara terasa sejuk menyelimuti. Ku raih ponsel dari saku kemeja, kemudian mengirim pesan, "Bismillaah...aku jalan ya, sampai jumpa...kamu hati hati di jalan ya...".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".

Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di pinggir trotoar depan kos-an yang telah aku sewa semenjak masuk di perguruan tinggi setempat. 

Tak berapa lama, sebuah angkot berhenti di depanku, sang sopir menyapaku menawarkan jasanya. Tanpa berpikir panjang, akupun menaikinya. Waktu temluh dari lokasi kos ku dengan lokasi yang telah kami sepakati hanya berkisar 35 menit. Jam tangan menunjukkan waktu 06.10 pagi. Angkot yang aku naiki berhenti tepat di trotoar depan halaman minimarket yang telah dijanjikan. Setelah membayar ongkosnya, aku berdiri di trotoar, menatap seberang jalan. Orang yang aku cari belum tiba. Akupun mengeluarkan ponsel dari saku kemeja kemudian mengirim pesan, "Alhamdulillaah aku sudah tiba, kamu sudah sampai mana?". 
Beberapa detik kemudian pesan jawaban terkirim, "Alhamdulillaah, maaf aku telat, tapi sudah dekat kok. Terimakasih ya sudah sabar menunggu". Aku pun menjawab isi pesannya, "gak apa kok, aku juga baru aja tiba".

Beberapa menit kemudian, sebuah angkot di seberang jalan berhenti. Aku memperhatikan dengan seksama. Betapa bahagianya hatiku, karena orang yang aku tunggu dengan sepenuh hati tiba, dia melambaikan tangan. Tanpa membuang waktu, akupun berteriak kepadanya, "Tunggu disana, aku akan jemput kamu".
Namun sepertinya, ia tak menghiraukan teriakanku, tanpa berpikir panjang ia segera melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju ke arahku, dan............brakkk, dia terpental beberapa meter dengan kening membentur dinding trotoar jalan, kemudian hari terasa gelap seakan awan pekat menggelayut di langit kebahagiaan.