MENUNGGU AZAN PULANG

Butiran letih mulai menderas menyusuri larik-larik hijaiyah,
menyebab kering jalanan makan yang belum disiram lagi
semenjak fajar mengumandangkan ajakan surau
yang sudah bangun dari ujung sepertiga malam.

Saat mentari melongok di atas Rumah,

lelah masih sibuk membalik-balik lembaran Tuhan

yang dijanjikan makin tebal,

merangkai bunyi lirik-lirik langit dengan liukan indah irama rima-rimanya.


Surya pamit undur diri karena tidak boleh pulang terlalu malam,

mengetok pintu kamar yang berpesan: jangan ganggu orang di dalam,

membangunkan mukena putih dengan bawahan jarik lurik-lurik

yang belum sempat tidur dari pagi,

memandang jauh ke ruas-ruas di balik jendela: cemas.


"Engkau menunggu siapa? tergurat gelisah"

"Azan Magrib, kemarin dia datang sebentar, lalu pergi lagi"

"Aku takut dia lupa jalan pulang"


Surya akhirnya melangkah pulang ke garis benam,

naik kendaraan tua berwarna jingga,

knalpotnya nampak menyemburkan awan

yang nanti perlahan hilang disapu legam malam.


"Aku pulang!"


Azan Magrib sudah berdiri di halaman Rumah

diantar toa surau yang parau,

membawa tiga butir kurma,

menenteng segelas teh manis hangat,

dan kresek tipis bening membungkus kantong kertas lecek,

menyembunyikan kejutan yang tidak mengagetkan: seperangkat gorengan,

dibayar tunai.