Tulisan dengan Kekuatan Emosi Memang Bedampak ke Hati

Baru-baru ini saya meminjam dua buku dari perpustakaan DJA. Ke-dua buku ini memiliki judul yang memikat saya. Jadilah buku tersebut menjadi sasaran baca kegiatan harian. Pertama, buku Cahyo Satria Wijaya, terbitan tahun 2017, berjudul Kalo Sensi Jangan Baca Buku Ini. Buku kedua pasti sudah banyak yang membacanya: Chicken Soup for The Soul: Kekuatan Berpikir Positif, 101 Kisah Inspiratif tentang Mengubah Hidup dengan Berpikir Posisitif, terbitan Gramedia Pustaka Utama, cetakan sembilan tahun 2016.
  
Kedua buku tersebut mempunyai dampak ke hati yang berbeda. Buku serial Chicken Soup for The Soul, terasa lebih memikat dan kena di hati saya. Ada beberapa tulisan yang menyentuh emosi terharu dan membuka cakrawala berpikir yang berbeda. Terpikir dalam hati, “Orang ternyata bisa mengubah kehidupannya karena hal remeh-temeh begitu ....”

Sementara, bukunya Cahyo Satria hanya terasa sebagai suatu informasi semata. Di sana, tidak terlibat emosi benci, emosi senang, atau emosi tersentuh lainnya. Padahal yang disampaikan oleh Mas Cahyo ini tidak berbeda dengan serial Chicken Soup for The Soul di atas, yaitu pengalaman sehari-hari yang umum kita jumpai.

Saya menyadari bahwa tiap orang mempunyai pengalaman berbeda setelah membaca suatu buku. Nah, ini pengalaman saya setelah membaca kedua buku tersebut. Agar rekan-rekan bisa berimajinasi perbedaan keduanya, berikut ini saya kutipkan sebagian kecil tulisannya di bawah ini. Paragraf pertama berasal dari bukunya Mas Cahyo dan yang kedua berasal dari serial Chicken Soup for The Soul.

Ketika posisi di atas, ia bisa jadi lupa bahwa dulu orang-orang juga membantunya. Dan berada dalam posisi di atas akan mudah dilihat orang, dan tentunya segala tindak tanduk kita pasti diperhatikan orang. Perilaku orang yang melupakan ketika posisi di bawah sama seperti pepatah kacang lupa kulitanya (Cahyo Satria Wijaya, Kalo Sensi Jangan Baca Buku Ini, Subbagian Melihat ke Bawah Saat di Atas).

Susah sekali bagiku untuk menemukan hal-hal positif disekitarku. Namun, aku membulatkan tekadku , aku mulai melihat beberapa hal. Seorang anak yang teresenyum dalam gendongan ibunya. Ya, itu juga termasuk. Seseorang lelaki mengenakan setelan resmi membeli balon dari pedangan kali lima dan memberikannya kepada seorang pengemis. .... (Chicken Soup for The Soul: Dari Merana ke Penuh Makna, tulisan Rita Bosel).

Rekan-rekan boleh tidak sependapat soal ini. Namun, saya mempunyai kesimpulan sendiri setelah memilihnya dari sekian buku yang ada dan membaca tuntas buku-buku tersebut. Kesimpulannya, buku menjadi berdaya jual apabila memikat dari judulnya dan cara penyampaiannya. Jadi kepingin membuat buku sendiri (#cita-cita mode on). 

Untuk Mas Pehix Snang Iteba (Mas Teba) ku


Ketika aku membantu mengangkat tubuhmu setelah dimandikan, aku termangu

Ketika helai demi helai kapas menutup tubuhmu, aku mulai tergugu

Ketika lembar demi lembar kain kafan membelit tubuhmu, aku tak kuasa menahan isak tangis

Ketika para  tercinta mencium wajahmu untuk terakhir kali, semakin deras air mataku

Hanya dzikir...dan dzikir yang terus terucap
Memohon keampunan dan kasih sayangNYA untukmu, Mas Teba-ku

Menjadi rekan kerjamu selama lebih dari 10 tahun, terlalu banyak kebersamaan yang akan selalu dikenang

Bahwa kamu adalah rekan kerja yang sangat baik, itu benar!

Bahwa kamu adalah Mas-ku yang selalu "ngemong" ketika aku menghadapi kesulitan dalam pekerjaan, itu benar!

Bahwa sewaktu aku kebingungan harus naik angkutan apa ketika pulang tugas tengah malam dari luar kota, lalu kamu menawarkan diri untuk mengantarku sampai rumah bersama Mba, itu benar!

Bahwa ketika kita masing-masing terpisah karena tugas, namun silaturahmi tetap terjalin, itu benar!

Sekarang, Mas sudah tenang dalam istirahat panjang
Kami yang masih hidup, hanya menunggu giliran
Hanya untaian do'a yang mampu aku panjatkan
Semoga Allah Swt karuniai RahmatNYA untukmu, Mas Teba...

Al Faatihah...





Pria Tenang itu Kini Istirahat dengan Tenang

Bisa dibilang saya tidak terlalu kenal dekat dengan beliau. Meskipun rekan sekantor, pertemuan kami terjadi tidak disangka-sangka. Perkenalan formal juga tak pernah diadakan sebelumnya. Saat itu kami pergi naik gunung dalam satu rombongan yang sama. Rombongan itu terdiri dari percampuran antara kawan DJA dan teman saya. Meski kawan DJA, tidak semua dari mereka saya benar-benar mengenalnya.  Ketika melihat sosok Mas Teba, saya merasa sama sekali belum pernah berjumpa (meski sekilas) sebelumnya.

Perawakannya tinggi besar tetapi jauh dari kesan sangar. Senyumnya selalu tersungging saat berbicara. Raut muka dan volume suara juga menunjukkan bahwa beliau kalem dan bersahaja. Masih lekat dalam ingatan, penampilan beliau santai dengan kostum merah Liverpool, saingan MU - tim favorit saya. Semenjak itu, saya jadi tahu bahwa kami berseberangan dalam jagoan lapangan hijau. Karena belum kenal, saya cuma menyapa dengan "mas" dan melemparkan senyum saat berada di depannya. Belakangan, saya tahu nama beliau "Teba" saat ada yang ngobrol dan memanggil beliau "Mas Teba".

Tujuan kami saat itu, gunung Sindoro dengan ketinggian 3.136 mdpl (hasil gugling) yang terletak di wilayah Jawa Tengah. Selama pendakian, Mas Teba benar-benar mengaplikasikan pepatah jawa alon-alon waton kelakon. Ketika sudah merasakan capek, beliau memilih berhenti sejenak untuk sekedar melemaskan kaki, meskipun terkadang masih tetap dalam posisi berdiri. Tampak beliau begitu tenang dan sabar dalam mendaki, tidak memaksakan diri. Mungkin karena memang air mukanya yang tenang itu, tak tampak kelelahan di wajahnya, masih saja dihiasi senyum. Yang pasti, ending-nya pendakian beliau berhasil dan sehat sampai kembali ke rumah.

Setelah itu kami sudah bisa dianggap kenal satu sama lain. Intensitas pertemuan kami tidak terlalu sering memang, karena bidang tugas kami di kantor jarang berkaitan. Paling-paling kami bertemu selepas sama-sama menyapa mesin absensi di pagi hari. Saat berpapasan atau berjalan berdampingan biasanya beliau menyapa sambil memberikan senyum khasnya. Begitupun saat sore hari, beberapa kali kami bertemu saat absen atau berjalan ke parkiran motor. Biasanya, istri beliau, Mbak Aster, yang juga bekerja di di DJA sudah tampak duduk menunggu beliau di lobi. Setelah itu, mereka berjalan berdampingan ke arah gedung parkir. Di sana, Mas Teba akan mengambil motor ke atas dan Mbak Aster kembali menunggu di pintu keluar motor. Ya, sepengetahuan saya mereka berdua pergi ke kantor dan pulang berboncengan motor. Inilah salah satu enaknya punya pasangan hidup yang juga sekantor.

Sekali lagi, tak banyak memang momen saya bersama Mas Teba. Tapi dari yang sedikit itu, kesan yang saya dapat, beliau adalah orang yang kalem dan murah senyum. Bicaranya juga pelan dan tak banyak. Meski begitu beliau selalu menyapa dan sesekali bersalaman ketika kami bertemu. Dari kabar-kabar yang saya dengar, beliau juga masih beberapa kali ikut pendakian bersama teman-teman pecinta alam DJA. Beliau juga katanya aktif gowes sepeda. Luar biasa semangat Mas Teba ini ternyata.

                                                                      *****

Kemarin pagi, saya datang ke kantor seperti biasa. Berjalan dari parkiran, coba mengambil handphone dari saku celana agar tak mati gaya. Ternyata handphone saya mati, semalam sengaja dimatikan karena lowbatt. Seketika itu saya menghidupkannya untuk mengecek obrolan di whatsapp grup yang ada. Lama sekali proses booting handphone saya hingga tak terasa saya sudah ada di lapangan voli depan gedung kantor. Tak seperti biasanya, banyak bus dan L300 yang terparkir di sana. "Pada mau kemana ini?", pikir saya.
Saat akhirnya menyala, saya langsung memilih ikon bundaran hijau bergambar gagang telepon di layar handphone. Wah, sudah banyak notifikasi yang masuk. Melirik sekilas, dari beberapa grup, terlihat potongan pesan yang tampak serupa. Penasaran saya pun buka salah satu grup kantor. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun. Telah meninggal dunia, kerabat kita Pehik Snang Iteba (Mas Teba, A2), suami Dari Aster (Sekretariat) pagi ini. Semoga almarhum khusnul khotimah. Keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Aamiin aamiin aamiin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masya Allah, detak jantung seperti tercekat sejenak dan semakin cepat setelahnya. Innalillahi wa innailaihi roji'un, Mas Teba. Ya, Pehik Snang Iteba, nama lengkapnya yang saya tau tak sengaja. Selepas meletakkan tangan di mesin handkey, saya memandangi layar monitor untuk menunggu foto saya muncul. Ketika itu dari sudut pandangan mata yang lain tampak nama Pehik Snang Iteba dengan foto Mas Teba di sampingnya masih terpampang. "Ooh, itu toh nama lengkap Mas Teba", batinku. Terdengar cukup unik bagi saya. Sempat bertanya-tanya sendiri apa artinya dan dari bahasa apa.

Betapa mengagetkan berita duka pagi itu. Beberapa hari belakangan saya belum bertemu atau berpapasan dengan beliau. Tapi beberapa kali masih melihat Mbak Aster menantinya sembari duduk di lobi atau saat berdiri di dekat pintu keluar motor. Tak terdengar pula desas desus beliau sakit sebelumnya. Dari situ saya menduga-duga sendiri, "jangan-jangan beliau terkena serangan jantung". Sedikit ragu sebenarnya, mengingat beliau yang aktif naek gunung dan gowes. Kondisi fisiknya tentunya masih prima. Tapi takdir tak pernah tidak mungkin, ternyata benar beliau terkena serangan jantung selepas subuh. Entah kenapa, meskipun tak dekat, saya merasa kehilangan. Mungkin sosok kalem dan murah senyum beliau secara tak sadar sudah membuat saya terkesan.

Kembali saya baca baik-baik pesan di grup whatsapp. Disebutkan rumah duka berlokasi di Tapos, Kota Depok. Saya tidak tahu lokasi pas nya. Tetapi mendengar Kota Depok, jaraknya tentu lumayan jauh dari kantor. Dan setiap hari Mas Teba dan Mbak Aster berboncengan motor dari rumah ke kantor bolak-balik. Terbayang, perjuangan mereka untuk berangkat ke kantor dan saat pulang ke rumah, berkumpul dengan dua anak perempuannya yang masih kecil. Saya pernah melihat mereka bersama Mbak Aster saat diajak ke kantor.

Sungguh sekali lagi, mengingatkan kita bahwa ajal bisa datang kapan saja tanpa memberi pertanda sebelumnya. Jika memang sudah gilirannya, jantung bisa diperintahkan berhenti meski tiba-tiba dan dengan berbagai cara. Tak memandang fisik kuat dan rajin olahraga, ruh dalam raga akan dipanggil tepat pada waktunya. Namun, Mas Teba mengajarkan kepada kita bahwa selagi masih ada di dunia, senantiasa tersenyum dan bertegur sapa lah dengan sesama. Gemar berolahraga dan menikmati keindahan bumi juga jadi kebiasaan yang mesti ditiru dari Mas Teba. Pembawaan tenang, kalem, dan tak banyak bicara bisa jadi inspirasi. Mencerminkan kebersahajaan di balik perjuangan beliau bersama istri tercinta. Dan buat Mbak Aster, tetap kuat, tabah, dan tegar ya Mbak. InsyaAllah ini ketentuan Allah yang pasti baik. Semoga senantiasa diberikan kemudahan bersama dua putrinya ke depannya.

Selamat jalan Mas Teba, meskipun tak dekat dan hanya sesaat, buat saya sosok Mas Teba tetap bisa menjadi salah satu contoh yang tepat. Sekarang Mas Teba sudah tidak perlu lagi berkejaran dengan mesin handkey. Semoga Mas Teba masih bisa mendaki gunung dan gowes sepeda, sembari menunggu kami-kami mengisi absensi di sana kelak. Satu hal yang saya sesalkan, kini pupus sudah harapan saya untuk menanyakan arti nama lengkap Mas Teba.

Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fu'anhu.

Cita-cita Yang Tercapai

Malam beranjak menyepi ketika ditemani hujan yang terlihat sabar dengan rintik-rintiknya. Suara syahdu tetesan airnya membuaiku untuk tetap bermalas-malasan merebahkan punggung di tempat yang biasa aku menghabiskan malam istirahatku. Ini memang waktu yang ideal untuk segera melepaskan segala kepenatan dari hiruk pikuknya beban di sepanjang hari tadi.

Belum juga sempat mengawali petualangan 'hibernasi'-ku malam ini, kudengar rintihan kesakitan dari istriku. Rupanya sakit gigi yang dikeluhkan sejak pagi tadi, mencapai puncak sakitnya di saat orang-orang berangkat ke tempat peraduannya.

Baru kali ini aku tahu betapa sebegitunya orang mengeluh karena sakit gigi. Aku menjadi tidak heran beberapa tahun yang lalu ada seorang teman yang protes keras gara-gara mendengar lagu yang liriknya kurang lebih bermakna "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati". Kata temanku itu, "penyanyinya tidak pernah sakit gigi sih, kalau aku ya mending sakit hati daripada sakit gigi". Aku pikir pernyataan temanku ini juga penuh spekulasi, mungkin karena belum merasakan betapa sakitnya kalau lagi sakit hati. Tapi bolehlah, sekali-kali protes terhadap lagu yang tadinya dimaksud untuk menghibur, tapi malah dirasa kontradiktif terhadap yang sedang dirasakan temanku. Wajah protesnya tidak bisa disembunyikan, sambil pegang pipi sebelah kirinya yang keliatan bengkak. Sabar ya friend :D

Malam ini mungkin menjadi malam yang akan dikenang istriku dengan rasa sakitnya yang tak kunjung berujung. Rintihannya cukup mewakili betapa sangat sakitnya yang sedang dirasakan. Aku tidak boleh tidur, harus berbuat sesuatu. Toh suami siaga tidak hanya dimonopoli oleh para istri yang hamil saja. Mendapat perhatian suami adalah hak segala bangsa, termasuk para istri yang sedang sakit gigi.

Tak berlama-lama lagi, aku tawarkan untuk aku bawa ke rumah sakit terdekat, tapi istri tidak mau. Cukup minta dibeliin obat sakit gigi saja untuk mengurangi rasa sakitnya. Segera aku ganti baju, aku ambil kaos sekenanya, warna putih berkerah dan tak lupa pakai jaket untuk melindungi diri dari udara yang tidak terlalu bersahabat karena dingin yang menyengat tulang.

Waktu sudah menjelang tengah malam ditambah hujan rintik, membuat jalanan begitu lengang. Tidak butuh waktu lama untuk sampai pada rumah sakit terdekat. Alhamdulillah tempat parkir juga tidak penuh, memudahkan aku memilih di mana aku memarkir kendaraanku dan segera ke apotek dan beli obat sakit gigi sesuai pesanan istri. Aku tidak boleh lama meninggalkan rumah, khawatir tetangga kiri kanan terbangun gara-gara istri sakit gigi.

Setelah antri beberapa saat, obat pereda nyeri sakit gigi itu sudah siap aku bawa pulang dengan sejuta harapan. Seperti biasa aku siapkan uang parkir, dan sebelum beranjak pergi, aku serahkan uang ke petugas parkir. Tapi anehnya tukang parkir memberi isyarat tidak mau menerima uang parkir tersebut. "Wah baik banget tukang parkirnya, bisa memahami cobaan yang sedang menimpa kami," pikirku. Tapi aku tidak boleh kalah, aku agak memaksa sedikit, "sudah, tidak apa-apa pak, ini ya", sambil aku sodorkan lagi uangnya. Dengan sopan dan hormat diterimalah uangku sambil berkata, "makasih dok..."

Langsung saja aku menyadari kenapa tadi tukang parkir tidak mau menerima pemberianku. Sambil berusaha mencari penyebabnya, aku perhatikan lagi apa yang ada pada diriku. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan ditambah kacamata minus yang sudah lama menemani kemanapun aku pergi.

Tuhan Maha Adil, setiap kebaikan yang kita tanam, terkadang tanpa harus menunggu lama, kebaikan yang berikutnya akan dikaruniakan kepada kita. Jadi jangan ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada istri dan orang-orang yang kita sayangi. Bersusah payahnya aku memberikan yang terbaik buat istri yang sedang menahan rasa sakitnya, dibayar lunas oleh Tuhan, cita-citaku sejak kecil tercapai : ingin menjadi dokter. Alhamdulillah.

Perang Kembang

Perang terberat adalah perang melawan hawa nafsu. Pernyataan ini tentu sudah sangat sering kita dengar. Bahkan ini merupakan salah satu hadits shahih yang diriwayatkan oleh  Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwa “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”.


Dalam falsafah Jawa, perang terberat ini digambarkan dalam “perang kembang”. Falsafah ini disampaikan oleh dalang pada pagelaran wayang. Pagelaran wayang memang sebuah hiburan, namun sarat dengan pesan-pesan yang sejatinya merupakan pelajaran untuk diterapkan oleh pemirsanya. Dalam pagelaran pewayangan, perang kembang adalah suatu episode dimana seorang ksatria dipersiapkan oleh seorang guru sebelum ditugaskan untuk mengemban tugas yang berat. Disinilah, seorang dalang menyampaikan sebuah falsafah kepada pemirsa mengenai pengendalian diri melalui sebuah hiburan.


Cerita diawali dengan ditugaskannya seorang ksatria untuk menumpas kejahatan, makar, atau bisa jadi perang besar untuk menaklukkan kerajaan lain yang akan memusuhi kerajaannya. Seorang ksatria yang ditunjuk ini kemudian didampingi oleh empat orang “batur” (pengasuh) yang biasanya disebut panakawan. Tugas panakawan sejatinya adalah menyiapkan sang ksatria agar memiliki jiwa yang tangguh sebelum melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.


Sebuah babak dimulai untuk menyiapkan sang ksatria. Babak ini digambarkan dalam sebuah episode yang biasa disebut dengan istilah “goro-goro”. Dalam babak ini, para panakawan mendampingi sang ksatria untuk pergi menjalankan tugasnya. Di tengah perjalanan, sang ksatria kemudian bertemu dengan beberapa raksasa dengan warna yang berbeda. Sang ksatria harus bisa menaklukkan mereka terlebih dahulu sebelum melanjutkan tugasnya. Raksasa dengan warna berbeda beda ini sebenarnya menggambarkan hawa nafsu yang ada pada dirinya, yaitu amarah, aluamah, muthmainnah, dan supiah. Oleh karena itulah raksasa-raksasa ini harus ditaklukkan terlebih dahulu oleh sang ksatria.

Ceritanya tidak habis disitu. Setelah menaklukkan mereka, masih ada satu lagi raksasa yang harus ditaklukkan. Raksasa ini bernama Gendir Penjalin, atau lebih terkenal dengan nama Buto Cakil. Tokoh ini adalah gambaran dari kesombongan. Berbeda dengan raksasa yang lain, tokoh ini akhirnya mati oleh senjatanya sendiri. Satu lagi pesan kuat yang disampaikan melalui tokoh ini, yaitu kesombongan akan membunuh pelakunya dari dirinya sendiri


Dengan menaklukkan mereka, sang ksatria telah lulus ujian pengendalian dirinya sehingga layak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan bekal itu, diharapkan sang ksatria memiliki bekal utama untuk menghadapi lawan selanjutnya. 

Falsafah ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat secara umum. Perang kembang merupakan salah satu sarana untuk memudahkan masyarakat, khususnya di Jawa (atau lebih spesifik, di kampung saya) untuk memahami pelajaran hidup mengenai pengendalian diri. Falsafah ini secara nyata dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Memang perang kembang bukan satu-satunya yang mengajarkan mengenai hal ini, tapi salah satunya.

Berebut “Benar”

Tidak ada satu individu pun yang dapat terlepas dari sebuah relasi di masyarakat. Sependiam apapun individu tersebut, sekutu buku apapun dia, pasti akan memiliki sebuah relasi. Ntah itu dalam sebuah komunitas kecil maupun besar. Bentuk relasi ini pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menghadirkan relasi dunia maya. Bahkan relasi dunia maya lebih mendominasi, karena tidak perlu saling bertatap muka atau mengenal, relasi ini terlihat seperti tanpa beban. Orang lebih berani dan responsif dalam bereaksi. 
 Secara alamiah, sebuah relasi selalu berhadapan dengan interaksi yang akan memunculkan sebuah pilihan harus berpihak pada siapa atau justru bertahan pada keberpihakan terhadap diri sendiri. Dan, ukuran memilih posisi sebelah mana sangat bergantung pada “anggapan’ kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pada tahap inilah biasanya, konflik akan mulai muncul. Dari yang paling sederhana, yaitu perbedaan pandangan akan sebuah kebenaran, hingga berakibat pada permusuhan. Bukan karena pertarungan benar-salah, lebih sering karena mempertahankan kebenaran masing-masing.
Lalu pertanyaannya, apa mungkin kebenaran itu bersifat jamak bukan tunggal? Ilustrasi Amartya Sen, peraih nobel, berikut mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini. Sen dengan sangat sederhana menggambarkan bagaimana kebenaran tersebut bersifat plural, bukan monolistik. Bagaimana konflik bisa terjadi, meski sama-sama benar. Sen bercerita tentang Anne, Bob dan Carla yang bersahabat baik dan saling memahami kondisi masing-masing. Ketiga anak ini mulai menghadapi konflik saat menemukan sebuah seruling. Dan, mereka berdebat siapa yang paling berhak memiliki seruling tersebut berdasarkan kebenaran yang dipahami masing-masing.
Anne berpendapat dialah yang berhak memiliki benda tersebut. Dasar pemikiran Anne adalah karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat memainkan seruling. Sehingga seruling tersebut akan lebih bermanfaat daripada diberikan pada Bob atau Carla yang tidak tahu cara menggunakannya.
Sementara Bob adalah anak termiskin diantara mereka bertiga dan tidak memiliki satu pun mainan. Sehingga, Bob berkeras bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan seruling tersebut. Bob membangun argumentasi bahwa tanpa seruling tersebut, Anne dan Carla tetap dapat menikmati mainan lain yang banyak mereka miliki. 
Sedangkan Carla merasa paling berhak terhadap seruling tersebut karena dia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat seruling tersebut. Dengan demikian, kebenaran akan wujud jika dia yang memiliki seruling tersebut.
Tergambar bahwa ketiga anak memiliki basis argumentasi dan justifikasi yang benar. Anne menggunakan pendekatan utilitarian (sesuatu dilihat dari kebermanfaatannya), Bob, menyorot dari sisi keadilan/egalitarian dan Carla berpegang teguh pada paham libertarian. Yang pasti, ketiga paham tersebut ada dan benar secara keilmuan. Ilustrasi Sen ini menjelaskan bahwa munculnya konflik tidak terbatas pada benar-salah saja, bahkan mungkin lebih karena pertarungan kebenaran antar individu.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana menyikapinya agar terhindar dari konflik? Pemikiran filsuf Jalaluddin Rumi mungkin dapat jadi rujukan. Rumi bilang bahwa kebenaran hakiki itu ibarat sebuah cermin besar dari Tuhan. Lalu jatuh berkeping-keping ke bumi, dan setiap kita mengambil kepingan tersebut, kemudian berteriak bahwa kitalah pemilik kebenaran.

Jadi, setiap individu memang berhak dan harus menyuarakan kebenaran. Namun, kita harus sadar bahwa kebenaran tidak hanya milik kita sendiri. Dan, konflik dapat dihindari dengan tidak berfikir bahwa kitalah yang paling benar. Atau bahkan lebih buruk, bersikukuh menyuarakan pembenaran.