Karet Gelang Sang Adik

“Kara, ayo sini, jangan sampai tertinggal” ajak Kari untuk mengingatkan adiknya untuk segera bergegas dan beranjak dari tempat istirahatnya.
Tak disangka, mereka termasuk anak-anak yang semangat dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
“Kak, memang mau kemana kita hari ini?” tanya balik Kari ke kakaknya dengan semangat tak pernah lelah.
“Sudah jangan banyak tanya dulu, ikut aja dengan kakak ya, Kara yang penting aman dengan kakak dan hari ini kakak sudah memperoleh info dari koran bekas yang kakak ambil dari tempat sampah.

Tak berapa lama mereka sampai di sebuah restoran di sekitar daerah pantai indah kapuk, yang banyak menjual menu sea food dan berbagai menu yang sedang hits juga. Sekitar pantai indah kapuk ini banyak  tempat yang instagrammable dan banyak muda mudi yang berkunjung di sekitarnya. Segala jenis menu masakan yang di jajakan di restoran ini beragam dari sea food, sate dan gulai, junk food dan tradisional.

Beberapa jam setelah mereka menunggu hampir menjelang tengah malam, mereka akhirnya mendapatkan apa yang diharapkan.
“Kak asyik ya kalau kita bisa seperti mereka,” Kara berceloteh dengan berandai-andai menjadi orang kaya.
“Kenapa Kara beranggapan begitu ?” Kari bertanya dengan penasaran.
“Iya kak, mereka gak pusing untuk bepergian dan makan. Jika lapar mereka bisa langsung datang ke restoran yang mereka sukai. Jika makanan yang dipesan tidak habis, mereka bisa langsung membawa pulang makanannya tanpa khawatir menjadi bau”
“Hush Kara, belum tentu mereka juga tenang dengan kondisinya. Kita kan gak tau, bagaimana kondisi mereka saat ini. Makanya Kara, kita tetap harus bersyukur dengan kondisi apapun itu, seperti kondisi kita sekarang. Semoga suatu saat kondisi akan menjadi lebih baik.” Kara berharap dan berdoa dengan air mata menetes di pipi.

***

Kari dan Kara merupakan kakak beradik yang hidup berdua tanpa orang tua dan saudara yang menemani mereka. Orang tua mereka meninggal ketika terjadi erupsi gunung Merapi saat mereka sedang liburan bersama dengan temannya. Kari dan Kara akhirnya diajak tetangga dan kerabat orang tuanya ke Jakarta untuk merantau. Di Jakarta pun mereka masih menumpang di sebuah tempat tinggal yang sempit namun cukup layak, yang diberikan oleh kerabat tetangganya di sekitar gunung Merapi. Maka mulailah petualangan mereka berdua di Jakarta dan sekitarnya.

***

Keesokan hari, Kara memulai hari dengan karet gelang yang diberikan seorang ibu muda yang berempati kepada mereka berdua. Karet gelang ini memiliki arti yang spesial karena Kara mengingat kenangan bersama ibunya saat pergi berbelanja ke pasar.
Kari sangat menyayangi adiknya, karena hanya mereka berdua yang bisa saling jaga dan mengingatkan apabila salah satunya tidak lagi bersemangat. Kari sering membantu adiknya mengerjakan sesuatu yang sederhana seperti menggantikan pakaian adiknya, memandikan, menyisir rambutnya, dan menidurkannya. Kadang Kari merasa sedih jika teringat orang tuanya. Rasanya ingin marah dan berteriak, tetapi tidak bisa karena adiknya perlu bantuannya.
***

Hari berikutnya, Kara berjalan dengan riang dan lupa bahwa di sekitar lingkungan tempat tinggalnya masih banyak limbah besi dari pabrik di sebelahnya. Kari sudah sering mengingatkan Kara untuk selalu berhati-hati tetapi takdir berkata lain. Adiknya Kara, terkena besi yang sudah berkarat dan melukai kaki mungilnya. Lukanya tidak seberapa besar tetapi infeksi yang dideritanya cukup membuat adiknya merana dan kehilangan banyak darah

Bersambung ... 


Kisah ini dapat dilihat pada laman : 

Kisah Cinta Anak Manusia


Tanpa monyet dan tanpa pisang
Kisah ini selalu menggoda hingga terngiang
Kasmaran dua sejoli rindu terbalut
Tidak ada genggaman dan dekapan dalam kalut

Tapi itulah sejoli yang dirundung cinta
Tanpa harus ada sebab kenapa saling suka
Bel sekolah menjadi tanda pengingat berdua
Tanpa ada Romeo dan Juliet sejoli tetap ada

Tak mudah bermuram durja dan serampah
Tanpa rasa dan gundah yang melimpah
Siapapun tak berani mengundang dengan gegabah
Pantang mundur sebelum merekah

Hati senang dibalut rindu tanpa cela
Berkorban jiwa dan raga tanpa bela
Pasangan sejoli yang memiliki dunia
Berikrar demi sebuah cinta yang fana

Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat pada laman : 


Senja di akhir tahun

Hiruk pikuk sudut kota melupakan jejakmu
Tak terasa rindu sudah membelenggu
Sikap santai saja tak mampu menghapus pilu
Karena rindu ingin bertemu dengan mu

Ada harapan baru di bekasi
Meski saya bukan orang yang selalu memberi
Hinakah diri ini untuk dapat memelukmu kini
Ada hasrat yang dalam untuk berlari dalam diri

Senja di kota Jakarta ini membuncah rasa
Ingin selalu berdua dengan nya
Tapi suasana yang membentengi asa
Tanpa sadar bahwa diri ini sudah tua

Sekalipun senja tetap indah di akhir tahun
Banyak impian dan senang yang akan berayun
Siapa sangka adik yang kutunggu masih tabayun
Tanpa harus menghilangkan rasa dan diri yang semakin manyun

Senja masih tetap indah di kota tua
Berasa diri dalam kubikel yang tak ternoda
Sayangnya dikau tetap disana
Tanpa harus bersua dan bertatap muka

Doa saya untuk adinda yang aduhai
Meski diri ini tak lagi bohai
Namun semangat untuk bertemu dan berkata “hai”
Pembatas fana tetap menjadi mahligai

  
Kubikel Jakarta, 31 Desember 2019


Puisi ini dapat dilihat di laman : 


Renungan Senja di Bekasi

Tidak biasa jalanan sepi dari hiruk pikuk dan lalu lalang kuda besi dan mesin kaleng menuju Bekasi. Dalam lamunan, ku bergumam, apakah ini sudah waktunya ? Entah atau kah ini pertanda ? Tak ada yang bisa kujawab dengan sempurna lamunan itu sembari kutunggangi kuda besi ini menuju kota kedua dari hdupku, Bekasi.

Banyak yg terlintas dalam kepalaku saat itu, pikiran pekerjaan, non pekerjaan, non keduanya, dunia fana, dunia antah berantah, entah saya berpikir apa saat itu sehingga lupa isinya pikiran saya apa saat itu. Sekelebat teringat wajah teduh almarhum ibuku. Apakah ini pertanda akau akan segera menyusul beliau jika tidak fokus di atas kuda besi ini? Entah.

Lamunan ku semakin jauh kedalam sambil ku pelototkan mata ini agar tidak menabrak seseorang atau sesuatu. Kupacu si kuda besi dengan kecepatan bawah batas normal, jika seandainya saya terantuk dalam lamunan dampaknya tidak terlalu parah. Bayangan saya paling masuk ke selokan, dengan beberapa bagian mungkin memar dan biru.  
  
Kuingat beberapa kejadian ke belakang, apa yang telah saya lakukan terhadap orang-orang terdekat ? Apakah saya terlalu keras ? Apakah saya terlalu mengurusi urusan mereka ? Ataukah saya masih pantas menjadi pimpinan dan imam mereka ? Atau kah ada petunjuk lain ? Entah dan tak ada yang lebih mengetahui dari Sang Khalik.

Banyak pikiran yang melintas dalam pikiran ku. Banyak pertanyaan yang akan aku tumpahkan tetapi tak sanggup diriku untuk meluapkan. Teringat wajah lucu anak pertama ku saat lahir di akhir bulan September 2002 di Kendari. Betapa senangnya kami ketika pindah rumah dari Jakarta ke Bekasi 1987 ketika aku masih bercelana biru dan berbaju putih. Sebuah kota yang tidak pernah kami pikirkan menjadi second home town setelah Jakarta. Kota yang dulunya merupakan tempat “jin buang anak” Bayangkan seorang jin aja membuang anaknya di Bekasi apalagi kita yang manusia dan akhirnya kita menjemput impian di kota itu.

Tiba-tiba pikiran saya meloncat sekelebat pindah ke tempat lain. Saat perkelahian pelajar semasa SMA kami menjadi sebuah “mata pelajaran” khusus setelah pulang sekolah. Teringat suasana kumpul setelah bel sekolah memanggil untuk pulang dan sekumpulan anak manusia berkumpul memulai gendering perang. Terkadang jika diingat kembali, saya merasa sedikit silly dan unfaedah (kamus anak alay) saat itu. Perang sesama tetangga sekolah, yang kami pun tak tahu sebab musabab nya tetapi kami menikmati moment itu.

Setelah sekian lama pikiran saya loncat dari waktu ke waktu, akhirnya saya pun tiba kembali di persinggahan sementara bersama istri dan anak-anak kami. Setelah melewati itu semua, saya sangat bersyukur bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hidup sebagai perantara menuju persinggahan akhir di akhirat nanti.


kisah ini dapat dilihat di laman 

365 hari kita


Seperti kanak kanak,
mata terlelap seusai terompet terakhir berbunyi, dan nyala petasan terakhir berpendaran,
Dalam lamat cahaya dan mata yang sepat, masih berusaha memahat
"ini kutulis harapan dan cita cita untuk setahun mendatang"

Lalu seperti kanak kanak,
Tetiba  suatu sore kita terperanjat
Tukang terompet,  petasan, jagung muda dan arang bakar berteriak sekelebat,
Menawarkan dagangan yang mereka muat,
" mari mari, tidakkah kita bersiap wahai penghuni bumi, nanti malam tahun akan lagi berganti"

Tak seperti kanak kanak,
Kita bertanya "kenapa sudah tahun baru lagi?
Kenapa waktu melesat begitu cepat?untuk setahun waktu terlewat,
"apa saja telah  ku buat?"

semua seperti dejavu
Bagai keledai pandir dan dungu,
Terperosok berulang pada lubang satu
Setiap akhir tahun mengutuki waktu

Apa mungkin  kita  jauh tersesat,
Oleh  muslihat dunia yang menjerat
harapan dan cita di awal tahun di catat,
Di pegang erat serupa amanat,
tapi laku lampah jarang sependapat

Kita kerap terbuai akan nikmat sesaat, kita kerap menoleh pada sorak sorai yang ramai
Hingga di simpang jalan kita hilang arah,
mana tujuan
mana gangguan,
mana mudarat
mana manfaat

Kalau suara petasan di telinga,
Dan pendar cahaya kembang api,
adalah satu satunya  cara
Membuat kita tersadar akan banyak waktu telah  tersia,

Maka sebelum terlambat,
Sebelum tubuh makin berkarat
Sebelum nafas menjelang sekarat
Nyalakan saja petasan di tepi telinga,
Pendarkan saja kembang api di ujung retina,
agar sepanjang tahun kita selalu terjaga

(stasiun juanda, akhir tahun 2019)
























Payungnya, Pak! Payungnya, Bu!

Wahai, kawan
Sore ini awan mendung menghiasi langit Jakarta
Sesekali kilat menyambar bersahutan
Pepohonan melambai dihempas bayu

Tahukah kau, kawan
Seiring datangnya hujan, aku melihat keceriaan menghiasi wajah anak-anak yang berkerumun di halaman sebuah stasiun kereta
Sambil membawa payung aneka warna, mereka menawarkan jasa

Payungnya Pak, Payungnya Bu

Aku ingin bercerita kepadamu, kawan
Tentang masa kecilku yang mirip dengan mereka
Ceria di kala hujan tiba
Karena membayangkan uang jajan nampak di depan mata

Singkat cerita, suatu sore aku dan kawan-kawan berdiri di trotoar sebuah jalan
Menunggu angkutan kota berhenti di hadapan
Sebuah payung erat dalam genggaman
Sedangkan tubuh, basah oleh air hujan

Betapa bahagianya aku, kawan
Ketika ada seseorang yang memakai jasa ojek payungku
Ku ikuti langkahnya hingga tiba di sebuah halaman rumah
Kemudian menerima sejumlah uang yang diberikan

Tentu saja saat itu aku menggigil kedinginan,
Bibir membiru, kulit jari keriput oleh dinginnya air hujan
Tapi aku dan kawan-kawan senang
Karena sore itu, kami mendapat banyak uang jajan

Demikian ceritaku, kawan
Kuharap kaupun Bahagia di saat hujan tiba
Seperti bahagianya anak-anak yang menjajakan jasa ojek payung
Demi mendapatkan pundi-pundi uang jajan





Panggilan Dari Abah


“Belum pulang, Mbak?” tanyaku pada Mbak Sandra.
“Belum,” jawab Mbak Sandra.
Mbak Sandra adalah pegawai senior yang berada pada ruangan yang sama denganku. Sebagai pegawai yang belum terlalu lama bekerja, aku harus ramah kepada semua pegawai senior di kantor.
Saat itu suasana kantor sudah sepi. Tersisa aku dan Mbak Sandra saja di ruangan. Waktu telah menunjukkan jam 19.50. Kebetulan aku mendapat tugas tambahan dari Pak Bayu, atasanku sehingga aku pulang agak malam.
“Aku pulang duluan, Mbak Sandra. Pekerjaanku udah selesai.” Aku pamit kepada Mbak Sandra yang masih asyik memandangi monitor komputernya.
Tubuh Mbak Sandra berbalik kepadaku yang berdiri di samping kursinya. Sekilas kulihat layar komputer Mbak Sandra. Wajah seorang artis yang kukenal terpampang di layar monitor.
“Mbak Sandra nonton sinetron Terperangkap Cinta Tukang Siomay Yang Aneh?” tanyaku.
“Iya, ngisi waktu pulang,” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Kirain Mbak kerja.”
“Enggaklah. Kerjaanku udah selesai tadi.”
“Kok nggak pulang aja?” tanyaku.
“Hari ini kan tanggalnya ganjil, sedangkan nomor mobilku genap. Jadi kutunggu sampai malam,” jawab Mbak Sandra.
“Oh ….”
“Kamu ngapain pulang jam segini. Sepuluh menit baru bisa dihitung lembur. Sayang lho.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaanku udah selesai kok. Aku pamit, ya.”
Aku mengambil tas dan ke luar dari ruangan. Sebentar lagi AC akan dimatikan oleh teknisi. Aku tak mengerti kenapa Mbak Sandra betah berada di dalam ruangan sendiri.
                                    ***
“Kamu ngapain pulang ke kos? Mending nunggu di kantor aja. Ada temannya. Di tempat kos kan sendirian, bengong,” ujar Mbak Sandra. Saat itu aku bersiap pulang.
Kupikir, seharusnya saat ini Mbak Sandra juga pulang karena hari ini tanggal genap, jadi cocok dengan nomor kendaraannya. Namun, walaupun hari ini tanggal genap, Mbak Sandra tetap berada di kursinya. Sedikitpun tak nampak tanda-tanda ia  bersiap pulang.
Kuperhatikan sejak aku masih anak baru sampai aku jadi kakak bagi pegawai-pegawai baru, Mbak Sandra selalu pulang malam. Alasan yang dikemukakan selalu sama, menghindari ganjil genap. Pertanyaan sering muncul di kepala, apakah setiap hari nomor kendaraan Mbak Sandra selalu berbeda dengan aturan ganjil genap? Misterius memang.
“Iya sih, Mbak. Di kamar kos-an aku sendirian. Ada sih yang dikerjakan, belajar Bahasa Inggris,” jawabku.
“Nah, kan. Udah pulang malam aja. Kan bisa pake komputer kantor. Lumayan hemat kuota,” sambung Mbak Sandra.
Dipikir-pikir benar juga sih apa yang dikatakan oleh Mbak Sandra. Setiap malam aku tidur sendirian. Selain itu kuota  internet cepat sekali habis karena aku selalu membuka  akun YouTube untuk belajar Bahasa Inggris. Aku lakukan itu tiap malam sebelum tidur, agar aku bisa mengikuti seleksi beasiswa sekolah di luar negeri.
Akhirnya aku mengikuti saran Mbak Sandra. Kusimpan tasku kembali di atas meja. Aku duduk dan menyalakan komputer yang sudah kumatikan tadi. Kubuka YouTube dan mulai belajar Bahasa Inggris di komputer.
Saking asyiknya belajar, aku sampai lupa waktu. Aku tersadar ketika Mbak Sandra pamit kepadaku.
“Emangnya udah jam berapa, Mbak?” tanyaku
“Jam sebelas, Neng.” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Ya ampun! Perasaan baru sejam aku belajar,” ujarku kaget.
Kumatikan komputer. Baru sekarang terasa hawa panas di dalam ruangan. Kuambil tas dan ke luar mengikuti Mbak Sandra dari belakang. Ruangan benar-benar sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan.
“Tuh kan, kamu keasyikan. Paket datamu utuh pula,” ujar Mbak Sandra.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalamnya. Mbak Sandra senyum-senyum melihatku.
                                                                 ***
Sebulan berlalu, aku masih tetap dengan kebiasaanku pulang malam setiap hari. Aku belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan fasilitas kantor. Tak ada seorangpun yang menegurku. Terlebih Mbak Sandra, Ia malah mendukungku. Kami berdua jadi dekat karena seringnya kami pulang bersama ketika kantor sudah sepi.
“Pulang malam terus nih. Banyak kerjaan?” Sapta bertanya padaku. Sapta adalah teman satu ruangan tapi berbeda bagian denganku.
“Uh … iya. Aku selalu diberi kerjaan tambahan, jadi aku sering menyelesaikannya sampai malam,” jawabku ragu.
“Setiap hari?” tanya Sapta.
“Eh … iya.”
“Hati-hati, jaga kesehatan!” ujar Sapta. Ia berlalu dari hadapanku.
Saat Sapta datang, aku sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pak Dody, atasanku. Mataku mengantuk karena semalam aku kurang tidur karena pulang kemalaman.
HP-ku berbunyi. Rupanya  ada pesan masuk. Aku mengambil HP yang berada di samping keyboard komputer.
Pesan dari: Bank Antariksa
Pada rekening anda ada dana masuk sebesar Rp2.000.000 untuk pembayaran lembur bulan Oktober 2019.
Mataku terbelalak kaget membaca pesan yang masuk. Aku heran kenapa aku bisa mendapat uang lembur sebanyak itu. Aku terdiam dan berpikir, dari mana staf Bagian Keuangan menghitung pembayaran uang lembur buatku?
“Kamu udah dapat uang lembur, Nis?” Tiba-tiba Mbak Sandra berdiri di sampingku.
“Iya, Mbak. Kok dapat uang lembur banyak ya? Aku kan nggak lembur?” tanyaku heran.
“Ya nggak apa-apa lah. Itu kan rejekimu tiap hari pulang malam,” jawab Mbak Sandra dengan entengnya.
“Tapi, aku kan nggak kerja …,” ujarku bingung.
“Terima aja. Memangnya kenapa aku sering pulang malam, ya karena lumayan pemasukan setiap bulannya,” jawab Mbak Sandra tanpa merasa bersalah.
Jadi, dari jaman dulu Mbak Sandra begini? Pulang malam, nonton sinetron atau film di YouTube memakai fasilitas kantor, setelah itu mendapat SMS Banking di awal bulan. Hatiku bergolak. Disebabkan oleh sikap lemahku, aku melakukan sesuatu yang bodoh .
“Ya udah ya, aku mau ke bank dulu. Uangnya mau kupindah ke rekening lain buat bayar cicilan mobil.”
Aku hanya terpaku mendengar perkataan Mbak Sandra. Uang lembur yang diterimanya setiap bulan dipakainya untuk membeli mobil. Berarti Mbak Sandra sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Setahuku tak pernah sekalipun Mbak Sandra pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Monitor komputernya selalu berisi tayangan sinetron atau film.
Batinku bergolak. Sebulan ini aku menghabiskan kuota kantor hanya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, aku mendapat bayaran uang lembur di akhir bulan. Betapa Aku tak punya rasa malu.
Tuut … tuut …tuut
Abah calling
Dengan cepat kusambar HP. Entah kenapa kalau Abah menelepon, tabu bagiku menundanya. Aku selalu kangen mendengar suara Abah yang lembut.
“Halo, Assalamualaikum Abah. Apa kabar?”
“ Waalaikum Salam warrahmatullahi wabarakatu.” Abah selalu menjawab salamku dengan lengkap.
“Kabar Abah baik. Gimana kerjaannya, Neng? Mudah-mudahan Eneng*) selalu betah ya kerja di Jakarta,” sambung Abah.
“Eneng betah, Bah. Sayangnya Eneng belum bisa pulang ke rumah. Maaf, ya,” balasku. Ada rasa haru yang tertahan di dada setiap mendengar suara Abah.
“Nggak apa-apa, yang penting Eneng selalu sehat.
“Iya, Bah.”
“Abah juga pesan, Eneng jangan bikin macam-macam di kantor. Pikirin kerjaan aja. Kerja yang benar. Jangan pernah ambil sesuatu yang bukan haknya Eneng. Nggak ada keturunan Abah yang begitu.”
Suara Abah yang tegas menyentak kesadaranku. Aku heran, sepertinya Abah selalu punya insting kalau aku berbuat sesuatu yang tak baik.
“Neng … Neng. Kok diam saja?”
“Eh … iya, Bah. Eneng denger kok,” jawabku agak gugup.
“Udah, ya. Abah mau ke pasar dulu sekalian jalan-jalan biar tetap sehat. Ingat pesan Abah. Assalamualaikum.”
Abah mengakhiri percakapan. Aku terdiam sejenak. Perasaanku tak enak setelah bercakap-cakap dengan Abah.
“ Waalaikum salam,” jawabku pelan. Kututup HP dan kuletakkan kembali di atas meja kerjaku.
Aku terdiam sejenak, menyesali apa yang kulakukan sebulan belakangan ini. Aku merasa sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kantor kepadaku. Aku juga merasa sudah mengkhianati perasaan bangga Abah memiliki anak sepertiku. Air mata menetes di pipiku. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku.
                                                                ***
            “Nisa, kok tumben udah mau pulang?” tanya Mbak Sandra yang melihatku mengambil tas.
            “Aku mau pulang, Mbak. Belajar di rumah aja.”
            “Kenapa?” tanya Mbak Sandra.
            “Aku nggak mau menggunakan barang yang bukan hakku. Aku juga nggak mau mendapatkan uang dengan cara nggak baik, Mbak. Aku akan lembur kalau memang ada tugas kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku tegas.
            “Ah, sok idealis.”
            “Nggak apa-apa, Mbak. Lebih baik aku dibilang sok daripada setiap hari aku dihantui perasaan bersalah. Emangnya Mbak enggak?” sindirku.
            Mbak Sandra terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku sudah tak peduli lagi. Mudah-mudahan dia bisa segera kembali sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak benar dan merugikan organisasi.
            Aku berjalan meninggalkan ruangan dengan perasaan tenang dan damai. Taka da lagi ketakutan yang membebani pikiranku.

SELESAI

*) Eneng: Panggilan untuk anak perempuan dari Suku Sunda         

Pagi adalah...

Pagi adalah jembatan
Menghubungkan harapan dengan kenyataan
Meski tak selamanya kenyataan sesuai keinginan
Namun pagi adalah sebuah jembatan yang harus dilewati

Pagi adalah inspirasi
Menjadi kekuatah imajinasi para pecinta seni
Lukisan alam yang patut disyukuri
Permulaan hari yang menyimpan sebuah misteri

Pagi adalah anugerah
Sesiapa yang bersyukur, ia kan bahagia
Sesiapa yang tak bersyukur, sesaklah ia
Karna pagi adalah jawaban dari setiap doa

Selamat pagi
Semoga keberkahan senantiasa menyertai


31122019

Kopi dan Kenangan

Kopi dan kenangan
Melebur dalam angan tak berkesudahan
Nikmati saja apa yang ada di hadapan
Karena hidup tak melulu sesuai harapan!

Kopi dan kenangan
Ibarat aku dan kamu dalam persimpangan jalan
Membisu dalam sendunya tatapan
Merangkai rindu yang terlepas dalam genggaman

Kopi dan kenangan
Ibarat genangan yang hadir selepas hujan
Maki yang terlontar oleh lisan sebagian
Tak sedikit yang mengucap kesyukuran

Kopi dan kenangan
Pahit dan manisnya dapat dikendalikan
Seperti hasrat yang berkelindan
Hasrat mencintaimu........iya kamu!

MIMPI HUJANKU




Istirahatlah Tuan

Duhai tuan
Hujan baru saja reda
Sedang engkau sibuk mengeja yang fana
Sadarkah kau jika cahayamu sirna
Seiring usia yang tak lagi sama

Istirahatlah tuan
Simpanlah angan
Helai demi helai rambutmu
Terwarnai dunia semu

Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Dalam sekat lorong ruang ICU
wajah pias menyatu
Tatapan sayu hadirkan jemu
seolah bahagia tercerabut dari tandusnya sang waktu

Satu dua napas tersengal
Mesin kehidupan berkoar bersahutan
Kelopak mata terkatup
Tak ada gairah
Yang ada hanyalah pasrah
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?

Seporsi Mie Goreng Dingin, Pagi Itu


Jam tangan usang warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku menunjukkan waktu pukul 08.55 wib. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit pemerintah tipe A menuju pintu keluar. Ku sapu pandangan ke kanan, kiri, depan, mencari tempat nyaman untuk sekedar melepaskan penat.

Tak perlu waktu lama, aku menemukan lokasi beristirahat, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari halaman gedung ICU. Aku duduk disebuah kursi besi warna warni pelangi, dibawah pohon rindang yang menaungi beberapa keluarga pasien yang sudah duduk sebelum aku tiba. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ku buka resleting tas dan mengeluarkan sebuah tempat makan plastik.

Di dalam wadah makanan tersedia mie goreng bercampur nasi putih yang sudah mulai terasa dingin. Ku baca Basmallaah kemudian mulai memakannya sedikit demi sedikit meski pada suapan pertama, menu makanan yang sudah di lumat mulutku terasa sukar untuk melintasi rongga leher.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan aliran air yang terasa hangat merayap dari kelopak mataku, aku menangis.


Malam itu, aku bahagia sekali ketika menatap layar ponselku yang menyala karena kiriman pesan singkatmu, "Gimana besok pagi, jadi kan kita ketemu di depan minimarket simpang jalan? Ku jawab isi pesanmu dengan huruf kapital, menandakan betapa antusiasnya diriku untuk berjumpa denganmu, "JADI DOONGGG", disusul emoticon love.

Waktu beranjak naik, sudah pukul 10 malam namun mataku tak mau terpejam. Entah karena rindu yang menggebu atau karena secangkir kopi susu dingin yang ku minum 1 jam sebelumnya. Yang pasti, hatiku sedang berbunga-bunga.

Dia adalah sosok wanita pujaan. Menatap wajahnya meruntuhkan pertahanan jantungku. Tutur katanya ibarat air sejuk pegunungan himalaya yang mengaliri setiap dahaga. Ia adalah bunga kampus, yang kehadirannya selalu mencuri perhatian. Dan aku, adalah pria beruntung yang meraih cintanya dalam sebuah perjuangan panjang.

Pukul 12 malam, kedua mataku masih tak mau terpejam. Lantas, aku melangkah menuju kamar mandi tuk berwudhu, kemudian tak berapa lama 2 rakaat shalat sunnah syukrul wudhu aku lakukan. Beberapa menit kemudian, aku membaringkan tubuh dan perlahan menutup kedua mataku, pulas.

Kriiiiiinnggggg....... Alarm jam meja belajar disamping tempat tidurku berbunyi kencang. Perlahan kubuka kedua mataku kemudian bangkit dari tempat tidur dan mematikan alarm. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Dari speaker masjid yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kos-anku terdengar suara marbot masjid sedang melantunkan ayat suci alqur'an. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap-siap menuju ke masjid.
Ketika hendak membuka pintu kamar, layar ponselku menyala, ada notifikasi pesan darinya, kamu sudah bangun? Sudah siap-siap ke masjid kan?. Sebuah emoticon senyum terkirim kemudian, "Alhamdulillaah, ini baru aja mau buka pintu kamar. Aku shubuhan dulu ya...", disusul emoticon senyum.

Selesai melaksanakan ibadah shalat shubuh, aku bersegera kembali ke kamar kos untuk berganti pakaian. Pakaian spesial yang telah aku persiapkan untuk bertemu dengan sang pujaan. Selesai berpakaian, aku menuju dapur kecil di sudut kamar, mengambil dua bungkus mie goreng kesukaannya kemudian memasaknya hingga matang. Mie goreng yang telah matang, aku simpan di dalam wadah plastik, kemudian aku masukkan kedalam tas slempang. Aku dan dia sudah berjanji untuk menyantap bersama mie kesukaannya ketika bertemu nanti.

Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, udara terasa sejuk menyelimuti. Ku raih ponsel dari saku kemeja, kemudian mengirim pesan, "Bismillaah...aku jalan ya, sampai jumpa...kamu hati hati di jalan ya...".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".

Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di pinggir trotoar depan kos-an yang telah aku sewa semenjak masuk di perguruan tinggi setempat. 

Tak berapa lama, sebuah angkot berhenti di depanku, sang sopir menyapaku menawarkan jasanya. Tanpa berpikir panjang, akupun menaikinya. Waktu temluh dari lokasi kos ku dengan lokasi yang telah kami sepakati hanya berkisar 35 menit. Jam tangan menunjukkan waktu 06.10 pagi. Angkot yang aku naiki berhenti tepat di trotoar depan halaman minimarket yang telah dijanjikan. Setelah membayar ongkosnya, aku berdiri di trotoar, menatap seberang jalan. Orang yang aku cari belum tiba. Akupun mengeluarkan ponsel dari saku kemeja kemudian mengirim pesan, "Alhamdulillaah aku sudah tiba, kamu sudah sampai mana?". 
Beberapa detik kemudian pesan jawaban terkirim, "Alhamdulillaah, maaf aku telat, tapi sudah dekat kok. Terimakasih ya sudah sabar menunggu". Aku pun menjawab isi pesannya, "gak apa kok, aku juga baru aja tiba".

Beberapa menit kemudian, sebuah angkot di seberang jalan berhenti. Aku memperhatikan dengan seksama. Betapa bahagianya hatiku, karena orang yang aku tunggu dengan sepenuh hati tiba, dia melambaikan tangan. Tanpa membuang waktu, akupun berteriak kepadanya, "Tunggu disana, aku akan jemput kamu".
Namun sepertinya, ia tak menghiraukan teriakanku, tanpa berpikir panjang ia segera melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju ke arahku, dan............brakkk, dia terpental beberapa meter dengan kening membentur dinding trotoar jalan, kemudian hari terasa gelap seakan awan pekat menggelayut di langit kebahagiaan.

Kisah Tentang Hati (Cinta Monyet)



Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum pisau tajam terhunus dibalik punggung.
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum hati menangis tersedu-sedu menahan perih.
Hati manusia tak ada tahu
Wajah tersenyum tubuh penat luluh lantak menahan lelah.

Aku tak pernah tahu apakah ini cinta atau nafsu sesaat. Apakah kasih atau sekedar ingin memiliki. Senyummu terbayang disaat aku lelah. Tawamu yg renyah sayup-sayup terngiang di lorong sekolah, menoleh lalu kecewa. Suara manjamu memanggil nama kecilku ketika berjalan keluar sekolah. Kali ini aku tak menoleh karena aku tahu kamu tidak masuk sekolah.

Kamu sudah ada yang punya namun berulang kali kau bilang sayang pada ku. Kita berbincang berjam-jam di telepon berlempar canda dan membicarakan dunia entah untuk apa. Hari itu sebulan selepas kelulusan. Entah berapa kali ku telepon rumah mu. Berdering namun tak dijawab, dijawab namun kamu tak pernah ada. Mungkin adik mu sudah lelah menjawab telepon ku, berbohong bahwa kamu tidak di rumah. Aku pun terdiam lalu terisak. Apa salah ku?

Thai Tea

Dentingan kecil terdengar dari hp ku. Mas besok pesawat jam berapa? Tanyamu. Kala itu sore, menjelang setengah lima. 

Beberapa laman kerja masih terbuka di layar monitorku. Setidaknya 2 nota harus naik sore ini. Ku ketuk ponsel ku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 5m. Sip, sudah saatnya ku membalas.

Jam 2 take off, baiknya Mas ke damri Gambir jam berapa ya? Tanyaku. Ga tertarik nyoba kereta bandara Mas? Balik mu bertanya. Ku jeda lagi sesaat, menunggu beberapa menit, untuk kembali membuka pesan mu. 

Kembali jemariku menari di atas papan ketik usang kelahiran 2010-an. Menyelesaikan kata demi nota. Ku ketuk lagi ponselku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 9m. Hm...tanggung, 1 menit lagi deh.

Mas belum pernah, ntar nyasar. Disertai emoji tertawa. 1 menit, 3 menit, berlalu. Baru ku lihat typing-mu di menit ke 8. Ya ampuun, kayak anak tk aja Mas, nyasar. Diikuti emoji mencibir. Aku tersenyum. Membayangkan mu mencibir seperti itu. Ah, mungkin aku mulai gila.

Ku singkirkan kembali pesan-pesan yang tak ku butuhkan. Mencari namamu. 6m. Biar Mas ga nyasar, kenapa gak temani Mas sekalian? Hehe. Awalnya ku bercanda. Ternyata.... Ah. Sepertinya ku benar-benar gila.

Mas otw, udah di gojek. Sampai jumpa di sana ya. Buru-buru sekali ku berangkat. Khawatir kau menunggu. 9.30, ku sudah di tempat. Lebih awal 20 menit dari waktu yang disepakati. 

Sudah 2x ku bolak balik toilet. Bercermin. Merapikan rambut. Membasuh muka. Oke, kau sudah ganteng boy. Pede ku pada sosok seberang cermin. 

Ku beralih duduk. Memeriksa ponsel. Tak ada pesan dari mu. Assalamulaikum, Mas, udah dari tadi? Sapamu ramah sembari tersenyum. Aku gelagapan.

Udah sarapan? Tanyaku. Belum, tadi beli roti doang di alfamart, khawatir Mas menunggu. Ujarmu. Jadilah pahlawan, boy. Hatiku berbisik. Ku amini. Lantas berdiri. Memesan kopi, dan roti.

Ku ingin waktu berhenti. Sedikit sesal memesan penerbangan terlalu dini. Mendengarmu bercerita, hatiku kehilangan darah, berganti bunga. Apakah ku bermimpi?

Kita berganti angkutan, menggunakan kereta layang. Menuju terminal 2D. Masih 3 jam sebelum lepas landas. Adzan berkumandang. Mas kita sholat dulu yuk ntar. Oh Tuhan. Senyum mu, membuat ku gelagapan. Lagi. 

Mau makan siang nggak? Tanyaku. Kau hanya mengangguk. Mau dimana?. Terserah, asal jangan fastfood. Ujarmu. Oke, Solaria aja. Putusku. 

2 jam sebelum check-in ditutup. Kau bercerita banyak hal. Sembari memilih menu makan siang. Nasi goreng seafood, dan teh manis anget menjadi pilihanmu. Pilihanku?

Kita membahas beragam hal. Berganti topik dari satu ke yang lain. Mulai dari Ojt, pertemuan pertama di lantai 12, latsar, temanmu yang menyempatkan jauh-jauh datang dari Toli-Toli, hingga rencana tahun baru di Solo. 

Udah waktunya check-in, Mas. Ucapmu sembari membalik sendok dan garpu. Iya. Tanggapku. Thai tea Mas kok ga dihabisin? Ku tersenyum. Hayuk. Sembari menyeret langkah menuju pintu 3.

Duhai, ingin sekali ku bertanya, manismu terbuat dari apa? Bahkan thai tea ku pun tak percaya diri di hadapanmu. Kau hantar ku ke pintu batas. Melambaikan tangan. Salam perpisahan. Di kejauhan kau berbisik, sampai jumpa 2 Januari.
Melambai, lantas berbalik.

Ah, kau belum benar-benar pergi. Tapi ku sudah rindu.

Jakarta, 21 Desember 2019.

Cerita Daun dan Cinta (cuma fiksi)

Gayung berwarna hijau menyala itu masih tergenggam erat olehku, saat tiba-tiba tubuh ini mematung memandang beberapa sentimeter di depan sana. Dedaunan yang sebelum berangkat kerja kemarin masih tampak malu-malu, kini sudah gagah membentangkan lembaran hijaunya. Mungkin saat itu orang-orang yang sedang lewat bisa melihat betapa mulutku menganga tak berdaya. Kulihat ada seekor semut yang ikut merayakan dengan berlari-lari kegirangan di atas permukaan daun-daun yang menjuntai.

Aku memang baru pertama kali menanam pohon dari usia dini. Bibitnya pun diperoleh dari hasil kondangan salah satu rekan kantor istri. Aku benar-benar takjub melihat sebuah tumbuhan yang dari dulu kuanggap makhluk hidup paling tidak lucu, pagi ini membuktikan bahwa mereka benar-benar hidup. Mereka menampilkan suguhan pagi tentang cerita dedaunan dari kecil hingga benar-benar berbentuk daun. Air yang kusiramkan ke tanah tadi benar-benar jadi minuman segar untuk menopang pertumbuhan mereka. Ah, tak terasa kudengar hati ini berbisik, "benar-benar norak saya".

Bisa kurasakan sesaat kemudian pipiku tertarik beriringan dengan suara gelak tawa pelan. Aku yang masih berdiri membeku malah melanglang ke dalam sebuah lamunan. Pikirku, daun-daun yang tumbuh ini mirip sekali dengan cinta. Dua-duanya sama-sama tumbuh perlahan dari tidak ada hingga tampak nyata. Daun yang menghijau itu menunjukkan pohon jambunya masih hidup. Begitu pula dengan cinta yang menjadi tanda seorang manusia masih bernafas. Belum lagi saat hujan turun, daun-daun ini hanya bisa pasrah dibasahi air hujan. Identik sekali dengan cinta saat turun hujan, hanya bisa pasrah dibasahi oleh derasnya kenangan.

Saat masih larut dalam belaian dedaunan cinta, tiba-tiba tercium wangi bawang yang sedang ditumis. Tak lama kemudian aroma telur yang digoreng menambah semerbak hingga ke halaman. Bebauan itu seketika membuatku kembali dari lamunan menjemput kenyataan. Sepertinya sang cinta memanggilku dengan caranya. Aku tahu hidangannya belum tentu nikmat, tapi yang pasti cintanya akan ikut tertelan dan melekat di relung hati yang bersekat.

"Baik cinta, aku segera datang!" teriakku setengah lantang menyambut panggilan sedapnya bawang dan wanginya telor dadar.

"Ih, siapa yang panggil om!" tak dinyana anak kecil sebelah rumah yang bernama Cinta sudah ada di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. Aku sama sekali tak menyadari keberadaannya. Maklum kami tinggal di rumah kontrakan yang jarak dengan rumah tetangga seperti amplop dan perangko. Jadi bukan hal yang mengherankan jika orang tiba-tiba sekelebat muncul, bahkan kadang makhluk tidak menempel tanah juga sesekali nimbrung.

Sontak aku tersenyum bingung dan sambil menggaruk kepala mencoba menjelaskan kepadanya, "Eh iya, bukan, om sedang bicara sama tante di dapur."

"Dari tadi aku gak denger ada suara tante manggil," balasnya polos, "lagian sejak kapan tante Lilis ganti nama jd Cinta om?"

Otakku yang sudah terbuai campuran daun cinta dan telor dadar seolah tak mampu lagi mencari jawaban yang tepat untuk Cinta. "Hmm, ngga jadi kok sekarang namanya uda jadi tante Lilis lagi," jawabku sekenanya.

"Om, om, pagi-pagi uda ga jelas aja, pantes pake baju aja masih kebalik," selorohnya sambil menunjuk kaos singletku yang bagian dalamnya kukenakan di luar.

Dari tadi malam aku memang sudah sadar kaos singletku terbalik, tapi karena menjelang tidur jadi kubiarkan saja. Tak kusangka gara-gara itu, pagi ini aku di-bully anak kelas dua SD. "Ini memang sengaja dipakai kebalik, supaya bagian dalamnya ga kotor," kucoba memberikan argumen yang sedikit ilmiah.

"Ngeles aja om, kaya babang gojek," jawab Cinta sambil melengos pergi. Tak lupa dia kibas-kibaskan uang dua ribu yang dia bawa untuk jajan sebagai tanda perpisahan.

"Urusan telor dadar kenapa jadi ribet banget gini," sungutku dalam hati, "apes bener dah."

- berlanjut insya Allah -

Pohon Pinus




Pinus tak bosan dengan pertanyaan klise, seperti
"mengapa daunnya tidak seperti daun?" atau
"mengapa pohonnya tidak menghasilkan bunga dan buah?" atau
"mengapa dahannya tidak bisa dipanjat?" atau
"mengapa bentuknya aneh tidak bisa untuk berteduh?"

Pohon pinus tahu ia tidak perlu
menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu
sebab takdirnya memang bukan begitu
Sebab masanya bukan di situ

Ketika tiba masanya di musim dingin
Ketika semua berubah putih dan membeku
Pohon pinus hadir memberikan arah
dengan warna gelap yang kontras, postur bagai safety cone
tinggi menjulang ia jadi penanda jalan

Dahan pinus tak membentang seperti beringin
yang mampu menahan derasnya hujan
Namun ia adalah seumpama benteng
Menahan beku dan bisingnya angin dari utara

Sejak lama pohon pinus memahami takdirnya
untuk dapat dicintai dan dimengerti
tak perlu ia berubah lembut dan ceria seperti pohon ceri
atau dramatis dan atraktif seperti pohon maple

Sejak semula, pohon pinus memahami
untuk dapat dicintai dan dimengerti
Ia hanya menjadi dirinya sendiri