Short Getaway: Mercure Simatupang







Waktu itu Abi sedang ada acara di Mercure Simatupang. Jadilah saya ingin mengajak mertua saya yg kebetulan lagi di Depok untuk ikut serta ke sana. Padahal abi dapat kamar berdua dengan orang, lha yaudah sekali kali kami book hotel buat sendiri. Maklum, biasanya gratisan XD

Saya telpon langsung ke hotelnya. Alhamdulillah gampang tinggal bilang mau kapan dan tipe kamar gitu gitu lah. Trus saya iseng kan, saya minta discount (corporate rate) karena suami sy jg ada acara disitu dan nginep disitu. Ditanya kan, perusahaannya apa? Saya jawab dan ternyata emang ada kan. Yaudah mbaknya bilang mau ngimel saya dengan harga awal nanti kalo ada discount dikabarin lg.
Saya waktu itu dapat harga satu koma sekian. Lha, trus saya ditelpon dan diemail juga harga barunya (yeiy dapet diskon). Nominal diskonnya seinget saya 450 ribuan gitu. Mayan kan, bisa makan cilok sepanci kayaknya..hehe

Padahal ya.. panitia acara juga gatau kayaknya saya mau ke sana. Dan siapa pula saya sampe bisa nebeng diskon pake nama mereka? Wkwk.. but yah disyukuri aja diskon yg ada ini. Alhamdulillah
Saya sama Ibu mertua saya dateng malam. Yahya.. suka liat jalanan via jendela kamar. Apalagi ada pembangunan track MRT atau LRT lah itu di depan hotel. Nah, cucok buat dia yg emang hobi liat semacam itu. 

Besok paginya kami sarapan di hotel dan ya.. ketemu deh ama temen2 abi. Yowislah risiko ngintil suami ya begini.. wkwk. Makanan oke menurut saya, banyak varian, ada spot main anak juga tapi kecil dan agak nyempil. Hehe

Dekorasi sih modern dengan aksen jam-jam segala rupa dari jaman baheula. Tidak banyak area foto karena emang hotelnya ga besar dan bukan family hotel kayaknya ya.. kite aje yg nyasar kemari..
Setelah makan sambil nunggu abi kelar rapatnya kita main ke pool di atas. Ada kaya bar gitu dan tempat fitnes. Tapii.. yaa itu.. segitu doang areanya. Poolnya juga mini. Hehe.. untung cuma semalam aja ya kalo ga pasti kita nyari emol atau jalan kemana gitu biar ga bosen. Siangnya kami makan di situ juga. Area makan seru tapi kalo siang agak panas karena banyak dinding kaca.  

Ok ya Mercure, lebih senang lagi aku kalo di dapur ada stempel halalnya (:D)




MOVE !

Belakangan ini saya menekuni olahraga yang selama bertahun-tahun tidak saya sukai: lari. Ya, sebelumnya saya tidak pernah suka lari, indeed saya berlari, tapi biasanya hanya bagian dari sebuah pemanasan sebelum memulai olahraga yang lain. Saya tidak suka berlari karena nafas saya tidak kuat, gampang ngos-ngos an. Katanya sih lari bisa memperkuat nafas, lah ini baru lari aja sudah ngos-ngos an. Jadinya seperti mana dulu ayam dengan telur :). Lalu kenapa sekarang saya malah rutin berlari?.

Awalnya adalah ketika di suatu hari Car Free Day (CFD), istri saya mengajak saya jalan kaki saja karena bosan bersepeda; rutenya itu-itu saja dan menembus ribuan orang yang berjalan tanpa aturan di CFD adalah perjuangan tersendiri bagi pesepeda. Jadilah akhirnya kami berjalan kaki. Setelah beberapa ratus meter berjalan, saya bilang ke istri kalau saya akan menantang diri saya untuk berlari tanpa jeda dari mulai FX Senayan sampai dengan Bundaran HI, dan kemudian menunggunya disana. Ini jelas sebuah tantangan, karena saya tidak pernah berlari sejauh itu dan saya sendiri pun tidak yakin mampu melakukannya tanpa jeda. Singkat cerita saya pun mulai berlari; 100 meter...200 meter...500 meter....1 kilometer. Saya terus berlari, pelan, karena nafas mulai ngos-ngos an. Tapi saya tidak mau berhenti sambil terus self-talk bahwa saya bisa berlari tanpa jeda sampai Bundaran HI.

Ketika akhirnya saya bisa menyelesaikan tantangan tersebut, perasaan takjub dan tak percaya terus memenuhi hati saya. Kok bisa? Apakah karena selama ini saya rutin bersepeda? Apakah karena ego dan self-talk selama saya berlari?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus terdengar di otak saya, bercampur dengan euforia keberhasilan 'pelarian' pertama saya. Pelarian pertama yang membuat saya berjalan bagai robot selama seminggu. Pelarian yang kemudian memotivasi saya untuk mencoba berlari lagi, apalagi setelah saya hitung pelarian pertama tersebut kurang lebih berjarak 5 kilometer. Saya mampu!. Itulah yang kemudian saya tanamkan dalam otak saya untuk melakukan aktivitas lari ini secara rutin.

Lari dengan segala macam embel-embel nya saat ini memang sedang hits. Dari mulai lari cantik, finish cantik, finish strong dan segala macam istilah dalam dunia lari akhirnya akrab dengan telinga saya. Biasaaaa, namanya juga sedang semangat-semangatnya. Tapi bukan karena ikut-ikutan trend kalau akhirnya saya memiliki sebuah jam tangan pintar. Buat saya, olahraga apapun yang saya lakukan haruslah aman dan terukur, sehingga saya butuh sebuah alat yang bisa mengukur batas kemampuan saya. 

Selain fitur heart rate monitor, salah satu fitur yang saya suka dari jam tangan pintar adalah notifikasi untuk bergerak. Fitur ini akan mengingatkan kita untuk bergerak/berjalan/berlari ketika dalam kurun waktu tertentu kita terdeteksi dalam posisi diam. Agak lucu memang ketika fitur ini pun akan berfungsi ketika kita sedang berada dalam kendaraan atau bahkan sedang tidur :).

Mengapa fitur move! atau bergerak menjadi fitur yang dimiliki oleh hampir semua jam tangan pintar ataupun melekat pada aplikasi-aplikasi kebugaran/olahraga?. Bergerak, selain merupakan salah satu ciri makhluk hidup juga merupakan suatu aktivitas yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Berbagai lembaga kesehatan maupun penelitian-penelitian di bidang kesehatan merekomendasikan agar orang dewasa minimal melakukan latian aerobic 150 menit dengan intensitas sedang per-minggu atau 75 menit apabila dilakukan dengan intensitas tinggi. Aktivitas tersebut setara dengan 7,000 - 8,000 langkah sehari. Bahkan ada satu penelitian yang menyatakan bahwa wanita yang berjalan 10,000 langkah sehari dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 24 minggu dan meningkatkan kadar glukosa dalam tubuhnya.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita harus berjalan untuk memenuhi rekomendasi tersebut?. Saya pribadi memiliki target 8,500 langkah per hari. Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 5,000 langkah, kita harus berjalan paling tidak 3,2 kilometer sehingga untuk memenuhi target 8,500 langkah saya harus berjalan atau berlari sejauh 6 - 8 kilometer. Saya pernah menemukan fakta ketika di suatu hari kegiatan saya hanya berjalan dari rumah ke garasi, naik mobil, berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor, kemudian berjalan seperlunya di dalam kantor termasuk ke kantin, saya hanya berhasil mendapatkan 1,900 langkah, dari pagi sampai malam. Bayangkan betapa tidak sehatnya saya jika hal tersebut terjadi setiap hari.

Move on dong!  kata anak jaman now kalau ada temannya yang selalu terjebak kenangan masa lalu. Move on...bergeraklah, karena jika tidak maka kamu akan sakit, kenangan masa lalu akan membuatmu sakit. Kira-kira seperti itulah jika dianalogikan dengan bergerak dalam artian aktivitas fisik yang saya tuliskan di atas. Manusia memang harus bergerak, bukan saja untuk menunjukkan bahwa mereka makhluk hidup, tapi lebih dari itu. Manusia bergerak tidak hanya berpindah secara fisik dari satu titik ke titik lainnya. Manusia bergerak juga dalam fikirannya, semangatnya, jiwanya, kebaikannya, amal ibadahnya. Sama hal nya badan yang sakit ketika tidak atau kurang bergerak, maka fikiran manusia pun akan sakit jika tidak bergerak, tidak akan ada pencapaian ketika semangat dan jiwanya tidak bergerak, tidak ada tambahan kebaikan ketika amal ibadahnya tidak bergerak.

Move move move...bergerak bergerak bergerak, ukurlah diri kita, ingatkan diri kita untuk selalu bergerak. Bergerak maju, bukan bergerak di tempat apalagi bergerak mundur, sampai saatnya kita tidak mampu lagi bergerak bahkan berfikir untuk bergerak.


Jakarta, 18 April 2018
Sekedar melemaskan jari yang sudah lama tidak bergerak di papan ketik.

Kunang-Kunang


"Kamu baik-baik saja?" 

Suara ini memecah keheningan. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Ruangan ini gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari tirai tipis, terpasang melapisi jendela raksasa di ruangan yang berdiri 30 meter di atas permukaan tanah. Kuraba tiang metal di sebelah tempat tidur untuk menyalakan lampu baca. Aku suka tidur hanya diterangi cahaya bulan ... atau kerlap-kerlip cahaya ratusan kamar di gedung apartemen seberang. Rasanya seperti hidup dikelilingi kunang-kunang.

Orang Skandinavia memang aneh. Semakin tinggi tempat tinggalnya, semakin transparan jendela apartemen mereka. Makan, minum, menulis paper, memasak, mengadakan pesta, menonton film porno, berkebun atau mengobrol ... sepertinya semua orang bisa melihat apa yang dikerjakan tetangga seberang. Di keheningan malam seperti ini, sesekali terdengar suara rusa atau burung hantu dari bukit kecil di antara kompleks bangunan apartemen ini. Kami jauh, tapi terasa dekat. We don't talk, but we know each other.

Jam berapa ini? Layar ponsel menunjukkan angka 00.40. Bukan waktu yang normal untuk menelepon dengan ukuran orang Swedia ... atau Indonesia ... atau siapa saja.

"Ya," hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Keheningan berlanjut selama 5 detik sebelum akhirnya temanku langsung berbicara panjang tanpa menunggu kalimat lebih banyak dariku.

"Jam berapa jadwal penerbanganmu? 
Apakah kamu sudah punya tiket? 
Kapan rencana pemakamannya? 
Dengan kendaraan apakah kamu akan pergi ke bandara? 

... Aku turut bersedih atas peristiwa yang kamu alami sekarang. Aku tidak bisa tidur. Aku barusan mengobrol dengan pacarku dan meminta izin menggunakan mobilnya untuk mengantar kamu ke bandara, kalau kamu bersedia untuk kuantarkan. Selain itu, bolehkah kita berangkat beberapa jam lebih awal? Aku ingin mengajak kamu makan di luar sebelum kamu terbang selama 22 jam. Ini penting supaya kamu tidak kelaparan, dan aku harap kita punya waktu untuk mengobrol sebentar." Ia terus bicara seperti meluncur di jalan bebas hambatan.

"Oh," tanggapku ... dengan setengah sadar ... dan tiba-tiba ingin menangis. Terlalu banyak emosi yang harus kucerna dari rangkaian kejutan yang terjadi dalam waktu singkat. 

Ayahku meninggal. 

Kabar ini kudapatkan 20 menit setelah aku bergadang mencari tiket pulang. Pupus sudah harapan untuk menemaninya di ruang pemulihan dan ICU pasca operasi. Dan kini ... ketika semua menjadi buram dan gelap ... ada telpon di tengah malam dari seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur sebelum menceritakan semua rencananya untuk membantu.

"Maafkan aku menelpon jam segini. Aku merasa kejadian ini berat buat kamu dan mungkin ada hal-hal yang bisa aku lakukan untuk meringankan. I know your father adores you and misses you ... but you could not go home ... as we know for weeks your husband already bought ticket for holiday to Sweden," temanku melanjutkan.

"Yeah," aku bergumam lagi. 

Sejujurnya aku juga bingung untuk merasa bagaimana atau berpikir bagaimana lagi. Di jam satu malam. Should I be sad for losing a father? Should I be happy for my spouse to visit? And why a foreigner cannot sleep for my own personal problem? This is crazy.

"Terimakasih, tapi aku tidak ingin merepotkan. Aku baik-baik saja. This is my problem, not you ... and that was Frank's car not yours. Doesn’t your boyfriend need it? Aku sudah membeli tiket bus ke bandara, dan karena ini mendadak maka aku hanya membawa 1 ransel saja. I am fine, thank you." aku berusaha menghargai usaha temanku.

Tapi dia tidak menyerah. Malah mungkin cenderung ngotot, "But at least I want to say goodbye. I want us to have a chance to talk about what happens to you. Please let me do something. When is the flight?"

Baiklah. Aku merespon, "penerbangan KL1160 boarding di Gothenburg 17.45, transit dan ganti pesawat KL809 di Amsterdam pukul 20.50, dilanjutkan dengan transit di Kuala Lumpur pukul 16.20, tiba dengan pesawat yang sama di Jakarta 17.25 sore."

"Good," katanya, "Kalau begitu bolehkah saya jemput kamu pukul 2 siang dan kita makan di lapangan golf Öjersjö sebelum aku mengantarmu ke bandara?"


“Baiklah,” aku tak berniat mendebatnya lagi.

“OK, now you should get back to sleep. You will need it,” katanya.

“Thank you,” tutupku.