Tampilkan postingan dengan label #Sedardjuningsih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Sedardjuningsih. Tampilkan semua postingan

YUKK

 Ketika aku duduk di Bangku Sekolah Mengah Pertama, ada sebuah film kartun dengan tokoh bernama Yukk. Tokoh tersebut memiliki kepala yang ditutupi oleh rumah kayu, sepanjang seri film kartun tersebut kami tidak pernah tahu wajah Yukk yang sebenarnya seperti apa. Karena dalam film tersebut bila Yukk membuka rumahnya, maka orang yang melihat wajahnya akan menjerit ketakutan dan pingsan. 


Pada waktu itu aku memiliki sahabat sekaligus teman kelompok belajar. Biasanya kami akan belajar ke tempat salah satu teman dan mendiskusikan mata pelajaran yang sulit bila kami kerjakan seorang diri. Dengan metode kelompok belajar, Alhamdulillah banyak pelajaran yang dapat kami selesaikan bersama. 


Pada suatu hari, kelompok belajar kami selenggarakan di rumah teman kami bernama Pipit. Pipit memiliki seorang adik perempuan yang lucu dan menggemaskan, bernama Dita (aku tidak tahu persis berapa usia Dita saat itu). Ketika kami telah selesai kelompok belajar dan bermaksud pamitan kepada tuan rumah, tak lupa kami pun berpamitan sekaligus menyapa Dita. “Dita….” demikian kami menyapanya satu per satu, lalu Dita pun akan tertawa terkekeh-kekeh kesenangan. Satu per satu kami melakukan hal itu karena kamipun senang dengan reaksi Dita yang menggemaskan bila kami sapa. 


Tibalah giliranku menyapa Dita. Dengan wajah yang kupasang seramah mungkin, aku pun menyapa Dita. “Dita…..”  sapaku, tapi bukannya tertawa terkekeh-kekeh, Dita saat itu menjerit dan menangis melihatku. Aduh…. aku jadi salah tingkah. Kakak Dita pun sibuk menenangkan adiknya agar tidak menangis lagi. Setelah Dita tenang, beberapa temanku kembali mencoba menyapa Dita kembali dan Dita pun terkekeh-kekeh kembali. Karena penasaran, akupun mencoba menyapa Dita kembali, namun malang nasibku karena reaksi Dita melihatku tetap sama : menjerit dan menangis. Tentu saja hal ini jadi merepotkan Pipit kakaknya yang harus menenangkan adiknya kembali. Karena peristiwa itulah teman-temanku bilang mungkin aku seperti Yukk di mata Dita. 


Waktu pun terus berjalan, ada ketegangan tersendiri bila aku harus menyapa seorang anak kecil, apakah dia akan menyambutku ataukah dia akan menjerit dan menangis melihatku. Peristiwa Dita adalah peristiwa yang masih lekat dalam ingatanku dan menjadikanku terus  introspeksi. Ada kebahagiaan tersendiri bila aku menyapa anak kecil/ bayi lalu mereka tersenyum manis kepadaku. Aku bersyukur, mungkin aku telah berubah di mata anak-anak kecil yang masih fitrah tersebut.


Bagiku, balasan yang diberikan anak yang masih fitrah merupakan suatu ‘gambaran” siapa aku di dalam. Kadang suatu peristiwa dapat menjadi titik tolak untuk berubah dan merenungkan ada apa dibalik kejadian itu.


Yogyakarta, 28 Agustus 2021