KRL Mania (1)



Sebagai orang yang hidup pada jaman milenial atau jaman “now”, saya sangat akrab dengan berbagai jenis transportasi publik. Mulai dari angkot, angkutan online baik roda dua maupun roda empat, segala jenis bis baik dalam maupun luar kota, dan kereta Jabodetabek maupun kereta luar kota. Kali ini saya akan menuliskan kisah mengenai pengalaman saya bersama kereta Jabodetabek atau lebih terkenal dengan nama KRL. KRL adalah kepanjangan dari kereta rel listrik.
Bukan soal teknis kelistrikannya yang ingin saya ceritakan disini, tapi pengalaman batin saya bertahun-tahun intim dengan KRL. Saya akan ajak pembaca berkelana dari mulai lobby stasiunnya. Kebetulan saya biasa naik dari stasiun Depok Baru. Stasiun Depok Baru berada diantara stasiun Depok Lama dan stasiun Pondok Cina. Dari arah Jakarta stasiun Depok Baru berada setelah stasiun Pondok Cina. Sedangkan dari arah Jakarta, berada setelah stasiun Depok.
Biasanya saya sudah berada di stasiun Depok adalah pukul 05.25 pagi (perjuangan yang lumayan keras ya). Saya biasa naik KRL jurusan Depok-Jakarta Kota dengan jadwal jam 05.30. Saya memilih jadwal perjalanan pagi karena biasanya KRL belum terlalu penuh sehingga saya masih bisa berdiri dengan nyaman tanpa bersentuhan bahu dengan penumpang lain.
Hal yang paling mudah diamati dalam perjalanan pergi pulang ke dan dari kantor adalah sikap-sikap manusia yang menggunakan moda transportasi KRL jabodetabek. Berbagai macam tingkah manusia yang kadang bisa bikin tersenyum manis, tertawa, tersenyum kecut atau pun cemberut dan kesal berkepanjangan. Saya paling senang memperhatikan tingkah laku para penumpang KRL (tapi saya tidak termasuk ya karena tidak etis juga menilai diri sendiri).
Biasanya di loket pembelian kartu yang berlaku sebagai tiket, banyak orang antri menunggu gilirannya dilayani petugas. Kebetulan di stasiun Depok Baru belum ada mesin tiket jadi masih manual. Disitulah bisa terlihat kalau sebagian penumpang KRL belum bisa mendisiplinkan diri sendiri. Struk pembelian kartu banyak berserakan di lantai padahal tempat sampah terdapat tidak jauh dari pandangan mata mereka. Mungkin mereka merasa bahwa toh nantinya ada petugas yang akan membersihkannya. Ah terlalu memang.
Beralih ke gerbang “pengetapan” (maafkan saya apabila kata yang dipakai tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Orang biasanya bergegas ketika baru memasuki gerbang stasiun tapi announcer sudah mengumumkan bahwa kereta akan masuk stasiun. Tentu saja orang yang terburu-buru mengejar kereta  akan berlari sekuat tenaga bagaikan tokoh Forrest Gump yang diperankan aktor Tom Hanks dalam film berjudul sama. Saya pun pernah melakukan hal seperti itu. Saking takutnya ketinggalan kereta yang biasa dinaikin pada jadwal yang sama setiap harinya, kadang saya lupa kalau usia saya sudah menjelang senja dan lutut sulit berbohong bahwa saya masih sekuat dulu.
Saya bisa agak lebih santai apabila datang lebih pagi dari kereta yang biasa dinaikin. Jadi saya bisa menunggu di peron stasiun. Biasanya saya duduk dengan posisi punggung-punggungan romantis dengan penumpang lainnya pada kursi yang menurut saya lebih mirip jemuran.
Pada saat menunggu biasanya ada orang yang membaca koran (walau jaman “now” sudah jarang orang yang membaca koran karena kebanyakan jadi korban gadget), ngobrol dengan teman atau pasangannya, dan bengong sendirian kalau orang itu masih jomblo (mungkin juga sambil matanya jelatatan, siapa tahu ada cewek atau cowok yang bening).
Setelah melakukan pengamatan mendalam, bisa saya pastikan kalau 9 dari 10 orang sedang memegang ponsel (betapa kurang gaulnya manusia jaman “now” ini). Kalaupun mereka berkelompok, seringkali mereka lebih sering berkomunikasi dengan ponselnya masing-masing (tentu saja termasuk saya).
Ada kebiasaan orang kalau duduk di kursi “jemuran” yang menyulitkan orang lain yang sehingga mengurangi jatah orang lain yaitu menyimpan barang bawaannya di bangku. Menyulitkan karena otomatis ketika seseorang ingin duduk, orang tersebut harus mengeluarkan bunyi dari mulutnya untuk memohon agar bisa diberikan peluang untuk duduk juga. Mungkin seharusnya orang yang sedang duduk mengerti keinginan orang lain untuk duduk tanpa diminta.
Ketika kereta datang dan kemudian pintu terbuka, orang akan berebut masuk. Padahal sebenarnya kan bisa saja antri satu persatu. Bahkan bisa saja sikut mengenai tubuh orang lain. Apalagi kalau seseorang ngintip dari jendela kereta terlihat ada bangku yang kosong, jangan harap orang itu akan tertib masuk kedalam kereta, siap-siap saja ada yang jadi korban. Setelah kaki menginjak kereta langsung orang tersebut lari ke arah bangku kosong agar tidak keduluan orang lain untuk duduk tanpa peduli ada orang kesenggol atau jatuh karena ulahnya. Untuk yang satu ini saya akui, saya juga pernah berebutan tempat duduk walau seringnya saya kalah langkah dan akhirnya menunggu belas kasihan orang lain untuk duduk. Biasanya kalau lawannya banyak saya kalah atau mengalah. Kecuali kalau lawannya cuma satu dan bapak-bapak pula saya bisa menang.

Penjual Sapu Lidi


“Salim....,” suara cempreng Emak berteriak memekakkan telingaku. Kutarik kembali selimut menutupi seluruh tubuhku. Kebiasaan Emak yang kubenci adalah teriakan khas yang selalu menggema setiap pagi.
                “Salim, bangun. Jangan tidur melulu. Cari kerja sana!” cerocos Emak sambil menarik selimutku. Emak membuka gorden jendela kamarku. Cahaya matahari menerobos dan menyilaukan pandanganku.
                “Emak, aku masih ngantuk,” Aku menutupi lagi tubuhku dengan selimut.
                “Anak nggak tau malu. Anak-anak seumur kamu sudah pada kerja semua, bahkan ada yang sudah punya anak. Ini kamu masih terus begini. Pengang......”.
                “Stop, Mak!” tukasku. Aku sudah hapal isi ceramah Emak setiap hari di waktu dan tempat yang sama.
                “Mak, aku kan udah bilang belum ada lowongan pekerjaan yang cocok sama ilmuku,” jawabku sekenanya.  Kupasang muka cemberut. Rasanya bosan setiap hari mendengar kecerewetan Emak soal statusku yang masih pengangguran.
                “Gimana mau dapat pekerjaan kalau kerjanya tidur terus,” suara Emak kembali melengking.
Kuambil bantal untuk menutupi mukaku. Tiba-tiba kakiku serasa dingin dan basah. Rupanya Emak menyiramkan air ke kakiku.
                “Emak.......” aku berteriak meluapkan kekesalan. Kali ini Emak sudah keterlaluan mengusikku. Rasanya aku ingin balas dendam tapi apa daya kehidupanku masih sangat bergantung kepadanya.
                “Jaga warung. Emak mau ke rumah mpok Sarih, suaminya jatuh di kamar mandi dan nggak bisa bangun. Dia nggak punya uang buat bawa suaminya ke rumah sakit,”
                “Emak ini, selalu ngurusin orang lain. Anak sendiri lupa diurusin,” ujarku kesal.
                Mata Emak mendelik ke arahku. Diambilnya sapu ijuk seolah mau memukul diriku. Akupun berlari ke kamar mandi menghindari kebuasan Emak.
                “Makanya setiap hari bangun pagi. Jalan-jalanlah di kampung kita. Sapa tetanggamu, lihat keadaan sekeliling. Jangan cuma ngumpet di kamar!” suara ceramah Emak membuatku pusing.
                Secepatnya kusingkirkan selimutku. Tanpa mencuci muka, aku bergegas keluar kamar untuk menghindari omelan Emak yang seakan nggak mengenal titik dan koma.
                *****

Aku duduk di kursi belakang lemari kaca tempat memajang dagangan Emak. Kuambil laptopku dan kuletakkan di atas etalase. Sambil menunggui warung Emak, aku bisa mencari informasi lowongan pekerjaan yang cocok dengan jurusan yang kuambil waktu kuliah. Sejak aku kecil Emak sudah berjualan. Apalagi ketika Bapak meninggal, Emak semakin semangat berjualan di samping rumah untuk menyambung hidup kami, karena uang pensiun Bapak tak cukup untuk membiayaiku kuliah.
                Sempat kulontarkan ide untuk berhenti kuliah kepada Emak, tapi Emak marah-marah kepadaku. Tiga hari Emak mogok menyediakan makanan buatku sehingga setiap hari pula aku makan mie instan tiada henti. Sejak itu, aku tak pernah lagi meminta putus kuliah.
                Aku adalah anak satu-satunya Emak dan Bapak. Emak sangat berharap agar aku dapat menjadi anak yang mandiri. Emak juga yang mendorongku untuk bersekolah sampai lulus menjadi sarjana. Aku tahu Emak sangat berharap agar aku dapat segera bekerja, namun sampai sekarang aku belum mendapatkan panggilan dari surat lamaran yang kukirimkan kepada perusahaan-perusahaan swasta.
                “Permisi,” kudengar suara seorang ibu yang tahu-tahu sudah berdiri di depan etalase. Aku berdiri dari kursi yang kududuki.
                “Tumben nih, Mas Salim yang jaga warung. Ibu Masnah kemana?”
                “Ibu sedang ke rumah Bu Sarih,” jawabku.
                “Minta gula pasir setengah kilo dong!” aku celingukan mencari tempat Emak menyimpan gula pasir.
                “Itu Mas, di belakangnya. Ketahuan nggak pernah bantuin Bu Masnah di warung,”
                “Ah, cerewet banget sih,” aku menggerutu dalam hati sambil menyerahkan gula pasir dalam plastik.
                Ibu-ibu itu menyerahkan uang kepadaku. Aku kebingungan berapa uang kembaliannya. Kembali Ibu itu menggodaku.
                “Makanya sekali-kali bantuin ibunya di warung, Mas,” Mukaku merah mendengar celotehan Ibu itu.  Ibu tersebut menyebutkan berapa jumlah uang yang harus kukembalikan kepadanya. Kubuka kotak kayu yang sudah sangat lusuh, kuambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan kuberikan kepada Ibu tersebut.
                Beda dengan Emak, yang selalu ringan tangan membantu kesulitan tetangga sekitar rumah, aku tak pernah sekalipun bersosialisasi dengan mereka. Aku bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap harinya. Menurutku itu hanya basa basi belaka yang sama sekali nggak penting.
*****

                “Sapu lidi....sapu lidi,” suara teriakan pedagang sapu lidi terdengar dari depan rumah. Aku masih terus mencari lowongan kerja di dunia maya melalui laptopku.
                “Numpang duduk ya, Nak,”
                “Iya,” ujarku kepada Bapak penjual sapu lidi itu. Kulihat sekilas, Bapak penjual sapu lidi itu meminggirkan gerobaknya ke tembok depan rumahku. Dengan gerakan perlahan Bapak yang kuperkirakan berumur sekitar tujuh puluh tahun mencoba duduk di tembok depan rumahku. Kebetulan rumahku tidak memiliki pagar dan hanya diberi tembok yang bisa diduduki untuk membatasi halaman rumah dengan jalan.
Dengan rasa penasaran kuhampiri Bapak itu. Kuperhatikan tubuhnya sudah renta dan sesekali kudengar suara batuk yang berat. Perasaan iba menjalari hatiku. Aku duduk di tembok depan rumahku
                “Setiap hari Bapak berkeliling berjualan sapu lidi?” tanyaku pelan.
                “Enggak sih. Bapak berjualan kalau lagi banyak janur saja. Anak Bapak berjualan kulit ketupat dari janur. Kalau ada sisa Bapak bikin sapu lidi,” terangnya.
                “Bapak nggak capek?”
                “Ya gimana lagi. Bapak nggak mau nyusahin anak Bapak. Udah mah Bapak tinggal sama anak dan keluarganya, masak masih mau menyusahkan juga. Walau sebenarnya anak Bapak udah nyuruh Bapak berhenti jualan tapi sepanjang Bapak masih kuat Bapak harus terus kerja,”
                Sejenak aku tertegun mendengar penjelasan bapak tua ini. Apalagi ketika aku berpikir apa yang sudah kulakukan selama ini untuk membantu Emak. Jangankan membantu, yang ada aku malah menyusahkan Emak. Selama ini Emak kerja sendiri. Emak selalu menyiapkan makananku dan mencuci semua bajuku, padahal Emak harus ke pasar buat beli stok warung dan berjualan sendiri. Selain itu, aku masih pula merepotkan dengan selalu minta uang kepada Emak. Betapa tak bergunanya hidupku selama ini.
                “Pak, saya beli sapu lidinya, satu saja,” tiba-tiba Emak muncul di depan rumah. Emak menyodorkan uang dua puluh ribu.
                “Ini kembaliannya, bu,” ujar Bapak penjual sapu lidi sambil menyerahkan uang sepuluh ribu kepada Emak.
                “Buat Bapak saja,” ujar Emak.
                “Kalau gitu, Ibu ambil satu lagi sapu lidinya,” ujar Bapak itu. Emak menggelengkan kepala.
                “Ambil saja , bu. Saya tidak bisa menerima uang begitu saja,” Akhirnya Emak mengalah dan mengambil sapu lidi.
                Aku masih tertegun sampai Bapak tua penjual sapu lidi itu berlalu dari hadapanku. Ternyata selama ini hidupku sia-sia.

*****

Jakarta, 30 Oktober 2017             

Beasiswa



Benarkah mencari beasiswa itu sulit?
Sebelum mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Sulit.
Setelah mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Tergantung.

Mendapatkan beasiswa, sama seperti mencari hal lainnya di dalam hidup ini adalah kombinasi dari beberapa faktor, seperti: preferensi pribadi, kenyataan di lapangan, dan faktor X.  Ibarat ingin mencapai suatu tujuan dari lokasi tertentu pada waktu tertentu, maka pertimbangannya pun relatif dengan keadaan kita pada masa itu.  Sebagai contoh, apabila kita merencanakan perjalanan ke kantor di suatu pagi, pertimbangannya bisa bermacam-macam. Apakah hari itu hujan, apakah saat itu kondisi tubuh sedang kurang fit, apakah pagi itu jalan tol macet, apakah di waktu tersebut ada gangguan sinyal kereta api, apakah hari itu tanggal tua atau tanggal muda, apakah hari itu ada ST, apakah jatah flexy time sudah habis atau masih banyak, dan seterusnya dan seterusnya.

Begitu pula halnya dengan mencari beasiswa, tidak bisa disamakan jalan seseorang dengan orang lainnya karena situasi mereka pun belum tentu sama. Apabila beberapa sponsor mempunyai persyaratan yang berbeda, begitu pula halnya dengan kemampuan kita sendiri di dalam memenuhi persyaratan-persyaratan itu. Situasi menjadi sulit ketika kita tidak mampu mencocokkan antara keinginan dengan kenyataan hidup.

Baiklah sekarang saya membandingkan antara beasiswa yang mempersyaratkan psikotes (SPIRIT) dengan yang tidak mempersyaratkan psikotes (ADS). Kebetulan pernah merasakan kedua prosesnya. Seorang teman pernah bercerita bahwa ia tidak ingin mendaftarkan diri ke SPIRIT dan lebih suka mendaftarkan diri ke ADS. Setelah saya tanyakan mengapa, ia lalu berkata bahwa dirinya tidak pernah lulus psikotes. Tapi bukankah interview di ADS juga sulit? Temanku menjawab bahwa karena interview di ADS banyak yang berkisar dengan pekerjaan dan ia cukup paham dengan apa yang dikerjakannya selama ini maka ia lebih percaya diri dengan interview ADS daripada psikotes SPIRIT.

OK, paragraf tersebut di atas melihat beasiswa dari sudut pandang sponsor atau lembaga penyedia beasiswa. Sekarang, marilah kita melihat beasiswa dari sudut  pandang pribadi masing-masing. Mengapa kita perlu mengambil beasiswa? Apa pentingnya beasiswa? Apakah semua orang perlu mencari beasiswa? Nah ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang meskipun subjektif namun tidak kalah pentingnya untuk dipahami supaya tidak kecewa di kemudian hari.

Sebab bukan sekali atau dua kali saja saya mendengar problem yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri. Ada yang hilang di Amerika, ada yang menderita sakit mental di Jepang, ada yang bunuh diri di Jerman, yang tidak lulus kuliah juga tidak sedikit, apalagi kalau sponsornya pemerintah dalam negeri … bukan hanya sedih karena tidak membawa pulang ijazah namun juga sedih karena harus mencicil hutang beasiswa melalui potongan gaji.

Dengan serangkaian potensi permasalahan ini, sayangnya ketakutan yang paling sering saya dengar adalah soal uang. Dan ini membuat saya merasa gatal. Tanpa menafikan pentingnya uang, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat potensi dan masalah yang lebih luas dari sekadar uang. Sebagai contoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa tunjangan hidup dari LPDP termasuk tinggi bahkan apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh sponsor internasional. Tapi seperti kata orang, “high return equals to high risk” maka ini berlaku juga buat mahasiswa LPDP. Teman saya bercerita bahwa LPDP mensyaratkan tidak ada mata kuliah yang gagal. Padahal kebijakan beberapa negara tempat kuliah penerima LPDP juga tidak seragam mengenai gagal atau tidaknya seorang mahasiswa di dalam mata kuliah tertentu. Sebagai contoh, ada negara yang memperbolehkan untuk mengulang mata kuliah, ada juga yang tidak. Selain itu, ada juga negara yang mengatur bahwa apabila seseorang gagal di mata kuliah tertentu maka ia tidak diizinkan untuk mengambil mata kuliah tersebut di seluruh universitas di negara itu untuk selamanya. Masalahnya, tidak semua orang bisa mengetahui hal-hal ini sebelum ia pergi ke negara yang dituju.

(bersambung)