Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

CaLisTung (Yang Tersisa Dari Pendidikan Kita)

“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk  jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.

Kirlian


Energi tidak dapat diciptakan. Energi tidak dapat dimusnahkan. 
(First Law of Thermodynamics) 

Hukum Kekekalan Energi membawaku ke sini. Kuletakkan telapak tanganku di pelat metal berbentuk jemari manusia itu. Dingin. Sesungguhnya aku merasa sedang duduk di kursi listrik seperti di film-film misteri. Apabila saat itu aku tahu bahwa pelat di kedua telapak tanganku ini terhubung dengan kabel voltase tinggi, tentu aku akan ciut mengundurkan diri dari sesi foto ini. Tapi dorongan untuk mengetahui lebih tinggi daripada kecemasanku.  

“What color is my aura?” That is the question. 

Beberapa bulan yang lalu aku sudah “mengetahui” jawabannya dari sebuah sesi quiz online. 

Tapi jelas ada bedanya antara bukti empiris dengan data intepretatif. Quiz tersebut menafsirkan warna aura dari beberapa pilihan yang kita ambil dari serangkaian pertanyaan mengenai preferensi pribadi di dalam beberapa simulasi situasi. 

Foto aura tidak banyak bertanya. Ia hanya memberikan hasil. Hanya kita sendiri yang mengambil kesimpulan dari serangkaian pantulan gelombang warna yang tercetak pada kertas film itu. Dalam 10 detik, semua hal tentang diriku akan tercetak di selembar kertas berukuran 8 x 10 cm. 

Pelat metal berfungsi menghantarkan listrik dari tangan melalui kabel ke arah kamera Kirlian di hadapanku ini. Sejenak petugas bergeming melihatku seperti orang bingung setelah mengecek kameranya. 

“Tolong bersandar ke dinding, ” katanya. Aku baru mengerti bahwa grounding atau melekatkan anggota tubuh ke dinding atau lantai membantu kualitas gelombang warna yang dihasilkan oleh tubuh kita. 

Aura. Bagi yang skeptis, fenomena ini hanya isapan jempol belaka. Bak fenomena paranormal seperti rasi bintang, bola kristal, fengshui dan lain-lain, untuk beberapa orang aura hanyalah satu topik pengisi waktu luang sambil minum kopi atau mengusir kejenuhan. 

Tapi, seperti orang lain, aku pernah belajar fisika, dan sedikit banyak mengetahui mengenai sifat-sifat dasar dari energi, cahaya, optik, dan spektrum warna. Satu topik saja yaitu “energi” dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub topik misalnya energi cahaya, energi bunyi, energi listrik, energi panas, energi terbarukan, energi tak terbarukan, dan banyak lagi. Apapun bentuk energi, satu hal sudah jelas, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya berubah bentuk. Setidaknya begitulah Hukum Kekekalan Energi yang sering kita pelajari di sekolah-sekolah dasar dan menengah. 

Aura hanyalah salahsatu bentuk energi dihasilkan manusia. Seorang manusia dapat menghasilkan energi suara, energi gerak, energi listrik, energi panas, energi cahaya, dan banyak lagi. Seperti halnya panas tubuh manusia dapat dengan mudah terdeteksi dengan kamera inframerah di tempat yang tergelap sekalipun, begitu juga aura semua makhluk (hidup dan mati) dapat terdeteksi dengan kamera Kirlian. Satu koin uang Rp500 mempunyai aura. Satu lembar daun di pohon mempunyai aura. Bahkan untuk beberapa mata yang terlatih, aura dapat terlihat tanpa bantuan kamera. Seorang kenalan pernah bercerita bahwa ia menikmati lalu-lalang manusia di tempat keramaian karena ia dapat melihat indahnya warna-warni aura seiring pergerakan mereka. 

Warna-warna aura tercipta karena adanya karakteristik dasar dari “cahaya”. Dahulu, terdapat anggapan bahwa cahaya merupakan gelombang yang dapat diukur frekuensi dan kecepatannya. Cahaya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 299.792.458 m/detik. Begitu tingginya kecepatan cahaya sehingga jarak objek antariksa seringkali diukur bukan lagi dengan satuan kilometer melainkan tahun cahaya, 9.4605284e15 m atau hampir mencapai 10 triliun kilometer. Warna yang terlihat merupakan gelombang cahaya yang dipantulkan oleh permukaan benda yang sedang kita amati. Dengan kata lain, sebuah apel berwarna merah bukan karena ia berwarna merah tapi karena permukaan apel telah memantulkan gelombang cahaya berwarna merah. 

Belakangan, juga diketahui bahwa cahaya merupakan partikel bermuatan energi yang dinamakan “photon”, dimana sifatnya sangat unik yaitu tidak mempunyai massa (berat) namun mempunyai energi. Photon pada setiap warna berbeda-beda, sehingga energi satu warna akan berbeda juga dengan energi pada warna lainnya. Apabila cahaya dapat didefiniskan sebagai gelombang sekaligus juga sebagai partikel … bayangkan seberapa banyak informasi yang dapat diperoleh dari satu lembar foto. Kita dapat mengetahui energi yang ada pada saat itu. Kita juga dapat mengetahui frekuensi yang terjadi pada saat itu. 

Dengan pengetahuan dasar mengenai warna, cahaya, optik, listrik, dan energi inilah kemudian kita dapat memahami fenomena aura.

Seperti hati, antri ...

STOP COMPARING

"Hidup ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan" 
-unknown-




"Kak, nanti kalo ada pertanyaan: kamu punya saudara nggak yang pernah sekolah disini?, adik jawab apa?" tanya sang adik kepada sang kakak. Sang adik saat itu sedang persiapan tes masuk sekolah menengah pertama, sedangkan sang kakak adalah alumni sekolah tersebut, lulusan terbaik tahun kemarin. "Ya jawab aja punya" aku memotong jawab mendahului sang kakak yang masih bingung. "Adik takut nanti mereka expect me like kakak" lanjut sang adik. Sejenak aku terdiam. "Ya nggaklah dik, kan beda adik sama kakak" aku mencoba menenangkan. "ish adik mah...!!" sang kakak teriak. "nilai adik kan jelas-jelas lebih bagus dari kakak". Lalu mulailah perdebatan seru sang kakak dengan sang adik. Sang kakak merasa adiknya lebih pintar, sang adik bilang kakaknya yang terbaik. Dengan berbagai argumen kekanakan mereka. "girls...please" aku memotong. "still it cannot be compared. you have a different age, different grade and different school". "Adik pinter, kakak juga pinter. Papa-Mama kan nggak pernah minta kalian jadi juara 1?" lanjutku. "We accepted all of your results, as long as you got it fairly". Meskipun masih menggerutu, perdebatan itu sejenak terhenti. Tiba-tiba sang adik nyeletuk "soalnya di sekolah adik ada tuh Pa yang begitu. Bu guru selalu bilang kakak kamu dulu nggak bandel loh" Sang adik lalu menceritakan tentang Nayla, salah satu teman sekelasnya yang dulu juga mempunyai kakak alumni sekolah tersebut. "Ya nanti kalo  ada guru yang bilang begitu nanti Papa datengin  ke sekolah" Aku mencoba menenangkan lagi.

***
Perbincangan tadi terus terang mengesalkanku. Betapa tidak?. Di usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah harus dihadapkan dengan rumitnya kehidupan orang dewasa. Investasiku menyekolahkan mereka ke sekolah dengan embel-embel agama rasanya sia-sia. Bukan karena mereka tidak bisa sholat atau mengaji, tapi karena mereka masih disuguhi pola laku yang sama sekali tidak sesuai ajaran agama. Mirisnya hal tersebut dilakukan oleh sang pendidik.

***
Persoalan ini bukan monopoli persoalanku sendiri. Secara umum banyak sekali keluhan serupa dari para orang tua jaman now terhadap pola pendidikan dan pergaulan di sekolah-sekolah. Aku sepakat bahwa pendidikan terbaik tetaplah dari keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat di rumah. Tapi tidak salah juga jika mengharapkan adanya nilai tambah dari pendidikan di sekolah. Keprihatinan ini bahkan sudah sering kusampaikan langsung ke guru-guru bersangkutan, namun hanya jawaban normatif yang kuperoleh. Akhirnya ya menunggu anak sampai lulus saja kemudian cari lagi sekolah yang lebih nyaman pola pengajaran dan pendidikannya buat anak-anak.

***
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.

***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan. 

***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.


Jakarta, 13012020

Menjenguk Orang Sakit

Apakah kamu pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit? Mudah-mudahan belum, ya. Atau mungkin kamu pernah menjenguk orang sakit di rumah sakit atau juga menunggu orang yang sakit? Nah semua pertanyaan ini, saya pernah mengalami ketiga peristiwa itu.
Saya ingin membahas tentang perilaku orang yang menjenguk orang sakit di rumah sakit. Kalau kita pernah atau sering pasti kita bisa mencatat beberapa perilaku orang menjengukorang sakit (belibet amat ya bahasanya).

Tipe pertama, orang datang menjenguk murni untuk memberi semangat dan mendoakan si pasien. Tak ada nasihat yang keluar dari mulutnya, hanya doa dalam hati dan kata-kata yang membesarkan hati pasien dan keluarganya.

Tipe kedua, orang yang sok tahu, hehehe. Banyak banget yang kayak gini. Contoh template kalimatnya adalah, “ Coba deh minum ramuan ini, banyak yang sembuh. Apapun penyakit yang diderita pasti sembuh. Itu Pak Dawet juga sembuh minum ramuan biji A dicampur dengan buah B. 
Mungkin benar, kalau untuk orang yang sehat ramuan itu akan menambah kebugaran, tapi untuk orang yang sedang menjalani perawatan medis, please atuh lah jangan sok tahu. Ketika seorang pasien sampai terbaring di rumah sakit, keluarga kan sudah memutuskan itulah yang terbaik bagi si pasien. Jangan nambah-nambahin atau ngerecokin. Bayangkan kalau saran orang itu diikuti, terus ternyata ramuannya bertentangan dengan obat yang diberikan dokter, gimana coba kalau si pasien bukannya sembuh malah tambah parah sakitnya, mau tanggung jawab?

Tipe ketiga, orang yang heboh sendiri. Contoh dialognya seperti ini.
A: Sakit apa? Kenapa bisa dirawat?
P alias Pasien: Jadi gini …
A: Sama kayak gue, waktu itu gue lagi di jalan tiba-tiba dada gue sakit, trus gue langsung ke rumah sakit. Dokter bilang #***&&&### … bla …bla … bla. 
P: Oh (mulai sadar diri)
A: Gue aja nggak nyangka kalo gue bisa  sakit kayak gitu ####++++&&&--@@@@ … bla … bla … bla
P: kok jadi dia yang cerita soal sakitnya sendiri (dalam hati tentunya).

Tipe keempat, suudzon sama yang sakit atau mengadu domba, contohnya seperti ini:
B: Jangan suka marah-marah makanya. Gue denger juga kemarin lu berantem di kantor sama si Nganu sampe lu kolaps begini.
P: Kata siapa?
B: Kata si Ngene begitu. Dia lihat kejadiannya..

Tipe kelima, suka menasihati. 
C: Sudah jangan terlalu capek kerja, jangan stres. Anggap saja sakitnya ini sebagai penghapus dosa. Yang ikhlas saja, yang sabar.
P: Kurang sabar dan ikhlas gimana ya saya? (hatinya menjerit)

Tipe keenam, yang pertama dilakukannya adalah foto bersama pasien, terus dishare ke WA Grup. Namanya sudah dicatat sebagai penjenguk. Padahal mungkin saja si pasien nggak mau wajahnya diabadikan ketika sedang sakit.

Tipe ketujuh, orang yang sangat dermawan. Selalu membawa oleh-oleh yang banyak. Dari mulai buah, makanan, sampai gado-gado (eh itu kan makanan juga).

Tipe kedelapan, silakan tambahkan sendiri.
Kalau kamu masuk tipe yang mana?

THANOS DAN EGOIS-NYA AVENGERS

 -Mohon maaf bagi yang belum nonton Avengers: Endgame, tulisan berikut berpotensi spoiler -


Karena si sulung suka banget dengan film-film Marvel, terutama Avengers series, terpaksalah kami sekeluarga juga ikutan nonton. Alasannya sederhana, kalo kakaknya nonton, adiknya pasti pengen ikut nonton. Karena kakaknya belum berani nonton berdua doang dengan adiknya, terpaksalah papa- mama-nya ikutan juga. Akhirnya ya setiap kali ada film Marvel terbaru, kami berempat pasti nyempetin nonton :D


*

Awalnya gue pikir masing-masing judul film-film tersebut berdiri sendiri, tidak ada kaitannya satu sama lain. Baru ngeh setelah ngeliatin si sulung yang 'tertib' banget mengulang lagi nonton dari mulai Captain America: The First Avengers  sampai dengan Infinity War sebagai persiapan sebelum nonton Captain Marvel. Hal tersebut diulangi lagi sebelum nonton Avengers: Endgame. Setelah ngeh pun, sebenarnya gue gak juga ngerti-ngerti banget, maklum...tiap kali nonton pasti ada sesi dimana gue molor hehehe, jadinya pasti ada scene yang terlewat. 

*

Sebelum film Infinity War, gue masih bersimpati dengan Avengers dan para pahlawannya. Ibarat kata, kalo gak ada mereka cemanalah nasib kita-kita ini, yeekaaann. Mereka susah payah, abis-abisan mempertahankan bumi dari serangan makhluk-makhluk dari planet-planet lain. Pertempuran demi pertempuran yang dipicu oleh nafsu untuk menguasai infinity stones. Ya, infinity stones-lah yang menjadi pangkal mula semua ini. Enam batu dengan kekuatan luar biasa itu adalah space stone, mind stone, power stone, time stone, reality stone dan soul stone. Batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri sudah memiliki kekuatan super yang luar biasa. Tidak sembarang makhluk mampu menahan kekuatan batu-batu tersebut. Pun demikian, kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dengan menguasai batu-batu tersebut telah membuat orang (alien) berusaha mencari dan memiliki batu-batu tersebut. Planet manapun yang ditengarai menyimpan batu tersebut pasti akan dijadikan sasaran serangan kelompok-kelompok alien yang mengincar kekuatan batu tersebut sekaligus menggunakannya untuk melakukan invasi dan mengakuisisi planet-planet lain, termasuk planet bumi.

*

Sejarah panjang perebutan infinity stones tersebutlah yang menciptakan sosok baik-sosok jahat, pahlawan-penjahat, Avengers-musuh avengers. Menjadikannya sekuel tontonan sepanjang 3000 menit dengan satu kesimpulan: Avengers adalah kumpulan pahlawan super yang baik versus Thanos gila yang dengan jentikan jarinya telah menghilangkan separoh isi semesta.  Avengers dengan segala drama, intrik dan semua kemegahan tak berbatas biaya versus Thanos yang cuma bermodalkan baju zirah dan helm non SNI.

*

Setelah menonton infinity war gue melihat sosok Thanos dari sudut yang berbeda. Apa yang salah dari seorang Thanos? Ambisi-nya kah? Kehancuran yang ditimbulkannya? Niat jahat-nya kah?. Benar bahwa Thanos ingin menguasai infinity stones, tapi apakah dia ingin menjadi penguasa alam semesta? apakah dia ingin mengakuisisi semua planet yang ada?. Jawabannya jelas TIDAK. Thanos tahu persis kekuatan dari infinity stones. Thanos juga paham niat dari semua yang ingin memiliki infinity stones yaitu ingin menjadi yang terkuat dan melakukan invasi kemana-mana. Semua itu menurut Thanos adalah masalah yang tidak akan pernah berakhir. Si kuat akan menindas yang lemah, yang lemah akan berusaha menjadi kuat untuk membalas. Begitu yang akan terjadi terus menerus dan tiada akhir. Keseimbangan alam semesta terganggu karena keserakahan penghuninya. Yang berlebih tidak mau berbagi jika tidak disembah, sehingga satu-satunya cara adalah dengan memiliki infinity stones; untuk mengamankan diri dan rakyat masing-masing. 

*

Kemampuan Thanos memahami masalah ini lah yang berbeda dengan Avengers. Avengers berinvestasi tiada batas (entah uang dari mana), mengumpulkan para pahlawan super, menciptakan senjata super canggih, semua demi bertahan dari serangan-serangan makhluk angkasa luar pimpinan Thanos. Avengers hanya tahu bahwa ditangan Thanos, infinity stones akan digunakan untuk menghilangkan separoh alam semesta. Avengers tidak mau tahu mengapa Thanos sangat berkeras melakukan hal tersebut.

*

Di akhir film infinity war, terlihat Thanos duduk tenang menikmati keheningan alam yang tenang dan damai. Tidak terlihat kepongahannya karena telah mengalahkan Avengers sekaligus berhasil memiliki ke-6 infinity stones. Apakah lantas Thanos menjadi raja? Apakah lantas Thanos menjadi penguasa di bumi? Atau di planet lainnya?. Apa yang dilakukan Thanos setelah menguasai infinity stones terjawab di film Avengers: Endgame yang semakin menguatkan keyakinan gue menjadi 'Tim Thanos'. Di film tersebut terlihat Thanos tinggal sendiri di planet terpencil. Bercocok tanam, menikmati keseharian dengan alam yang tenang dimana air mengalir jernih dan burung-burung berkicau merdu. Thanos bahkan memasak sendiri layaknya mahasiswa tahun pertama yang sok-sok berhemat saat jauh dari orang tua. Thanos memang menjentikkan infinity stones yang mengakibatkan separoh alam semesta hilang menjadi debu. Setelah melakukan itu dia lalu menghancurkan infinity stones, dengan risiko sakit dan cacat, syukur-syukur dia masih tetap bernyawa. Dia tak ingin masalah yang sudah dia selesaikan akan muncul lagi dengan keberadaan infinity stones. 

*

Apa yang terjadi kemudian adalah egoisme Avengers, baper dan gak bisa move on. Hawkeye yang tidak terima kehilangan anak istrinya kemudian menjadikan kehilangan tersebut sebagai pembenaran untuk membunuhi orang-orang jahat. Yang lainnya depresi karena tidak bisa menerima kenyataan mereka tidak cukup kuat untuk menghentikan Thanos. Mereka pun mengerahkan segala daya upaya untuk membalas kekalahan tersebut. Thanos dicari dan dihabisi, tapi itupun tidak membuat mereka bahagia. Mereka lalu mencari cara untuk kembali ke masa lalu, mengumpulkan infinity stones dan mengembalikan orang-orang kesayangan mereka ke posisi semula. Tindakan yang akhirnya memicu pertarungan epic antara Thanos dengan Avengers. Thanos datang dengan kekesalan yang sangat karena kedamaian alam semesta terusik kembali. Thanos kesal karena dia tidak pernah mempunyai sentimen pribadi dengan musuh-musuhnya. Dia tidak memilih siapa-siapa yang akan dihilangkan, semuanya acak sesuai keinginan infinity stones.  Thanos pun murka dengan keegoisan Avengers, sehingga dia memutuskan untuk menghapus semua sekalian, supaya tindakan Avengers tidak terulang lagi. Pertempuran Epic terjadi, singkat cerita Thanos kalah, Tony Stark pun akhirnya tiada, menyusul Nathalie yang mengorbankan dirinya demi mendapatkan soul stone. Kebahagiaan telah menyelamatkan alam semesta ternoda akibat kehilangan tersebut. Sebuah keadilan yang dipaksakan untuk menutupi sifat egois mereka terhadap Thanos.

*

Sikap gue mendukung Thanos ini mendapat protes dari anak istri di rumah, tapi pendirian gue tetap: Thanos hanyalah korban egoisme Avengers. 

Jakarta, 14 Mei 2019


Cantik

Kalau aku perhatikan, iklan yang menawarkan berbagai produk kecantikan selalu menggambarkan bahwa cantik itu identik dengan kulit yang berwarna putih. Bertebaran iklan produk kecantikan yang menjanjikan para perempuan akan memiliki kulit putih hanya dengan memakai produknya. Bahkan ada iklan produk pelembab kulit yang membandingkan kulit wajah seseorang yang belum memakai produk dengan mengotori lengan sang model sehingga warna kulitnya menjadi gelap dan setelahnya menjadi putih merona. Akhirnya semua orang digiring untuk memiliki kulit yang putih. Coba deh pergi ke toko kosmetik, pasti produk yang ditawarkan selalu ada bahan untuk memutihkan kulit baik wajah maupun tubuh. Akhirnya banyak sekali produsen yang menawarkan krim pemutih kulit dengan instan.
Itu sudah terjadi dari jaman aku masih sekolah dulu. Diawali dengan  kemuculan sebuah produk kosmetik yang menjanjikan kulit perempuan menjadi putih hanya dalam hitungan seminggu. Remaja-remaja perempuan seusiaku berlomba-lomba membeli produk itu. Ternyata setelah ditunggu sampai seminggu kemudian, kulit tubuh dan wajah tidak berubah menjadi putih seperti model-model yang mempromosikan produk tersebut.
Sekarang pun, dengan menjamurnya apa-apa yang berbau Korea, banyak sekali perempuan yang berharap memiliki kulit yang putih mulus seperti artis-artis yang muncul di drama korea. Begitu juga dengan kosmetik yang berasal dari sana langsung menjadi serbuan para perempuan Indonesia (termasuk aku tentunya, hehehe). Bahkan karena banyak perempuan Indonesia yang mendambakan kulit yang putih dan bersih, banyak juga muncul produk pemutih kulit yang tidak melalui proses uji kandungan produk di BPOM. Sudah banyak cerita tentang perempuan yang wajahnya menjadi rusak karena penggunaan krim pemutih yang tidak sesuai standar dan tidak melalui uji klinis resmi.
Begitu juga dengan produk pelangsing tubuh, bertebaran di media baik televisi maupun di media sosial. Setiap hari ada saja yang menawarkan berbagai produk pelangsing yang dengan instan bisa mengubah tubuh yang tadinya besar menjadi langsing. Dimulai dari pil sampai susu. Akibatnya banyak sekali perempuan yang selalu berusaha untuk jadi langsing dalam sekejap, lupa bahwa tubuh juga perlu nutrisi lain selain makanan/minuman atau produk apapun yang mengklaim bisa memenuhi nutrisi seluruh tubuh dalam sehari.
Propaganda yang dilakukan produsen produk-produk di atas sepertinya berhasil membuat sebagian besar perempuan di Indonesia menganggap bahwa cantik itu harus putih, tinggi dan langsing. Selain itu ya masuk kategori biasa saja. Di Indonesia tak pernah ada iklan produk kecantikan yang melibatkan model yang berkulit “eksotis” atau model untuk orang dengan badan yang agak besar, kecuali si pemeran hanya untuk dijadikan olok-olok samata.
Hal seperti Itu juga dialami anakku Anin.  Kebetulan Anin dikaruniai kulit yang “eksotik” dari lahir. Menurutku itu bukanlah kekurangan yang harus diperbaiki atau ditutupi karena setiap orang membawa bentuknya masing-masing. Tak perlu juga harus terintimidasi oleh propaganda-propaganda tentang standar kecantikan. Cuma memang propaganda itu sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang umum di pikiran banyak orang. Pengalamanku, setiap orang yang melihat Anin, kulihat alisnya sedikit mengernyit. Selalu ada komunikasi yang tak pernah kusukai.
“Kok agak gosong, ya?”
“Ah, emang anak saya gorengan dibilang gosong?”
“Kok agak gelap?”
“Ah terang kok, kan lagi nggak mati lampu”
“Kok beda sama ibunya?
“Ya bedalah, dia pribadi yang beda kok.”
“Nanti juga kalo udah besar pasti bisa merawat diri jadi bersih.”
“Lha, sekarang aja saya rawat kok, dan Anin tetep bersih. Emang anak saya kotor?”
Banyak lagi percakapan model begitu yang kuterima. Aku selalu menjawab setiap komentar yang kuterima dari orang yang melihat Anin. Kupikir tak penting juga mengomentari tubuh orang yang merupakan pemberian dari Sang Maha Pencipta. Aku memang tidak menyukai percakapan yang menjurus ke body shaming, seakan semua kehidupan hanya bertumpu pada kemolekan fisik. Menurutku sih tak penting membahas warna kulit orang apalagi kalau dikatakan didepan orangnya.
Untunglah Anin nggak mengalami rasa rendah diri walaupun dari kecil ia sudah terbiasa mendengar orang berkomentar soal warna kulitnya. Aku terus menyemangatinya soal kecantikan bukan hanya dimiliki oleh orang yang berkulit terang saja. Tak perlu merasa malu karena itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dipikirkan. Lebih baik memfokuskan diri pada hal lain yang positif dan berguna. Bahkan menurutku kulitnya itu cenderung ke eksotis. Sampai sekarang sih, tak pernah tercetus sekalipun dari mulut Anin penyesalan memiliki kulit yang eksotis. Tak pernah juga ia berusaha mencari krim pemutih kulit untuk wajahnya. Itu saja cukup buatku.
Makanya, ayolah kita mulai kurangi mengomentari bentuk fisik orang lain. Tak baik juga. Janganlah bercakap, berbasa-basi atau bercanda yang berlebihan yang mengomentari Bayangkan kalau orang yang kita komentari tersinggung kan gawat juga apalagi sekarang udah ada aturan yang melarang body shaming.

Pejuang Kuda Besi

Ini kisah kehidupan para pekerja urban di Jakarta dan sekitarnya. Iya, mereka adalah pejuang. Kenapa saya sebut sebagai pejuang? Iya karena mereka memang berjuang demi memberikan nafkah lahir untuk keluarga dan dirinya. Kenapa kuda besi? Ya karena kuda besi itu sebagai representasi motor dalam mencari nafkah itu. Trus kenapa pilihannya motor? Karena itulah moda yang paling efisien dalam menghantarkan tugasnya sebagai pejuang. Mari kita bahas sedikit menurut versi saya.

Sebutan pejuang ini layak saya pakai karena para pengguna motor ini memang mencari nafkah untuk memberikan nafkah bagi keluarga dan dirinya. Mungkin banyak pertimbangan kenapa pilihannya jatuh kepada kuda besi ini. Pertama kuda besi ini sangat mudah dimiliki dengan skema cicilan atau tunai. Kedua, kuda besi ini sangat efisien digunakan baik dari sisi waktu maupun biaya. Saya pernah menggunakan jasa kuda besi ini selama sebulan dan hasilnya sangat berbeda ketika saya naik commuter line. Saat naik commuterline waktu tempuh bisa lebih dari 1 jam dari Bekasi ke kantor di sekitar lapangan banteng. Jika naik kuda besi ini, saya hanya butuh waktu tempuh sekitar 1 jam meski berangkat dari rumah sekitar jam 06.30 dan absen handkey sekitar 7.30 WIB. Soal biaya, tetap lebih murah dengan kuda besi. Saya hanya butuh biaya per minggu sebesar Rp50.000,- untuk bahan bakar. Jadi kalau sebulan, ya tinggal dikalikan 4 minggu sekitar Rp200.000,- Hal ini jauh berbeda dengan naik commuterline. Biaya parkir motor di stasiun sekitar Rp5.000,- Naik ojek dari stasiun tujuan ke kantor dan sebaliknya Rp20.000,- Jadi kalau seminggu sekitar Rp125.000,- atau sebulan sekitar Rp500.000,- Jadi sangat jauh sekali bukan? Itu dari sisi biaya.

Dari sisi waktu, saya pernah juga menggunakan motor dari Bekasi sekitar 6.45 dimana lokasi tempat tinggal saya di Bekasi Kota yang tidak dekat dengan perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Itupun bisa absen di kantor sekitar pukul 7.45 dan ini sangat efisien sekali. Jika dibandingkan dengan kereta, biasanya jika saya berangkat dengan jadwal kereta 6.40 kemungkinan absen sekitar 7.45 atau lebih. Jika lebih, biasanya commuterline-nya tertahan saat akan masuk di stasiun Jatinegara, Manggarai dan Gondangdia. Nah kalau ini sudah terjadi, biasanya saya akan telat absen di atas jam 8.00 pagi.

Sisi risiko, tetap lebih besar risiko mengalami kecelakaan dengan kuda besi dibanding moda transportasi lain. Iya menggunakan commuterline, berdasarkan data-data kecelakaan lalulintas tidak banyak yang menjadi korban. Pernah beberapa kali terjadi kereta commuterline menabrak kendaraan yang melintas rel kereta api. Namun jumlah korbannya tidak sebanyak pengguna kuda besi. Kalau soal risiko jelas kuda besi menjadi peringkat pertama dalam hal kecelakaan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kuda besi ini berada di peringkat teratas dalam hal kecelakaan dalam berkendara. Pertama adalah emosi para pejuang yang menyebabkan lajunya kendaraan di luar kontrolnya. Kedua para pejuang cenderung abai terhadap peraturan dan rambu lalu lintas. Ketiga adalah perlengkapan keselamatan yang jarang digunakan sesuai dengan ketentuan berlalu lintas.

Berdasarkan beberapa fakta diatas, saya mengapresiasi para pejuang kuda besi ini terlepas dengan faktor kemudahan memiliki kuda besi, efisien dari sisi biaya dan waktu, adanya risiko yang setia mengintai dan pertimbangan efisiensi dari sisi moda transportasi lain. Semua kembali kepada masing-masing individu para pejuang ini. Karena apapun langkah yang akan kita ambil dan lakukan, mulailah dengan hati yang senang dan bersih. Apapun yang kalian lakukan demi keluarga dan diri anda untuk mencari nafkah dengan moda transportasi apapun, tetaplah pejuang. Selamat berjuang para pejuang.

Cerita ini juga dapat dilihat pada laman berikut : https://rulyardiansyah.blogspot.com/2017/12/pejuang-kuda-besi.html

Efisiensi Pak Jokowi (Tanggapan atas tulisan SuamiSIAGA)

Sedikit tergelitik untuk menanggapi tulisan SuamiSIAGA disini. Dalam tulisannya disebutkan bahwa berdasarkan analisa data yang ada, kegiatan-kegiatan Kementerian/Lembaga masih tergolong kegiatan produktif; dalam artian komposisi biaya utama dan biaya pendukung masih dalam rasio yang wajar. Hal ini tentunya berbeda dengan pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan daripada belanja inti, dengan memberikan contoh kasus biaya pemulangan TKI. Meskipun hal tersebut merupakan pendapat pribadi si penulis, tapi menurut saya pendapatnya menarik untuk dikritisi.
.
Pertama, tentang data. Pak Jokowi secara gamblang membandingkan antara biaya pemulangan TKI yang hanya 500 milyar dengan biaya rapat dan lain-lain yang berjumlah 2,5 milyar. Data ini menurut penulis adalah data di tingkatan komponen dalam artian berbicara di level input.  Masih menurut penulis, sesuai konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya kita tidak berbicara di level input lagi;
.
Kedua, tentang sudut pandang. Masih terkait dengan hal yang pertama, dalam pendapatnya, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Pak Jokowi. Penulis secara tersirat mengharapkan agar kasus pemulangan TKI tidak hanya dilihat dari perbandingan biaya pemulangan dengan biaya rapat dan lain-lain, tetapi seyogyanya juga dilihat ke dampak yang lebih besar dari sekedar perbandingan tersebut;
.
Menanggapi hal tersebut di atas, menurut saya apa yang disampaikan Pak Jokowi sudah tepat. Meskipun apa yang disampaikan beliau ada di dalam komponen/level input namun saya yakin beliau sudah mengetahui dan mempertimbangkan kasus pemulangan TKI tersebut secara komprehensif. Ketika beliau membandingkan biaya pemulangan TKI (yang menurut beliau biaya inti) dengan biaya rapat dan lain-lain, seharusnya Kementerian/Lembaga menangkap keinginan dan pesan beliau tentang efisiensi, tentang rasionalisasi belanja untuk menghasilkan suatu output dan outcome.  Sehingga saya berkesimpulan bahwa pendapat beliau tersebut hanyalah penyederhanaan permasalahan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
.
Terlepas dari hal tersebut di atas, saya mengapresiasi tulisan kritis SuamiSIAGA karena hal tersebut dapat membuka suatu diskusi baru mengenai justifikasi biaya utama dan biaya pendukung beserta komposisi yang ideal-nya. Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, komposisi tersebut ditetapkan melalui suatu perhitungan statistika dengan asumsi-asumsi tertentu.

Semoga bermanfaat.


Jakarta, 28 Desember 2017

   

Sedikit Pendapat Untuk Pidato Presiden Joko Widodo Dalam Acara Penyerahan DIPA TA 2018

Entah kenapa jadi ada ide buat nulis lagi walaupun peristiwanya sudah beberapa minggu yang lalu, tapi baru sempat ditulis sekarang. Awal mulanya karena rekan diruangan ada yang lagi ngobrolin pidatonya Presiden Joko Widodo saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada tanggal 6 Desember 2017 di Istana Kepresidenan Bogor. Sebelumnya saya sudah sempat lihat video itu, tapi jadi semakin penasaran mau menggali lebih dalam khususnya saat Pak Jokowi menyampaikan butir terkait dengan efisiensi. Pak Jokowi kurang-lebih mengatakan seperti ini, “efisiensi perlu dilakukan pada belanja operasional, honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lain sebagainya. Teliti saat pertama kali menyusun RKA-K/L. Setiap kegiatan terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan, dan kegiatan intinya adalah pada tahap pelaksanaan, sedangkan yang terjadi di K/L adalah anggaran lebih besar di tahap persiapan atau dapat dikatakan bahwa belanja pendukung lebih dominan dibandingkan belanja intinya. Contohnya adalah pemulangan TKI dengan anggaran Rp3 miliar, biaya pemulangan sebesar Rp500 juta, sedangkan sisanya sebesar Rp2,5 miliar digunakan untuk kegiatan rapat dalam kantor, rapat koordinasi, perjalan dinas, keperluan ATK, dan lain sebagainya.”

Berdasarkan pernyataan beliau, muncul penasaran dibenak saya, apakah memang demikian kondisi yang terjadi pada Kementerian/Lembaga di negeri ini. Kalau pun memang demikian, apa yang harus dilakukan?????

Saya mencoba menggali dengan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Anggaran, dalam menghasilkan suatu output berupa barang atau jasa, maka diperlukan biaya komponen yang sifatnya utama dan pendukung. Sebelum menunjukan data yang ada, saya akan sedikit menyampaikan mengenai definisi komponen utama dan komponen pendukung sesuai dengan PMK Nomor 94 Tahun 2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA.

Komponen Utama merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Komponen utama merupakan aktivitas yang hanya terdapat pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis dan merupakan biaya variabel terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan.
Komponen Utama = Output Teknis (yang biayanya berpengaruh langsung terhadap volume output).
Komponen Pendukung merupakan semua aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan generik dan aktivitas Keluaran (Output) Kegiatan teknis yang nilai biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume Keluaran (Output) Kegiatan. Seluruh aktivitas dalam Keluaran (Output) Kegiatan generik merupakan komponen pendukung.
Komponen pendukung pada Keluaran (Output) Kegiatan teknis digunakan sebagai biaya tetap terhadap Keluaran (Output) Kegiatan yang dihasilkan, misalnya komponen desain, administrasi proyek, pengawasan, dan sejenisnya.
Komponen Pendukung = Output Generik + Output Teknis (yang biayanya tidak berpengaruh langsung terhadap volume output).

Sesuai dengan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Anggaran, secara total belanja Kementerian/Lembaga selama periode TA 2016 dan TA 2017, komponen utama komposisinya lebih tinggi dari komponen penunjang, bahkan pada TA 2017, perbandingan komposisi antara komponen utama dengan komponen penunjang adalah 61,1% dibanding 38,9%. 




sumber : Direktorat Jenderal Anggaran


Data pada tingkat komponen menunjukan bahwa secara total anggaran Kementerian/Lembaga masih dalam kondisi yang baik apabila dilihat dari biaya komponen utama dan komponen pendukungnya. Ini artinya bahwa, belanja pemerintah pusat sebagian besar digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat produktif. Secara teori, saya sendiri belum menemukan yang menyatakan secara terang-terangan komposisi yang ideal antara biaya utama dengan pendukung. Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah semakin kecil biaya pendukung maka secara total belanja akan lebih efisien.


Kembali kepernyataan Pak Jokowi sebelumnya, yang disampaikan beliau adalah hal-hal rinci yang tingkatannya ada di dalam komponen. Dengan adanya konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, seharusnya tidak lagi mengontrol input tetapi orientasi pada kinerja (output and outcome oriented). Input dapat dikontrol dengan mendorong Kementerian/Lembaga untuk menyusun Standar Biaya Keluaran secara penuh pada dokumen RKA-K/L. Kemudian pemantauan dan evaluasi dilakukan pada Kementerian/Lembaga dengan melihat kinerja melalui capaian indikator-indikator kinerjanya. Sehingga ketika dilakukan rasionalisasi anggaran saat tahun berjalan maupun penyusunan anggaran pada tahun yang direncanakan, efisiensi anggaran dapat dilakukan pada kegiatan (level komponen sampai dengan output) yang tidak berkinerja sesuai dengan hasil pemantaun dan evaluasi tanpa melihat input-nya.

Pendapat saya ini memang berbeda dengan apa yang disampaikan Pak Jokowi, saya tidak akan melihat input-nya, tetapi lebih jauh lagi, bagaimana outcome jangka pendek hingga outcome jangka panjang (impact) dapat tercapai. Ketika ada outcome yang tidak tercapai, maka evaluasi output-nya maupun activity didalamnya. Bahkan apabila terdapat output yang tidak memberikan dampak, maka dapat direkomendasikan untuk di-drop.

*ini hanya pendapat pribadi penulis, kondisi nyata yang terjadi pada penulis bisa saja tidak demikian adanya.