Tampilkan postingan dengan label Demi Masa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demi Masa. Tampilkan semua postingan

Demi Masa (3), Pegawai Baru

Pukul 22.00

Tina membaca ulang pekerjaannya. Matanya terasa berat karena dari sore ia fokus mengerjakan tugas yang dititipkan oleh Ponco kepadanya. Dibawanya kertas kerja yang telah diselesaikannya ke cubicle Adnan.
Setelah dipersilakan, Tina duduk menghadapi Adnan. Kertas yang dipegangnya beralih ke tangan Adnan.
“Pak, boleh saya bicara dulu?” tanya Tina.
“Boleh-boleh aja sih, cuma kan ini udah larut, kamu nggak pengen pulang?”
“Ah, Bapak. Biasanya juga nggak peduli kok saya pulang malam  atau bahkan pagi,” sindir Tina
“Hehehe, ya nggak gitu juga kali,” Adnan tertawa kecil.
“Oke…oke, apa yang mau dibicarakan?” sambung Adnan.
“Masalah sensitif sih pak. Bapak jangan marah ya…..,” Tina agak ragu melanjutkan bicara.
“Kamu hamil?” mata Adnan melotot ke arah Tina.
“Makanya jangan bergaul bebas gitu, Tin. Nanti jadi aib semuanya. Kan saya juga…..,” belum sempat Adnan melanjutkan omongannya Tina memotong perkataan Adnan.
“Ya Allah, Pak. Tega ya Bapak nuduh sembarangan. Amit-amit jabang bayi,” tangan Tina mengetuk-ngetuk meja.
“Gini-gini rumah saya deket mushola, Pak.”
“Lha apa hubungannya?” jidat Adnan yang udah penuh kerutan alami semakin berkerut.
“Bapak sih. Fokus pak ke masalah. Ini udah malam juga,” Tina menarik nafas sejenak.
Suasana hening karena semua pegawai sudah meninggalkan kantor, menyisakan mereka berdua. Adnan memandang Tina, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Tina.
“Gini Pak, akhir-akhir ini kan sering banget nih saya pulang malam, padahal kan saya juga punya kehidupan lain selain kantor. Saya juga pengen bersosialisasi dengan keluarga dan juga pacar saya, tapi kok ya sekarang ini kerjaannya jadi dobel gitu. Saya kewalahan, Pak.”
Tina terdiam sesaat. Tangannya mempermainkan pulpen yang dipegangnya. Adnan masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Di sisi lain, Mas Ponco kok enak bener ya. Sering ijin dan nggak pernah selesai kalau dikasih tugas, tapi penilaian kinerjanya selalu bagus. Parahnya lagi, dia mendapatkan bonus atas pekerjaan yang tidak dikerjakannya. Bukan soal bonusnya sih Pak, tapi kejadian tadi pagi bikin saya sedikit terganggu,” terang Tina.
Tina merasa lepas dari beban yang dirasakannya sejak pagi saat Ponco memamerkan jumlah bonus yang didapatnya. Tina mengharapkan Ponco bisa berlaku tegas terhadap Ponco.
“Gini ya, Tin. Mungkin karena kamu belum menikah jadi kamu nggak paham,” ujar Adnan.
Raut wajah Tina berubah dari plong menjadi bingung kemana arah pembicaraan Adnan. Ia merasa tak hubungannya antara status pernikahannya dengan kondisi yang terjadi di ruang kerjanya saat ini.
“Kenapa Ponco tetap mendapatkan haknya penuh walau dia nggak perfom akhir-akhir ini?”
“Ya mana saya tahu….,” suara Tina meninggi.
“Kamu nih emang tukang ngebut ya, sukanya ngegas kalo bicara. Sabar.”
“Langsung aja ke pokok masalah, Pak,” wajah Tina cemberut.
“Ponco itu punya istri dan anaknya banyak. Bayangin kalau dia nggak dapet bonus? Ya mereka nggak bisa dapet tambaha. Siapa tahu dia perlu buat bayar sekolah atau bayar utang atau juga dia pengen sesekali nyenengin istrinya.”
Tina melongo mendengar perkataan Adnan. Ia heran dengan pola pikir atasannya itu.
“Terus Bapak nggak kasihan sama saya?” tanya Tina.
“Kamu kan belum punya tanggungan apa-apa, Tin. Toh kamu dapat juga kan?”
“Pak, mohon maaf banget bukan saya lancang. Tapi tolong Bapak resapi, apakah orang yang sehari-harinya tidak bekerja tapi dia selalu dapat keuntungan, apakah bisa dikatakan kantor ini sehat?”
“Sudahlah Tin, berbaik sangka aja. Bekerja ikhlas aja ya. Udah malam ini. Pulanglah, langsung tidur biar pikiranmu jadi tenang,” ujar Adnan.
“Bukan soal ikhlas atau tidak ikhlas, juga bukan soal saya iri dengan bonus yang didapat Mas Ponco, saya ingin kantor ini jadi tempat kerja yang nyaman buat semua pegawai, Pak.” Tina berdiri dari kursi.
“Saya pamit ya, Pak.”
“Oya, Tin kayaknya besok bakalan datang pegawai baru. Lumayan lah walau jumlahnya nggak sesuai yang kita minta, minimal bisa bantu kamu, biar kamu nggak stress. Oya kamu jadi mentornya ya, sampai dia bisa kerja,” senyum Adnan diujung kalimat bikin Tina tambah sebal.
“Kenapa bukan Ponco sih, Pak?”
“Nggak bakalan bener dan nggak ada discuss ya.”
“Hmm,” Tina keluar cubicle Adnan dengan perasaan kesal.
“Sampai jumpa besok, Tin. Take care,” teriak Adnan ketika Tina sudah mengambil tasnya. Tina tidak menyahut salam Adnan, hanya mengangkat tangan kanannya dari belakang diatas punggungnya. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Adnan sendirian.
“Anak itu terlalu idealis, tapi apa yang diomongin bener juga sih. Gue juga nggak puas dengan  si Ponco. Cuma kalo ngotak ngatik si Ponco alamat bos besar marah nanti,” Adnan bergumam dengan perasaan tak menentu.
*****
Keesokan Harinya, Pukul 08.00

“Selamat pagi, Bu.”
Tina kaget ketika ada seorang perempuan muda yang keluar dari cubicle Adnan.
“Pagi, kamu siapa?” tanya Tina sambil menghampiri perempuan itu.
“Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, perkenalkan nama saya Priscilla Adinata, biasa dipanggil Cilla. Saya pegawai baru yang ditugaskan di divisi ini untuk membantu Bu Tina,” ujar Cilla dengan logat Jawa yang masih medok.
Tina meneliti Cilla dengan seksama. Cilla berperawakan mungil. Lumayan rapi penampilannya. Hijabnya senada dengan pakaian yang dikenakannya. Sikapnya antara malu atau takut berhadapan dengan Tina yang kelihatan sangar pagi itu.
“Kamu nggak usah takut gitu lihat saya. Saya nggak galak kok. Kamu lulusan dari mana?” tanya Tina.
“Sebelumnya mohon maaf lahir batin, bolehkah saya duduk. Dari pagi saya belum sarapan, minumpun tak sempat sehingga saya agak lemas pagi ini.”
Cilla berkata dengan pelan dan lambat membuat Tina melongo. “Mudah-mudahan anak ini cuma ngomongnya aja yang lambat bukan kerjanya,” doa Tina dalam hati.
“Duduk deh, kamu duduk didepanku aja. Lain kali sebelum kerja, perutmu harus udah full, jangan kerja dalam kondisi lemes, nanti nggak konsentrasi. Oya, panggil aku mbak Tina aja nggak usah formal-formalan manggil Ibu, oke?” Cilla duduk di kursi yang ditunjukkan Tina.
“Bu, eh Mbak, apa saya boleh menyimpan tas diatas meja?”
“Ya simpan aja, itu kan mejamu. Selama kamu bekerja di sini, mejamu itu wilayah kekuasaanmu. Kalau mau minum minta gelas ke Mamang Jajang, OB di sini. Nah galon di sebelah sana,” Tina menunjukkan tempat menyimpan galon.
“Terima kasih banyak, Mbak Tina. Mohon maaf lahir batin kalau saya merepotkan.”
“Ngapain sih kamu minta maaf melulu sama aku. Kan kita baru ketemu, dosamu belum banyak ke aku.” Cilla tersenyum dan meletakkan tasnya diatas meja.
Tina memberikan beberapa bahan untuk dipelajari Cilla. Ia mulai mengajari Cilla bagaimana membuat surat penawaran sederhana kepada klien perusahaan mereka.
Sampai akhirnya Tina membiarkan Cilla bekerja sendiri. Tugasnya sendiri harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Tina berusaha konsentrasi sambil menunggu hasil kerja pertama dari Cilla.
Tak terasa sudah dua jam waktu berlalu dan Cilla belum juga menyerahkan hasil pekerjaannya. Tina berdiri menengok ke arah Cilla.
“Mohon maaf lahir batin Mbak Tina, belum saya kerjakan. Ada tulisan yang ndak terbaca. Saya takut sekali mengganggu Mbak Tina yang sedang kerja,” suara Cilla pelan dan terdengar ketakutan.
“Masya Allah, cobaan apa lagi ini?” Tina berteriak ke arah Cilla.

(Bersambung)
*Tokoh dan Peristiwa Hanya Fiktif

Demi Masa (2)

Pukul 17.00

“Tin, gue tunggu di kafe  Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil  tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik.  Wait for me, Mas Agung  sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.

Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.

Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****

“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
 Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****

Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30

“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil  nyengir.
*****

“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****

Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.

*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.



Demi Masa

Pukul 7.30

Adnan duduk menghadapi layar monitor di ruangan kerjanya. Pada waktu ini  seharusnya para stafnya yang berjumlah dua orang sudah duduk di kursinya masing-masing.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Adnan menjawab sapaan Tina, salah satu stafnya yang baru saja muncul di ruangan. Tinggal Ponco yang belum datang. Adnan sangat mengharapkan kehadiran Ponco karena ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan Ponco dan harus selesai besok.
“Kamu nggak bareng Ponco, Tin?”
“Nggak, pak. Paling dia lagi nongkrong di kantin. Ngopi,” jawab Tina.
Satu jam berlalu, Ponco belum juga menampakkan diri di hadapan Adnan. Adnan mulai was-was. Ia mengirimkan pesan kepada Ponco agar segera masuk ke ruangan. Sampai setengah jam berlalu tak ada jawaban dari Ponco.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Adnan dibuat khawatir oleh Ponco. Banyak sekali pekerjaan yang akhirnya harus diselesaikan oleh Adnan sendiri karena Ponco tak sanggup menyelesaikannya.

Pukul 9.30
Ponco muncul di ruangan  dengan muka yang datar seperti biasanya. Adnan menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri agar tidak emosional di hadapan Ponco. Dia tak ingin Tina menangis kalau melihatnya marah.
“Kamu nggak membaca pesanku ya?”
“Maaf pak, seru tadi bahasannya soal promosi staf jadi supervisor. Siapa tahu saya bisa masuk kriteria, hehe.”
Ingin sekali rasanya Adnan memukul kepala Ponco dan berkata,  “sadar diri kenapa, lebih sering malesnya daripada benernya,” tapi Adnan hanya bisa meringis ngilu-ngilu kesal mendengar omongan Ponco.
“Kerjaan kemarin mana? Besok due date lho. Kalo nggak selesai besok, tim kita bakal kena pengurangan poin dan itu akan mengakibatkan pengurangan bonus akhir tahun lho,” ujar Adnan sambil berdiri didepan meja Ponco.
“Sebentar, pak. Saya mau mandi dulu. Tadi abis olahraga,” Ponco mengambil tas ransel yang berada dibawah mejanya.
“Ya ampun, jadi dari pagi tadi belum mandi?” suara Adnan sudah mulai menaik. Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Ponco berlari keluar dari ruangannya. Adnan hanya bisa mengelus dadanya.
****

 Pukul 10.00
Ponco kembali ke ruangannya. Ia membuka layar komputernya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata istrinya menelpon. Ponco meninggalkan ruangannya dan menerima telpon di toilet.
“Kemana lagi si Ponco itu, Tin? Kerjaan dari kemarin nggak beres-beres.” Tanya Adnan dari tempat duduknya.
“Tadi ponselnya bunyi, pak. Terus dia nerima telponnya di luar. Rahasia kali, pak,” jawab Tina sambil terus mengetik dokumen.
“Ya Allah, salah apa saya selama ini hingga punya staf kayak begini?” Adnan berbicara dalam hatinya sambil garuk-garuk kepala.

Jangan  lupa selesaikan laporan penjualan besok ya Pak Adnan, biar bonus tim kita bisa naik, minimal nggak berkurang dari tahun lalu.
Adnan membaca yang pesan masuk dari Charles, kepala divisi yang merupakan atasan Adnan.

Baik, pak.
Adnan mengetik jawaban sambil terus memandangi meja Ponco yang masih kosong. Jarum jam terus melaju. Terasa sangat cepat bagi Adnan.

Pukul 10.30
Ponco masuk kembali ke ruangan. Adnan kembali menagih laporan yang harus diselesaikan Ponco.
“Tenang, bos pasti selesai kok. Sabar, ya. Orang sabar disayang Tuhan.”
“Cukup! Saya tak mau dengar lagi kamu bicara. Selesaikan laporannya!” suara Adnan mulai tinggi melihat Ponco begitu santai seakan tak ada deadline yang menunggu.

Pukul 11.00
“Pak, saya ijin makan dulu ya. Sebentar lagi kan jam istirahat. Abis itu saya mau sholat di mesjid.  Nah setelah itu saya selesaikan deh laporannya. Tenang aja sedikit lagi beres kok.”
Mata Adnan melotot melihat ketenangan Ponco. Rasanya tak yang lebih melelahkan di dunia ini selain berhubungan dengan Ponco.
“Bukannya tadi kamu menghabiskan waktu banyak di kantin? Masih belum cukup? Lagipula ini kan masih jam sebelas, waktu istirahat masih lama,” Adnan sudah lupa akan niatnya tak membuat Tina menangis. Emosinya meledak saat itu.
“Sabarlah, bos. Jangan juga bos menghalangi saya makan dan sholat. Kalau saya pingsan gimana? Trus kalo saya masuk neraka karena nggak sholat siapa yang dosa? Ya bos juga lah.”
“ Ya nggak gini juga, Ponco. Makan dan sholat itu ada waktunya.”
“Sudah ya bos, biar saya tenang ijinkan saya dulu. Kerjaan pasti kelar setelah ini.”
Tak menunggu Adnan bicara Ponco keluar ruangan meninggalkan Adnan yang semakin emosi.

Pukul 14.00
Ponco mulai mengerjakan laporannya. Adnan lega karena sesuai janjinya, Ponco akan menyelesaikan laporan sore ini. Tiba-tiba terdengar suara Ponco bicara sendiri.
“Rasain lu, pake rompi oranye. Koruptor gila nggak punya malu,  ngabisin uang rakyat.
Adnan bangkit dari kursinya dan menghampiri Ponco. Ia berdiri di belakang Ponco. Ternyata Ponco sedang menonton berita dari youtube.
“Laporanmu mana?”
“Ini juga penting, bos. Orang kok berani korupsi. Nggak takut apa anak bininya dikasih makan uang haram?”
“Lha, kalo kamu nggak kerja tapi digaji apa bukan korupsi juga?” tanya Adnan sebal.
“Beda dong, bos.”
“Sama aja! Kalo nggak bisa ngerjainnya sini biar saya yang ngerjain,” ujar Adnan.
“Nggak usah, saya aja. Dikit lagi kok,” jawab Ponco sambil nyengir.
“Mana wujudnya?”
“Sebentar,” Ponco mematikan youtube dan mulai mengetik kembali pekerjaannya.

Pukul 15.00
“Kok meja si Ponco kosong, Tin?”
“Katanya dia mau beli buku dulu buat anaknya, pak,”jawab Tina.
“Astaghfirullah, saya tinggal meeting sebentar saja si Ponco udah ngilang aja. Kepala saya langsung migren.”
Detik demi detik Adnan menatap jam di dinding. Ratusan pesan dia kirimkan  kepada Ponco tanpa ada jawaban. Sampai akhirnya hari telah gelap dan Ponco tak kembali ke kantor.

Keesokan harinya
“Halo. Ya Ponco? Udah selesai kan kerjaannya? Kirim ke saya sekarang ya.”
“Apa? Kamu nggak masuk? Hah? Nganter istri ke rumah mertua?”……dan ponsel Adnan pun jatuh dari genggamannya. Gelap terasa dunia…..

Awal tahun berikutnya
“Pak saya mau protes nih….”
“Ada apa?”
“Kok tahun ini saya nggak dapat bonus tahunan. Gimana dong saya udah janji mau beliin istri saya perhiasan.”
“Pikir aja sendiri, jangan tanya saya,” Adnan pun meninggalkan Ponco yang gundah.

Depok, 16 September 2019
*Tokoh dan kejadian hanyalah fiktif belaka