Tampilkan postingan dengan label Ekopandu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekopandu. Tampilkan semua postingan

TETANGGAMU

Tetangga sebelah mendadak kaya,
dapat hadiah, bertumpuk uang tunai
dari undian minyak goreng

rumahnya dibagusin, 

beli segala barang mewah

termasuk seperangkat gitar dan bas,

plus sound system komplet, mahal.


gonjrang-gonjreng, damdem-dandem,

jingkrak-jingkrak, nyanyi-nyanyi,

bikin single lagu, terus viral

tiap hari. Berisik.


bukannya tobat, 

kemarin malah nambah beli drum,

merek baru, kualitas super,

bisa bikin album laris

tiap hari. Berisik.


Dasar tetangga berisik,

atau tetangganya yang gak punya tutup kuping?



- ekpan - puisi dan sepak bola - 11052022


MU

Benteng setan jebol, berkali-kali
diumpat: setan!!!

muka setan yang merah merona,

memucat masam, berkali-kali


setan tenan.




- ekpan - puisi dan sepak bola - 10052022

MENCARI PUISI (di hari puisi)



kelopak mata belum juga terbuka lebar
gelagapan mencari puisi ke sudut-sudut kamar

ternyata sedang duduk-duduk santai di selasar
asyik berkelakar dengan mentari yang baru saja keluar

"Puisi yang satu lagi mana?"
aku menanyakan pada puisi pertama

di kejauhan tampak dia melambaikan tangan bersama dedaunan
hijau berkilau setelah semalaman mendesau

terdengar cicitcuit dari atap-atap rumah yang seperti saf salat
menemani puisi yang bersiap rapat

"Puisiku masih kurang satu, ada yang tahu?"
coba kutanya pada dunia dan mereka

"Dia masih lelap dalam gumpalan gelap 
di bawah rongga dada"
serempak jawaban terlontar kompak

kunyalakan lampunya
puisi terbangun dari gulita
dan bergegas menyiapkan rasa.



/ekp --- 26 Juli 2021

MENGEREK BENDERA

Aku mengerek bendera,

Naik menggapai atap dunia,

Di balik silau sang surya,

Diiringi lamat-lamat berita durja,


Aku mengerek bendera,

Meraih temali menyusuri tiang tinggi,

Tercekat nada rintih air mata,

Berkibar setengah lalu terhenti,


Aku terus mengerek bendera,

Memaksa sekuat daya,

Acuhkan peluh tak reda,

Turun gemericik seirama Indonesia Raya,


Dua orang datang membawa seka,

Berhitung satu, dua, tiga,

Bersama mengantarkan sang saka,

Melihat merdeka dari atas sana.


Kami mengerek bendera.


(Ekpan, 17 Agustus 2020)

SUDAH JULI

Baskom hijau tengadah di bawah atap temaram,
Setia mendoa hujan bulan Juni membasuhi,
Meski sudah bulan Juli,

Menadah air yang mencintai dengan sederhana,
Basah sebelum sempat menyeka,
Kering tanpa pernah mengusap,

Menahan tumpah, dari deras awan yang mencair,
Didera dingin yang tak membawakan jaket tebal,
Hanya helai kain putih tiga lapisan,

Hujanmu kini sudah terhenti,
namun terus saja merinai,
di sela-sela hujan kami,
Melapisi dinding baskom dengan kerak sajak,
Melekat abadi.

RINDU MAL


Suara kalian menggema penuhi telinga,
Sayup terdengar dentingan musik menambah berisik,
Sesekali toa menganga memanggil nama,
atau sekedar menyemat serangkai maklumat
sembari melontarkan persen harga potongan,

Terus saja jejakku menjejak,
Menyusuri mengkilat ubin berkotak-kotak,
Menjadi pematang deretan kedai beranak pinak,
Yang terkadang suaranya kompak berpaduan:
“Silakan, Kakak!”
“Nyari apa, Kakak!”
“Mampir dulu, Kakak!”
Sungguh sosok adik yang durhaka,
Seolah-olah ramah, tapi minta uang di belakangnya,

Aku hanya menggelengkan kepala,
Memasang senyuman dari logika,
Melangkah tanpa perlu petunjuk arah,
Lalu memilih singgah pada segelas kopi gula merah,
Duduk menyeruput dengan pandangan tak luput,
Bergumam sendiri: “Wah, sungguh gadis yang imut!”

Hingga tatapan beradu membuat beringsut,
Dia menghampiri nyaliku yang mulai menciut,
Perlahan mendekat dan makin dekat,
Berdiri diam lima sentimer di seberangku,
Lalu menuangkan segelas kopi gula merah,
Keras menerpa kulit wajahku,

Aku hanya terdiam sambil menyeka,
Mengatur nafas gelagapan,
Tak berani melirik matanya,
Dia sekejap membuyarkan: “Ngimpikno Sopo?”

Prapatan: Prapto dan Prapti dalam Tulisan (Cerita Fiktif Belaka)

SALAH SASARAN

Prapto dan Prapti memutuskan membangun biduk rumah tangga pada empat bulan silam. Terhitung masih pengantin baru, kedua insan ini senantiasa diselimuti perasaan rindu yang menggelora. Keduanya masih terbuai dalam pusaran kasmaran yang memang membuat ketagihan.

Sayangnya tuntutan pekerjaan dan kerasnya ibu kota membuat intensitas pertemuan mereka menjadi tak total. Waktu mereka lebih banyak berkutat di jalan, kantor dan peraduan. Untung di zaman sekarang berbagai media sosial bisa memudahkan segala urusan, pun mengungkapkan perasaan.

Prapto dan Prapti menjaga kualitas komunikasi dengan rutin berbalas pesan whatsapp tiga detik sekali. Hal yang serupa terjadi di akun media sosial mereka yang lain. Berbagai tulisan nyata menunjukkan yang dirasa. Mulai dari rindu, cinta, hingga sindir-sindiran berbau romansa. Semuanya demi menjaga manisnya berumah tangga.

Siang ini Prapti sungguh merasa lelah. Berkas-berkas pekerjaan masih menumpuk di mejanya. Meskipun dari pagi hari sudah bersusah payah tapi sepertinya tumpukan kertas di meja tak kunjung musnah. Untuk sekadar mengendurkan kepenatan, terpikir untuk memainkan musik perlahan. Dipilihlah daftar lagu yang masih tersimpan agar bisa segera didengarkan.

"Astaghfirullahaladzim," ucap Prapti lirih saat tersadar.

"Kemarin kata pak ustadz, musik kan gak boleh," seketika Prapti mematikan dan membatalkan niatnya.

Menghibur diri dan mengalihkan perhatian, akhirnya Prapti mengambil ponselnya dan membuat status whatsapp.
"Kangeen The Groove"

Di sisi kota Jakarta yang lain, Prapto sedang duduk santai di meja kerjanya. Pekerjaannya hari ini relatif tak menguras pikiran. Di siang hari yang terik Prapto juga masih terlihat segar karena pendingin udara di ruangannya baru saja diganti. Dalam kesenggangan, Prapto menengok ke arah ponselnya yang baru tiga detik yang lalu diletakkan.

"Wuih, bojoku bikin status whatsapp," bisik Prapto dalam hati.

Sejenak Prapto merenung dan mengernyitkan dahi, kemudian bergumam, "sejak kapan aku diberi panggilan the groove sama Prapti?"

Dengan cekatan Prapto langsung membalas status istrinya itu, "Tenang honey, The Groove ba'da maghrib sudah sampai rumah"

Prapti heran menerima balasan whatsapp dari suaminya. Namun tak butuh waktu lama Prapti tertawa-tawa sendiri dan segera menyadari keluguan suaminya. Dia hanya membalas pesan dengan emoticon mencium.

Rupanya Prapto masih penasaran kenapa dirinya dipanggil 'The Groove' oleh istrinya. Bergegas dia raih papan ketik di depannya dan mencari arti 'The Groove" di internet.

"Hmmh, ternyata artinya alur, maksudnya apa ya?" Prapto mandang ke langit-langit sambil mencoba berfilosofi.

"Ooh, mungkin maksudnya, aku lah sekarang yang menjadi alur cerita hidupnya," Prapto senyum-senyum sendiri.

"Romantis sekali emang bojoku iki, jadi ingin cepat pulang"

Beberapa waktu kemudian, senja mulai berkunjung, tanda waktu bekerja sudah di ujung , dan saatnya menembus kemacetan menuju rumah kontrakan. Sepanjang perjalanan pulang Prapto masih saja senyum-senyum sendiri dan merasa berbangga hati. Motornya terus ditunggangi melaju bak kuda poni.

Hingga akhirnya alam beralih dari terang ke gelap. Prapto menginjak rem tepat di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan perasaan deg-degan Prapto mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikuum"

Prapti yang sudah sampai rumah sejak sore tadi perlahan membuka pintu dan menjawab salam suaminya, "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh"

Langsung diraih tangan suaminya dan dicium sepenuh hati sebagai wujud bakti seorang istri. Prapto pun memberikan kecupan kecil di dahi sang istri sebagai tanda sayang seorang suami.

Tak lama kemudian, dengan semangat dan suara lantang, Prapto membentangkan tangan dan berteriak, "The Groove sudah pulaaang!"

- Sekian -

Mati


Banyak manusia takut berdiri di atas tanggal berpulang
Tak pernah ada kata siap
Tak ada yang mau untuk jalan duluan
Tangan menengadah senantiasa panjatkan doa
Semua menggantungkan harap berumur panjang

Gelapnya bawah tanah jadi momok imaji
Belum lagi kotak bekal belum terisi
Rentetan pertanyaan malaikat dihafal tiap hari
Bisa-bisa hanya menguap dalam perut bumi

Menangis bergidik saat terbersit dalam renungan
Kelak surga atau neraka jadi teman keabadian
Hitungan amal tampak tak sebanding dengan tingkah berandal
Pertobatan seringnya berasa sambal

Tapi heran,
Kini banyak orang berlama-lama dalam mati
Meskipun sempat dihidupkan kembali
Suara azan lantang berkumandang
Terdengar di telinga, meremangkan mata
Seolah lenyap hingga tertutup fajar

Tapi heran,
Kini banyak anak muda berlama-lama dalam mati
Meskipun sempat dihidupkan kembali
Hardikan orang tua bak bisikan pelan
Sampai-sampai
mentari turut ikut membangunkan

Mereka puas dengan surga sebatas kotak empuk dari kapuk
Lalai atas perintah yang didapuk
Otot kawat tulang besi tak berdaya lawan kantuk
Tak sadar keberadaan neraka bisa membuatnya terantuk
Siksa pedih menghajar hingga meringkuk
Surga abadi jauh meninggalkan di ujung ufuk

Monolog

Hei nak,
Meskipun kamu masih kecil, ayah akan senantiasa membiasakanmu berhijab
Meskipun kamu masih sering enggan, ayah akan terus mengajarkan
Meskipun kamu masih sering melepas dan melemparkan jilbabmu seenak hati, tak apa nak, kamu masih belum mengerti

Bukan nak, bukan ayah memaksakan
Bukan pula sekedar ingin ayahmu ini
Tuhan kita, Allah Subhanahu wa Ta'ala yang punya perintah, perintah yang tak punya celah untuk dibantah

Iya, ayah tahu perintah itu belum berlaku atasmu yang belum baligh
Tapi ayah ingin kamu biasa, agar kelak ketika kewajiban itu melekat padamu, kau tak kaget, kau tak berat, kau tak mengelak dengan segala argumen kepintaranmu

Dan kau tahu nak, kelak ketika kau dewasa, ayah tak bisa terus menjagamu
Ayah akan melimpahkan mandat itu kepada suamimu
Agar kau selamat, kau harus ada di tangan yang tepat, pria shalih yang taat

Dan kau tahu nak, Rasulullah sudah memberikan petunjuk untuk pria shalih dalam memilih kekasih
Jatuhkan pilihan pada wanita yang taat beragama
Dan tau kah kau nak, pria shalih tak akan membangkang anjuran Rasullullah

Ayah cuma berharap, semoga kelak kau memenuhi kriteria,
Dengan hijab sebagai salah satu wujud taqwa
Agar pria shalih melirikmu sebagai bidadarinya di dunia

Aamiiin ya Rabbal Alamiin

Ini Itu

Aku ingin ini karena butuh yang ini,
Aku ingin itu karena sepertinya butuh yang itu,
Aku ingin ini karena kelihatannya belum punya yang ini,
Aku ingin itu karena nampaknya lebih bagus dari yang ini,
Aku ingin ini karena belum cukup dengan yang itu,
Aku ingin itu karena lebih baru dari yang ini,
Aku ingin ini karena dia punya yang itu,
Aku ingin itu karena sudah tak suka dengan yang ini,
 
Dunia berkutat dengan ini dan itu,
Jika kita kejar terasa tiada akhirnya.
Cobalah sapa sejenak Akhirat,
Jika kita sudah kenal Akhirat, Dunia ternyata ada batasnya.

Pahlawan Kesiangan

Kala itu Suparman sedang makan siang di pusat berbelanjaan dekat kantornya. Dia pergi sendiri karena teman-temannya sudah punya agenda makan siang masing-masing. Alhasil dia menghabiskan waktu istirahat kantornya di warung ayam goreng franchise ternama. Sendiri tapi tak merasa sepi karena sudah ditemani wifi.

Saat sedang asyik berselancar di dunia maia..eh..maya, Suparman dikagetkan dengang getaran berirama dari handphone yang dipegangnya. Tampak ada notifikasi singkat yang bertuliskan "kamu lagi dimana?". Seketika Suparman langsung melayangkan pikirannya, siapa gerangan di sana wanita yang begitu perhatian dengannya. Tapi setelah berpikir agak lama, Suparman tersadar bahwa tak pernah ada whatsapp dari cewek sepanjang hidupnya, kecuali dari emak, embah putri, dan emak lampir a.k.a bosnya. Gelagapan dia melihat jam tangan, ternyata sudah hampir jam satu. Secepat kilat matanya mengalihkan pandangan kembali ke handphone dan melihat notifikasi tadi. "Alamak, dari emak lampir", gumam Suparman dengan wajah mendadak berkeringat.

Bergegaslah Suparman beranjak dari tempat duduknya untuk segera kembali ke kantor. Untung makanannya sudah habis dan dibayar, jadi bisa langsung ngacir ke parkiran mobil. Singkat kata Suparman sudah berhasil duduk di balik kemudi. Ketika hendak menghidupkan mobilnya, tak sengaja pandangannya menuju ke sudut parkiran. Tampak seorang lelaki dan perempuan dengan gestur tubuh yang menunjukkan mereka sedang berdebat. Setelah dilihat agak lama ternyata yang perempuan, Sulis teman kantor Suparman. Makin lama perdebatan mereka makin heboh cenderung ke pertengkaran, hingga si lelaki menunjuk-nunjuk si perempuan. Jiwa ksatrianya merasa tergugah, Suparman langsung membuka pintu mobil nya dan menghampiri dua orang tadi. Pas saat si lelaki terlihat akan melayangkan sebuah tamparan, Suparman langsung berlari sambil berteriak kencang, "Woii...hentikan!!". Lagak Suparman sudah mirip adegan sinetron.

Mendengar teriakan dan napas Suparman yang ngos-ngosan, si lelaki dan si perempuan menoleh bersamaan.

"Siapa Lo?", tanya si lelaki dengan nada tinggi.

Merasa ditantang, Suparman juga ikut emosi. Dia lalu menjawab dengan nada tinggi pula, "Gue..!".
Tiba-tiba mulut Suparman terhenti. Otaknya mencoba berpikir cepat, jawaban apa yang bisa membuat lelaki itu keder. Sempat terlontar niat untuk bilang kalau Suparman adalah kakaknya. Tapi menilik perbedaan warna kulit Sulis yang putih dan Suparman yang tak putih, diurungkan niat menjawab itu.

"Gue temenya dia!", Suparman lantang sambil menunjuk ke arah Sulis.

"Tenang lis, ada gue", ucap Suparman lirih di sebelah Sulis.

"Cuma temen aja belagu lu!", nada bicara si lelaki makin meninggi.

Merasa diremehkan, sontak Suparman meralat pernyataannya, "Tapi ini bukan sekedar temen, gw temen dekatnya Sulis!" jawab Suparman.

"Biar lu makin jelas, dengerin ni, Gue Pacarnya Sulis, mau apa lu sekarang!" Lanjut Suparman dengan tetap lantang.

"Gw suaminya, mau apa lu sekarang!", dengan cepat si lelaki membalas pernyataan Suparman.

Suasana menjadi hening sejenak...

"Cut...cut...sip...sip...kita lanjut adegan berikutnya ya", ujar Suparman sambil menyilangkan tangan bak sutradara sinetron yang sedang syuting.

"BUKK!", bogem mentah tak terelakkan mendarat di pipi kanan Suparman.

Suparman melangkah cepat kembali ke mobilnya dengan meringis menahan sakit dan malu. Sampai di mobil Suparman langsung menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengamankan diri.

Singkat cerita akhirnya Suparman telah sampai kantor dan duduk di mejanya. Pipi kanannya kelihatan mulai bengkak dan membiru. Tangannya masih mengelus-ngelus menahan sakit dan wajahnya terlihat masih meringis. Merasa badannya jadi tak enak, Suparman mencoba meletakkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata. Tidur sebentar mungkin bisa meredakan rasa sakit di pipinya.

"BUKK!", setumpuk berkas mendarat di pipi kiri Suparman yang hampir terlelap.

"Baru nyampe kantor jam segini, uda mau tidur lagi!", nampak bos Suparman sudah berdiri di samping Suparman yang tergolek lemah.

- Tamat -



Debat Kusir: Seratus Hari

Alkisah,  pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. (boleh sambil nyanyi kok bacanya)

Ayah saat itu memilih duduk di belakang dengan posisi diagonal dengan pak kusir. Mungkin, supaya bisa menjagaku dari belakang dan gampang jika ingin ngobrol dengan pak kusir. Maklum, ayahku sedikit cerewet atau halusnya, suka ngobrol. Di manapun dan bagaimanapun, biasanya ayah akan mulai mengajak ngobrol siapa saja orang yang ada di dekatnya dengan tema apapun yang melintas di benaknya. Terutama kalau sudah sampai terdengar bunyi-bunyian alam sekitar, bunyi jangkrik misalnya.

Singkat cerita, setelah sorak sorai kegiranganku naik delman lenyap seiring "serak" nya tenggorokan, terdengar "tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk", suara sepatu kuda (yuk lanjut nyanyi lagi). Dengan sigap ayah menangkap pertanda, dan dengan cepat bertanya, "Gimana bang, kemarin baru aja seratus hari ni?"

"Innalilahi wa innailaihi rojiun...siapa yang meninggal pak?", pak kusir bertanya balik

"Ealah, bukan meninggal Pak, itu lho seratus hari Pak Manis jadi gubernur"

"Ooh, kirain...."
"Kalau yang itu mah males ngomonginnya Pak", pak kusir terlihat ogah-ogahan.

"kok gitu Pak?"

"ya gimana, ga ada yang bener Pak kebijakannya, apanya yang mau diomongin...bikin kesel aja bawaannya!" Nada bicara pak kusir mulai meninggi dan menggebu-gebu.

"ga ada yang bener gimana pak?", ayahku coba mengorek keterangan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek.

"coba bayangin Pak, pasar Tanah Mas yang dulu sama Pak Uhuk sudah ditata rapi, eh sekarang malah diobrak-abrik, pedagang malah disuruh jualan di tengah jalan!"

Pak kusir tampak mengambil nafas sejenak setelah sedikit terengah-engah akibat terlalu berapi-api.

"Sepanjang sejarah...mana ada Pak jalan tempat kendaraan bermotor ditutup, malah dipake buat orang jualan, edan gak tu?" Pak kusir melanjutkan.

"Ah, masa sih Pak?" "Bukannya tiap minggu jalan juga ditutup buat acara car free day, ada orang jualan jg tu kayanya?", Ayah mencoba mendebat.

"ehmm...tapi kan itu ga tiap hari Pak, beda lah"

"Tanah Mas juga ga ditutup sepanjang hari Pak, jam enam sore jalanan uda buat kendaraan lagi, berarti ga masalah dong?"

Sebelum pak kusir memberikan argumennya, ayah melanjutkan pertanyaannya, "Bapak juga ga pernah liat ada jalan yang ditutup untuk pasar kaget, buat kondangan, buat sunatan?"

"Ya tetep beda Pak, yang penting ga setiap hari!"

"Manfaatnya banyak lho Pak jalan ditutup itu, trotoar jadi bersih dari pedagang, pejalan kaki jadi enak deh jalannya", timpal ayahku berusaha meyakinkan.

"Tetep aja Pak melanggar fungsi jalan yang sesungguhnya!"
Pak kusir tetep keukeuh dengan pendapatnya

"Tapi Bapak tau gak, sebenernya kebijakan penutupan jalan di pasar Tanah Mas untuk PKL itu ide nya Pak Uhuk lho....cuma Pak Uhuk diganti, jadi Pak Manis deh yang eksekusi"

"haah, gitu ya? baru tau saya"

Sejenak keadaan menjadi hening, hingga akhirnya Pak Kusir berkata, "Tapi memang kalau dipikir pelan-pelan lagi, dihayati lebih dalam lagi, penutupan jalan untuk PKL di Tanah Mas itu bentuk inovasi ya Pak, terobosan baru"

Seketika ayah mengernyitkan dahi dan mencoba memperjelas, "maksudnya gimana Pak?"

"Iya Pak, ide penutupan jalan untuk PKL dari Pak Uhuk itu inovatif sekali ya Pak, kreatif idenya"

"Lho, tadi kata Bapak itu kebijakan edan?"

"Ya kan saya baru tahu kalau itu sebenarnya ide Pak Uhuk"

"ngomong-ngomong, Bapak ini tahu banyak informasi ya, emang Bapak pengamat politik ya?", pak kusir balik bertanya ke ayahku.

"Ah, Bapak bisa aja, bukan...saya sih sebenernya kusir juga kaya Bapak"

"Lah, terus kenapa ga narik Pak? malah naik delman saya?"

"kuda saya hari ini minta libur, mau belanja ke pasar Tanah Mas katanya, ini kan kita mau ke sana jemput dia"

"?!#@?"


*aku, ayah, pak kusir dan segala tokoh yang dibicarakannya adalah karangan dan fiktif belaka. Kalau ada kemiripan atau kesamaan cerita dan kejadian.....berarti anda sudah mulai sadar.









Bandara Pagi

Lorong lorong besar tampak terang menyala. Melawan langit yang masih gelap dengan hitamnya. Derap alas kaki sudah menggema besenandung bersama bunyi gesekan roda kecil di atas lantai yang memantulkan bayangan. Hiruk pikuk mulai berbisik perlahan berisik. Bertolak belakang dengan lirih dengkuran sosok-sosok tergeletak di bangku panjang berjajar.

Lantunan suci panggilan subuh telah berkumandang. Langkah-langkah terpusat menuju arah tempat sembahyang. Suara kucuran air berdampingan mengalir dari "padasan". Wajah-wajah teduh berhias air wudhu tampak sudah bersiap menghadap Pencipta. Bergegas membentuk shaf demi meraih derajat yang berkali lipat.

Perlahan atap dunia mulai berganti warna. Tanda sang surya beranjak dari tidurnya. Papan elektronik besar dengan tulisan bersusun kekuningan bergerak menampilkan informasi bagi beberapa orang yang mendongak perhatian. Tak lama suara empuk dari pengeras suara bersahutan bergantian membawa pengumuman.

Di sudut kejauhan berdiri seorang tegap berseragam. Di sisi lain tersuguh paras cantik bersolek, juga berseragam. Barisan manusia mengular di salah satu pintu yang tertulis 'keberangakatan'. Secarik kertas atau perangkat pintar yang ditunjukkan, nampak jadi syarat diperbolehkan menembus gerbang. Di sekitarnya, lampu-lampu toko mulai dinyalakan, gerai mulai dinaikkan. Aroma penggugah perut juga melai menjalar.

Besi bersayap terbang pergi dan pulang. Lautan aspal dihiasi titik titik warna hijau menyala, ada yang berdiri membawa isyarat, ada yang tampak bergerak mengendarai mobil bergandengan. Ada pula titik-titik tampak berjalan perlahan, meniti tangga beroda, memasuki perut si burung besi. Bus-bus juga nampak lari berkejaran di hamparannya. Senyap, tak ada suara dari balik kaca, ternyata bising dari balik kaca yang lain.

Merdu pewara menghentak lamunan, memaksa beranjak menjadi titik-titik di balik kaca. Sesuai norma, itu tanda telepon genggam dicabut nyawanya sementara. 

Madu

Seekor kumbang melayang-layang
mendengung terdengar hentakan sayapnya
bunga warna warni berjajar dipandangi
sejenak hinggap di satu bunga
tak lama pindah ke bunga lainnya

Sang kumbang tampak bingung
Meski sebenarnya tak bingung
Bungapun tampak senang
Meski tak lama tak lagi senang
Mereka semua indah dari warnanya
Pun manis dari madunya

Hinggap sang kumbang di satu bunga
Tak biasa kini tampak agak lama
menenggak manisnya madu dari jantung sang bunga
Madu yang sama dengan lainnya
Manis yang serupa dengan lainnya
Tapi entah sang kumbang tak kembali terbang

Pagi kembali keesokan hari
Sang kumbang seperti biasa datang lagi
Masih terdengar dengungan di antara jajaran bunga
Namun beda dari yang sudah
Sang kumbang mantap menuju sang bunga
Bunga yang sama dengan kemarin
Sepertinya dia sudah menemukan madunya..

GEMESS (Garing mak Kress): Salah Kaprah

Ada yang beda dengan Dimas akhir-akhir ini. Sebenarnya penampilannya masih sama, tapi kini dia selalu didampingi pria berpeci dan bersafari. Badannya tak gempal namun cukup besar. Posturnya lumayan tinggi dan sesekali berkacamata legam. Hampir di setiap langkah Dimas selalu ada jejak pria itu di belakangnya. 

"Wah, jangan-jangan sekarang Dimas dijaga bodyguard", sekilas terbersit pertanyaan dalam hati. 

Bersamaan dengan itu terbersit pula keraguan yang tak kalah gaduh, mengingat sesekali pria misterius itu terpergok berbekal tas jinjing semi koper yang dikempit, kadang di sebelah kanan, kadang di sebelah kiri. 

"Ooh, mungkin dia semacam pengawal atau asisten pribadi si Dimas" coba menyimpulkan sendiri. 

*****

Beberapa bulan yang lalu Dimas berhasil memenangkan pemilihan lurah di daerah kami. Dia menjadi lurah termuda sepanjang sejarah berdirinya kelurahan kami. Sebagai teman dari SD hingga SMA aku ikut merasa bangga. Sejak SMP, Dimas memang sangat aktif berorganisasi. Prestasi di bangku sekolah dan kuliahnya juga mentereng. Ranking satu tak pernah lepas dari genggamannya ketika sekolah. Pun begitu waktu kuliah, di saat aku dan teman-teman seangkatan masih berkutat menyelesaikan skripsi, Dimas sudah mulai mengerjakan tesisnya. Dia memang tampak menonjol diantara teman-teman sebayanya. Meski agak mengejutkan, namun dia memang layak mencalonkan diri menjadi lurah waktu itu. Terbukti, akhirnya dia berhasil terpilih. 

Namun sayang, torehan gemilangnya di bidang pendidikan dan karir tak berbanding lurus dengan prestasinya di bidang
percintaan. Hingga kini menginjak pertengahan kepala tiga, statusnya masih saja lajang. Setiap kali kami menanyakan perihal pasangan hidup, jawabannya selalu diplomatis, "Nanti ada waktunya, jodoh pasti ga kemana". Saat kami mencoba mendesakknya dengan pernyataan semacam, "jangan terlalu pemilih, pacaran aja dulu buat kenal lebih dekat". Dia selalu menimpali dengan pernyataan yang sama, "aku ga mau pacaran, kata pak ustadz dilarang agama...jadi nanti kalau uda nemu yang pas, langsung nikah aja". Tapi faktanya, sampai sekarang belum nikah juga. Entah belum nemu yang pas atau sudah terkuras dengan urusan sekolah dan karirnya. Tapi yang membuat aku salut, apapun kondisi dan statusnya, dia tetap memegang teguh prinsip "ga mau pacaran dan langsung nikah" yang memang sesuai dengan tuntunan agama. 

*****

Tiba juga akhirnya hari dimana kami sudah merencanakan untuk mengadakan reuni akbar SMA. Aku yang didapuk sebagai ketua panitia berusaha sekuat tenaga agar banyak teman seangkatan yang bisa datang. Mengingat beberapa dari kami juga sudah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Dari jauh-jauh hari sudah kami informasikan jadwal hari ini agar teman-teman bisa mengosongkan waktunya. 

Ini juga berlaku buat Dimas yang sekarang sangat sibuk dengan aktifitasnya sebagai lurah. Maklum, meski rumahnya masih dekat dengan kami tapi tak bisa dipungkiri jadwalnya padat berisi. Bahkan untuk sekedar bertemu sehari-hari saja harus buat janji dan tak bisa berlama-lama. Oleh karena itu aku sangat bahagia saat kemarin Dimas memastikan akan hadir dalam reuni hari ini. Sekalian saja aku minta dia buat memberikan sambutan, sebagai pimpinan tertinggi di kelurahan kami juga. 

Singkat cerita, rangkaian acara reuni akbar pada hari ini telah berjalan lancar. Kini tinggal acara ramah tamah yang diisi makan-makan dan ngobrol-ngobrol bebas saja. Setelah dari awal acara sibuk mondar-mandir untuk mengecek kesiapan acara, sekarang aku bisa bernafas lega dan mulai mencari teman-teman akrab dulu untuk berbincang segala macam. Seketika langsung terlintas nama Dimas di kepala. Clingak clinguk kana kiri, akhirnya kutemukan juga Dimas sedang duduk makan bakso. Tak ada yang mengajaknya ngobrol, dia hanya khusyuk menguyah butiran butiran baso di mangkuknya. Aku sedikit mengernyit heran karena Dimas terkenal supel dan baik, kenapa tak ada yang menghampirinya. "Apa mungkin sungkan karena dia sekarang Pak Lurah? "Atau semenjak jadi lurah Dimas jadi berubah? " Pertanyaan pertanyaan itu terlontar dalam pikiran dan tak ada yang bisa dimintai jawabannya. 

Alamak, setelah sedikit teliti mengamati lagi, ternyata di belakang Dimas ada sosok pria yang selalu sama. Bersafari, berpeci, berkacamata legam, dan kali ini dia mengempit tas jinjingnya di sebelah kiri. Eh tunggu, sekarang wajah pria itu mulai dihiasi kumis yang mulai menebal. "Mungkin dia yang membuat teman-teman ga berani mendekati Dimas!" aku menebak sendiri. 

Karena sudah lama penasaran, sepertinya ini momen yang tepat dan langka untuk menanyakan ke Dimas, siapa sebenarnya pria itu. Bergegas aku berjalan menuju ke arah Dimas, takut keburu dia pergi meninggalkan lokasi. Saat sudah dekat, aku mencoba memberanikan diri menyapanya. 

"Halo Pak Lurah, apa kabar?"

"Ah elu, bisa aja, sini duduk sini... dari tadi ga ada temen gw"

"Hahaha.. pada takut kali sama Pak Lurah" saya masih berseloroh sambil duduk di samping kanan Dimas

"Apa kabar lu ndro? ah, uda lama ya kita ga ngobrol-ngobrol gini"

"Alhamdulillah baik, maklum lah gw sama Pak Lurah yang super sibuk ini"

"Alaah, uda ah ga usah Pak Lurah Pak Lurah an segala" 

"Siap pak lurah Dimas!" saya masih belum bosan menggodanya. 

"Hahaha... ssst.. mending kita ngomongin hal yang lebih penting Ndro"

"Weits... apa tuh... tunggu... hmmh... bukan tentang cewek kan? "

"Ah elu, sejak kapan jadi dukun, bisa nebak arah pemikiran gw, hehe..." Dimas sedikit terkekeh. 

"Yaa.. elu belum nikah kan Dim?" "Jadi hal penting apa lagi kalau bukan cewek..hehe"

"Jangan kenceng-kenceng.. nanti diomongin orang, masa Pak Lurah ga laku"

"Hahaha.. elu sih dari dulu gw suruh pacaran ga pernah mau.. sekarang susah sendiri kan"

"Bukan gw ga mau Indro, pacaran kata pak ustadz ga boleh, jadi gw maunya kalau uda ketemu yang mau, langsung nikah aja"

"Jawaban lu masih sama dari dulu, susah kali Dim ketemu yang mau terus langsung nikah, gimana caranya itu.. susah!" saya masih ngeyel dan berusaha meyakinkan Dimas untuk mulai merubah pemikirannya. 

"Kalau dulu mungkin susah Ndro, sekarang kan gw lurah, punya kuasa... jadi gampang lah itu"

"Maksudnya? lu mau maksa anak orang nikah, kalau ga mau rumahnya digusur gitu? "

"Haha.. gila lu.. ya ga gitu lah.. dzolim itu"

"Terus?"

"Terus..ya ini.. sekarang gw bisa bawa Bapak di belakang gw ini kemana-mana?" ucap dimas sambil mengarahkan jempol kanannya ke belakang. 

Aku yang semakin bingung dan bengong hanya terdiam dan tak menimpali.

"Ndro?"

Aku tersentak sejenak dari keterdiamanku. "Ah ini saat yang tepat untuk tanya siapa pria itu" batinku

"Kenapa lu Ndro?"

"Hehehe.. ga papa kok Dim" aku menjawab sambil sedikit membungkuk ke arah telinga Dimas. 

"Dim, jadi sebenarnya pria itu siapa? bodyguard?" bisikku hati-hati takut pria itu mendengarnya. 

"Hahahaha.. bukaan!" Dimas malah tertawa keras. 

"Ssst..! " cegahku. 

Dimas pun berdiri dan mengajakku berpindah posisi sedikit ke pojokan. 

"Bapak tunggu sini aja dulu ya.. saya mau ngobrol sama teman saya dulu" Dimas menoleh ke arah pria misterius tadi. 

"Siap, Pak! " jawab pria itu tegas. 

Setelah sampai di pojokan, sambil mengambil segelas air mineral, Dimas tampak akan memulai penjelasannya. 

"Jadi dia itu siapa?" tanyaku tak sabar. 

"Sabar...", Dimas duduk sebentar sambil menyeruput air beberapa tegukan. 

Kemudian dia kembali berdiri. 

"Jadi... dia itu bukan bodyguard... dia itu kepala KUA di sini, penghulu lah orang biasa bilang"

"Lah.. lalu.. kenapa kau bawa dia kemana-mana? " "Lalu apa hubungannya sama pernyataan lu tadi yang tentang kuasa dan nikah?" aku langsung memberondong pertanyaan.

"Gini... gw tadi bilang kan, gw ga mau pacaran, pengennya pas ketemu yang mau, langsung dinikahin aja"

"Ho oh, terus? "

"Lu bilang susah kan, nah gw kasih tau semenjak gw jadi lurah, itu ga sulit"

"hmmhh? "

"Iya, karena gw lurah, gw bisa suruh pak penghulu itu selalu ikut kemana gw pergi"

"haa? "

"Jadi...kalau gw ketemu cewek yang gw taksir, dan pas gw tanya mau nikah sama gw apa ga, dia mau" dia sedikit mengambil napas

"Gw kan bisa langsung nikah tu... uda ada penghulu yang siap sedia di dekat gw... gampang kan?" 

"makanya ke sini dia jg gw ajak, siapa tau ada temen SMA kita yang cantik dan belum nikah... kan bisa gw tanya, kalau mau langsung dah kita nikah di sini... penghulunya uda siap.. "

"baru gw mau nanya ke elu selaku ketua panitia"

"Oalah Pak Lur.. Pak Lur... " 

"KOPLAK lu! " sergahku. 

Sejak saat itu, aku tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya warga yang berani "ngatain" lurahnya. 

* Sekian *

Hujan Hari Ini

Berbulan-bulan kami menunggu kehadiranmu.. 
atau malah sudah hitungan tahun? 
entah lah.. yang pasti lama... 
sudah kami persiapkan segalanya menyambutmu.. 
berhias diri agar layak menemuimu... 
coba kuselipkan ruang-ruang baru untuk peraduanmu... 

Tiba-tiba hari ini dirimu hadir mendahului fajar... 
atau mungkin sudah hadir saat mata kami masih terpejam? 
sungguh kejutan yang tak terkirakan... 
di kala harapan kami mulai tergerus kenyataan.. 
engkau tiba..dan masih sama.. menyejukkan... 

Tapi semua ternyata tak berbeda... 
meskipun kami sudah bersiap dan berusaha sigap... 
suka cita akan datangmu tetap meluap-luap menutup jalanan.. 
ruang-ruang baru yang kami siapkan masih tak mampu membuatmu nyaman... 
basah... tapi bisa menghapus gelisah...

Bahagia dan syukur kami panjatkan... 
tak lupa lantunan doa serta menyelipkan secercah keinginan... 
Karena kehadiranmu adalah rezeki yang seiring dengan kemakbulan...
Bukan kata kami... itu sabda manusia terbaik sepanjang zaman.. 
Semoga engkau berkenan kembali hadir esok hari.. 
Supaya dunia kembali dapat karunia...
Dan kami dikunjungi kembali waktu diijabah doa..

Khilafiyah Lampu Merah

Lampu merah bukanlah makhluk asing buat kita semua. Dengan mudah kita menemukannya berceceran di tiap sudut persimpangan jalan. Tugasnya sangat mulia: mengatur lalu lalang kendaraan dengan tiga kandungan warnanya yang penuh makna. Ada merah, kuning, dan hijau, tapi entah kenapa dia lebih dikenal dengan lampu merah, bukan lampu hijau atau lampu kuning. Yang pasti ga mungkin lampu merah kuning hijau, karena itu cuma ada di langit yang biru (maaf ngelantur). Di beberapa wilayah Jawa, dia juga dikenal dengan Bang Jo, singkatan dari lampu abang (merah) ijo (hijau). Lagi-lagi masih ada warna yang ketinggalan. Tapi biarlah, mungkin memang sudah nasibnya. 

Saya masih ingat, sedari kecil sudah diajari makna dari tiga warna yang diusung lampu merah ini. Merah artinya berhenti, kuning artinya hati-hati, dan hijau artinya boleh jalan. Namun saya tak bisa ingat guru TK atau guru SD saya yang mengajari pertama kali. Jadilah mazhab itu yang saya anut dari kecil hingga tumbuh jenggot. Bertahun-tahun saya meyakini kebenaran yang tak terbantahkan itu. Hingga akhirnya saya menemukan fakta lain saat tinggal di ibu kota. Ternyata banyak perbedaan pendapat di kalangan pengguna jalan atas maksud varian warna yang menyala pada lampu merah. Banyak mazhab yang dianut dan tak sedikit perbedaannya. Sungguh membuat saya terkejut dan terpana. 

Bukan bermaksud sok pintar atau menggurui, di sini saya hanya akan mencoba menguraikan perbedaan pendapat terhadap lampu merah yang terjadi. Satu per satu kita bahas mazhab-mazhab yang dianut umat agar kita bisa mendapatkan gambaran yang utuh atas fenomena ini dan bisa memilih mana yang lebih tepat. Jika dikerucutkan lagi, ada empat mazhab yang paling populer di masyarakat.

Mazhab pertama, 
Ini yang saya yakini benar sejak kecil. Seperti penjelasan yang sudah ditulis di atas, mazhab ini mengajarkan bahwa jika lampu merah menyala artinya kita wajib berhenti. Begitu sebaliknya, jika warna hijau menyala artinya kita sudah boleh memacu kendaraan. Fungsi lampu kuning dimaknai sebagai penanda transisi dari merah ke hijau atau dari hijau ke merah. Saat lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu merah ke hijau, artinya pengguna jalan dapat bersiap-siap untuk kembali melaju. Sebaliknya, jika lampu kuning menyala di antara perpindahan dari lampu hijau ke merah, artinya pengendara diharap bisa memelankan laju kendaraannya untuk siap-siap berhenti.

Mazhab kedua, 
Mazhab ini mengajarkan pemaknaan yang berbeda tipis dengan mazhab pertama. Arti lampu hijau dan merah yang menyala sama persis dengan mazhab yang pertama. Perbedaannya hanya terletak pada nyala kuning lampunya. Sebenarnya pengikutnya juga memaknai lampu kuning sebagai transisi dari lampu merah ke hijau dan sebaliknya. Namun bedanya, pada saat lampu kuning menyala di antara perpindahan lampu merah ke hijau, artinya membunyikan klakson panjang atau pendek berkali-kali untuk kemudian melaju kembali saat lampu hijau menyala. Saat lampu kuning menyala di antara perpindahan lampu hijau ke merah, artinya pengendara segera mempercepat laju kendaraan sebisanya sebelum lampu merah menyala. Eh, tapi kalau lampu merah baru menyala beberapa detik, mazhab ini masih membolehkan pengguna jalan untuk tetap memacu kendaraannya. 

Mazhab ketiga, 
Perbedaan mazhab ini dengan dua mazhab di atas cukup ekstrim. Meskipun ada tiga lampu yang bisa menyala, dalam pemahamannya penganut mazhab ini hanya mengakui dua warna saja, merah dan hijau. Pada dasarnya makna awalnya sama, merah artinya berhenti dan hijau artinya bisa melaju kembali. Namun untuk lampu merah menyala, hukumnya tidak wajib. Pada saat lampu merah menyala, pengendara boleh saja tidak berhenti, dengan syarat jalanan nampak sepi, jalanan tampak aman dilalui, laju kendaraannya bisa lebih cepat dari kendaraan lain yang melintasi persimpangan, ada banyak temennya, atau alasan-alasan lain yang dianggap aman. Sedangkan lampu kuning bagi penganut mazhab ini hanya sebagai pemanis saja. 

Mazhab keempat, 
Mazhab ini yang paling ekstrim diantara mazhab yang lain. Prinsip dasar pemaknaan pada mazhab ini adalah semua tindakan tergantung niat dalam hatinya. Apapun warna lampu yang menyala, tergantung hatinya pengen seperti apa. Contohnya, jika lampu merah menyala tetapi kata hatinya bilang untuk terus jalan, pengendara boleh saja terus melaju seenak udelnya. Begitu juga untuk lampu yang lain.

Secara singkat mungkin seperti itu khilafiyah lampu merah yang terjadi di kalangan umat ibu kota. Kenapa saya menekankan di ibu kota? karena di daerah asal saya di ujung timur pulau jawa, tidak ada khilafiyah seperti ini. Mazhab yang diakui hanya mazhab pertama. Selain mazhab itu dianggap pelanggaran dan "berdosa". Memang masih ada perilaku seperti mazhab kedua, ketiga dan keempat yang terjadi di sana. Tapi semua orang akan sepakat bahwa perilaku tersebut dikategorikan sebagai perbuatan tercela. 
Sedangkan di ibu kota? keempat mazhab di atas tumbuh dengan tenangya dan semua diakui eksistensinya. Akan dengan mudahnya kita menemukan penerapan empat mazhab ini di jalanan dalam keseharian. Dan bagaimana sikap para pengendara dan aparat berwenang? kadang diam saja. Ini artinya memang masih ada khilafiyah di kalangan umat ibu kota. Sekian.

Suka tapi Benci

Sunyi mulai hadir meskipun malam belum terlalu larut. Perut sudah mulai gelisah ditinggal logistik yang terakhir dipasok sebelum maghrib tadi. Mulut pun kompak ikut menyuarakan aspirasinya, ingin mengunyah sesuatu. Entah ini memang lapar karena belum makan atau sekedar lelah membayangkan Raisa bersanding di pelaminan.

Yang pasti, seketika itu aku beranjak menuju dapur mengecek hidangan apa yang tersedia. Dan sudah kuduga, tersaji berbagai macam makanan yang bahan dasarnya sama, daging sapi. Masih kental aroma Idul Adha di hari tasyrik kedua ini. Namun berbagai olahan daging sapi qurban ini tak sedikitpun membuatku berselera. Bukan bosan karena sudah dua hari makan daging sapi, tapi dari dulu aku memang tak terlalu doyan hasil olahan daging qurban. Padahal biasanya aku doyan sekali daging sapi. Mungkin ini efek melihat proses penyembelihannya, jadi sedikit ga tega.

Makin lama perut makin tak berkompromi, memaksa aku berpikir keras menentukan menu alternatif malam ini. Akhirnya, tak jauh-jauh, pilihan paling gampang jatuh pada mie instan. Ya, mie instan favorit hampir semua orang di bumi Indonesia, sebut saja merk nya mieindo. Varian rasa mie gorengnya tak ada duanya. Sejak zaman inneke koesherawati suka pakai rok mini hingga kini penampilannya sudah syar'i, aku belum pernah menemukan rasa mie goreng seenak milik mieindo ini. Alhasil, dengan sigap aku merebus air sebagai langkah awal. Aku sangat menikmati proses sederhana membuat mieindo ini. Bagian favoritnya tentu saat mencampurkan mie yang sudah ditiriskan dengan bumbu yang sudah disiapkan. Semerbak wangi mie goreng akan menyeruak ke segala penjuru mata angin. Aroma khas yang bisa membuat orang puasa berkurang pahalanya.

Sebagai orang Indonesia tulen, kurang rasanya kalau makan belum pakai nasi. Jadilah diciduk dua entong nasi ke atas mie yang tampak mengkilap kuning kecoklatan. Banyak orang bilang bahwa yang aku lakukan ini sia-sia, karena nasi dan mie sama saja, kadungan utamanya karbohidrat. Tapi biarlah kafilah berlalu, yang penting perut kenyang dan air liur mengental. Menu mieindo plus nasi ini sudah jadi menu istimewaku sejak zaman taman kanak-kanak dulu.

Oh iya, sejak dulu mieindo ini sudah kerap ditimpa isu tak sedap terkait kandungannya. Ada yang mengungkit-ungkit kadar MSG yang katanya bikin makin bodoh. Belum lagi lapisan lilin pada bagian mie nya yang katanya berbahaya dan memicu kanker. Tapi faktanya, mieindo tetap digdaya dan jadi pilihan masyarakat seantero negeri. Tanya saja anak kosan, pekerja kantoran dan serabutan, ibu-ibu rumah tangga, sampai anak sekolahan, semua pasti doyan. Apalagi saat tanggal tua melanda. Warung penjual mieindo juga bertebaran di mana-mana.

Akhirnya, tibalah kini di saat yang paling ditunggu sekaligus dibenci. Saat di mana mieindo dan nasi sudah terhidang dan tinggal ditelan masuk ke kerongkongan. Ya, itu memang yang ditunggu-tunggu, apalagi dari tadi aromanya sudah menggambarkan seberapa nikmat rasanya. Nasi dan mie goreng di piring sudah tandas tanpa perlu menunggu lama. Yang tersisa tinggallah goresan-goresan bekas bumbu mie goreng yamg tampak berminyak di sudut-sudut piring. Kadang menggerakkan hati untuk menjilatinya sampai bersih tak bersisa. Sungguh nikmat tak terhingga. Tapi bersamaan dengan itu, aku membenci bagian ini. Bagian dimana aku lahap menghabiskan mieindo ku.
Perjuanganku selama hampir sepuluh menit seolah terhapuskan hanya kurang dari lima menit.

Sekian

Motor, Solusi Kemacetan yang Dituduh Jadi Biang Kemacetan

Repost dari: www.ekopandu.blogspot.co.id

Sudah bukan berita populer lagi jika kita membicarakan kemacetan di Jakarta. Macet seperti keberadaan kucing di pemukiman, sudah biasa dan pasti ada. Konon dulu hari libur dikecualikan dalam kategori hari macet di Jakarta. Tapi faktanya, kini hari libur juga tak mau kalah, macet di mana-mana.

Kalau bicara penyebabnya, tentu kompleks dan rumit, bukan keahlian saya. Kalau bicara kebijakan mengatasinya, sudah banyak gubernur mengambil peran, semuanya orang hebat. Tapi bagi saya, secara kasat mata belum ada perubahan. Tiap pagi sore (maaf bukan rumah makan padang) selalu mampet di jalanan.

Di tengah kondisi lalu lintas Jakarta yang ruwet itu, masyarakat dipaksa memikirkan solusi secara mandiri. Sepeda motor yang langsing dan lincah menjadi pilihan paling realistis memecah kebuntuan di jalan. Itu pula yang membuat ojek online kini laris manis diburu. Tak lain dan tak bukan karena sepeda motor dipandang lebih efektif untuk menempuh perjalanan di tengah jam-jam macet ibu kota. Moda transportasi roda dua ini seakan jadi solusi instan agar tak terdampar dalam kemacetan.

Betapa terkejutnya saya ketika sekitar dua hari yang lalu membaca tautan berita yang mengabarkan bahwa di bulan September akan diberlakukan pelarangan sepeda motor di sepanjang jalan sudirman dan rasuna said. Eh, maaf bukan pelarangan tapi pembatasan, karena sepeda motor dibatasi untuk tidak melintasi kedua jalan tersebut dari jam 6.00-23.00 di hari senin - jumat. Tapi saya lebih suka menyebutnya pelarangan karena sedikit sekali yang akan bersepeda motor jam 00.00-5.00. Lebih membuat saya geleng-geleng kepala adalah argumen di balik kebijakan itu. Disebutkan bahwa pelarangan motor ini dilatarbelakangi pertumbuhan sepeda motor yang sangat tinggi, mencapai 9,7 % sd 11 %. Sedangkan pertumbuhan mobil "hanya" 7, 9 % sd 8,75 % (sumber: detik.com). Yang makin membuat saya mengelus dada (saya sendiri), ketika terucap bahwasanya kebijakan ini sebagai upaya mengurangi kemacetan. Dengan kata lain, secara tidak langsung sepeda motor dituduh sebagai biang kemacetan sehingga perlu "dimusnahkan". Alamak, sebagai pengguna motor, sedih saya mendengarnya. Fitnah yang sungguh "kejam".

Fitnah? ya fitnah. Coba kita pakai hitungan sederhana saja untuk mengujinya. Saya coba googling dimensi sepeda motor dan mobil untuk dibandingkan. Agar perbandingannya "ekstrim" saya coba membandingkan sepeda motor yang cukup besar dengan mobil yang paling kecil. Baik, saya ambil contoh sepeda motor honda CBR. Lebarnya 0,76 m dan panjangnya 2,04 meter sehingga luas jalan yang dibutuhkan 1,55 meter persegi. Kemudian saya pilih honda brio sebagai perbandingan. Lebarnya 1,68 meter dan panjangnya 3,61 meter sehingga luas jalan yang dibutuhkan 6,06 meter persegi. Buka mata "Anda" lebar-lebar, luas jalan yang dibutuhkan mobil  empat kali dari sepeda motor. Atau gampangnya, di jalan, kebutuhan akan luas jalan satu mobil setara dengan empat sepeda motor. Oke kita hitung lebih jauh lagi. Karena tadi berbicara tentang pertumbuhan, mari kita buktikan. Anggap saja jumlah motor tahun lalu 100 unit sehingga luas jalan yang dibutuhkan adalah  155 meter persegi. Kita ambil perkiraan pertumbuhan yang paling tinggi, 11%, maka jumlah sepeda motor menjadi 111 unit sehingga makan tempat 172,05 meter persegi. Pertambahan luas jalan yang dibutuhkan sebesar 17,05 meter persegi. Sekarang kita hitung pertumbuhan mobil. Asumsikan tahun lalu jumlah mobil juga sama, 100 unit sehingga luas jalan yang dibutuhkan 606 meter persegi. Kita pilih perkiraan pertumbuhan yang paling kecil 7,9%, maka jumlah mobil menjadi107,9 unit. Oke kita bulatkan ke bawah saja jadi 107 unit sehingga makan tempat 648,42 meter persegi. Pertambahan luas jalan yang dibutuhkan sebesar 42,42 meter persegi.  Coba lihat, meskipun secara persentase pertumbuhan motor lebih besar dibanding mobil, pertambahan luas jalan yang dibutuhkan seiring pertumbuhan mobil 2,5 kali lebih tinggi dibanding sepeda motor. Sederhananya, pertumbuhan mobil makan jalan 2,5 kali lebih banyak dibanding sepeda motor. Ini baru kita ambil contoh mobil dengan dimensi kecil, padahal kita tahu di jalanan didominasi jenis MPV yang dimensinya lebih besar.

Tapi kan mobil muatannya lebih banyak? Coba melek lebih lebar lagi, kita kembali ke contoh di atas, satu mobil brio maksimal 5 orang, sedangkan 4 sepeda motor muat 8 orang. Kalau cek fakta di lapangan, jarang kita lihat satu mobil diisi kapasitas penuh. Bahkan tidak sedikit yang hanya berisi 1 orang. Kalaupun penuh, biasanya itu taksi online yang penumpangnya pengen irit ongkos, seperti saya. Lagian, urusan jumlah penumpang ini sebenarnya ga nyambung-nyambung amat, karena yang dibicarakan adalah pertumbuhan jumlah kendaraan bukan penumpangnya.

Bukan, saya bukan ingin menyalahkan mobil. Hanya saja, dari hitung-hitungan sederhana tadi, saya makin yakin kalau ini fitnah yang "kejam". Saya jadi penasaran metode seperti apa yang bisa menghasilkan kesimpulan bahwa untuk mengurangi kemacetan harus dengan "menyingkirkan" sepeda motor. Saya sepakat sekali dengan pembatasan, tapi jika "Anda" bisanya baru pembatasan jumlah kendaraan yang ada di jalan, ya mbok fair dikit. Samakan lah perlakuan dengan mobil, terapkan kebijakan ganjil genap saja untuk pembatasan sepeda motor. Cukup fair bukan? Kecuali jika memang kebijakan "membunuh" sepeda motor ini ditujukan untuk mengakomodir kebutuhan pertambahan luas jalan yang dibutuhkan mobil. Fitnah itu katanya lebih kejam dari membunuh, apalagi ini, sudah fitnah "membunuh" pula.

*Seluruh data di atas hanya didapatkan dari googling semata, kalau ada perbedaan data mohon dapat diluruskan. 

Pria Tenang itu Kini Istirahat dengan Tenang

Bisa dibilang saya tidak terlalu kenal dekat dengan beliau. Meskipun rekan sekantor, pertemuan kami terjadi tidak disangka-sangka. Perkenalan formal juga tak pernah diadakan sebelumnya. Saat itu kami pergi naik gunung dalam satu rombongan yang sama. Rombongan itu terdiri dari percampuran antara kawan DJA dan teman saya. Meski kawan DJA, tidak semua dari mereka saya benar-benar mengenalnya.  Ketika melihat sosok Mas Teba, saya merasa sama sekali belum pernah berjumpa (meski sekilas) sebelumnya.

Perawakannya tinggi besar tetapi jauh dari kesan sangar. Senyumnya selalu tersungging saat berbicara. Raut muka dan volume suara juga menunjukkan bahwa beliau kalem dan bersahaja. Masih lekat dalam ingatan, penampilan beliau santai dengan kostum merah Liverpool, saingan MU - tim favorit saya. Semenjak itu, saya jadi tahu bahwa kami berseberangan dalam jagoan lapangan hijau. Karena belum kenal, saya cuma menyapa dengan "mas" dan melemparkan senyum saat berada di depannya. Belakangan, saya tahu nama beliau "Teba" saat ada yang ngobrol dan memanggil beliau "Mas Teba".

Tujuan kami saat itu, gunung Sindoro dengan ketinggian 3.136 mdpl (hasil gugling) yang terletak di wilayah Jawa Tengah. Selama pendakian, Mas Teba benar-benar mengaplikasikan pepatah jawa alon-alon waton kelakon. Ketika sudah merasakan capek, beliau memilih berhenti sejenak untuk sekedar melemaskan kaki, meskipun terkadang masih tetap dalam posisi berdiri. Tampak beliau begitu tenang dan sabar dalam mendaki, tidak memaksakan diri. Mungkin karena memang air mukanya yang tenang itu, tak tampak kelelahan di wajahnya, masih saja dihiasi senyum. Yang pasti, ending-nya pendakian beliau berhasil dan sehat sampai kembali ke rumah.

Setelah itu kami sudah bisa dianggap kenal satu sama lain. Intensitas pertemuan kami tidak terlalu sering memang, karena bidang tugas kami di kantor jarang berkaitan. Paling-paling kami bertemu selepas sama-sama menyapa mesin absensi di pagi hari. Saat berpapasan atau berjalan berdampingan biasanya beliau menyapa sambil memberikan senyum khasnya. Begitupun saat sore hari, beberapa kali kami bertemu saat absen atau berjalan ke parkiran motor. Biasanya, istri beliau, Mbak Aster, yang juga bekerja di di DJA sudah tampak duduk menunggu beliau di lobi. Setelah itu, mereka berjalan berdampingan ke arah gedung parkir. Di sana, Mas Teba akan mengambil motor ke atas dan Mbak Aster kembali menunggu di pintu keluar motor. Ya, sepengetahuan saya mereka berdua pergi ke kantor dan pulang berboncengan motor. Inilah salah satu enaknya punya pasangan hidup yang juga sekantor.

Sekali lagi, tak banyak memang momen saya bersama Mas Teba. Tapi dari yang sedikit itu, kesan yang saya dapat, beliau adalah orang yang kalem dan murah senyum. Bicaranya juga pelan dan tak banyak. Meski begitu beliau selalu menyapa dan sesekali bersalaman ketika kami bertemu. Dari kabar-kabar yang saya dengar, beliau juga masih beberapa kali ikut pendakian bersama teman-teman pecinta alam DJA. Beliau juga katanya aktif gowes sepeda. Luar biasa semangat Mas Teba ini ternyata.

                                                                      *****

Kemarin pagi, saya datang ke kantor seperti biasa. Berjalan dari parkiran, coba mengambil handphone dari saku celana agar tak mati gaya. Ternyata handphone saya mati, semalam sengaja dimatikan karena lowbatt. Seketika itu saya menghidupkannya untuk mengecek obrolan di whatsapp grup yang ada. Lama sekali proses booting handphone saya hingga tak terasa saya sudah ada di lapangan voli depan gedung kantor. Tak seperti biasanya, banyak bus dan L300 yang terparkir di sana. "Pada mau kemana ini?", pikir saya.
Saat akhirnya menyala, saya langsung memilih ikon bundaran hijau bergambar gagang telepon di layar handphone. Wah, sudah banyak notifikasi yang masuk. Melirik sekilas, dari beberapa grup, terlihat potongan pesan yang tampak serupa. Penasaran saya pun buka salah satu grup kantor. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun. Telah meninggal dunia, kerabat kita Pehik Snang Iteba (Mas Teba, A2), suami Dari Aster (Sekretariat) pagi ini. Semoga almarhum khusnul khotimah. Keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Aamiin aamiin aamiin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masya Allah, detak jantung seperti tercekat sejenak dan semakin cepat setelahnya. Innalillahi wa innailaihi roji'un, Mas Teba. Ya, Pehik Snang Iteba, nama lengkapnya yang saya tau tak sengaja. Selepas meletakkan tangan di mesin handkey, saya memandangi layar monitor untuk menunggu foto saya muncul. Ketika itu dari sudut pandangan mata yang lain tampak nama Pehik Snang Iteba dengan foto Mas Teba di sampingnya masih terpampang. "Ooh, itu toh nama lengkap Mas Teba", batinku. Terdengar cukup unik bagi saya. Sempat bertanya-tanya sendiri apa artinya dan dari bahasa apa.

Betapa mengagetkan berita duka pagi itu. Beberapa hari belakangan saya belum bertemu atau berpapasan dengan beliau. Tapi beberapa kali masih melihat Mbak Aster menantinya sembari duduk di lobi atau saat berdiri di dekat pintu keluar motor. Tak terdengar pula desas desus beliau sakit sebelumnya. Dari situ saya menduga-duga sendiri, "jangan-jangan beliau terkena serangan jantung". Sedikit ragu sebenarnya, mengingat beliau yang aktif naek gunung dan gowes. Kondisi fisiknya tentunya masih prima. Tapi takdir tak pernah tidak mungkin, ternyata benar beliau terkena serangan jantung selepas subuh. Entah kenapa, meskipun tak dekat, saya merasa kehilangan. Mungkin sosok kalem dan murah senyum beliau secara tak sadar sudah membuat saya terkesan.

Kembali saya baca baik-baik pesan di grup whatsapp. Disebutkan rumah duka berlokasi di Tapos, Kota Depok. Saya tidak tahu lokasi pas nya. Tetapi mendengar Kota Depok, jaraknya tentu lumayan jauh dari kantor. Dan setiap hari Mas Teba dan Mbak Aster berboncengan motor dari rumah ke kantor bolak-balik. Terbayang, perjuangan mereka untuk berangkat ke kantor dan saat pulang ke rumah, berkumpul dengan dua anak perempuannya yang masih kecil. Saya pernah melihat mereka bersama Mbak Aster saat diajak ke kantor.

Sungguh sekali lagi, mengingatkan kita bahwa ajal bisa datang kapan saja tanpa memberi pertanda sebelumnya. Jika memang sudah gilirannya, jantung bisa diperintahkan berhenti meski tiba-tiba dan dengan berbagai cara. Tak memandang fisik kuat dan rajin olahraga, ruh dalam raga akan dipanggil tepat pada waktunya. Namun, Mas Teba mengajarkan kepada kita bahwa selagi masih ada di dunia, senantiasa tersenyum dan bertegur sapa lah dengan sesama. Gemar berolahraga dan menikmati keindahan bumi juga jadi kebiasaan yang mesti ditiru dari Mas Teba. Pembawaan tenang, kalem, dan tak banyak bicara bisa jadi inspirasi. Mencerminkan kebersahajaan di balik perjuangan beliau bersama istri tercinta. Dan buat Mbak Aster, tetap kuat, tabah, dan tegar ya Mbak. InsyaAllah ini ketentuan Allah yang pasti baik. Semoga senantiasa diberikan kemudahan bersama dua putrinya ke depannya.

Selamat jalan Mas Teba, meskipun tak dekat dan hanya sesaat, buat saya sosok Mas Teba tetap bisa menjadi salah satu contoh yang tepat. Sekarang Mas Teba sudah tidak perlu lagi berkejaran dengan mesin handkey. Semoga Mas Teba masih bisa mendaki gunung dan gowes sepeda, sembari menunggu kami-kami mengisi absensi di sana kelak. Satu hal yang saya sesalkan, kini pupus sudah harapan saya untuk menanyakan arti nama lengkap Mas Teba.

Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fu'anhu.