Tawuran Pelajar

Meregang nyawa
Seorang pemuda
Tertebas senjata
Sesama

Malang nasibnya
Tiada terduga
Luluh raga
Tak berdaya

Histeris mereka
Menatap kawan terluka
Dendam membara
Menjadi petaka

Nyawa tak berharga
Cacat logika
Dikira perkasa
Sejatinya lemah tak berdaya

Siapa yang salah
Saling menyalah
bersalah
Pasrah




MERDEKA!

Ketika ku teriakkan kata MERDEKA!
Seorang anak putus sekolah menatapku dengan mata berkaca-kaca
Seakan ia ingin berkata; aku putus sekolah karna tak punya biaya

Ketika ku teriakkan kata MERDEKA!
Seorang pengemis renta menatapku dengan tatapan hampa
Seakan akan ia ingin berkata; perutku lapar, adakah yang berbelas kasihan mendermakan sedikit harta?

Ketika ku teriakkan kata MERDEKA!
Seorang TKI yang tubuh dan wajahnya penuh luka menatapku dengan mulut menganga
Seakan-akan ia ingin berkata; aku tersiksa di  negara sana, kalian hanya diam seribu bahasa!

Ketika ku teriakkan kata MERDEKA!
Sejatinya ku tak mengerti maknanya

Apakah hari esok kan ku teriakkan kata MERDEKA?

Kemenkeu Kita

Kemenkeu kita adalah inspirasi
menjadi energi bangsa
Mempersatukan rakyat Indonesia
Yang berbeda agama, bahasa, dan budaya

Kemenkeu kita menjadi kekuatan bangsa
Tuk saling berpegangan
Menghalau rintangan
Yang datang menerjang

Kemenkeu kita mengandung nilai-nilai
Integritas, profesional, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan
Melayani segenap rakyat indonesia
Agar sejahtera dan bermartabat dimata dunia

Kemenkeu kita
Adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
Untuk bangsa dan negara Indonesia










DJA (Dibawa Jujur Aja)


Kata orang, jujur itu barang langka
Tak sembarang orang memilikinya
Tak semua orang melakukannya
Tak setiap orang menyukainya

Jujur, dimiliki oleh pribadi mulia
Yang menjadikan kejujuran sebagai prioritas utama
Karna jujur disukai Pemilik Semesta
Dibenci iblis durjana beserta pasukannya
Sebagai abdi negara

Sifat jujur harus tertanam di dalam jiwa
Karna jujur adalah modal utama
Agar terhindar dari perbuatan cela maupun panggilan KPK

Terus berusaha dan berdo'a
Agar sifat jujur tak sirna dari raga
Menjunjung tinggi kejujuran dalam bekerja
Di DJA tercinta

Dibawa Jujur Aja....


~ 16 Agustus 2018 ~




Aku dan Diam

Ketika aku berteriak pada deburan ombak yang menghantam  batu karang, hanya letih yang kudapati

Ketika aku tertunduk membisu pada keheningan yang menyelimuti seisi alam, kedamaian perlahan merambat mengisi relung sanubari

Aku dan diam menjelma menjadi untaian kata yang tak semua orang memahami

Bersolek

Kadang diri ini lupa
Bersolek agar terlihat sempurna dalam pandangan manusia
Namun, akhlaq yang baik mestilah terjaga
Kecantikan dan ketampanan kan sirna
Karna memang demikian adanya
Kehidupan ini bersifat fana

Silahkan bersolek
Tak ada larangan
Sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan
Luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar
Sebagai wujud insan yang beriman

Quo Vadis B20



Bagi yang belum paham B20, ini adalah program kewajiban pencampuran BBM dengan biodiesel dengan komposisi 80% BBM dan 20% biodiesel. Pemerintah mempertajam pelaksanaan program ini akibat bengkaknya defisit pada transaksi berjalan Indonesia pada tahun 2018. Sebenarnya yang dilakukan pemerintah tidak salah yaitu berusaha mengurangi impor BBM dengan cara memproduksi biodiesel dalam jumlah besar. Program B20 inipun telah dilaksanakan sejak 2016 tapi pencapaiannya selalu tersendat-sendat alias tidak pernah tercapai B20 nya.

Nah disinilah letak permasalahannya. Biodisel Indonesia di produksi dari CPO atau minyak sawit. Produksi sawit Indonesia berdasarkan statistik sawit tahun 2015 mencapai 30 juta ton untuk tahun 2016 (prediksi). Entah tercapai atau tidak tapi yang jelas Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia dengan market mencapai lebih dari 50%. Berarti supply CPO dunia sebagian besar berasal dari Indonesia. Untuk konsumsi domestik, hanya dibutuhkan sekitar 5 juta ton per tahun dimana konsumsi ini termasuk minyak goreng dan produk turunan CPO lain tapi tidak termasuk biodiesel. berarti masih banyak spare untuk produksi biodiesel.

Konsumsi diesel kita untuk sektor transportasi sekitar 30an juta kilo liter tahun 2016. Berarti untuk menganti 20%nya dibutuhkan sekitar 6 jutaan KL biodiesel. 1 ton CPO dapat memproduksi sekitar 900 liter biodiesel tapi kita bulatkan saja menjadi 1:1 sehingga dibutuhkan sekitar 6 juta ton CPO untuk memproduksi biodiesel. Dengan produksi CPO Indonesia yang 30 juta ton, konsumsi domestik non biodiesel 5 juta ton, maka kita punya lebih dari cukup produski CPO untuk memenuhi target B20.

Tapi tidak semudah itu. Diluar konsumsi domestik yang 5 juta ton, produksi CPO kita di ekspor dengan pasar utama RRT, India, USA dan UE. Selama ini pemerintah mengerem laju ekspor dengan menciptakan permintaan domestik yaitu program B20 dengan mengenakan bea keluar terhadap produk CPO dan turunannya secara progresif. Selain itu, ada juga CPO fund yaitu dana perkebunan kelapa sawit yang diambil dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya. Perbedaan bea keluar dan pungutan ekspor ini adalah jika pungutan ekspor dikenakan untuk setiap produk CPO dan turunannya yang diekspor, bea keluar hanya dikenakan jika harga internasional CPO kita semakin tinggi, diatas 700 USD/ton nya.

Kenapa program B20 ini tidak pernah tercapai targetnya? Cukup pakai analisa tukang sayur saja, kalau ekspor CPO sudah menguntungkan, ngapain juga produksi biodiesel. Sebagai informasi tambahan, semua perusahaan biodiesel di Indonesia adalah merupakan bagian dari perusahaan kelapa sawit besar seperti Wilmar, Musim Mas dan Sinar Mas. Dengan kondisi ini, pengusaha sawit bisa dengan mudah memilih mana yang lebih menguntungkan menjual CPO ke luar negeri atau memproduksi biodiesel. Fakta bahwa target B20 tidak pernah tercapai membuktikan bahwa menjual CPO jauh lebih menguntungkan daripada memproduksi biodiesel walaupun sudah ada restriksi macam-macam.

Nah, pemerintah dalam rangka menyehatkan neraca perdagangan berusaha agar progam B20 bisa tercapai bahkan sekarang menerapkan sanksi apabila ada pengusaha biodiesel yang tidak mau memproduksi biodiesel. Disini bisa terlihat sebuah blunder yang akan diciptakan oleh pemerintah.

Pertama, mari kita pakai matematika sederhana saja, untuk memproduksi biodiesel sebanyak 6 juta KL dibutuhkan 6 juta ton CPO. Ini berarti akan mengurangi porsi ekspor CPO sebesar 6 juta ton untuk meng offset impor BBM sebanyak 6 juta KL. Jika ekspor CPO adalah X dan impor BBM adalah M serta X-M=0; maka yang akan terjadi dengan kebijakan ini adalah mengubah X-M menjadi –X-(-M) hasilnya ya 0. Dengan kata lain kebijakan ini tidak akan berpengaruh pada neraca perdagangan kita.

Tapi okelah, saya menggunakan asumsi ceteris paribus. Mari kita lihat indicator lain yaitu harga ICP dan harga CPO. Harga CPO di tahun 2018 sedang lesu masih dikisaran 600an-700an USD per ton, tapi harga ICP juga gak tinggi-tinggi amat sekitar 60an USD per barel. Dengan kata lain satu-satunya asumsi yang bisa menolong adalah apabila impor BBM lebih mahal dari pada ekspor CPO. Dan saya yakin inilah asumsi yang digunakan oleh para menteri kita (semoga ya).

Tapi ada faktor kedua yang saya yakin tidak diperhatikan para elit kita. Kenapa target B20 kita tidak pernah tercapai? Instrumennya ada semua yaitu BK dan PE bahkan ada CPO fund juga untuk mensubsidi biodiesel yang dicampur dengan BBM subsidi. Saya yakin jawabannya lebih teknis daripada sekedar kebijakan.

Pencampuran B20 belum tentu aman untuk mesin kendaraan.

Percobaan yang dilakukan memang memperlihatkan bahwa B20 merupakan pencampuran yang optimal untuk mesin kendaraan, tapi mesin kendaraan yang seperti apa? Walaupun Gaikindo juga dilibatkan dalam uji coba B20, tapi ya Gaikindo kan cuma club nya salesman mobil doank. Pengalaman saya menggunakan mobil diesel justru menyatakan dari pabrik mobilnya sendiri untuk jangan mencampur diesel dengan biodiesel lebih dari 10%. Hal ini sama saja dengan penggunaan oktan kendaraan. Mesin mobil yang baru kalau di isi premium yang iktan 88 akan batuk karena pabriknya sudah menulis batas minimal oktan bensin yang harus digunakan. Hal yang sama juga berlaku untuk biodiesel. Hanya karena bisa menggunakan campuran 20% bukan berarti tidak akan bermasalah pada jangka panjang.

Tapi Ok, itu dari sisi konsumen bahan bakar sebagai pemilik mobil, bagaiman dari sisi si pengoplos dalam hal ini adalah Pertamina. Kita anggap saja konsumen gak peduli dengan campuran 20% , lha wong masih banyak koq pemilik mobil baru yang berburu premium. Tapi kenapa Pertamina tidak mau memproduksi biodiesel campuran 20%?

Untuk hal ini jawabannya sederhana yaitu profitabilitas. Berdasarkan hasil berburu data dari Kementerian ESDM capaian B20 untuk PSO tercapai sedangkan yang non PSO tidak. Dengan kata lain untuk biodiesel bersubsidi gak ada masalah B20 ini, tapi yang non subsidi menjadi bermasalah. Koq bisa begini? Ya sederhana harga biodiesel masih kalah kompetitif dengan harga minyak dunia.

Yang membuat masalah semakin pelik adalah pemerintah mengurangi porsi BBM bersubsidi dengan kata lain B20 yang akan dikejar merupakan biodiesel yang nonsubsidi. Siapakah yang akan menjadi korban dari kebijakan blunder ini?

Pengusaha kelapa sawit akan selalu diuntungkan, mereka mau produksi biodiesel atau jualan CPO, gak ada masalah. Pengusaha biodiesel akan menjual biodiesel sesuai harga keekonomian mereka, pemerintah gak akan bisa ngutak-ngatik harganya. Kalau gak ada yang beli ya akan diekspor biodieselnya. Jadilah Pertamina sapi perahnya pemerintah, saya hanya akan membayangkan bahwa harga biodiesel di level konsumen akan meningkat (yang non subsidi), kira-kira permintaannya akan berkurang atau tidak yah akan terjawab nanti. Kecuali jika pemerintah meminta Pertamina untuk mengerem kenaikan harga biodiesel mereka. Lagi-lagi status sebagai sapi perah.

Satu hal yang pasti, jika harga minyak dunia meningkat drastis seperti tahun 2008 dan 2012, maka harga CPO akan ikutan naik karena industri biodiesel di luar negeri akan menambah permintaan feedstock mereka. Lagi-lagi akan kembali lagi ke masalah neraca perdagangan dan inilah lingkaran setan yang akan dihadapi pemerintah dalam hal kebijakan biodiesel ini.