Aku, Si Kutu Buku, Dan Sunyi

 

Ku terduduk kaku di sudut ruangan sebuah rumah tua yang berada di tengah perkebunan di daerah Pangalengan. Suasana senyap membuatku semakin tak nyaman. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi menemani sunyiku. Di sudut lain seorang remaja pria yang kutaksir seusiaku duduk bersila, asyik dengan buku yang sedang dibacanya.

Sedikit demi sedikit kugeser badanku, mendekat ke arahnya. Kepalaku menunduk mengamati buku yang sedang dipegangnya, memastikan posisinya tidak terbalik. Siapa tahu dia cuma pura-pura membaca untuk memberi kesan pandai kepadaku.

“Hey ….”

Tak ada balasan kudengar. Remaja pria itu  tak bergeming. Masih duduk dengan posisi yang sama. Hanya matanya yang mondar mandir ke kiri dan kanan, seperti orang yang sedang senam pagi di lapangan. Kuberanikan diri menggerakkan jari tanganku untuk mencoleknya.

“Hey, kita kan cuma berdua di sini. Di rumah yang luas ini, kita ngapain kek, ngobrol kek, main  gaple gitu, atau main congklak kek,  jangan saling diam gini. Aku takut.”

“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Cari kesibukan sendiri. Nih baca!” balas pria Itu sambil menyerahkan sebuah buku tebal kepadaku.

Seketika dahiku mengernyit membaca judul buku itu. Rasanya ingin sekali kupukulkan buku Itu ke kepala remaja pria Itu.

“Kau pikir kita datang ke sini mau try out UMPTN?Gila aja, orang lagi piknik bawanya buku kumpulkan soal UMPTN,” ujarku dengan suara cempreng dan membuat jangkrik yang sedang bernyanyi langsung terdiam.

“Lha, daripada bengong nggak ngapa-ngapain, mending belajar. Biar bisa masuk PTN,” ujarnya dan kembali asyik dengan bukunya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan tanda kesal kepadanya walaupun percuma juga sih karena dia tak berniat melirikku walau cuma seujung sudut maya. Sejak itu kunobatkan dia dengan julukan Si Kutu Kupret eh Kutu Buku.

Berkali kali kutengok pintu rumah, siapa tahu orang-orang yang ikut kegiatan gathering muncul. Sudah dua setengah jam berlalu sejak waktu yang dijanjikan Kang Alif, Ketua Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak untuk memulai acara kebersamaan. Sayangnya tak nampak tanda remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak muncul dari pintu. Begitu juga Kang Alif, aku tak melihat keberadaannya.

“Kita berkumpul di tempat sejuk hari ini adalah untuk mempererat silaturahmi diantara anggota Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak. Tak ada lagi istilah “aku” tapi adanya “kita” ….” Terngiang kembali di telingaku pidato Kang Alif tadi sore ketika kami para para peserta gathering tiba di tempat ini. Tempat dimana saat ini aku terjebak diantara Si Kutu Buku dan jangkrik yang bernyanyi dengan suara fals.

Tiba-tiba aku merasakan panggilan alam yang untuk saat ini sangat sulit kuhindari. Aku mulai gelisah. Bingung karena kamar mandi berada di luar rumah. Di dalam rumah saja aku sudah merasakan kengerian apalagi di luar rumah.

“Hey ….”

Kusenggol tangan Si Kutu Buku agak keras hingga buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ia melotot ke arahku. Mungkin merasa terganggu oleh sikapku. Tapi menurutku tak pantas ia melotot karena matanya tetap spit.

“Antar aku ke luar!”

“Ngapain?”

“Aku perlu ke kamar mandi. Takut sendiri. Di luar gelap.”

Dengan enggan, Si Kutu Buku bangkit dari duduknya. Ia mengikutiku dari belakang, kalau dari depan berarti mendahuluiku. Tak penting juga sih mau mendahului atau mengikuti, aku hanya butuh teman untuk melawan ketakutanku yang tak jelas takut apa.

“Awas ya, jangan ngintip!”

Si Kutu Buku hanya memandangku heran. Tak kata pun keluar dari mulutnya. Mungkin ia mempunyai niat mengintip tapi ketahuan olehku atau mungkin juga dia jijik mendengar celotehanku.

 

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Si Kutu Buku masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ia berjalan mendahuluiku menuju ke dalam rumah tapi kucegah.

“Daripada kita balik ke rumah dan cuma bengong, mending kita cari Kang Alif. Biar dia tanggung jawab sama kegiatan ini,” ajakku.

Entah dia terpesona olehku atau biar aku tak mengoceh terus, Si Kutu Buku menuruti kemauanku. Entah kenapa dia kembali mengambil posisi di belakangku. Dasar pengekor!

Belum jauh kami berjalan terdengar olehku suara mendesah dari balik tanaman teh di sekitar kebun . Aku menutup mulut Si Kutu Buku yang hampir saja mengeluarkan bunyi. Aku mendekati asal suara. Semakin dekat semakin aku hapal  dengan suara-suara Itu.

“Kang Alif … Teh Mimin, lagi ngapain di sini? Mojok ya?” tanpa basa basi kuinterogasi mereka berdua hingga tanganku disikut Si Kutu Buku.

“Eh Dinda, ngapain di sini?”

“Harusnya sih saya yang nanya, Akang sedang apa, berbuat apa di sini, dua duaan, gelap gelapan dengan seseorang yang bukan muhrimnya dan nama saya bukan Dinda!” bentakku lantang.

Menyebut namaku saja salah, berarti dia tak mengenal anggotanya. Bagaimana mungkin dia bisa berpidato akan menyatukan remaja-remaja dalam ikatan silaturahmi kalau dia sendiri saja tak mengenal anggotanya dan tidak disiplin menjalankan kegiatan yang dirancangnya.

Karena malam gulita aku tak bisa melihat muka Kang Alif dan Teh Yuni. Apakah dia malu atau bahagia kepergok olehku dan Si Kutu Buku, aku tidak tahu. Biarlah bulan yang jadi saksi atas kejadian malam ini.

Aku meninggalkan Kang Alif dan Teh Yuni dengan perasaan kesal. Menyesal sekali ikut acara ini karena menuruti keinginan Ibu agar aku berbaur dengan remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak. Waktuku terbuang sia-sia. Rasa sesal memang datangnya terlambat karena kalau lebih dulu namanya pendaftaran.

Si Kutu Buku kembali berjalan di belakangku. Setelah lima langkah kudengar suara-suara berbisik dan mendesah lainnya. Rupanya acara gathering ini hanyalah formalitas belaka agar izin orang tua bisa keluar dan mereka bisa berpacaran di alam terbuka. Sebagai jomblo sejati aku merasa acara seperti ini tak pantas buatku. Rasa marah membuatku mempercepat langkahku menuju rumah. Tidur adalah jalan terbaik bagiku.

*****

Pagi-pagi buta aku bangun dan berkemas. Bergegas keluar rumah besar Itu. Kulihat Si Kutu Buku mengikutiku dari belakang. Kami berdua naik bis umum mendahului para remaja yang masih lelap karena semalam mereka begadang.

Setelah sampai di Kompleks Mawar Duri Lunak, aku dan Si Kutu Buku berpisah. Aku tak tahu siapa nama sebenarnya nama Si Kutu Buku begitu juga sebaliknya. Kami berdua tak berniat mengetahui lebih dalam tentang diri masing-masing.

Depok, 21 Desember 2020

Puisi untuk Mamak

 Kehidupan Mamak tidak begitu mudah sedari kecil

Mamak perempuan tangguh dan tak mau bergantung

Mamak sering bercerita kala kecil sering berusaha

Demi sebuah cita-cita

 

Aku hanya satu dari sekian orang yang menyayangimu

Aku hanya titipan Allah yang pernah tinggal di rahimmu

Aku malu untuk memberitahukan ini kepadamu,

Bahwa Aku merasa sangat berharga bila didekatmu

 

Mengandung, melahirkan, dan menyusui merupakan tugas muliamu

Mengadu Aku kepada Rabbku atas tingkahku yang mungkin pernah melukai

Melirikmu sibuk dengan aktivitas rumah dan sekolah,

 adalah hal yang memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik

 

Kini bahtera kita hanya dua awak

Sang Kapten telah kembali kepada pemilikNya

Tertinggal dua pesan untukku,

Salah satunya tentangmu.

 

Doaku untukmu,

Semoga engkau diberikan kelapangan hati untuk menjalani segala ketetap Illahi

dan setiap langkahmu dimudahkan Pemilik Alam Semesta ini.

Ibuku Tak Sempurna


 


Ibuku bukanlah ibu yang sempurna. Dia tidak mempelajari ilmu parenting. Tidak juga memakai tips bagaimana mendidik anak. Bukan pula ibu yang mengganti kata 'jangan' dengan 'sebaiknya'.


 Seringkali ibuku juga bersikap keras pada anak-anaknya.Yang kadang tak bisa kunalar dengan pikiran kritisku. Ibuku juga sering membiarkan anaknya mencari penyelesaian atas masalahnya sendiri walau di satu sisi ingin juga ikut campur kehidupan anak-anaknya.


Walaupun tak sempurna bukan berarti ibuku tak pernah melakukan sesuatu yang heroik bagi anak-anaknya. Ibuku tak pernah membelikan anak-anaknya baju baru tapi ia menjahitnya untuk kami dengan renda bertuliskan nama kami di baju.  Tak pernah juga memberi uang untuk pergi ke salon untuk sekedar memotong rambut tapi ia memotong sendiri rambut anak-anaknya. Tak juga sanggup memberikan uang jajan berlebih tapi ia selalu memasak dan membuatkan cemilan untuk kami.


Ternyata aku mendapatkan masa kecil yang bahagia di tengah keterbatasan walau dulu tak pernah kusadari. Aku sering membandingkan dengan kehidupan anak lain yang lebih hebat menurutku, yang bisa menyombongkan diri ketika membeli baju baru, atau pergi ke salon atau juga makan di restoran mewah. Andai aku bisa kembali ke masa itu, tentu aku akan lebih mensyukuri apa yang kupunya saat itu.


Setiap anak pasti memiliki kenangan tersendiri tentang ibunya masing-masing. Bersyukur adalah cara terbaik ketika kita masih memiliki ibu. Saat ini hanya doa yang bisa kulafalkan dalam setiap helaan nafasku, agar ibuku, ibu mertuaku dan juga ibu-ibu lainnya selalu sehat dan bahagia. Selamat Hari Ibu untuk semua Ibu....❤️❤️


Depok,  22 Desember 2020