Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Tuhan Mengambil Dengan CaraNya


Satu per satu diambilNya

Apa yang masih lekat dalam dirimu

Semata karena kasih sayangNya

Untuk orang yang merindu


Beratmu akan terasa ringan
Bila kau ikhlas melepaskannya
Sadar semua hanya titipan
Suatu saat diambil pemilikNya

Milikmu bukanlah sepenuhnya punyamu
Itu hanya rasa yang membelenggu
Fikirmu dipengaruhi perasaanmu
Jangan sampai semua itu mengganggu

Lepaskan dengan ikhlas
Pintu-pintu akan terbuka
Aliran cahaya akan memancar
Aliran ilmu juga terpancar

Lepaskan dengan ikhlas
Agar nol selalu mizanmu
Neraca seimbang, alat ukur yang pas
Adil dan bijak tidaklah semu

Lepaskan dengan ikhlas
Nuranimu akan berkata
Hadapi semua tanpa was was
Yakin dengan tuntunanNya

Lepaskan dengan ikhlas
Berdengung dalam dada bertalu-talu
Melepas rasa yang membelenggu
Butuh kesadaran dan perjuangan

Lepaskan dengan ikhlas
Terus ditanam dalam tindakan
Bukan ucapan di bibir saja
Semua harus dalam kenyataan

Lepaskan dengan ikhlas
Menjadi pondasi hati yang tenang
Menerima ketentuan dan ketetapan
Tanpa gejolak yang tak karuan

Lepaskan dengan ikhlas
Adalah kemenangan
Berperang dalam diri
Untuk meraih sukses hakiki.

Yogyakarta, 29 Oktober 2020




Renungan Senja di Bekasi

Tidak biasa jalanan sepi dari hiruk pikuk dan lalu lalang kuda besi dan mesin kaleng menuju Bekasi. Dalam lamunan, ku bergumam, apakah ini sudah waktunya ? Entah atau kah ini pertanda ? Tak ada yang bisa kujawab dengan sempurna lamunan itu sembari kutunggangi kuda besi ini menuju kota kedua dari hdupku, Bekasi.

Banyak yg terlintas dalam kepalaku saat itu, pikiran pekerjaan, non pekerjaan, non keduanya, dunia fana, dunia antah berantah, entah saya berpikir apa saat itu sehingga lupa isinya pikiran saya apa saat itu. Sekelebat teringat wajah teduh almarhum ibuku. Apakah ini pertanda akau akan segera menyusul beliau jika tidak fokus di atas kuda besi ini? Entah.

Lamunan ku semakin jauh kedalam sambil ku pelototkan mata ini agar tidak menabrak seseorang atau sesuatu. Kupacu si kuda besi dengan kecepatan bawah batas normal, jika seandainya saya terantuk dalam lamunan dampaknya tidak terlalu parah. Bayangan saya paling masuk ke selokan, dengan beberapa bagian mungkin memar dan biru.  
  
Kuingat beberapa kejadian ke belakang, apa yang telah saya lakukan terhadap orang-orang terdekat ? Apakah saya terlalu keras ? Apakah saya terlalu mengurusi urusan mereka ? Ataukah saya masih pantas menjadi pimpinan dan imam mereka ? Atau kah ada petunjuk lain ? Entah dan tak ada yang lebih mengetahui dari Sang Khalik.

Banyak pikiran yang melintas dalam pikiran ku. Banyak pertanyaan yang akan aku tumpahkan tetapi tak sanggup diriku untuk meluapkan. Teringat wajah lucu anak pertama ku saat lahir di akhir bulan September 2002 di Kendari. Betapa senangnya kami ketika pindah rumah dari Jakarta ke Bekasi 1987 ketika aku masih bercelana biru dan berbaju putih. Sebuah kota yang tidak pernah kami pikirkan menjadi second home town setelah Jakarta. Kota yang dulunya merupakan tempat “jin buang anak” Bayangkan seorang jin aja membuang anaknya di Bekasi apalagi kita yang manusia dan akhirnya kita menjemput impian di kota itu.

Tiba-tiba pikiran saya meloncat sekelebat pindah ke tempat lain. Saat perkelahian pelajar semasa SMA kami menjadi sebuah “mata pelajaran” khusus setelah pulang sekolah. Teringat suasana kumpul setelah bel sekolah memanggil untuk pulang dan sekumpulan anak manusia berkumpul memulai gendering perang. Terkadang jika diingat kembali, saya merasa sedikit silly dan unfaedah (kamus anak alay) saat itu. Perang sesama tetangga sekolah, yang kami pun tak tahu sebab musabab nya tetapi kami menikmati moment itu.

Setelah sekian lama pikiran saya loncat dari waktu ke waktu, akhirnya saya pun tiba kembali di persinggahan sementara bersama istri dan anak-anak kami. Setelah melewati itu semua, saya sangat bersyukur bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hidup sebagai perantara menuju persinggahan akhir di akhirat nanti.


kisah ini dapat dilihat di laman 

Terima Kasih

Terima kasih adalah kata yang tidak asing bagi kita. Kata yang sederhana, sepele, bahkan saking sepelenya terkadang dalam satu hari kata tersebut dapat dihitung dengan jari terucap dari mulut kita. Coba saja hitung sendiri kalau tidak percaya 😊, dapat angka 10 saja sudah bagus banget.

Sesederhana dan se-sepele itu kah kata terima kasih? Kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mengucap syukur/membalas budi setelah menerima kebaikan. Kata yang masuk dalam prioritas kosa kata yang kita ajarkan ke anak-anak kita.

Jujur gue baru kepikiran dengan kata terima kasih karena belakangan ini gue lebih sering menggunakan alat transportasi umum untuk berangkat ataupun pulang kantor. Lalu lintas yang makin padat, harga BBM dan tarif tol naik terus, cuaca sedang tidak bersahabat untuk gue yang tidak suka gowes hujan-hujanan adalah beberapa alasan gue akhirnya memilih naik bis setiap harinya. Alasan lainnya, dan mungkin ini jadi yang utama, adalah gue sekarang bisa mengantarkan 2 orang putri cantik gue ke sekolah masing-masing. It's heaven. Lalu apa hubungannya transportasi umum dengan terima kasih?.

Jadi pada saat gue kuliah di negeri kangguru, offcourse tentu saja gue kemana-mana naik public transport a.k.a nge-bis dan/atau nge-tram. Mobil hanya dipakai untuk saat-saat yang secara hitung-hitungan akuntan tidak ekonomis untuk pake angkutan umum. Saat-saat naik angkutan umum itulah gue memperhatikan kebiasaan penduduk lokal ataupun orang-orang yang sudah lama tinggal disana. Dari mulai menunggu, naik, di dalam kendaraan dan pada saat turun. Menunggu kendaraan umum disana pastinya di halte/stasiun atau di titik-titik yang diperlakukan sama seperti halte/stasiun, antrian jelas sudah menjadi budaya yang melekat dalam kondisi apapun. Pada saat naik, yang pertama kali dilakukan adalah mengucapkan salam dan berbasa-basi ke Pak/Bu Supir "good morning-afternoon-evening, how are you?"  lalu nge-tap atau memasukkan koin ke tempatnya. Di dalam kendaraan, orang-orang akan memilih tempat duduk sesuai kondisi dirinya. Tidak ada yang akan menempati tempat duduk/ruang untuk orang-orang penyandang disabilitas, orang-orang tua, wanita hamil atau orang yang bepergian dengan anak-anak balita. Kalaupun semua tempat yang disediakan untuk orang-orang tersebut sudah terisi semuanya, mereka juga dengan sukarela memberikan tempatnya jika masih ada lagi penumpang yang membutuhkan. Nah, pada saat turun, mereka akan "berteriak" ke Pak/Bu Supir "thank youuuuu" dengan berbagai ekspresinya. Maksud gue, terkadang mereka mengucapkan itu seperti mesin penjawab telpon yang sudah terprogram, datar, tapi ya tetep bilang "thank you".

Sebagai newbie di negeri orang, pastilah kebiasaan-kebiasaan tersebut gue ikutin. Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjuang, bukan?. Gak cuma ucapannya yang gue ikutin, bahkan ekspresi ala-ala mesin penjawab telpon tadi juga kadang gue ikutin hehehe. Ya, saat sedang capek banget, pusing banget ataupun cekak banget.

Sekarang, kebiasaan mengucap terima kasih pada saat turun kendaraan umum itu gue praktekkan di Jakarta. Kalau kebiasaan ngucap salam atau basa-basi nanya kabar tentunya tidak. Bayangkanlah gue naik bis terus sok akrab bilang "pagi Bang, apa kabarnya nih?", bisa-bisa abangnya langsung nanya "margamu apa lae? sok akrab kali kau ku lihat, tak ada duitmu kah?". hihihi, yang bermarga jangan tersinggung ya...peace

Dan ternyata saudara-saudara, umumnya pak supir dan kondekturnya reaksinya terkejut menerima ucapan terima kasih dari gue. Mungkin mereka mikir jangan-jangan gue tadi gak bayar atau bayarnya kurang hahaha. Nggaklah, mereka bereaksi seperti itu karena memang sangat jarang sekali penumpang yang begitu turun di tempat tujuannya mengucapkan terima kasih kepada mereka. Dari pengalaman gue, apabila ucapan terima kasih gue keraskan, biasanya ada 1-2 orang yang mengikuti mengucapkan terima kasih juga. Selebihnya, yah cuek bebek sambil sibuk janjian dengan abang-abang ojek kesayangan melalui gawainya masing-masing.

Gue pribadi bisa membayangkan betapa capeknya mereka. Coba perhatikan raut wajah lelah mereka, terutama untuk perjalanan di malam hari. Mereka harus konsentrasi penuh membawa kendaraan dengan se-aman, senyaman dan secepat mungkin demi para penumpang yang sudah tak sabar bertemu orang-orang dikasihi, orang-orang yang penat seharian untuk merebahkan diri mereka ke kasur empuk di kamar yang sejuk, orang-orang yang bahkan terkadang harus mereka bangunkan karena tertidur dengan nyenyaknya sampai tidak sadar jika sudah sampai di terminal tujuan. Gue juga gak peduli dan maklum kalau mereka bahkan tidak menjawab ucapan terima kasih gue, karena tanpa itu pun gue tau ucapan itu sedikit banyak memberikan energi positif untuk mereka. Paling tidak mereka tau, masih ada orang yang menghargai profesi mereka. Syukur-syukur jika energi positif  itu terbawa sampai mereka sendiri bertemu dengan keluarga mereka. Energi yang mungkin akan menggantikan penat mereka dengan harga diri.

Terima kasih yang gue ucapkan saat turun kendaraan umum tentunya sangat sedikit jika sehari gue hanya 3-4 kali turun kendaraan umum. Untuk memperbanyak omzet, ucapan itu akhirnya gue berikan juga ke Pak Satpam yang membantu gue nyeberang di depan kantor, bahkan kalau sempat baca, ucapan itu gue tambahin dengan nama mereka. Lumayan kan kalau sehari gue 4 kali menyeberang jalan. Akhirnya, sekarang gue mengeksplorasi sebanyak mungkin ha-hal yang membuat gue berterima kasih, sekecil apapun itu, dari mulai membuka mata sampai mengistirahatkan mata. Semoga, mudah-mudahan, hal ini menjadi hitungan amal baik gue di hari akhir nanti, Aamiin YRA.


Gadog, 28112018 



CURANG ATAU MATI?



Selalu ada cerita berbeda dari sebuah lomba. Pun demikian dengan perhelatan Bank Jateng Borobudur Marathon (BJBM) 2018 yang baru berakhir hari minggu 18-11-2018 kemarin. Cerita-cerita yang selalu menarik untuk dicerna, ada drama, banyak tawa, suka ria, namun selalu ada duka. 

Cerita-cerita para pelari yang seru, dari mulai persiapan sampai dengan hari H. Ibarat orang pacaran bertahun-tahun yang akhirnya menjadi sah dengan ijab kabul yang hanya 10-15 menit. Demikian pula lomba, persiapan berbulan-bulan akan dituntaskan dalam kisaran 1 sampai 7 jam saja.

Pengalaman batin orang per orang boleh berbeda, tapi kelegaan ketika menyentuh garis finish tentunya sama, euforia pun bertebaran di udara.

Saya pribadi tidak ikut gelaran BJBM 2018, tapi adrenalin yang sama juga saya rasakan ketika melihat unggahan-unggahan teman-teman pelari di media sosial. Ikut merasakan kesakitan ataupun kebahagiaan yang mereka rasakan.

Ketika viral kabar ada seorang peserta BJBM 2018 yang pingsan hanya beberapa meter menjelang garis finish, lalu kemudian meninggal di rumah sakit, seketika euforia yang ada menjadi ungkapan duka yang mendalam. Ungkapan duka yg lalu menjadi pengingat diri bahwa lari adalah olahraga yg tidak main-main. Lari memang membuat tubuh kita sehat tapi untuk berlari yang baik kita butuh tubuh yang sehat.

Lari adalah olahraga yang demanding. Ibarat sebuah logika IF-THEN yg tak ada habisnya. Sekedar contoh, jika kita tidak enak tidur, maka kita juga tidak akan enak berlari. Jika kita tidak makan dengan baik maka lari kita pun tidak akan baik. Sehingga lari itu adalah sebuah siklus: lari baik-istirahat cukup-makan sehat dan bergizi.

Lalu kemudian, rasa duka yang belum usai digantikan dengan caci maki karena ada seorang peserta BJBM 2018 yang dengan bangga mengunggah kecurangannya yang membonceng sepeda motor untuk memperpendek jarak lari. Unggahan yang menyakitkan karena ribuan orang lainnya harus tertatih-tatih menahan sakit dan perih  demi menjunjung sportivitas olahraga ini. Tidak sedikit pula yang harus pulang tanpa medali karena mencapai garis finish melebihi waktu yg ditetapkan panitia.

Curang atau mati, adalah 2 hal yang mungkin akan selalu ada dalam setiap lomba.  Ada yang curang agar tidak mati, ada yang mati karena tidak mau curang.

Curang atau mati bukanlah pilihan yang harus dijalani. Seseorang yang aktif berolahraga haruslah memiliki jiwa sportif, tidak hanya dalam menjalani lomba, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. Curang adalah hal yang haram, dalam bentuk apapun. 

Kematian adalah takdir, sudah tertulis di lauhul mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan. Semua sepakat akan hal ini. Adapun penyebabnya hanyalah syarat yang tak dapat dipilih oleh manusia, hanya mampu berdoa untuk mendapatkan akhir usia yang baik.

Ketika kematian menghantui kegiatan olahraga lari, terlepas dari takdir, sebagai pelari kita harus mampu mengantisipasi penyebab-penyebab kematian saat berlari. Ketika kondisi kesehatan tidak memungkinkan, lari bukanlah satu-satunya olahraga yang dapat dilakukan, masih banyak olahraga lain sebagai pilihan. Hal ini yang bahkan oleh seorang pelari berpengalaman pun sering diabaikan. Cek kesehatan terutama jantung dan kekuatan tulang tetap harus dilakukan, karena akan selalu ada anomali dan hal-hal lain di luar kontrol kita.

Terlepas dari itu, kehidupan saat ini membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan yang baik untuk menyaring semua informasi yg ada. Dunia ini baik-baik saja sampai kita mulai membanding-bandingkan. 

Ketika kita mulai membandingkan diri kita, kemampuan kita dengan orang lain, tanpa sadar timbul dengki dan motivasi negatif yang tidak terukur: yang penting saya mampu lebih baik dari dia, yang penting saya lebih hebat dari dia. Lupa bahwa kondisi tiap orang berbeda, lupa bahwa setiap orang hidup dalam zona yang berbeda-beda pula.

Kecurangan yang dilakukan salah seorang peserta BJBM 2018 tadi juga tidak terlepas dari hal tersebut. Keinginan untuk mengunggah foto diri lengkap dengan medali dengan caption “biar kayak orang-orang”, sudah mengalahkan akal sehat dan menafikkan jiwa sportivitas-nya. Hal ini jelas salah dan melanggar aturan yang ada.

Curang atau mati bukanlah pilihan. Namun kita jangan lupa, bisa jadi kita ikut andil membuat orang curang ataupun mendorong orang untuk mati.  


Introspeksi, saling mengingatkan orang-orang terdekat kita, teman-teman komunitas kita, followers akun media sosial kita, bahwa sesungguhnya kita berlari dengan motivasi, kondisi dan tujuan yang berbeda-beda. Medali, podium atau apapun itu hanyalah bonus duniawi. Yang terpenting dan utama adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat sehat dan kuat yang diberikan Allah SWT dengan tidak mencurangi diri kita dan orang lain, dengan tidak menyiksa diri sampai mati. Wallahu a’lam 🙏🏻

Tak perlu menunggu untuk bersyukur

Alkisah ada seorang PNS meninggal dunia. Jabatan terakhir beliau adalah Eselon III. Dari sisi usia, beliau tergolong masih muda, tapi toh ajal tidak ada hubungannya dengan tua-muda.

Setelah selesai ritual awal alam kubur, Malaikat membawa sang PNS berjalan-jalan ke kerajaan Allah. Di Kerajaan Allah dia diperlihatkan dua ruangan yang sangat besar. Dua ruangan tersebut dijaga masing-masing oleh satu malaikat. Bedanya adalah yang satu malaikatnya sangat sibuk mencatat dan menyimpan berkas-berkas dalam rak-rak yang menjulang tinggi, sedangkan malaikat di ruangan yang satu lagi terlihat sangat santai bahkan nyaris tidak mengerjakan apa-apa.

Terdorong rasa heran yang sangat, si PNS bertanya "wahai Malaikat, ruangan apakah ini?" "mengapa malaikat penjaganya sangat sibuk?". Dengan tersenyum sang Malaikat menjawab, "ini adalah ruangan permohonan dan permintaan. Disini semua permohonan dan permintaan semua makhluk dicatat dan disampaikan ke Allah".

"Coba kau lihat laci yang dipojok sana, itu adalah kumpulan semua permohonan dan permintaanmu sewaktu masih hidup. Tirakatmu, puasamu, doamu pada saat kamu ingin menjadi pejabat, semua tercatat disana."

"Pada saat masih staf kamu meminta dan memohon untuk jadi pejabat eselon IV, dengan alasan posisi tersebut akan memberimu kesempatan untuk berbuat lebih baik. Hari pertama kamu dilantik, kami mencatat bahwa kamu sudah langsung memohon untuk diberikan umur panjang agar dapat menjadi pejabat eselon III karena kamu berpikir bahwa jabatan eselon IV belum dapat membuat kebijakan sehingga kamu perlu dapat membuat kebijakan untuk berbuat lebih baik."

"Permohonanmu terkabul, tapi apa yang terjadi? kamu kembali sibuk bermohon agar dapat diberi kesempatan menjadi pejabat eselon II bahkan sampai ajalmu tiba."

Si PNS terdiam. "Lalu ruangan apakah yang sepi itu wahai Malaikat?"

"Itu adalah ruangan ucapan terima kasih dan rasa syukur" jawab sang Malaikat. "Kau lihat sendiri kan perbandingannya?". "Jarang sekali Malaikat yang menjaga ruangan tersebut mencatat ucapan terima kasih ataupun rasa syukur manusia. Manusia hanya sibuk meminta dan memohon tapi lupa untuk berterima kasih dan bersyukur."

Si PNS menangis, "Ya Allah, ampunilah aku, seandainya tidak KAU cabut nyawaku dan aku masih punya kesempatan jadi pejabat eselon II, niscaya aku akan lebih baik dan lebih banyak bersyukur ya Allah."

Sang Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya dan sambil menarik kembali si PNS ke kuburannya dia berkata "maaf, umur itu rahasia Allah. Seharusnya kamu tidak perlu menunggu jadi pejabat eselon II untuk berbuat baik dan bersyukur, lagian pangkat kamu belum cukup jadi eselon II kamu sudah minta-minta aja."


***



Jakarta, 21 September 2018

MOVE !

Belakangan ini saya menekuni olahraga yang selama bertahun-tahun tidak saya sukai: lari. Ya, sebelumnya saya tidak pernah suka lari, indeed saya berlari, tapi biasanya hanya bagian dari sebuah pemanasan sebelum memulai olahraga yang lain. Saya tidak suka berlari karena nafas saya tidak kuat, gampang ngos-ngos an. Katanya sih lari bisa memperkuat nafas, lah ini baru lari aja sudah ngos-ngos an. Jadinya seperti mana dulu ayam dengan telur :). Lalu kenapa sekarang saya malah rutin berlari?.

Awalnya adalah ketika di suatu hari Car Free Day (CFD), istri saya mengajak saya jalan kaki saja karena bosan bersepeda; rutenya itu-itu saja dan menembus ribuan orang yang berjalan tanpa aturan di CFD adalah perjuangan tersendiri bagi pesepeda. Jadilah akhirnya kami berjalan kaki. Setelah beberapa ratus meter berjalan, saya bilang ke istri kalau saya akan menantang diri saya untuk berlari tanpa jeda dari mulai FX Senayan sampai dengan Bundaran HI, dan kemudian menunggunya disana. Ini jelas sebuah tantangan, karena saya tidak pernah berlari sejauh itu dan saya sendiri pun tidak yakin mampu melakukannya tanpa jeda. Singkat cerita saya pun mulai berlari; 100 meter...200 meter...500 meter....1 kilometer. Saya terus berlari, pelan, karena nafas mulai ngos-ngos an. Tapi saya tidak mau berhenti sambil terus self-talk bahwa saya bisa berlari tanpa jeda sampai Bundaran HI.

Ketika akhirnya saya bisa menyelesaikan tantangan tersebut, perasaan takjub dan tak percaya terus memenuhi hati saya. Kok bisa? Apakah karena selama ini saya rutin bersepeda? Apakah karena ego dan self-talk selama saya berlari?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus terdengar di otak saya, bercampur dengan euforia keberhasilan 'pelarian' pertama saya. Pelarian pertama yang membuat saya berjalan bagai robot selama seminggu. Pelarian yang kemudian memotivasi saya untuk mencoba berlari lagi, apalagi setelah saya hitung pelarian pertama tersebut kurang lebih berjarak 5 kilometer. Saya mampu!. Itulah yang kemudian saya tanamkan dalam otak saya untuk melakukan aktivitas lari ini secara rutin.

Lari dengan segala macam embel-embel nya saat ini memang sedang hits. Dari mulai lari cantik, finish cantik, finish strong dan segala macam istilah dalam dunia lari akhirnya akrab dengan telinga saya. Biasaaaa, namanya juga sedang semangat-semangatnya. Tapi bukan karena ikut-ikutan trend kalau akhirnya saya memiliki sebuah jam tangan pintar. Buat saya, olahraga apapun yang saya lakukan haruslah aman dan terukur, sehingga saya butuh sebuah alat yang bisa mengukur batas kemampuan saya. 

Selain fitur heart rate monitor, salah satu fitur yang saya suka dari jam tangan pintar adalah notifikasi untuk bergerak. Fitur ini akan mengingatkan kita untuk bergerak/berjalan/berlari ketika dalam kurun waktu tertentu kita terdeteksi dalam posisi diam. Agak lucu memang ketika fitur ini pun akan berfungsi ketika kita sedang berada dalam kendaraan atau bahkan sedang tidur :).

Mengapa fitur move! atau bergerak menjadi fitur yang dimiliki oleh hampir semua jam tangan pintar ataupun melekat pada aplikasi-aplikasi kebugaran/olahraga?. Bergerak, selain merupakan salah satu ciri makhluk hidup juga merupakan suatu aktivitas yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Berbagai lembaga kesehatan maupun penelitian-penelitian di bidang kesehatan merekomendasikan agar orang dewasa minimal melakukan latian aerobic 150 menit dengan intensitas sedang per-minggu atau 75 menit apabila dilakukan dengan intensitas tinggi. Aktivitas tersebut setara dengan 7,000 - 8,000 langkah sehari. Bahkan ada satu penelitian yang menyatakan bahwa wanita yang berjalan 10,000 langkah sehari dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu 24 minggu dan meningkatkan kadar glukosa dalam tubuhnya.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita harus berjalan untuk memenuhi rekomendasi tersebut?. Saya pribadi memiliki target 8,500 langkah per hari. Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 5,000 langkah, kita harus berjalan paling tidak 3,2 kilometer sehingga untuk memenuhi target 8,500 langkah saya harus berjalan atau berlari sejauh 6 - 8 kilometer. Saya pernah menemukan fakta ketika di suatu hari kegiatan saya hanya berjalan dari rumah ke garasi, naik mobil, berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor, kemudian berjalan seperlunya di dalam kantor termasuk ke kantin, saya hanya berhasil mendapatkan 1,900 langkah, dari pagi sampai malam. Bayangkan betapa tidak sehatnya saya jika hal tersebut terjadi setiap hari.

Move on dong!  kata anak jaman now kalau ada temannya yang selalu terjebak kenangan masa lalu. Move on...bergeraklah, karena jika tidak maka kamu akan sakit, kenangan masa lalu akan membuatmu sakit. Kira-kira seperti itulah jika dianalogikan dengan bergerak dalam artian aktivitas fisik yang saya tuliskan di atas. Manusia memang harus bergerak, bukan saja untuk menunjukkan bahwa mereka makhluk hidup, tapi lebih dari itu. Manusia bergerak tidak hanya berpindah secara fisik dari satu titik ke titik lainnya. Manusia bergerak juga dalam fikirannya, semangatnya, jiwanya, kebaikannya, amal ibadahnya. Sama hal nya badan yang sakit ketika tidak atau kurang bergerak, maka fikiran manusia pun akan sakit jika tidak bergerak, tidak akan ada pencapaian ketika semangat dan jiwanya tidak bergerak, tidak ada tambahan kebaikan ketika amal ibadahnya tidak bergerak.

Move move move...bergerak bergerak bergerak, ukurlah diri kita, ingatkan diri kita untuk selalu bergerak. Bergerak maju, bukan bergerak di tempat apalagi bergerak mundur, sampai saatnya kita tidak mampu lagi bergerak bahkan berfikir untuk bergerak.


Jakarta, 18 April 2018
Sekedar melemaskan jari yang sudah lama tidak bergerak di papan ketik.

Mulai Dari Nol

"Shell super, tiga ratus ribu rupiah di harga delapan ribu sembilan ratus lima puluh rupiah, mulai dari nol ya Pak", ujar mbak petugas stasiun pengisian bahan bakar. Saya hanya mengangguk mengiyakan. Kata-kata tadi seperti sebuah Standard Operating Procedure (SOP) di sana. Pompa pengisian bahan bakar baru mulai dijalankan setelah pelanggan setuju dengan pilihan jenis bahan bakar, jumlah yang akan diisikan, harga per liter bahan bakar tersebut, serta memastikan bahwa pengisian dimulai dari angka nol, baik nol liter maupun nol rupiah, sebagaimana tertera di layar pompa.
.
Di pengajian fiqh tadi malam, istilah "mulai dari nol" digunakan ustadz ketika menggambarkan bahwa tidak ada satupun karomah para nabi dan wali yang didapat seketika. Para nabi dan wali memulai semuanya dari nol. Mengerjakan amalan, wiridan dan ibadah lainnya secara rutin, tertib dan ikhlas hanya untuk Allah sehingga semua ibadah tersebut menjadi satu dengan diri dan hati mereka. Dan semuanya itu tidak terjadi dalam 1-2 hari atau hitungan 2-3 minggu, bahkan Nabi Musa A.S berdoa selama 40 tahun untuk menghancurkan kekuasaan Firaun.
.
Ketika adik-adik pegawai baru di kantor membuat poster yang berisi hasil observasi mereka selama masa orientasi pegawai baru, saya sangat mengapresiasi karya mereka. Dalam waktu yang singkat, mereka mampu menangkap permasalahan-permasalahan di kantor yang perlu perbaikan bahkan perlu diinovasi. Meskipun apa yang mereka tampilkan perlu perbaikan di sana-sini, namun untuk ukuran mahasiswa yang baru lulus dan mulai dari nol, usaha mereka layak diacungi jempol.
.
Saat ini sedang  hits kata-kata "reposisi", "mengembalikan marwah..." ataupun kata-kata yang lain yang intinya harus ada satu perubahan yang dapat mendudukkan organisasi ke titik start yang semestinya. Apakah itu berarti harus mulai dari nol lagi atau tidak, tapi yang jelas upaya-upaya tersebut dilakukan dalam rangka menuju suatu titik pencapaian yang lebih tinggi. 
.
Mulai dari nol tentunya untuk memudahkan perhitungan. Bayangkan jika setiap mengisi bahan bakar, seorang pelanggan harus berfikir dahulu untuk memastikan jumlah yang diisikan benar jika perhitungan dimulai dari angka 125 atau 37,5 atau angka-angka lainnya selain nol. Saat bermaaf-maafan di hari raya Idul Fitri atau hari raya lainnya pun, sering terucap "mulai dari nol ya" atau "sekarang skor kosong-kosong ya". Sama seperti analogi pengisian bahan bakar, ketika kita memulai hubungan dari nol, kita bisa memastikan setiap penambahan intensitas hubungan dilakukan dengan benar, tepat dan tanpa kesalahan. Semakin lama intensitas hubungan tentunya akan semakin banyak pula peluang terjadi kesalahan, sama seperti semakin besar hitungan menjauh dari angka nol, maka akan semakin rumit pula perhitungannya.
.
Dalam suatu tahapan kehidupan, mungkin kita akan banyak memulai sesuatu dari nol. Pekerjaan baru, pertemanan baru, mobil baru dan sebagainya. Memulai dari nol faktanya tidak semudah mulai dari nol saat mengisi bahan bakar. Mulai dari nol bisa berarti sesuatu yang sama sekali baru, kenyamanan yang hilang, penghasilan menurun, kewenangan berkurang. Mulai dari nol dapat saja berarti kita sudah kehilangan segalanya. Semua yang sudah dikumpulkan selama ini hanya menjadi hitungan yang sia-sia, tidak ada gunanya dan harus diulang dari nol.
.
Kita akan banyak sekali menemukan titik nol selama perjalanan kehidupan ini. Titik nol yang tidak dapat kita hindari. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menjaga agar ketika suatu saat kita mencapai titik nol, titik nol tersebut tidak berada di dalam garis bilangan yang sama.

Jakarta, 16 Desember 2017

KERJA

"....karena, kerja itu tidak selamanya" 
                   -Sri Mulyani Indrawati-


Bekerja itu, apabila dilakukan dengan niat yang baik, cara yang benar dan dinikmati, adalah ibadah. Kalau memang demikian, menjadi seorang pekerja di Jakarta adalah suatu keberuntungan. Jika yang disebut bekerja itu adalah ketika seseorang meninggalkan rumah sampai dengan kembali ke rumah, maka berarti rata-rata 2/3 hari dihabiskan untuk ibadah. 
.
Pergi pagi pulang malam, itulah kondisi yang dilakoni kebanyakan pekerja yang berkantor di Jakarta. Karena tempat tinggal yang berada di pinggiran kota, kemacetan lalu lintas dan belum sempurnanya moda transportasi massal, rata-rata seorang pekerja harus meninggalkan rumah sebelum matahari terbit jika tidak ingin terlambat, dan pulang saat matahari terbenam bahkan ada yang sampai larut malam. Semua dengan satu tujuan: bekerja untuk mencari nafkah dan menjemput rezeki.
.
Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun tidak terlepas dari ritual tersebut. Apalagi di jaman now, dimana PNS dituntut profesional, seperti lirik sebuah lagu lama "...pergi pagi pulang malam, mengabdi tiada henti, demi tanah ibu pertiwi..". Meskipun sebenarnya, profesional ataupun tidak, tetap saja PNS di kantor saya pulangnya malam karena rata-rata tempat tinggalnya di pinggiran kota Jakarta dengan waktu tempuh minimal 1,5 sampai 2 jam di jam-jam pulang kantor.
.
Dengan kondisi tersebut, praktis seorang pegawai/pekerja hanya memiliki waktu efektif 3-5 jam untuk bertemu dan bercengkrama dengan anak-istri/suami masing-masing setiap harinya. Bahkan mungkin ada yang tidak sempat sama sekali karena ketika pergi anak/istri/suami-nya masih tidur dan pulang ketika mereka sudah tertidur. Kesempatan untuk berlama-lama bersama keluarga akhirnya hanya di akhir pekan, dengan catatan tidak ada panggilan mendadak untuk lembur atau menyiapkan bahan rapat untuk pimpinan. Belum lagi 'gangguan' telpon, sms, whatsapp, email di sela-sela waktu libur atau saat jam seharusnya beristirahat. Sehingga sebenarnya nyaris 24 jam waktu kita disita untuk bekerja dan pekerjaan kita.
.
Konsep Work-Life Balance (WLB) yang belakangan mulai diperkenalkan di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada intinya bertujuan untuk memberikan waktu kepada pegawai untuk melakukan hal-hal yang menjadi passion pegawai tersebut yang mungkin tidak sempat dilakukannya karena tersita untuk penyelesaian tugas. Salah satu implementasi WLB di lingkungan Kemenkeu adalah kegiatan Kemenkeu Mengajar. Dalam kegiatan ini, pegawai yang berminat mengajar sukarela di sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia diberikan day-off. Disitu si pegawai dapat mengaktualisasikan diri dan berbagi dengan anak-anak, menginspirasi dan memotivasi mereka memiliki mimpi untuk menjadi generasi muda yang berguna bagi bangsa dan negara.
.
Apakah WLB efektif sebagai penyeimbang kehidupan seorang pegawai tentunya perlu penelitian lebih lanjut, mengingat tentunya tidak semua pegawai butuh aktualisasi diri seperti itu. 24 jam sehari semalam harusnya dibagi dengan imbang antara kewajiban mencari nafkah, hak tubuh untuk beristirahat dan hak orang-orang yang kita kasihi untuk bercengkrama. 
.
Dalam kegiatan family gathering Hari Oeang ke-71, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati secara khusus memberikan apresiasi kepada keluarga PNS Kemenkeu yang dengan sabar dan ikhlas harus rela kehilangan waktu bersama istri/suami dan anak-anaknya demi pelaksanaan tugas-tugas Kemenkeu. Secara khusus beliaupun berpesan agar keluarga tetap menjadi prioritas utama karena kerja itu tidak selamanya tapi keluarga selamanya.
.
Pesan Bu Menteri tersebut sangat berkesan dan membekas di segenap hati PNS Kemenkeu. Hal ini menunjukkan perhatian seorang pimpinan kepada bawahannya. Tidak mudah memang untuk dilaksanakan tapi paling tidak ada upaya-upaya ke arah sana. Pembangunan infrastruktur transportasi massal yang saat ini sedang berjalan diharapkan dapat mengurangi tingkat kemacetan dan memangkas waktu tempuh perjalanan dari daerah-daerah pinggiran ke Jakarta. Dengan demikian, tidak banyak waktu yang dihabiskan di jalan hanya untuk perjalanan pergi-pulang ke kantor. Pemberlakuan flexy time, meskipun perlu ditinjau ulang, memberikan cukup waktu untuk sekedar sarapan bersama keluarga di rumah sebelum berangkat ke kantor namun masih terasa kurang apabila harus mengantarkan anak-anak ke sekolah. Pekerjaan diselesaikan dengan lebih efektif berkat dukungan sarana prasarana IT dan penggunaan gadget sehingga tidak perlu lembur ataupun hadir secara fisik untuk hal-hal yang dapat digantikan dengan penggunaan teknologi tersebut.  Para pimpinan jaman now pun sudah mulai memahami kebutuhan bawahannya, sehingga tidak menyita waktu istirahat dan libur bawahannya dengan hal-hal yang sifatnya kedinasan.
.
Kerja itu adalah ibadah, tapi jangan sampai mengabaikan hak tubuh dan keluarga. "Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang". (Umar Bin Khatab, RA)


Jakarta, 13 Desember 2017

COCO

"Kejujuran itu menyakitkan, tapi kebohongan bisa membunuh"


Tulisan ini terinspirasi dari film yang berjudul "COCO". Tadinya saya sudah malas untuk ikutan nonton film ini. Pertama, harga tiketnya mahal hehehe. Kalau nonton sekeluarga itu hitungannya di kali empat, jadi kalau harga satu tiket lima puluh ribu rupiah berarti saya eh istri saya harus keluar uang lima puluh ribu di kali empat atau dua ratus ribu rupiah. Pilihan efisiensinya, yang nonton hanya mama dan adek, kakak dan adek, papa dan adek atau mama, kakak dan adek. Terakhir kombinasi mama dan adek nonton film "My Little Pony" berakhir dengan pandangan kosong mama menatap layar, ngunyah popcorn sambil bilang "bagus", sementara si adek menonton dengan mata berbinar-binar bahagia. Kemarin itu, tidak ada kesepakatan kombinasi efisiensi, sehingga terpaksalah kami berempat nonton film pilihan si adek. Alasan kedua mengapa saya malas nonton adalah karena saya selalu tertidur di bioskop. "Papa parah" komentar si adek karena saya tidur pas nonton film Batman Lego Movie, karena dia tahu banget kalau papa-nya penggemar Batman. Kan eman-eman sudah bayar tiket malah ketiduran di dalam. Akhirnya, diputuskan kami tetap nonton berempat, itung-itung nyenengin si adek yang udah seminggu ditinggal papanya ini ke Yogya.
.
Ternyata film-nya menarik juga. Bercerita tentang seorang anak kecil bernama Miguel yang merasa 'dikutuk' karena lahir dan tinggal di keluarga pembuat sepatu sedangkan dirinya merasa lebih cocok menjadi musikus. Di keluarga Mama Coco (nenek buyut Miguel), musik adalah sesuatu yang diharamkan setelah sang Papa meninggalkan keluarga demi musik. Jangankan musik, menyebutkan nama sang Papa saja adalah hal yang tabu, bahkan foto sang Papa yang terpajang di ofreda (semacam ruangan pemujaan)-pun tidak tampak wajahnya karena disobek dengan penuh kebencian.
.
Mengambil setting perayaan dia de los muertos atau perayaan hari orang mati di Meksiko, cerita film mengalir cepat. Logika penonton diarahkan ke sosok Ernesto De La Cruz, seorang pemusik legendaris yang diidolakan si kecil Miguel. Ernesto tidak saja menginspirasi dengan suara dan permainan gitarnya tetapi juga dengan lagu-lagu dan kata-kata motivasinya. Banyak sekali kata-kata motivasi Ernesto seperti "seize the moment", "no one was going to hand me my future.." dan lainnya yang semakin menguatkan Miguel untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Keajaiban pun membawa Miguel ke "Land of the Dead"  yang akhirnya menguak tabir misteri keluarganya selama ini, sekaligus memperdaya logika awal penonton.
.
Saat menonton film ini saya membuat rekor baru: tidak tertidur di bioskop. Entah karena sudah kenyang tidur pas di Yogya atau karena jalan cerita yang menarik. Yang jelas banyak sekali pesan yang saya tangkap dari film ini.
.
Awalnya saya menduga bahwa film ini akan berakhir klise. Seorang anak yang memberontak dari keluarganya, determinasi yang tinggi ditambah dengan motivasi-motivasi dari sang idola mampu membuatnya mewujudkan impiannya, dan akhirnya keluarganya mengalah dan mampu menerima pilihan sang anak, that's it.  Tapi ternyata meskipun ending-nya kurang lebih sama, pesan yang disampaikan lebih dari itu. 
.
Kejujuran itu menyakitkan. Ketika kejujuran itu didapat si kecil Miguel, seketika hatinya sakit. Angan-angannya hancur. Impiannya musnah. Sang Idola yang selama ini telah menginspirasinya, tak lebih dari seorang pendusta, seorang opportunist yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ketenaran dan nama besar. Apa yang dilakukan oleh Ernesto tentunya bukan hal baru dalam kehidupan sehari-hari. 'Mencuri' ide adalah sah-sah saja, bukankah memang tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini?. Ernesto tidak pernah menciptakan lagu sendiri. Lagu-lagu yang dinyanyikannya adalah lagu ciptaan sahabatnya, yang harus kehilangan nyawa dan keluarga demi ambisi Ernesto. Pertanyaan yang kemudian timbul di benak saya adalah ketika semua kebohongan Ernesto terungkap lalu semua yang telah dilakukannya menjadi sia-sia. Dia dicemooh dan akhirnya dead for good. Landmark  yang dibangun khusus untuknya pun yang awalnya bertuliskan Remember Me kemudian diganti menjadi Forgotten. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang selama ini telah terinspirasi dengan hidupnya? berapa banyak hidup orang yang berubah menjadi baik karena kata-kata yang disampaikannya?. Entahlah. Apakah beda nilainya seorang yang bertobat karena mendengar nasihat seorang ustadz atau mendengar nasihat seorang penjahat?.
.
Kebohongan dapat membunuh. Mama Coco harus berbohong berpuluh tahun, mengingkari hatinya yang sangat merindukan sosok sang Papa. Papa yang selalu memainkan gitar dan bernyanyi untuknya. Lagu rahasia yang khusus diciptakan untuk Coco kecil, yang membekas dalam hati sanubarinya hingga di usia senjanya. Kebohongan yang harus dipelihara demi keutuhan keluarga besarnya. Kebohongan itu tidak saja membunuh kerinduan Mama Coco, tapi juga membunuh sang Papa di "Land of the Dead". Kebahagiaan para orang mati untuk berkunjung ke tanah orang hidup, menemui orang-orang terkasih-nya akan hilang ketika tidak ada satupun orang yang ingat kepadanya dan memajang fotonya di ofreda. Pesan yang sangat kuat dan menyedihkan bahwa seseorang itu dikatakan mati bukan karena nyawa telah hilang dari tubuhnya, bukan karena telah dikubur, dibakar atau dilarung. Seseorang dikatakan mati apabila tidak ada seorangpun yang mengingatnya, forgotten.
.
Keluarga adalah hal yang terpenting dalam hidup ini. Perbedaan dalam hal apapun tidak dapat dijadikan pembenaran untuk meninggalkan keluarga. Perbedaan adalah suatu keniscayaan, bukan sesuatu yang harus dihilangkan tetapi sesuatu yang harus bisa dipahami dan ditoleransi dalam suatu ikatan keluarga. Perbedaan bukanlah suatu alasan untuk mengucilkan satu anggota keluarga, perbedaan bukan pula alasan untuk tidak mendengarkan suara. Perbedaan yang dikuatkan dalam satu persaudaraan, satu keluarga, justru memberikan warna dan membentuk satu kekuatan bersama.
.
Manfaatkan setiap kesempatan, ambil setiap peluang. Once never comes twice, begitu kata pepatah. Kesempatan tidak akan datang dua kali, sehingga kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Namun demikian, harus diingat, setiap kesempatan yang kita ambil tentunya membutuhkan suatu pengorbanan?. Bukankah setiap kita mendapatkan kenikmatan ada kenikmatan lain yang dicabut dari kita?. Bijak mungkin adalah kata yang tepat. Bijaklah terhadap setiap kesempatan yang datang. Saat sang Papa tidak bijak dan mengambil kesempatan untuk meraih kesuksesan bersama Ernesto, sang Papa tak sadar telah mengorbankan seluruh kehidupannya. Butuh banyak generasi dan keajaiban sebelum akhirnya sejarah dapat diluruskan. 
.
Kaget juga ketika di akhir film saya menyadari bahwa tiga orang cewek di samping saya semuanya meneteskan air mata. Wajar memang, saya pun sebenarnya terharu namun berhasil mengendalikan diri untuk tidak menangis. Dalam hati saya berharap, pesan-pesan moral yang disampaikan film ini dapat dicerna dengan baik oleh anak-anak, ya minimal suatu saat saya bisa mengingatkan mereka tentang nilai-nilai baik dari film ini. Mengingatkan mereka bahwa mencintai saudara/orang tua adalah hal yang tidak terbatas waktu, tidak berbatas nafas dikandung badan. 


Jakarta, 11 Desember 2017


The Lonely Statue

Come and visit Odaiba! Along the trip by taking Yurikamome line, you will see an artificial beach with unbelievable beauty. To get to the beach, just get off in Daiba station and feel the sensation of modernized life and its chemistry with natural scenery. 

'Liberty statue' of Odaiba
There is a unique statue stands tall there and it looks like the liberty statue in New York. Fenced by green trees in the border of the sea, it’s truly an attracting icon for tourists to keep their memorable moment by taking pictures with this statue.

However, I look at this statue as a lonely one. There’s a peaceful sea ahead with a strong lovely Rainbow bridge across it, couples hold hands with cheerful faces, children run and laugh happily, group of people talk and smile to each other, but this statue….? It can only stand there days and nights, sunny and rainy, windy or dried, with no expression, and can’t ever feel the happiness surround it. 

And the more annoying thing is, it must carry those heavy books in its left hand and uphold the torch in its right hand. Thanks God it’s just a statue, because it must be exhausting to do such thing for human for years … 😊

Well, once in your life… you might feel you’ve been carrying such a heavy burden on your shoulder. Failures, problems, challenges, conflicts, anger, sadness, and being away from your comfortable life make you feel that you are the only poor guy in the world. 

You can’t enjoy the happiness that people around you share, you can’t see how colorful the world is, you can’t hear a lovely voice of the pigeon singing, you can’t feel the worthiness of one sunny day in winter, and then, you can’t even say one good thing to expel your gratitude to your Creator. 

Oh, no! Don’t get drown too far. Look at around you; find friends and a good community. Friends who will always happily ask how your life is going, the ones who can encourage you, and always say, “Sure we can!” with their smiley faces, and people who can inspire you with their unswerving efforts without saying any complaints. Don’t forget, at least you have your beloved family who really care and support you for your goodness! 

Life is just a flat boring thing without challenges and problems. Once we try to just go through it as we can, we’ll make it as a memorable history. So, if you pass by the Daiba beach and you see the ‘liberty’ statue, you can promise to yourself that YOU are not that lonely statue!🌾

*it is also published @saungkemangiblogspotcoid.

ARTHUR CHRISTMAST

Pagi ini sebenarnya sudah janji akan lari pagi dengan istri, mumpung libur. Sudah kebayang tuh segarnya udara pagi, tanpa buru-buru dan grusa-grusu ke kantor atau nganterin anak sekolah. Sedapnya indomie rebus atau harumnya bumbu kacang ketoprak langganan juga sudah tercium, sebagai tempat finish olahraga pagi hahaha.
.
Rencana tinggal rencana, pas adzan subuh hujan turun dengan lebatnya. Kegiatan apa lagi yang menyenangkan selain kembali bergelung di bawah selimut?. Alhasil, mata pun kembali terpejam dengan nikmatnya, sampai kemudian panggilan alam mengharuskan diri ini keluar kamar.
.
Di luar kamar, ternyata si sulung sudah asyik nonton televisi. Awalnya saya pikir dia nonton serial yang biasa dia tonton, tapi ternyata bukan. Entah kenapa saya akhirnya tertarik bergabung di sofa, ikutan nonton. Film itu ternyata bertema natal, oops udah Desember ya ternyata, yang menceritakan tentang bagaimana seorang Santa Klaus membagikan hadiah natal kepada anak kecil di seluruh dunia. Di jaman modern ternyata Santa Klaus tidak lagi berkeliling naik kereta salju yang ditarik delapan ekor rusa. Sang Santa sudah menggunakan semacam pesawat yang sangat canggih.
.
Pekerjaan membagi hadiah natal tersebut ternyata dikendalikan dari sebuah tempat tersembunyi di kutub utara. Tempat itu sangat canggih, surat-surat permohonan hadiah natal yang menjadi keinginan anak-anak diproses dengan sangat baik, dari mulai menyortir surat-surat tersebut, menyiapkan hadiahnya dan kemudian membagi-baginya ke masing-masing rumah anak tersebut di seluruh dunia. Tujuannya hanya satu: semua anak kecil harus berbahagia mendapatkan hadiahnya di hari natal.
.
Komando pusat kendali tersebut dipegang oleh Steve, anak tertua Santa Klaus yang bertugas saat ini. Dia dibantu oleh ribuan peri dengan tugasnya masing-masing. Selain itu juga ada Arthur, adik Steve, yang bertugas di bagian persuratan. Arthur ini berbeda 180 derajat dengan Steve, baik dari segi perawakan maupun sifat dan karakter. Steve adalah seorang pemuda yang gagah, tinggi-besar, tegas dan sangat disiplin, sedangkan Arthur terlihat sebagai anak yang ringkih, selalu gugup dan ceroboh serta dikenal sebagai sumber masalah di pusat kendali tersebut.
.
Pembagian hadiah natal yang ditampilkan di film tersebut ternyata adalah misi ke-70 dari Santa Klaus. Misi ini sangat penting, pertama, sesuai tujuannya, tidak boleh ada satu anakpun yang terlewat untuk mendapatkan hadiahnya; kedua, misi ke-70 biasanya adalah misi terakhir Santa Klaus bertugas sebelum digantikan keturunan berikutnya. Menjalankan misi dengan sukses bukanlah hal yang susah, peralatan yang canggih, peri-peri yang terlatih dan disiplin serta ketegasan Steve sudah terbukti selama bertahun-tahun. Dan benarlah, semua hadiah terbagi tanpa ada satupun penduduk dunia yang menyadari kehadiran Santa Klaus dan rombongannya.
.
Masalah kemudian timbul ketika Arthur menemukan bahwa ada satu anak di Inggris yang belum mendapatkan hadiahnya. Gwen, nama anak tersebut, menginginkan sebuah sepeda sebagai hadiah natalnya. Keributan lalu terjadi, dan diakhiri dengan keputusan Steve bahwa 1 anak terlewat bukanlah masalah besar dibandingkan jutaan keberhasilan lainnya. "Kereta" Santa pun sudah masuk kandang. Menerbangkannya kembali akan beresiko tinggi. Sang Santa pun sudah masuk kamar untuk beristirahat, tidur dan tidak mau diganggu. Hanya satu anak kecil diantara jutaan lainnya. Masalah kecil.
.
Keputusan itu sangat mengecewakan Arthur. Baginya, tidak ada toleransi untuk kebahagiaan natal. Semua anak harus berbahagia, semua anak harus mendapatkan hadiah natalnya. Dia tidak bisa membayangkan Gwen yang bangun di pagi hari lalu tidak menemukan sepeda impiannya. Hanya anak nakal yang tidak mendapatkan hadiah natal, bagaimana mungkin Gwen mampu menerima ejekan itu dari teman-temannya.
.
Sisa film akhirnya menceritakan bagaimana Arthur, dibantu Kakeknya (Santa Klaus tua), seorang peri pembungkus kado dan kereta salju tua berusaha mengantarkan hadiah untuk Gwen di sisa waktu 2 jam sebelum matahari terbit di Inggris. Bermacam kekacauan yang kemudian timbul dan akhirnya terpaksa membuat Steve dan Santa Klaus ikut terlibat di dalamnya. Gwen akhirnya mendapatkan hadiahnya berkat kerja keras 3 generasi Santa Klaus, terutama Arthur. Akhir yang berbahagia pun terjadi di pusat kendali; Arthur dinobatkan menjadi Santa Klaus berikutnya, Steve menjadi Chief Operational Officer, Santa Klaus tua mendapatkan teman bermain ludo.
.
Perut mulai menuntut sarapan, biji-biji kopi menanti untuk digiling dan diseduh, tapi film Arthur Christmast ini berhasil membuat saya tetap di sofa sampai selesai. Film yang ringan dan tentunya sudah bisa ditebak akhir ceritanya, from zero to hero. Entah karena kurang kerjaan atau memang sedang 'beres', pikiran saya lalu mulai memikirkan lesson learnt dari Arthur Christmast.
.
Pelajaran pertama, ketika target ditetapkan,semua anak harus mendapatkan hadiah dan berbahagia, target tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin. Toleransi nol koma nol nol nol nol nol nol tidak berlaku untuk target kebahagiaan. 1 Anak tidak berbahagia dibandingkan jutaan lainnya tidak berbahagia adalah sebuah kegagalan. Saya jadi teringat ketika memberikan rekomendasi terhadap kasus meledaknya tabung gas 3kg. Saat itu saya menyampaikan bahwa secara persentase jumlah korban akibat ledakan tabung gas 3kg tidaklah material dibandingkan jutaan tabung yang tidak meledak dan orang-orang yang selamat sehat wal afiat menggunakannya. Saya ingat persis tulisan tangan Bu Dirjen saat itu "Pak Indra, tolong rekomendasinya diperbaiki, nyawa orang jangan dikuantifisir, tidak manusiawi". Film ini, dan disposisi Bu Dirjen tadi mengingatkan bahwa ketika menetapkan target kita harus tahu persis apa indikator suatu target itu bisa disebut berhasil. Kita harus sangat hati-hati ketika bagian dari target itu ada hal-hal yang sulit dikuantitatifkan, perlu pertimbangan masak-masak sebelum kita menyatakan hal tersebut telah terpenuhi.
.
Pelajaran kedua, bahkan dalam sebuah kesempurnaan pun ada celahnya. Sistem yang sedemikian canggih masih dapat melewatkan sebuah surat permintaan hadiah. Sistem adalah sistem, tetap orang-orang di dalamnya yang dapat memastikan semuanya berjalan dengan baik. Sinergi antar sub-sistem harus berjalan dengan baik. Dalam kasus Arthur, 'stempel'  sumber masalah yang sudah melekat didirinya membuat dia hanya diberikan porsi peran yang tidak terlalu penting dalam keseluruhan sistem tersebut, meskipun dia adalah salah satu keturunan Santa Klaus. Arthur memiliki karakter dan membutuhkan cara kerja sendiri yang seharusnya juga diperlakukan dan diberikan peran tersendiri. Satu baut roda lepas/kendor mungkin tidak terlalu berpengaruh dalam kinerja kendaraan dalam waktu pendek tapi dalam waktu panjang, hal ini bisa sangat membahayakan sehingga perlu dipasang kembali atau dikencangkan.
.
Pelajaran ketiga, kita suka mengabaikan orang-orang atau hal-hal yang tidak sejalan dengan kita. Meskipun mungkin orang itu atau hal itu tadinya penting untuk kita. Sama halnya seperti kita membuka lemari pakaian dan menemukan baju/celana lama yang tidak pernah kita pakai lagi, padahal dulu begitu ingin kita memilikinya. Bijaksanalah, tidak sejalan bukan berarti tidak setujuan. Ego yang dipertahankan tidak akan mendatangkan kemaslahatan. Pakaian yang tidak terpakai mungkin lebih berguna buat orang lain daripada hanya disimpan bertumpuk di lemari. 
.
Jadi panjang ya ceritanya? Ya begitulah, ternyata libur itu menyenangkan kecuali omelan istri yang menyadarkan bahwa saya harus mandi dan bergegas ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Jumat.

Jakarta, 1 Desember 2017 

Jujur

Tidak ada seorang manusia pun yang luput dari dosa ataupun kesalahan. Hanya saja ada orang yang berani mengakui dosa/kesalahannya, namun ada orang yang tidak berani mengakui dosa/kesalahannya tersebut. Diperlukan jiwa yang besar untuk bisa mengakuinya dengan jujur.

Godaan untuk berbuat dosa/kesalahan sudah dimulai sejak dini, tentu saja tiap orang akan berbeda-beda memulai dosa/kesalahan tersebut. Mungkin sewaktu kecil kita pernah berbohong kepada orang tua kita, pernah mencuri uang milik orang tua, lalu ketika beranjak remaja pernah membully teman sekolah kita, pernah memakan makanan di warung sekolah tanpa membayar dll. Semakin dewasa godaan semakin kompleks menerpa kita, baik di rumah (dengan pasangan dan anak-anak) , di lingkungan tempat tinggal (dengan tetangga, dengan alam sekitar), maupun di kantor (dengan rekan kerja, atasan ataupun bawahan). Bila kita tidak pernah berupaya untuk menyisir kembali apa dosa/kesalahan yang pernah kita perbuat, maka itu akan menjadi titik kelam yang terus menerus membesar yang akan menutupi kefitrahan kita.

Ketika kertas kehidupan kita yang semula berwarna putih bersih, lalu perlahan kita goreskan noda-noda kelam di atasnya, bagaimana mungkin kita bisa melihat warna-warna cerah tergores pada lembar kehidupan kita, bila tak ada lagi ruang untuk menggoreskannya?

Semoga dengan kejujuran kita mengakui dosa dan kesalahan kita, memohon ampun kepadaNya dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti serta mengisi kehidupan kita dengan berbagai kebaikan yang mampu kita lakukan, Allah akan mengampuni kita dan membimbing kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Amin.



Bintaro, 18 November 2017

Pejuang Gondola Gedung Tinggi

Tertegun saya melihat para pejuang gondola gedung tinggi ini. Apakah mereka memang orang-orang yang terlatih untuk menjadi orang yang punya nyali? Saya pikir tidak. Apakah mereka sadar akan bahaya yang siap merengut nyawanya itu? Iya dan saya sangat yakin bahwa mereka melakukan dengan penuh pertimbangan. Apakah ada pilihan lain? Atau memang hobi? Saya belum survei, tetapi ketertegunan saya diawali dari kubikel tempat saya bekerja. Awalnya saya mungkin abai terhadap aktifitas di luar bangunan. Namun kok, setelah beberapa kali terusik dengan aktifitas mereka di luar, jadi saya ingin membuat kisah pekerjaan naik gondola gedung tinggi. Pekerjaan itu menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi orang tertentu. Memang saya belum melakukan proses wawancara yang cukup intens dengan para “Pejuang Gondola Gedung Tinggi” ini. Pendapat ini hanya merupakan buah pikiran jika seandainya mereka memiliki pilihan atau saya bertuker tempat dengan mereka dan mereka yang duduk di sisi dalam gedung Soetikno Slamet ini. 
Pikiran ini cukup mengelitik karena ada pekerjaan perawatan gedung kantor. Dalam rangka perawatan itu, banyak perbaikan dan pengecatan yang harus dilakukan tidak terkecuali sisi luar dari gedung itu yang memang menjadi target perawatan. Jika harus menggunakan bamboo yang saling diikatkan, maka paling tidak gedung itu tingginya maksimal 5 tingkat. Jika lebih biasanya memang sudah dibuatkan jalur gondola tersendiri sebagai bagian dari infrastruktur bangunan atau gedung tinggi. Daripada harus menggunakan bambu lagi, maka gondola digunakan secara maksimal agar pekerjaan perawatan gedung dapat selesai sesuai dengan kontrak.
Kondisi gondola secara umum masih cukup baik dengan cantolan kabel baja dan cukup mencengkram pada roda gondola berkenaan. Sementara para pekerja dengan asyiknya tetap bekerja dengan tali pengaman yang sudah diikatkan bukan ke gondola tetapi ke tali pengaman yang tersambung langsung dari atas. Saya sempat mengamati secara kasat mata, karena pengamatan saya berasal dari dalam gedung bukan ikut bersama dengan mereka. Hasil pengamatannya adalah bahwa kapasitas gondola sepertinya hanya mampu diisi hanya dengan 2 orang dengan berat kira-kira 60 kg. Jika bebannya lebih dari itu, saya gak tau apa yang terjadi. Tapi saya gak mau memikirkannya, tapi saya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa terhadap para pekerja itu. Mereka berada di gondola itu juga bukan karena hobi dan kemauan mereka. Saya sempat sedikit mendengar beberapa percakapan yang mereka ucapkan. Inti dari percakapannya adalah mereka lakukan ini karena gak ada pilihan lain selain pekerjaan ini. Mereka juga terkadang rindu dengan kampung halaman dan keluarga. Jika ada keahlian yang bisa mereka lakukan dan kerjakan, mereka tidak akan mengambil pekerjaan ini.
Mendengar percakapan mereka yang santai dan penuh makna cukup menampar saya sebagai pegawai negeri sipil yang hanya bisa duduk dan mengamati mereka dari dalam gedung. Mereka pun tidak bereaksi ketika dari sisi dalam ada yang melambaikan tangan ke mereka dan mereka sepertinya fokus untuk tetap mengerjakan agar cepat selesai. Karena mereka tahu bahwa waktunya sangat berharga dan jika semakin lama diatas dan pekerjaan tidak selesai maka nyawa adalah taruhannya. Saya cukup malu dan berpikir kembali, apakah ini sebuah sketsa hidup dalam setiap diri seseorang? Setiap diri kita ketika sedang tidak semangat dan banyak malas bekerja, apalagi kondisi tempat pekerjaan sangat nyaman dan bersih dan berada di dalam gedung, mungkin sekali-kali perlu berkaca kepada para pejuang gondola ini. Kalau ruangan agak panas kita dengan mudahnya protes. Bila ruangan terlalu dingin dengan mudahnya kita mengerutu “agak dingin ya ruangan.”. Itulah kita sebagai manusia. Coba seandainya kita berada di posisi mereka? Bisa komplen? Bisa menolak? Bisa protes? Bisa malas? Tanyakanlah kepada diri sendiri. Bagaimana nanti tiba-tiba kita terbangun dari tidur dan harus bekerja sebagai pejuang gondola itu? Saya yakin akan ada banyak pergulatan dalam diri kita.
Iya, saya menyebutnya mereka sebagai pejuang. Karena banyak yang mereka pertaruhkan dalam melakukan pekerjaan itu terutama nyawa. Waktu untuk keluarga, istri, anak dan berbicara dengan rekan kerja. Rekan kerja? Gak ada rekan kerja. Kalau rekan kerja di gondola hanya berdua. Kalau rekannya sakit, maka bekerja sendiri. Pantaslah kalau saya sebut mereka pejuang dibanding saya yang bekerja masih banyak malas, protes, mengobrolnya dan lain-lain. Sang pejuang gondola telah mengingatkan saya untuk tetap semangat dan bersyukur bahwa semua itu sudah ada suratan dan takdirnya. Maka nikmati momen yang telah diberikan dengan hal-hal yang positif tanpa harus banyak komplen dan bermalas-malasan. Selamat berkerja para pejuang gondola gedung tinggi, kami doakan yang terbaik untuk kalian. Doakan kami juga untuk selalu tetap semangat bekerja dengan hal-hal yang positif. Aamiin

Cerita ini dapat juga dilihat pada link berikut : 

Titik NOL

Ada siang-ada malam, ada terang-ada gelap, ada baik-ada buruk, ada sehat-ada sakit. Allah menciptakan semua berpasang-pasangan, salah satunya untuk mengingatkan kita bahwa semua ada pengurangnya agar kita kelak bisa kembali dalam keadaan titik nol, tidak berhutang apapun pada Allah. Titik nol, kembali fitrah, sebagaimana kita saat pertama dilahirkan oleh ibunda kita, tidak memiliki suatu apapun, tidak mengetahui apapun, hanya pasrah pada Allah, maka seluruh kebutuhan sang bayi akan dicukupkanNya.


Namun, seiring dengan bertambahnya usia kita, kadang kita menjadi seorang yang pemilih, tidak mau menerima keadaan tertentu. Kadang kita hanya mau menerima bagian senangnya saja, tanpa mau menerima bagian susahnya. Menghindar dan menghindar hingga grafik terus meningkat, tanpa ada titik balik untuk menukik menuju titik nol.


Ketika jatah usia semakin menipis dan akhirnya menjadi habis, apakah kita mampu berada di titik nol? Titik fitrah untuk kembali kepadaNya, bila kita tidak pernah sekalipun mengupayakan mencapai titik nol tersebut selama kita hidup di dunia ini.


Jakarta, 13 November 2017