Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Perang Kembang

Perang terberat adalah perang melawan hawa nafsu. Pernyataan ini tentu sudah sangat sering kita dengar. Bahkan ini merupakan salah satu hadits shahih yang diriwayatkan oleh  Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwa “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”.


Dalam falsafah Jawa, perang terberat ini digambarkan dalam “perang kembang”. Falsafah ini disampaikan oleh dalang pada pagelaran wayang. Pagelaran wayang memang sebuah hiburan, namun sarat dengan pesan-pesan yang sejatinya merupakan pelajaran untuk diterapkan oleh pemirsanya. Dalam pagelaran pewayangan, perang kembang adalah suatu episode dimana seorang ksatria dipersiapkan oleh seorang guru sebelum ditugaskan untuk mengemban tugas yang berat. Disinilah, seorang dalang menyampaikan sebuah falsafah kepada pemirsa mengenai pengendalian diri melalui sebuah hiburan.


Cerita diawali dengan ditugaskannya seorang ksatria untuk menumpas kejahatan, makar, atau bisa jadi perang besar untuk menaklukkan kerajaan lain yang akan memusuhi kerajaannya. Seorang ksatria yang ditunjuk ini kemudian didampingi oleh empat orang “batur” (pengasuh) yang biasanya disebut panakawan. Tugas panakawan sejatinya adalah menyiapkan sang ksatria agar memiliki jiwa yang tangguh sebelum melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.


Sebuah babak dimulai untuk menyiapkan sang ksatria. Babak ini digambarkan dalam sebuah episode yang biasa disebut dengan istilah “goro-goro”. Dalam babak ini, para panakawan mendampingi sang ksatria untuk pergi menjalankan tugasnya. Di tengah perjalanan, sang ksatria kemudian bertemu dengan beberapa raksasa dengan warna yang berbeda. Sang ksatria harus bisa menaklukkan mereka terlebih dahulu sebelum melanjutkan tugasnya. Raksasa dengan warna berbeda beda ini sebenarnya menggambarkan hawa nafsu yang ada pada dirinya, yaitu amarah, aluamah, muthmainnah, dan supiah. Oleh karena itulah raksasa-raksasa ini harus ditaklukkan terlebih dahulu oleh sang ksatria.

Ceritanya tidak habis disitu. Setelah menaklukkan mereka, masih ada satu lagi raksasa yang harus ditaklukkan. Raksasa ini bernama Gendir Penjalin, atau lebih terkenal dengan nama Buto Cakil. Tokoh ini adalah gambaran dari kesombongan. Berbeda dengan raksasa yang lain, tokoh ini akhirnya mati oleh senjatanya sendiri. Satu lagi pesan kuat yang disampaikan melalui tokoh ini, yaitu kesombongan akan membunuh pelakunya dari dirinya sendiri


Dengan menaklukkan mereka, sang ksatria telah lulus ujian pengendalian dirinya sehingga layak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan bekal itu, diharapkan sang ksatria memiliki bekal utama untuk menghadapi lawan selanjutnya. 

Falsafah ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat secara umum. Perang kembang merupakan salah satu sarana untuk memudahkan masyarakat, khususnya di Jawa (atau lebih spesifik, di kampung saya) untuk memahami pelajaran hidup mengenai pengendalian diri. Falsafah ini secara nyata dilaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Memang perang kembang bukan satu-satunya yang mengajarkan mengenai hal ini, tapi salah satunya.