Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN BUNCAHAN RINDU

Lelaki ini rindu. Perempuan itu juga. Membuncah. Hujan mengalir tanpa spasi. Layaknya skripsi yang tak kunjung jadi. "Pakkkk....!", jengah Perempuan itu. Mata bulat indahnya melotot penuh. Alih-alih seram, malah menggemaskan. Lelaki ini tertawa. Jahil. "Whaaat...!?, balasnya. "Gak usah usaha deh", rajuk Perempuan itu. Lelaki ini tergelak lagi. Lelaki ini tau pasti. Dalam situasi yang berbeda, tatapannya tadi akan menciptakan medan magnet yang kuat. Perempuan itu akan menjadi seganas kobra memangsa korbannya. Tanpa dikomando Lelaki ini dan Perempuan itu terbahak. Mengundang tatap heran dari sekitar. Mereka tak peduli. Pipi Perempuan itu memerah. Bersungut-sungut menuntaskan gelato terakhirnya. Lelaki ini masih menahan tawa. Sungguh, rasanya sudah bukan ratusan purnama lagi mereka tak jumpa. 

Senja sudah semakin tua. Udara dingin mulai menyergap. Sisa-sisa hujan masih menyisakan genangan. Satu dua jangkrik sudah menuju pos jaga. Lelaki ini dan Perempuan itu masih di sana. Saling menatap tanpa kuasa menerjemahkan makna. Dua cup gelato dan secangkir americano tandas tak bersisa. Lalu mereka berebut bicara. "Bapak dulu aja", Perempuan itu mengalah. Menyebalkan memang. Perempuan itu selalu memanggil "Bapak". Kalau diprotes selalu jawabnya "kan emang Bapak sudah tua". Arrggh. "Bagaimana kalau .. Bagaimana kalau Bapak tidak baik-baik sajaaaaa?* Perempuan itu memotong kata-kata Lelaki ini dengan potongan sebait lagu. Lalu tergelak. Menggemaskan. 

Malam merangkak lelah. Menyaksikan polah manusia. Ada yang terkantuk-kantuk mencari nafkah. Banyak yang sudah lelap berselimut mimpi. Tak sedikit yang menikmati surga dunia. Lelaki ini dan Perempuan itu enggan beranjak. Tidak banyak kata malam itu. Resonansi rasa tercipta. Mereka tidak terpisah jarak ribuan kilo jauhnya. Pun, tidak pula tak saling berkabar. Tapi entah mengapa, jarak semakin membentang rasa. "Kamu tak rindu?" tanya Lelaki ini. "Hmm, ini perlu banget dijawab ya Pak?", Perempuan itu balik bertanya. Lalu kata-kata bertebaran di udara. Memenuhi ruang hampa dengan asa. 

"Kita mau seperti ini terus Pak?", tanya Perempuan itu sendu. Dingin mulai menelisik tulang. Malam ini mungkin menjadi malam terpanjang. Setan pun sudah enggan menggoda. Hanya duduk-duduk saja menatap rindu yang membuncah. Lelaki ini dan Perempuan itu tak lebih dari rekan kerja, mereka bicara tentang negara. Tapi, getaran rasa itu tak pernah sirna. Tidak oleh jarak. Tidak oleh waktu. Bahkan oleh diam yang membeku. Lelaki ini hanya diam. Percuma dijawab. Hanya berputar kata berakhir air mata. Hubungan ini ibarat jalan panjang tak berujung. Mereka tak butuh bertemu untuk bahagia. Tapi , mereka lebih bahagia jika bertemu. Tidak pula butuh kata-kata cinta. Karena, mereka bahkan bisa menuliskan kata cinta tanpa sedikitpun rasa. Jika begini saja bahagia, lalu untuk apa harus berubah? Jika rasa masih teresonansi dengan sempurna, lalu untuk apa hangatnya rasa?.

Lelaki ini dan Perempuan itu berdiam dalam khayalan rasa. Pengamen lusuh berjalan lesu. Menghitung receh entah berapa. "Bang, bisa pesan lagu?", iseng Lelaki ini kambuh. Pengamen sejenak kaget lalu mengangguk kuyu. Sekilas seperti mimpi melihat Perempuan itu bagai bidadari. Lalu mulai dengan suara serak basahnya memenuhi udara:

Bila asmaraku telah tibaMerenggut nafas dijiwaItu dia yang datang hadirkan cintaMenyebar ke dalam rasa
Dapatkah ku mengatakannyaPerasaan yang ku punyaUntuk dia mestinya ku ungkapkan sajaTuk dapat jawaban darinya
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal
Dapatkah dia merasakanSatu nafas yang tersimpanItu bukan cintaSekedar cinta biasaYang sesaat dan trus hilang
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal**

...

Jakarta, 08092022


*Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Judika

** Rasa yang tertinggal, ST12


MASA SEKOLAH (1), GURU GEOGRAFI

Suasana kelas sangat lenng saat itu. Baru sekitar setengah penghuni kelas 3-11 sebuah SMA Negeri di Bandung yang telah berada di dalam kelas, padahal pelajaran Geografi akan segera dimulai. Guru mata pelajaran Geografi ini sebenarnya agak kuhindari karena aku belum membayar uang buku yang kubeli dari Pak Azimuth, begitu panggilan kami kepadanya (kami memanggilnya demikian karena ketika Pak Guru ini menjelaskan tentang sudut putar arah angin, gaya tangannya sangat atraktif sehingga kami menjulukinya Pak Azimuth). Agak riskan bagiku kalau hanya sedikit teman-teman yang berada di dalam kelas karena perhatian Pak Azimuth takkan terbagi dan tentu saja aku akan semakin terlihat olehnya.

Ketika terdengar suara tapak kaki mendekat ke pintu kelas, jantungku semakin kencang berdetak. Sementara tak ada sedikit pun tanda-tanda teman-teman sekelasku memasuki ruang kelas.
“Sebagian anak-anak ada kegiatan OSIS. Genk Boy Band seperti biasa nangkring di kantin.” Bisikan Siti semakin membuat suasana mencekam bagiku. Keringat dingin membasahi keningku. Ada-ada saja teman-temanku ini.
Puncaknya adalah ketika langkah kaki Pak Azimuth memasuki ruang kelas. Sepertinya wajahku pucat karena tanganku mulai dingin dan berkeringat. Berkali-kali kutatap jendela kelas, dengan harapan ada teman yang masuk ke dalam kelas. Harapanku tak terwujud bersamaan dengan pintu kelas yang ditutup Pak Azimuth. Selama satu setengah jam ke depan, sepertinya aku harus melakukan senam pernafasan agar aku bisa lebih rileks.
“Yang lain ke mana?” Selama beberapa saat suasana kelas hening. Aku menunduk pura-pura membaca buku pelajaran Geografi. Jantungku mulai berdebar tak karuan.
“Sedang ada kegiatan OSIS, Pak.” Dari bangku belakang terdengar suara murid yang menjawab pertanyaan Pak Azimuth.
”Memangnya semua murid di kelas ini jadi pengurus OSIS?” tanya Pak Azimuth dengan suara dibuat galak. Aku semakin menunduk menatap bukuku.
“Bukumu terbalik, tuh!” tegur Pak Azimuth yang tahu-tahu sudah berada di sampingku.
Secepat kilat kubalikkan buku yang sedang kupegang. Terdengar suara tawa kecil dari teman-teman yang masih tersisa di kelas. Walaupun sebenarnya masih mending aku dipermalukan karena pura-pura membaca daripada dipermalukan karena aku belum membayar buku Geografi.
“Saya nggak tahu kalian ini mau serius belajar Geografi nggak sih? Mau kalian semua saya beri nilai jelek biar nggak lulus sekalian ….” Panjang kali lebar kali tinggi sudah Pak Azimuth memarahi kami yang tersisa di dalam kelas. Menurutku ini tak adil karena seharusnya Pak Azimuth marah kepada teman-temanku yang tak berada di dalam kelas.
“Hey kamu yang pegang buku terbalik!”
“Saya?”Aku mengangkat kepala dan menatap takut kepada Pak Azimuth.
“Kamu tuliskan di papan tulis pelajaran hari ini. Nanti kalian yang berada di kelas mencatatnya dan teman-teman kalian yang di luar bisa fotocopy.”
Pak Azimuth menyerahkan sebuah buku tulis kepadaku dan menunjukkan bagian mana yang harus kutulis di papan tulis. Beberapa saat aku bengong karena aku tak bisa memahami tulisan tangannya. Tulisannya seperti tulisan dokter zaman dulu yang kalau menulis nama obat hanya berbentuk cacing meringkel.
“Kenapa nggak di-foto copy saja, Pak? Ini kan banyak sekali. Biar saya yang ke tempat fotocopy,” tawarku.
“Tulis saja! Biar kamu juga belajar.”
Akhirnya aku mengambil kursi dan mulai menulis di papan tulis. Saat itu aku merasa kena hukuman dua kali karena teman-teman yang berada di luar. Walau sebenarnya hukuman ini jauh lebih baik daripada ditagih uang buku.
Catatan: Uang Buku sudah dibayar, ya hehehe.

Cinta Dalam Semangkuk Sup Kaki Sapi


Kuperhatikan dengan segenap konsentrasi langkah demi langkah Syarif, orang yang telah mendampingiku mengarungi kerasnya kehidupan selama puluhan tahun. Aku mencoba menahan perasaan sedih karena melihatnya berjuang mencapai tempat yang telah ditentukan oleh terapis yang biasa dipanggil ke rumah.
Masih lekat dalam ingatanku betapa gagahnya Syarif berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendorong roda yang penuh dengan sayuran dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa lelah. Impiannya hanya ingin membuat anak-anak kami mengenyam pendidikan yang tinggi. Bukan untuk kebaikannya sendiri tapi untuk kebaikan anak-anak kami sendiri.
Tak pernah ada kata lelah dalam kamusnya saat itu. Ia hanya ingin yang terbaik untuk keluarganya.
Saat ini ia sedang berjuang meraih kembali apa yang dulu dimilikinya, yaitu pijakan kakinya agar kuat kembali menjelajah dunianya tanpa merepotkan orang lain.
Kuusap air mata di pipi agar Syarif bisa melihatku semangat mendampinginya melewati hari-hari yang sangat berat baginya. Aku ingin ia kembali ceria seperti dulu walaupun langkahnya semakin terbatas.
                                        ***
“Kang, jangan terlalu capek gitu dong. Biar saja aku yang masak,” ujarku melihat Syarif sibuk meracik bumbu untuk memasak sup kaki kegemaran anak-anak kami yang berjumlah tiga orang.
“Nggak apa-apa. Aku bahagia melihat keceriaan mereka menyedot tulang sumsum sapi yang kumasak. Itulah masa yang membahagiakan bagiku. Ketika mereka makan lahap, itu bagaikan sebuah persembahan istimewa sebagai ucapan terima kasih atas jerih payahku menyediakan makanan bergizi bagi mereka,” terang Syarif sambil terus meracik bumbu.
Sesekali aku membuka panci, memastikan apakah kulit kaki sapi yang menempel di kaki sapi itu sudah empuk. Sambil menunggu kulit sapinya matang, kucuci beras dan kutanak nasi di kompor.
“Mudah-mudahan, ketika anak-anak pulang sekolah, sup kita sudah jadi ya, Bu.” Aku hanya mengangguk. Syarif selalu bersemangat ketika memasak untuk anak-anak.
Betapa aku beruntung memiliki suami yang sayang kepada keluarganya. Walaupun hidup kami pas-pasan tapi Syarif selalu berusaha menyisihkan uang untuk menyajikan makanan penuh gizi bagi keluarganya.
                                                        ***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Aku menjawab salam ketika kudengar suara ketiga anakku serempak memasuki rumah. Mereka bertiga berlarian dan berebut memelukku.
“Ayah di mana, Bu?” tanya Nina sulungku yang duduk di bangku kelas enam SD.
“Di dapur.”
“Pasti lagi masak sup kaki sapi, wanginya enak banget,” ujar Dita ceria. Ia adalah anakku yang kedua dan masih duduk di kelas lima SD.
“Hore, makan enak lagi!” teriak Amir, si bungsu terlihat gembira mendengar ucapan kakaknya.
“Ayo ganti baju dan salat Dzuhur dulu, abis itu kita makan siang bareng!”
Mendengar perintah ayahnya, mereka bertiga berlari ke kamar. Setelah itu mereka melakukan salat Dzuhur bersama-sama. Aku tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka bertiga yang tak pernah menyusahkanku dan Syarif. Sekali lagi peran Syarif sangat besar menjadikan anak-anak seperti sekarang ini.
“Nah supnya sudah siap!”
Syarif muncul dari dapur membawa semangkuk besar sup kaki sapi yang dimasaknya tadi. Aku menuangkan nasi dari dandang ke tempatnya. Asap masih mengepul dari nasi dan sup kaki sapi yang dimasak Syarif. Baunya sangat sedap di hidung sehingga membuat perut meronta-ronta ingin segera mencicipi makanan favorit keluarga.
Tiba-tiba Amir tersedak. Syarif menyodorkan gelas berisi minuman kepada Amir.
“Makannya pelan-pelan. Tunggu sampai dingin dulu!” tegur Syarif lembut.
“Iya, Ayah,” jawab Amir.
“Ayah, supnya enak pake banget lho,” puji Nina.
“Iya, Yah,” timpal Dita sambil menyendok kembali sup ke dalam mangkuknya.
“Alhamdulillah kalau kalian suka. Cuma maaf, ya. Ayah tak bisa sering-sering memasak sup kaki sapi, soalnya harus kumpulin uang dulu. Kaki sapi mahal.”
“Nggak apa-apa kok, Yah. Nina ngerti kok. Makan dengan tempe goreng juga enak kok, asal kita barengan begini.”
Syarif tersenyum mendengar ucapan Nina. Aku memandangi suami dan anak-anakku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Tak ada lagi yang kuminta selain Syarif dan anak-anak selalu sehat agar kami bisa selalu membagi cinta kepada anggota keluarga.
                                        ***
Aku ingat, betapa bahagianya Syarif ketika menyaksikan wisuda ketiga anak kami. Walau berusaha menahan keharuan, aku menyaksikan Syarif selalu mengusap air mata yang menetes ketika Nina, Dita, dan Amir maju ke depan memakai toga untuk menerima ucapan selamat dari rektor.
Begitu juga ketika satu per satu anak-anak kami menikah, Syarif selalu berusaha tegar walau aku tahu ia sedih melepas anak-anak yang sangat dicintainya meninggalkan rumah. Akulah saksinya ketika malam-malam Syarif mengusap-usap foto ketiganya.
Cintanya yang dalam, membuat Syarif tak ingin merepotkan anak-anak. Ia tak pernah meminta apapun dari mereka walau berulang kali ketiga anak kami menanyakan apa yang diinginkan ayahnya. Jawabannya selalu sama, “Kebahagiaan Ayah itu adalah ketika melihat kalian bahagia.”
Bahkan Syarif tetap berjualan sayur, walau anak-anak sudah memintanya istirahat. Segala biaya hidup kami akan ditanggung mereka tapi Syarif bersikukuh dengan alasan, “ Ayah bosan kalau nggak melakukan apa-apa.”
Akhirnya sebagai jalan tengah karena kekhawatiran anak-anak, Syarif membuka warung sayuran di rumah. Itu pun setelah melalui bujuk rayu yang tak sebentar sampai Syarif luluh. Aku tak bisa memaksanya untuk berhenti berjualan karena itu adalah hiburannya apalagi anak-anak sudah tidak ada lagi yang tinggal serumah dengan kami.
Sampai suatu ketika, Haji Darmin, pemilik kios daging di pasar mendatangi rumah. Dengan nafas terengah-engah ia memanggil namaku. Saat itu, aku sedang membereskan warung sambil menunggu Syarif datang dari pasar membawa belanjaan sayur untuk dijual.
“Aisyah … Aisyah!”
“Ada apa Pak Haji?” tanyaku kaget. Tak biasanya Haji Darmin mendatangi rumahku ketika Syarif tidak berada di rumah.
“Syarif … Syarif ….”
“Ada apa dengan Kang Syarif?” tanyaku mulai risau.
“Syarif jatuh di pasar ….”
“Jatuh gimana?” tanyaku panik.
“Ya jatuh ke bawah, pingsan! Dibawa orang pasar ke RSUD ….”
Belum selesai Haji Darmin menjelaskan, aku masuk ke dalam rumah. Kuambil tas yang tergantung di tembok. Setelah itu aku memesan ojek online. Rasanya waktu berjalan lambat sampai akhirnya ojek datang.
                       ***
Anak-anak memindahkan Syarif ke rumah sakit yang lebih besar dengan alasan agar ayahnya bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saat itulah Syarif tak berdaya menolak keputusan anak-anak.
Siang malam, aku mendampingi Syarif yang terbaring tak berdaya karena terkena stroke. Sering kali kulihat Syarif memandangi wajahku, kemudian ia akan meneteskan air mata.
“Maafkan aku, ya! Aku merepotkanmu.”
“Kang, jangan bicara gitu. Aku ikhlas kok. Bertahun-tahun Akang menyayangiku dengan tulus, masak karena ini Akang harus minta maaf. Aku yang harus minta maaf, nggak bisa jaga Akang dengan baik.” Aku berusaha tegar agar Syarif tenang. Kuusap tangan keriput Syarif. Dalam hati aku berjanji akan selalu menjaganya.
Janji itu kutunaikan dengan mendampinginya melalui hari-hari yang sungguh berat dan melelahkan bagi Syarif. Seringkali aku tak sanggup menahan tangis ketika melihatnya tertatih-tatih mencoba berjalan selangkah demi selangkah seperti yang kulihat hari ini.
Seperti hari ini ketika terapis datang ke rumah untuk melatih gerak Syarif, aku menemaninya untuk memberi semangat padanya. Walau kutahu Syarif harus berjuang keras untuk kembali bisa berjalan.
Tak ingin kuperlihatkan kesedihan melihatnya berjuang mengikuti petunjuk terapis. Walaupun langkah Syarif berat tapi yang kulihat saat ini adalah semangat yang sama dengan  puluhan tahun yang lalu ketika Syarif berkeliling kompleks perumahan menjajakan sayur.
         ***
Hari demi hari, Syarif semakin pulih. Aku berusaha ceria mendampinginya menjalani terapi demi terapi agar ia tetap bersemangat. Sampai akhirnya Syarif dapat berjalan kembali setelah satu tahun menjalani terapi walau masih harus menggunakan tongkat.
“Aki … Aki!” suara cucu-cucu kami menciptakan senyum indah di wajah Syarif. Satu per satu cucu kami yang berjumlah lima orang dipeluknya dengan cara yang sama ketika ia memeluk anak-anak.
“Kalian main dulu, ya! Aki sama Nini mau masak dulu sup yang enak buat kalian. Mau kan?”
“Mau, Aki!” serempak anak-anak dan cucu-cucu kami menjawab
Aku membantu Syarif melakukan sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya. Saat itu kulihat semangat Syarif memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Aku melihat Syarif yang sama dengan yang kulihat puluhan tahun yang lalu.
Kebahagiaan semakin bertambah ketika anak, menantu, dan cucu berebutan mengambil sup kaki sapi dari mangkuk besar. Kutatap wajah Syarif yang ceria. Hatiku tergetar oleh cinta yang kembali timbul di usia senja kepada seorang laki-laki yang pandai memasak sup kaki sapi.

                                        SELESAI

SANG PREMAN


Jalanan ini nyaris masih sama saat terakhir kali aku lewati puluhan tahun silam. Belum juga dilapis aspal, hanya paving block yang sudah rompal sana-sini. Menyisakan genangan air sisa hujan entah kapan. Pohon yang dulu juga masih ada, hanya lebih tua. Renta namun kokoh menjadi saksi bisu lalu lalang bibit-bibit petinggi negeri. Beberapa bangunan baru berdiri megah, menyesuaikan kebutuhan masa. Tanpa peduli tiap masa tetap butuh tanah lapang, rerumputan bahkan empang sebagai tempat resapan. Aku berjalan lambat-lambat. Berusaha menyesap rasa yang menyeruak di dada. Entah apa, namun yang jelas mataku sedikit berkaca. Kisah demi kisah berkelebat bagai film usang yang diputar ulang.

***

1994
Plaaak…” tiba-tiba preman itu melepaskan pukulan tangan kirinya ke mukaku. Aku kaget. Seketika dahiku terasa panas. Meskipun sudah bersiap, aku tak menyangka serangan pertama datang dari sisi kananku. Walau tak sempat kuhindari, pukulan itu tak cukup keras untuk merobohkanku. Sekejap kemudian keadaan sudah berbalik. Secara beruntun aku membalas dengan combo dollio chagi[1] dan dwi chagi[2] menyasar perut dan ulu hati. “bak buk bak buk” tendanganku mendarat telak dan berhasil membuat preman itu terdorong ke belakang. Melihat itu aku langsung mengejar dengan balchagi[3] andalanku. Preman itu berusaha menghindar, tapi terlambat. Kepalanya terhindar tapi bahu kanannya tidak cukup kuat menahan tenaga 'cangkulanku'. Bruuukkk…. Preman itu pun terkapar. Naluri sebagai petarung jalanan mendorongku melompat untuk melepaskan serangan akhir yang mematikan. Niatku tertahan oleh beberapa tangan yang menarik tubuhku. “Sudah…sudah…cukup..!!” beberapa orang berteriak setengah menghardik, melerai perkelahian sore itu. Sekilas kulihat preman itu pun dipegangi dan dibantu berdiri oleh orang-orang yang dari tadi hanya menonton kejadian tersebut. Mataku mencari-cari sosok perempuan itu. Ketemu. Kulihat dia berdiri pucat dekat pohon di tengah trotoar. Tangannya gemetar. “ayok pulang” ajakku sambil mengambil ransel yang kutitipkan padanya saat kami dihadang preman tadi. Dia cuma mengangguk. Lalu berjalan cepat menjajari langkahku. Masih terguncang dengan kejadian tadi. Orang-orang masih berkerumun. Satu dua bertanya ada apa. “Anak kampung dipukuli mahasiswa” ada yang menjawab. Samar kudengar teriakan preman itu “awas lo ye…!! urusan kita belum selesai…!!”. Aku tak acuh. Toh dia juga tidak berusaha mengejar atau menyerangku lagi. Bagiku, urusan kami sudah selesai disitu.

***

Kampus yang berdiri megah dipinggiran selatan ibukota ini sungguh ironi. Mahasiswanya 100% pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Seleksi masuk yang ketat mematikan harapan penduduk lokal sekitaran untuk menyekolahkan anaknya disitu. Sekolah gratis dengan jaminan langsung kerja, siapa yang tak ingin?. Ekonomi yang bertumbuh bagi masyarakat sekitar tetap saja menyisakan friksi; mahasiswa versus anak kampung. Dari versi paling sederhana dalam permainan sepak bola sampai versi paling rumit dalam hidup manusia: cinta. Manalah mungkin anak kampung memikat hati mahasiswi, sementara mahasiswa dengan mudahnya memetik bunga kampung, bahkan tak sedikit yang ditawari jadi menantu pak haji pemilik rumah kost. Aku termasuk salah satu anak negeri yang beruntung berhasil mencicipi pendidikan disini. Masa kecil dan remaja kuhabiskan di sumatera, tanah kelahiranku. Sekolah disini adalah perantauan pertamaku. Berat, karena baru pertama kali aku berpisah dengan keluarga. Berat karena hatiku tertinggal di sana. Friksi antara penduduk asli dan pendatang di lingkungan kampus ini memang bukan cerita baru. Cerita tentang mahasiswa yang dipalak anak kampung sudah jadi bumbu sehari-hari. Sore itu akhirnya aku yang mengalami sendiri.

***

Plak, tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, mendapati seorang lelaki berperawakan tegap yang senyum-senyum memandangku. Aku berusaha mengingat-ngingat, tapi tetap tak teringat. Menyadari kebingunganku, lelaki itu tergelak “lupa lo ya ama gue?” tanyanya dengan logat kampung yang khas. Aku tetap tidak ingat. Menggeleng. Masih sambil tertawa lelaki itu menunjuk pohon tua di tengah trotoar. “Gak inget lo mukulin gue disitu dulu?” tanyanya, berusaha mengembalikan ingatanku. Aku menatapinya tak percaya. Atas bawah. “Busyeeet…beneran nih lo” tanyaku setengah tak percaya. Betapa tidak. Puluhan tahun lalu lelaki ini adalah sosok preman kampung yang tak jelas kerjaannya. Nongkrong sana-sini malakin mahasiswa atau menggoda-goda mahasiswi. Tapi sekarang, penampilannya berubah 180 derajat. Bersih dan tampak gagah dengan seragam aparat potongan pas di badan. Aku masih tak percaya. Dia lalu bercerita bahwa perkelahian denganku dulu adalah titik balik hidupnya. Kesombongan dan harga dirinya runtuh saat itu. Dihajar habis-habisan oleh mahasiswa kurus ceking adalah aib. Sejak itu dia berubah. Apalagi bapaknya tak lama meninggal, menyisakan tanah dan rumah petak yang satu persatu habis terjual. Dia berubah. Belajar keras melatih diri. Dia pun mendaftar jadi polisi dan alhamdulillah diterima, sampai dengan hari ini. “Masak preman dipukulin anak sekolahan? pensiun aja dah gue..” selorohnya menutup cerita.

***

Nasib manusia memang gaib. Tidak ada yang tahu kecuali Sang Khaliq. Sejatinya semua insan ingin berakhir baik, namun tak sedikit yang akhirnya tergelincir godaan dunia. Kita tidak pernah tahu manusia mana yang akan membawa kita kebaikan, sama tidak tahunya siapa yang akan menjerumuskan kita dalam kenistaan. Pertemuan kembali dengan mantan preman tadi seketika menyadarkanku, dalam hidup kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan. Dari semuanya, selalu ada pelajaran yang bisa diambil, pengalaman yang bisa dikenang. 


Jakarta, 05032020  



[1] Tendangan dari samping dengan menggunakan punggung kaki
[2] Tendangan berputar dengan menggunakan tumit (horse kick)
[3] Tendangan dari atas ke bawah, seperti mencangkul

Panggilan Dari Abah


“Belum pulang, Mbak?” tanyaku pada Mbak Sandra.
“Belum,” jawab Mbak Sandra.
Mbak Sandra adalah pegawai senior yang berada pada ruangan yang sama denganku. Sebagai pegawai yang belum terlalu lama bekerja, aku harus ramah kepada semua pegawai senior di kantor.
Saat itu suasana kantor sudah sepi. Tersisa aku dan Mbak Sandra saja di ruangan. Waktu telah menunjukkan jam 19.50. Kebetulan aku mendapat tugas tambahan dari Pak Bayu, atasanku sehingga aku pulang agak malam.
“Aku pulang duluan, Mbak Sandra. Pekerjaanku udah selesai.” Aku pamit kepada Mbak Sandra yang masih asyik memandangi monitor komputernya.
Tubuh Mbak Sandra berbalik kepadaku yang berdiri di samping kursinya. Sekilas kulihat layar komputer Mbak Sandra. Wajah seorang artis yang kukenal terpampang di layar monitor.
“Mbak Sandra nonton sinetron Terperangkap Cinta Tukang Siomay Yang Aneh?” tanyaku.
“Iya, ngisi waktu pulang,” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Kirain Mbak kerja.”
“Enggaklah. Kerjaanku udah selesai tadi.”
“Kok nggak pulang aja?” tanyaku.
“Hari ini kan tanggalnya ganjil, sedangkan nomor mobilku genap. Jadi kutunggu sampai malam,” jawab Mbak Sandra.
“Oh ….”
“Kamu ngapain pulang jam segini. Sepuluh menit baru bisa dihitung lembur. Sayang lho.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaanku udah selesai kok. Aku pamit, ya.”
Aku mengambil tas dan ke luar dari ruangan. Sebentar lagi AC akan dimatikan oleh teknisi. Aku tak mengerti kenapa Mbak Sandra betah berada di dalam ruangan sendiri.
                                    ***
“Kamu ngapain pulang ke kos? Mending nunggu di kantor aja. Ada temannya. Di tempat kos kan sendirian, bengong,” ujar Mbak Sandra. Saat itu aku bersiap pulang.
Kupikir, seharusnya saat ini Mbak Sandra juga pulang karena hari ini tanggal genap, jadi cocok dengan nomor kendaraannya. Namun, walaupun hari ini tanggal genap, Mbak Sandra tetap berada di kursinya. Sedikitpun tak nampak tanda-tanda ia  bersiap pulang.
Kuperhatikan sejak aku masih anak baru sampai aku jadi kakak bagi pegawai-pegawai baru, Mbak Sandra selalu pulang malam. Alasan yang dikemukakan selalu sama, menghindari ganjil genap. Pertanyaan sering muncul di kepala, apakah setiap hari nomor kendaraan Mbak Sandra selalu berbeda dengan aturan ganjil genap? Misterius memang.
“Iya sih, Mbak. Di kamar kos-an aku sendirian. Ada sih yang dikerjakan, belajar Bahasa Inggris,” jawabku.
“Nah, kan. Udah pulang malam aja. Kan bisa pake komputer kantor. Lumayan hemat kuota,” sambung Mbak Sandra.
Dipikir-pikir benar juga sih apa yang dikatakan oleh Mbak Sandra. Setiap malam aku tidur sendirian. Selain itu kuota  internet cepat sekali habis karena aku selalu membuka  akun YouTube untuk belajar Bahasa Inggris. Aku lakukan itu tiap malam sebelum tidur, agar aku bisa mengikuti seleksi beasiswa sekolah di luar negeri.
Akhirnya aku mengikuti saran Mbak Sandra. Kusimpan tasku kembali di atas meja. Aku duduk dan menyalakan komputer yang sudah kumatikan tadi. Kubuka YouTube dan mulai belajar Bahasa Inggris di komputer.
Saking asyiknya belajar, aku sampai lupa waktu. Aku tersadar ketika Mbak Sandra pamit kepadaku.
“Emangnya udah jam berapa, Mbak?” tanyaku
“Jam sebelas, Neng.” Mbak Sandra tersenyum kecil.
“Ya ampun! Perasaan baru sejam aku belajar,” ujarku kaget.
Kumatikan komputer. Baru sekarang terasa hawa panas di dalam ruangan. Kuambil tas dan ke luar mengikuti Mbak Sandra dari belakang. Ruangan benar-benar sudah gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan.
“Tuh kan, kamu keasyikan. Paket datamu utuh pula,” ujar Mbak Sandra.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalamnya. Mbak Sandra senyum-senyum melihatku.
                                                                 ***
Sebulan berlalu, aku masih tetap dengan kebiasaanku pulang malam setiap hari. Aku belajar Bahasa Inggris dengan menggunakan fasilitas kantor. Tak ada seorangpun yang menegurku. Terlebih Mbak Sandra, Ia malah mendukungku. Kami berdua jadi dekat karena seringnya kami pulang bersama ketika kantor sudah sepi.
“Pulang malam terus nih. Banyak kerjaan?” Sapta bertanya padaku. Sapta adalah teman satu ruangan tapi berbeda bagian denganku.
“Uh … iya. Aku selalu diberi kerjaan tambahan, jadi aku sering menyelesaikannya sampai malam,” jawabku ragu.
“Setiap hari?” tanya Sapta.
“Eh … iya.”
“Hati-hati, jaga kesehatan!” ujar Sapta. Ia berlalu dari hadapanku.
Saat Sapta datang, aku sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Pak Dody, atasanku. Mataku mengantuk karena semalam aku kurang tidur karena pulang kemalaman.
HP-ku berbunyi. Rupanya  ada pesan masuk. Aku mengambil HP yang berada di samping keyboard komputer.
Pesan dari: Bank Antariksa
Pada rekening anda ada dana masuk sebesar Rp2.000.000 untuk pembayaran lembur bulan Oktober 2019.
Mataku terbelalak kaget membaca pesan yang masuk. Aku heran kenapa aku bisa mendapat uang lembur sebanyak itu. Aku terdiam dan berpikir, dari mana staf Bagian Keuangan menghitung pembayaran uang lembur buatku?
“Kamu udah dapat uang lembur, Nis?” Tiba-tiba Mbak Sandra berdiri di sampingku.
“Iya, Mbak. Kok dapat uang lembur banyak ya? Aku kan nggak lembur?” tanyaku heran.
“Ya nggak apa-apa lah. Itu kan rejekimu tiap hari pulang malam,” jawab Mbak Sandra dengan entengnya.
“Tapi, aku kan nggak kerja …,” ujarku bingung.
“Terima aja. Memangnya kenapa aku sering pulang malam, ya karena lumayan pemasukan setiap bulannya,” jawab Mbak Sandra tanpa merasa bersalah.
Jadi, dari jaman dulu Mbak Sandra begini? Pulang malam, nonton sinetron atau film di YouTube memakai fasilitas kantor, setelah itu mendapat SMS Banking di awal bulan. Hatiku bergolak. Disebabkan oleh sikap lemahku, aku melakukan sesuatu yang bodoh .
“Ya udah ya, aku mau ke bank dulu. Uangnya mau kupindah ke rekening lain buat bayar cicilan mobil.”
Aku hanya terpaku mendengar perkataan Mbak Sandra. Uang lembur yang diterimanya setiap bulan dipakainya untuk membeli mobil. Berarti Mbak Sandra sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Setahuku tak pernah sekalipun Mbak Sandra pulang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Monitor komputernya selalu berisi tayangan sinetron atau film.
Batinku bergolak. Sebulan ini aku menghabiskan kuota kantor hanya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, aku mendapat bayaran uang lembur di akhir bulan. Betapa Aku tak punya rasa malu.
Tuut … tuut …tuut
Abah calling
Dengan cepat kusambar HP. Entah kenapa kalau Abah menelepon, tabu bagiku menundanya. Aku selalu kangen mendengar suara Abah yang lembut.
“Halo, Assalamualaikum Abah. Apa kabar?”
“ Waalaikum Salam warrahmatullahi wabarakatu.” Abah selalu menjawab salamku dengan lengkap.
“Kabar Abah baik. Gimana kerjaannya, Neng? Mudah-mudahan Eneng*) selalu betah ya kerja di Jakarta,” sambung Abah.
“Eneng betah, Bah. Sayangnya Eneng belum bisa pulang ke rumah. Maaf, ya,” balasku. Ada rasa haru yang tertahan di dada setiap mendengar suara Abah.
“Nggak apa-apa, yang penting Eneng selalu sehat.
“Iya, Bah.”
“Abah juga pesan, Eneng jangan bikin macam-macam di kantor. Pikirin kerjaan aja. Kerja yang benar. Jangan pernah ambil sesuatu yang bukan haknya Eneng. Nggak ada keturunan Abah yang begitu.”
Suara Abah yang tegas menyentak kesadaranku. Aku heran, sepertinya Abah selalu punya insting kalau aku berbuat sesuatu yang tak baik.
“Neng … Neng. Kok diam saja?”
“Eh … iya, Bah. Eneng denger kok,” jawabku agak gugup.
“Udah, ya. Abah mau ke pasar dulu sekalian jalan-jalan biar tetap sehat. Ingat pesan Abah. Assalamualaikum.”
Abah mengakhiri percakapan. Aku terdiam sejenak. Perasaanku tak enak setelah bercakap-cakap dengan Abah.
“ Waalaikum salam,” jawabku pelan. Kututup HP dan kuletakkan kembali di atas meja kerjaku.
Aku terdiam sejenak, menyesali apa yang kulakukan sebulan belakangan ini. Aku merasa sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kantor kepadaku. Aku juga merasa sudah mengkhianati perasaan bangga Abah memiliki anak sepertiku. Air mata menetes di pipiku. Aku benar-benar menyesal. Ya Allah, ampuni aku.
                                                                ***
            “Nisa, kok tumben udah mau pulang?” tanya Mbak Sandra yang melihatku mengambil tas.
            “Aku mau pulang, Mbak. Belajar di rumah aja.”
            “Kenapa?” tanya Mbak Sandra.
            “Aku nggak mau menggunakan barang yang bukan hakku. Aku juga nggak mau mendapatkan uang dengan cara nggak baik, Mbak. Aku akan lembur kalau memang ada tugas kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku tegas.
            “Ah, sok idealis.”
            “Nggak apa-apa, Mbak. Lebih baik aku dibilang sok daripada setiap hari aku dihantui perasaan bersalah. Emangnya Mbak enggak?” sindirku.
            Mbak Sandra terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku sudah tak peduli lagi. Mudah-mudahan dia bisa segera kembali sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak benar dan merugikan organisasi.
            Aku berjalan meninggalkan ruangan dengan perasaan tenang dan damai. Taka da lagi ketakutan yang membebani pikiranku.

SELESAI

*) Eneng: Panggilan untuk anak perempuan dari Suku Sunda         

Berbohong

"Pagi Mas, saya mau naik eskalator nih, tunggu di halte kecil ya" ucap seorang pria mengakhiri pembicaraan via telepon dengan pengendara ojek online. Karena posisi berdiri saya persis berada disampingnya, saya mendengar dan spontan mengernyitkan dahi, "Hei, kitakan masih di dalam komuter, baru akan tiba di stasiun tujuan beberapa menit lagi", sontak batin saya berkata demikian.

Di lain waktu, Ada pula kejadian yang sama, yaitu sewaktu komuter yang saya tumpangi baru saja tiba di stasiun Kebayoran, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berbicara di telepon genggamnya, mengabarkan kalau dia sudah tiba di stasiun Tanah Abang, padahal komuter baru berangkat dari stasiun Kebayoran Lama.

Dua peristiwa di atas menjadi pelajaran yang sangat berharga khususnya untuk saya pribadi. Jangan pernah menyepelekan perbuatan buruk seperti berbohong, selain menjadi kebiasaan buruk yang terus terulang, kelak kita akan mempertanggungjawabankannya dihadapan Allah Swt.

Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk selalu memperbaiki kekurangan yang ada di dalam diri.