30

Dahulu, seringkali ku bertanya pada sejawat, tentang ukiran rasa, pada permulaan lembaran bahtera rumah tangga. Bagaimana pernikahanmu? Seru! Pungkasmu. Tanpa memahami sejatinya, ku hanya mengangguk, tersenyum mengikuti sumringahmu.


Dahulu, seringkali ku bertanya, apakah "seru" kita masih dalam satu makna, atau sudah berbeda warna? Beberapa tahun silam, seorang sahabat berkata ingin menikah, bagaimana pendapatmu? Saat itu Ia bahkan belum menyelesaikan studi. Menikah di umur 21 tahun, berprofesi sebagai pekerja keras. Ya, pekerja keras. Semua hal Ia lakukan, mulai dari imam masjid, guru ngaji, tukang fotokopi, hingga menjaja ikan.


Bagaimana pernikahanmu?


Semenjak pindah, malam ku tak pernah panjang. Bukan karena begadang, melainkan pada nyanyian pria-pria kesepian yang tak jauh dari kontrakan. Di malam yang lain, pernah juga ada pasangan muda-mudi bertengkar di tengah malam. Lagi-lagi di depan kontrakan. Saling maki dan berteriak. Dari jendela lantai 2 ku amati, satu per satu warga keluar, bukannya melerai, mereka justru menjadikan muda-mudi tadi sebagai tontonan. Di lain hari, seorang tetangga sepuh bertanya, apakah kalian terganggu? Kami hanya tersenyum. Sejauh ini tidak masalah, Nek.


Di hari-hari pertama pernikahan, ku bertanya padanya, suami seperti apa yang kau inginkan? Ku lihat dia sejenak diam, sepasang bola matanya balas menatapku. Tak banyak yang ku inginkan, banyak hal yang ku suka darimu, tentu juga ada yang tak ku suka, jika kau berkenan mendengarkan.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Rasanya terlalu banyak kebetulan yang menuntunku pada takdirnya. Kebetulan diklat DTSD bareng. Kebetulan teman kuliah menikah di kota kelahirannya. Kebetulan sama-sama suka. Eh.. Hmm, sepertinya hal ini perlu saya tanyakan kembali padanya.


Proses yang kami jalani tidaklah lama. Januari 2020, kali pertama ku bertemu orang tuanya. Sebulan berselang, entah angin musim apa, tiba-tiba saja Ayah ku bilang ingin ke Jakarta. Akhirnya, sebelum pulang ke Dharmasraya, kami putuskan untuk mampir sejenak di Bandar Lampung.


Masih jelas dalam ingatanku. Siang itu, saat ku utarakan niatku di hadapan kedua orang tuanya, terlihat sedikit gurat keberatan dari sang Ayah. Bukan terhadap pribadiku, melainkan… Tidak kah terlalu cepat? Bagaimana jika tahun depan? Ruang tamu mendadak sunyi, menyisakan suara detik jam dinding yang tak peduli dan masih saja berbunyi. Tik.Tok.Tik.Tok. Sesaat ku lirik gadis yang ku pinang. Ku kira Ia tertunduk diam seperti di film dan novel cinta. Nyatanya, Ia balas melirik ku, seakan berkata, hayoo, wani ora?


Aku tak mendekati putri Om dan Tante hanya untuk bermain semata. Keseriusanku, dibuktikan dengan melabuhkan perasaan ini ke tempat yang seharusnya. Berlama-lama dalam hubungan yang tidak pasti selain mudharatnya, aku tak menginginkannya. Dan aku yakin, putri Om dan Tante juga berpendapat demikian.


SE 22 bisa dikatakan sebagai tiket pinanganku. Pertunangan yang direncanakan dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Mei, usai lebaran Idul Fitri, terpaksa mundur sebab pandemi. Kehadiran SE 22 saat itu bagaikan cupid perjodohanku dengannya. Bermodal WFHb 10 hari kerja, terlaksanalah pertunangan di Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, pada 26 Juni 2020.


Bagaimana pernikahanmu?


Ah, iya, pernikahan. Malam ini adalah malam ke-30 terhitung saat para saksi bersaksi SAH atas pernikahan kami. Masih terngiang dalam benak saat ku bertanya, bagaimana perasaanmu? Sembari menyudahi tilawah, Ia tersenyum, saat ini hatiku bagai kebun bunga, dengan lebah-lebah yang memanen sari, dan seorang petani yang berlalu lalang sembari bernyanyi, kau tahu siapa itu si petani? 


Suatu waktu, sekembali dari masjid, Ia antusias menyambutku, terburu-buru mencium tangan. Dengan masih menggunakan mukenah, Ia sumringah, memamerkan gigi kecil putih yang berjejer rapi, aku buat takoyaki. Di lain hari, masih sekembali dari masjid, ku temui Ia tertidur dalam keadaan memeluk mushaf coklat hadiah pernikahan. Memang benarlah kata para alim, istrimu adalah hadiah yang diturunkan surga untukmu. Padahal Ia juga bekerja. Tapi, selalu saja kudapati makanku tersedia, pakaianku rapi, serta rumah yang selalu bersih. 


Belakangan, sesekali ku temui, selepas dari masjid, kulihat Ia khusyuk berdoa. Tak ingin mengganggu, ku duduk tak jauh dari tempat sujudnya. Sejenak kemudian, sedu perlahan terdengar menjadi tangis. Segera ku beranjak ke hadapannya. Melepas tangan yang menutupi wajahnya, menatap, lantas bertanya, apa ada hal yang ingin kau ceritakan padaku? Ia masih saja menangis, terisak, dekapku pun semakin erat. Adakah yang tidak kau suka dariku? Lama ku menunggu, hingga suara lirih keluar dari mulutnya, kau tau kenapa bayi yang lahir selalu menangis? Tidak, jawabku. Saat ini aku adalah bayi, yang tak satupun tahu kenapa Ia menangis, bahkan diriku sendiri


Jadi, bagaimana pernikahanmu? Tanyaku pada sosok di seberang cermin. Ku lihat kau sejenak diam, mungkin bingung, atau menggali rasa, entah lah. Sesaat kemudian, kau sumringah. Seru!




Jakarta, 7 September 2020