Aplikasi Nudge Theory: Usulan bagi yang galau pada saat kendurian kantor


Sebenarnya saya lagi males nulis karena kerjaan masih banyak, tapi begitu baca tulisan seorang tokoh feminist yang saya kagumi di forum ini, saya rasa gak ada salahnya sedikit meluangkan waktu buat ngetik-ngetik. Tokoh tersebut buat puisi (walaupun bentuk tulisan gak kaya puisi) yang bernada curcol tentang kelakuan pegawai di kantor tercinta yang datang ke acara pertemuan tapi begitu melihat bos besar angkat kaki, seakan mendapat komando untuk ‘bubar grak’. Belum lagi kelakuan para pegawai tersebut yang kalau datang ke acara selalu ngaret alias lelet alias gak pernah on time. Tentu saja, puisi tersebut mendatangkan kontroversi terutama bagi para cendikiawan WAG mengenai siapa yang salah dan berujung pada ……

Anyway, untuk masalah sederhana ini, saya jadi teringat satu teori dalam behavioural economics yang disebut ‘nudge’, kebetulan pakar teori ini baru dapat nobel bulan lalu. Nudge theory pada intinya adalah bagaimana sebuah aturan/system dapat mengubah perilaku seseorang/masyarakat tanpa menyebabkan konflik dalam diri orang/masyarakat tersebut. Sebagai contoh ketika dibuat garis antrian untuk mereka yang ingin masuk busway secara tidak langsung para penumpang telah di biasakan untuk antri tertib untuk masuk busway. Walaupun terus terang antriannya mengular, tapi lebih baik dari pada berkerubun kayak tawon kan. Contoh lain nudge adalah penggunaan nomor antrian di bank, nasabah bisa duduk nyantai sambil kepo in WAG tanpa kawatir antriannya di selak orang lain. Pun dalam hal ini, para nasabah sudah dipaksa tanpa merasa terpaksa untuk mengantri.

Untuk kantor tercinta/tersayang/terkaya (dalam hal angka nominal rupiah tanpa melihat fisiknya), nudge pun telah di praktekkan. Contohnya handkey, sudah menjadi perilaku pegawai untuk mendatangi handkey terlebih dahulu di pagi hari sebelum nongkrong di kantin atau bocipi (bobo cantik pagi hari) di sudut tertentu kantor. Uniknya lagi perilaku yang pada awalnya di paksakan melalui SE Dirjen ini sudah menjadi bagian dari rutinitas setiap pegawai tanpa ada satupun yang protes bahkan saling mengingatkan kalau ada yang kelupaan. Begitupun pada saat pulang, tanpa disuruh para pegawai memiliki inisiatif untuk mengantri di depan handkey dengan antrian yang tertib, jauh lebih tertib dari pada antrian penumpang masuk busway, padahal gak ada yang nyuruh atau ngasi komando.

Contoh lain dari nudge di kantor adalah penggunaan seragam. Cukup dengan modal tandatangan dari bos besar di selembar kertas, para pegawai sudah terprogram dalam pikiran mereka bahwa senin pakai baju putih, selasa & jumat batik, rabu & kamis seragam blue bird. Pada awalnya memang ada yang ndumel, tapi setelah berlangsung sebulan, hal tersebut berubah jadi perilaku pegawai. Entah kenapa kalau ada yang pakai seragam blue bird hari selasa, pasti merasa jadi aneh sendiri serasa saltum (lha emang iya).

Saya rasa alangkah baiknya jika nudge juga di terapkan pada acara-acara resmi di ‘great hall’ lantai dasar. Bagaimana penerapannya? Ya paling gampang pakai SE Dirjen, tapi menjadi masalah kalau sang pemberi tandatangan menganggap hal ini sebagai ‘no problemo’. Tanggung jawab otomatis turun ke tangan kanan beliau (secara structural) yaitu sekretaris (Sekditjen). Sang sekretaris dalam hal ini harus memberi komando utama pada saat acara di ‘great hall’ tentang posisi duduk berdasarkan jabatan masing-masing.

Dalam hal ini pemimpin harus berada di depan karena merekalah role model yang dipimpin, kalau pemimpin memilih berbaur sama krucil ya silakan lakukan di kantin, bukan di acara resmi. Sehingga dalam hal ini eselon 1 ya duduk sebaris sama eselon 2 diikuti eselon 3 dan 4 serta jabfung dan paling akhir krucil. Kalau krucil melihat bangku pimpinan masih kosong ya mau gimana lagi, teladannya hilang. Kecuali pimpinan mau bertukar jabatan dengan krucil ya silakan (tapi mana ada yang mau kehilangan tunjangan ya).

Eselon 4 adalah krucilnya eselon 3, pun eselon 3 merupakan krucilnya eselon 2. Nah kalau eselon 2 ya mau gak mau harus jadi teladan dengan datang ontime.

Gimana kalau ada krucil yang telat? Apabila bangku pimpinan krucil tersebut sudah penuh berarti nudge telah berhasil. Si krucil yang telat akan malu sendiri, di level apapun dia.

Tapi kalau bangku pimpinan masih kosong? Ya jangan harap nudge akan berhasil, lha wong teladannya aja gak ada. Dalam hal ini pimpinan itu ibaratnya garis antrian atau nomer antrian yang membuat orang menjadi berubah perilakunya.

Tapi bagaimana jika krucil masih gak disiplin sementara pimpinan sudah beri contoh? Ya itulah bukti statement saya bahwa tandatangan bos besar lebih sakti untuk mengubah perilaku pegawai daripada cuma puisi dari tokoh feminist kita.
Mau bukti? Silakan dilaksanakan.

Entah

Antrian orang yang menantikan pembagian tas dari panitia mengular sangat panjang. Sesekali terlihat beberapa orang yang berfoto ria dengan gembira.

Satu persatu orang-orang itu memasuki ruang pertemuan. Ruangan yang megah dan dihiasi lampu-lampu mewah dengan aksesoris yang memanjakan mata. Kudapan lezat menambah kemewahan yang didapat hari itu.

Doa yang diucapkan sangat indah. Sang pendoa berdoa agar kegiatan hari itu tidaklah menjadi kegiatan yang sia-sia. Suara sang pendoa bergetar menahan tangis yang seakan hendak keluar dari matanya.

Setelah doa yang khusyuk, nyanyian patriotik Bagimu Negeri melengkapi janji kami untuk selalu berbakti untuk negeri ini. Semua orang di ruangan itu bernyanyi dengan penuh semangat dan terselip perasaan haru.

Bergantian pembicara berpidato dengan semangat di depan audiens. Segala capaian dipaparkan. Bersahutan dengan orang-orang yang saling berbisik dan mengunyah kudapan.

Layar di depan sesekali menyoroti orang-orang didalam gedung. Warna biru laut duduk berbaris dan memanjang menyiratkan semangat bahwa hari itu pimpinan akan memberikan arahan bagaimana semua orang bekerja dengan menjunjung integritas dan selalu bersinergi satu sama lain.

Sejam kemudian, layar menampilkan gambar kembali. Warna biru berubah menjadi belang, berseling dengan putih. Tak menunggu sampai selesai akhirnya ruangan hanya menyisakan warna putih yang sepi dan dingin. Suasana yang sangat berbeda dibandingkan ketika antri pembagian souvenir.

Acara hari itu berakhir dengan sejumlah tanya, tak tahankah orang-orang duduk untuk sekedar menghargai orang lain yang sudah bekerja keras menyiapkan acara hari itu. Teringat kembali ucapan sang pendoa.
Entah....

Bogor, 24 November 2017

Jalan Sunyi

Tak banyak pemilih jalan ini
Jalan sunyi, penuh onak dan duri
Banyak kejutan di dalamnya
Hadiah dari Sang Maha Kuasa

Jalan sunyi penuh rintangan
Jalan sunyi penuh perjuangan
Untuk bisa melaluinya
Untuk bisa menapakinya

Perlu ilmu dan mujahadah
Di setiap langkahnya
Kadang melaju, kadang tersendat
Berhenti sesaat untuk mengumpulkan semangat

Berbagi dengan teman seperjalanan
Yang sudah faham makna dan tujuan
Kemana kaki melangkah
Menentukan arah kehidupan

Jalan sunyi, jalan yang sepi
Bagi mereka yang meniti
Mengikuti hati nurani
Tak akan disesali


Jakarta, 23 November 2017

Tak Perlu Silau

Tak perlu silau dengan harta
Tak perlu silau dengan kekuasaan
Tak perlu silau dengan nama besar
Tak perlu silau dengan kebaikan

Kebaikan kadang hanyalah bungkus
Menyembunyikan sesuatu di dalamnya
Suatu saat kan terungkap
Apa isi di dalamnya

Penyandang nama besar kadang lupa
Mengecilkan dirinya di hadapan Tuhan
Terlena dalam pandangan manusia
Lupa seharusnya bagaimana

Pemilik kekuasaan terkadang lupa
Itu hanya dipinjamkan
Suatu saat dikembalikan
Tidak selamanya diberikan

Harta hanyalah ujian
Banyak sedikit bukan jaminan
Untuk lulus menempuh ujian
Sikapi dengan benar, itulah perjuangan


Jakarta, 23 November 2017

SANG PENARI

Enam orang penari, dua laki-laki dan empat perempuan, perlahan memasuki panggung utama, seiring musik tradisional yang mengiringi langkah mereka. Yang lelaki tampak gagah dengan seragam tempur masyarakat pedalaman Kalimantan, lengkap dengan tameng dan pedangnya. Seorang penari juga membawa Gong besar yang kemudian diletakkan di tengah panggung. Penari perempuan tak kalah mempesona. Dengan baju manik-manik dan Taah (1), lengkap dengan Lavung (2) serta bulu burung Enggang di kedua tangannya. Menonjolkan kelembutan dan kecantikan seorang perempuan.

Ya, mereka sedang membawakan Tari Gong. Tarian tradisional masyarakat Dayak Kalimantan Timur. Tarian yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang diperebutkan oleh dua orang laki-laki Dayak. Gerakan mereka lembut, sederhana, namun sangat harmonis. Dari tingkat kerumitan gerakan, Tari Gong bukanlah jenis tarian yang banyak menggunakan gerakan-gerakan yang sulit. Yang ditonjolkan adalah gerakan-gerakan yang menonjolkan kelembutan.

Saya bukanlah penikmat tarian yang serius, namun melihat penampilan para penari di acara Budget Day hari ini memberikan kenikmatan tersendiri. Membayangkan mereka melatih gerakan-gerakan yang harus harmonis satu sama lain. Berganti posisi, berjalan, berputar menyesuaikan irama lagu dan gerakan penari lainnya adalah sesuatu yang tidak mungkin dilatih dalam waktu satu-dua jam atau hanya sehari semalam. Persis ketika menyaksikan pemain-pemain Manchester United di pertandingan Liga Inggris, dimana mereka bahkan tidak perlu melihat posisi teman untuk mengumpan bola. Mereka sudah berada dalam satu irama yang sama. Satu hal yang hanya bisa didapat dari proses latihan yang panjang dan melelahkan.

...

Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam sambutannya mengatakan bahwa sinergi yang paling mudah itu ya seperti tarian tadi. Dilakukan oleh orang yang berbeda-beda namun karena memiliki tujuan yang sama, mereka bisa bersinergi menghasilkan suatu tarian yang kompak, indah dan berhasil menyampaikan 'pesan' tarian tersebut.

...

Sinergi yang paling mudah. Istilah yang membuat saya sedikit tersentak. Bagaimana tidak? Untuk menghasilkan 'sinergi yang paling mudah' itu para penari telah mengorbankan waktu mereka entah berapa lama, tenaga yang mungkin belum tergantikan kalori-nya, keringat yang mungkin masih membekas di baju mereka. Tapi, itulah sinergi yang paling mudah.

Ketika 3 Dirjen (Anggaran, Perbendaharaan, Perimbangan Keuangan) mengangkat tema sinergi, melaporkan hasil sinergitas mereka, wajar Ibu Menteri merespon dengan 'ceramah' tentang sinergi. Pesan awalnya: sinergi itu bukanlah hal yang mudah, semudah mengucapkannya. Jika untuk menari selama 15 menit saja, bersinergi selama 15 menit saja, membutuhkan proses yang panjang, bagaimana sinergi besar yang sifatnya nasional dapat tercipta hanya dalam waktu 1-2 bulan, hanya dengan satu aplikasi yang menggabungkan semua layanan?

Sinergi itu satu siklus yang tidak terputus, sebagaimana penari melakukan perpindahan posisi atau gerakan. Sinergi itu membutuhkan pengertian, komando untuk bergerak dalam irama yang sama. Sinergi itu saling menutup celah, persis bagai penari yang melakukan blocking panggung. Tidak ada ruang kosong, utuh sebagai satu kesatuan.

Sinergi seperti itulah yang diinginkan Ibu Menteri. Sinergi yang dihasilkan dari proses saling memahami. Sinergi yang didasari keinginan untuk mencapai tujuan yang sama. Bagai mata rantai yang utuh, saling mengikat dan menguatkan satu sama lain. Butuh waktu panjang, pengorbanan dan kerja keras....persis apa yang dilakukan oleh Sang Penari.


Jakarta, 22 November 2017



*

Lika-Liku Kehidupan Kuliah S3


Menjadi mahasiswa PhD bukan hanya sibuk ngurusi tesis sendiri saja, tapi juga banyak kesempatan melakukan hal yang lain terkait dunia akademis, salah satunya jadi PTA (postgraduate teaching assistant) atau populer disebut asdos. Di jurusan saya (Geografi) banyak sekali lowongan untuk jadi asdos dan namanya asisten maka tugasnya juga cuma membantu mengajar anak2 undergrad atau S1 dengan berbagai jenis tugas yang bisa kita pilih seperti marking assistant (ngasi nilai ujian), tutorial (bantu dosen mengajar kelas tertentu), workshop supporter (mimpin grup discussion pas workshop), field trip assistant (bantu ngajar pas studi lapangan), help desk support (semacam private tutorial), dll.

Saya sudah pernah jadi marking assistant dan kerjaannya lumayan berat. Di UK memberi nilai ke mahasiswa gak cuma ngasi ponten dalam lingkaran aja. Tapi kerjaannya mahasiswa harus dibaca dengan teliti. Kalau ujiannya cuma PG mah gampang ngasi nilainya dan itu biasanya gak butuh PTA, sedang PTA dibutuhkan untuk ujian esay, nah itu lah yang bikin kerjaannya lumayan berat. Ujian esaay disini harus dibaca setiap kalimat dan paragraph nya, memastikan bahwa yang di tulis masuk akal, sesuai dengan bacaan modul dan yang paling penting menjawab pertanyaan ujian. Kalau ada yang ngawur harus di highlight mana-mana saja bagian yang ngaco, berikan komentar yang konstruktif dan tidak boleh menjatuhkan.

Kalau mahasiswanya cuma 10 orang si gak masalah, tapi mahasiswa 1 angkatan bisa 200-300 orang dan 1 PTA bisa kebagian 70 essay buat dinilai. Permasalahan utama adalah esaay ini ditulis tangan, jadi kalau kebagian mahasiswa yang tulisan tangannya bagus sudah seperti dapet rejeki nomplok, karena mayoritas tulisannya mirip2 dengan ane hehehehe. Seacakadul apapun tulisan, kalau masih pakai Bahasa ibu mah masih gampang bacanya (atau nebaknya?) lha ini pake Bahasa inggris, OMG lah, sampai mata kriyep-kriyep ngerjainnya.

Saya pernah ngasi nilai 78 ke mahasiswa tapi sama dosennya di bilang ngaco karena mahasiswanya cuma bikin tulisan dalam Bahasa inggris doank (kalo untuk level IELTS mungkin skor nya 7.0), tapi dia sama sekali gak menjawab pertanyaan dan argument nya sama sekali bukan berasal dari bacaannya jadi seharusnya dapet 45. Ada juga mahasiswa saya kasi 48 tapi kata dosen argumennya bagus, sesuai bacaan, konsisten, walau gramatikal eror banyak jadi layak dapat 68. Saya butuh 20 esaay buat latihan ngasi nilai sebelum akhirnya opini saya bisa sama dengan dosen dan akhirnya dilepas untuk ngerjain sisa 50 dan bener2 kerjaan yang cukup melelahkan.
Nilai essay disini berkisar 0-100, tapi paling tinggi saya cuma ngasi 70an dan mayoritas di kisaran 50-60an. Standar nilai di kampus ini memang tinggi banged dan semua PTA di kasi panduan standar ngasi nilai. Dan dosen2 pun mengakui kalau PTA lebih kejam dalam hal memberi nilai tapi selama tidak ada yang gagal alias dibawah 40 ya masih OK lah. Dan walau saya banyak ngasi nilai 40an tapi lebih banyak yang dikisaran 50-60an jadi yah masih standar lah (gimana mau kasi lebih kalau emang layaknya dapet segitu, padahal sendirinya kalau bikin esaay juga masih ngono ya hehehehe)

Tapi alhamdulilah kerjaan marking ini sudah terlewati. Yang sekarang dikerjakan adalah jadi supporting workshop, dalam hal ini saya berinteraksi langsung sama mahasiswa. Ada 10 workshop yang harus dikerjakan dan sudah selesai 5, dari pengalaman ini saya menarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik mahasiswa dimana-mana sama baik di kampung halaman maupun UK (gak peduli orang Indonesia maupun bule) yaitu kalau di biarin malah asik sendiri ama temen atau gadgetnya, kalau dideketin asdos baru mulai sibuk (atau pura2 sibuk?), kalau ditanya ada kesulitan atau tidak jawabnya 'no problem' tapi kertas kerja kosong, kalau mulai diskusi pada diem semua dan gak berani mulai kalau belum di tanya, ujug2 diskusi berubah jadi sesi tanya jawab.
Rata-rata mahasiswa/i pada malu2 kucing untuk mengekspresikan pendapat mereka. Yah, masih bisa saya maklumi karena mereka adalah mahasiswa/i tahun pertama (jadi inget dulu waktu muda ooops). Dan terlihat disini mahasiswi lebih berani untuk bersuara, mungkin karena populasi mahasiswa yang cukup langka di kelas (bahkan untuk 1 angkatan). Ya cukup terkejut juga saya karena anak geografi tahun pertama ini lebih banyak cewe nya daripada cowonya baik yang sosial maupun eksaknya. Tercermin juga dari PTA nya yang ada 3, cowonya cuma saya aja. Tapi lumayan lah bisa liat yang seger-seger daripada baca jurnal yang bikin mata butek. maklum dari 5 grup yang sudah saya pandu, cowo nya paling banyak cuma 3 dalam 1 grup, malah ada yang gak ada sama sekali. Jadi grogi juga yah di kelilingi bule kinyis-kinyis hehehehe.   
Semoga aja untuk kerjaan berikutnya bisa dapet posisi jadi field trip assistant, karena tahun kemaren field trip untuk jurusan geografi bisa ke Iceland, Germany, Spain dan USA. Tentu saja ongkos dibayari kampus + dapet gaji pula. Tapi ya saat ini masih tahap berharap saja heheheheeh, lha wong dapet kerjaan PTA juga udah alhamdulilah koq.

Membaca Peta

Siang ini teman sebelah saya sedang berdiskusi dengan seorang teman lainnya. Di hadapan mereka terbentang peta yang dibuka dari google map. Lalu mereka berdiskusi mengenai jalan-jalan yang sebaiknya dilalui bila akan menuju suatu tempat. Jelas sekali teman saya tersebut mempertimbangkan setiap masukan yang diberikan oleh temannya, apakah lewat jalan ini merupakan alternatif tercepat, apakah lewat situ macet atau tidak, apa ancer-ancer bila sudah dekat dengan tujuan, apa ada kendaraan alternatif lain bila tidak menggunakan jalan tersebut, misal dengan kereta api dll.

Sebenarnya, kurang lebih seperti itulah gambaran hidup kita ini. Hendak kemana kita, bagaimana kita akan menjalaninya, berdasarkan pengalaman dari orang yang kita percaya, kita bertanya tentang hambatan, rintangan ataupun gangguan yang mungkin kita temui bila kita memilih suatu jalan. Atau bisa juga kita membaca dari buku panduan untuk melengkapi informasi-informasi yang telah kita miliki. Lalu kita mempertimbangkan berbagai informasi tersebut dan kita menentukan sendiri kemana arah tujuan yang hendak kita pilih. Selama perjalanan tentu kita memerlukan cahaya, apakah itu cahaya yang kita miliki ataupun cahaya yang berasal dari orang lain/ benda lain. Tanpa cahaya maka akan sulit menempuh suatu perjalanan dan kemungkinan untuk tersesat akan lebih besar bila menempuh perjalanan dalam kegelapan.

Kegelapan bukan hanya berarti kegelapan malam tanpa lampu, lilin ataupun cahaya bintang dan bulan, namun bisa juga berarti kegelapan batin dari seseorang yang tidak memiliki cahaya yang cukup atau bahkan cahaya di dalam dirinya tersebut sudah padam.


Jakarta, 21 November 2017  

Tugas Jati Diri

Bagi yang berdinas di kantor ataupun bekerja di suatu perusahaan dan memiliki atasan, tentunya kita sudah terbiasa dengan alur kerja seperti ini  : Atasan memberi tugas, kita sebagai bawahan melaksanakan tugas tersebut. Ada Visi Misi besar yang diemban oleh kantor/perusahaan tersebut. Semua yang ada di dalamnya harus saling bersinergi untuk bisa mewujudkan Visi Misi tersebut  dengan baik.

Untuk bisa menyelesaikan tugas dengan baik, tentunya kita harus berkomunikasi dengan atasan kita, apa tugas kita, bagaimana kita akan melaksanakan tugas tersebut, ketika kita mendapat kesulitan di tengah jalan kita perlu berkonsultasi, mungkin ada kebijakan-kebijakan yang perlu ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut, ketika kita telah menyelesaikan tugas tersebut kita juga harus tahu apakah tugas tersebut sudah memenuhi harapan atasan, ataukah masih perlu perbaikan di sana sini. Semua berproses dan semua harus dilakukan dengan bersungguh -sungguh bila kita menginginkan hasil yang baik, karena bagaimanapun kita akan diminta pertanggungjawabannya atas apa yang kita laksanakan.

Demikian pula halnya, ketika kita dilahirkan ke dunia ini, ada tugas/amanah yang kita emban dari Sang Pemberi Amanah. Pernahkah kita tergelitik untuk berfikir apa tugas kita di dunia ini? Apakah yang kita kerjakan sudah sesuai dengan yang diamanahkan kepada kita? Jangan-jangan selama ini kita mengerjakan A sd J ternyata tugas kita K sd Z. Apakah tugas yang kita kerjakan sudah sesuai dengan kehendakNya? Apakah masih ada hal-hal yang perlu kita perbaiki? Sebelah mana? Bagaimana memperbaikinya? dst.

Yang mencari dengan gigih dan beramal shaleh, Insya Allah akan menemukannya. Yang berupaya dengan sekuat tenaga, Insya Allah, akan ada hasilnya, dengan selalu menyertakan doa di setiap langkahnya memohon petunjukNya.


Jakarta, 21 November 2017

Endapkanlah

Pagi ini saya berkesempatan mengobrol dengan seorang teman di kantin, kami saling bertukar kabar setelah lama tidak bertemu, membahas banyak hal yang menarik bagi kami. Ada satu tema yang menarik yang membuat saya tergelitik untuk menuliskannya di sini.

Ketika suatu bak baru saja diisi oleh air, maka bisa jadi masih bercampur dengan kotoran-kotoran yang terbawa dari air tersebut ataupun memang kondisi bak itu sendiri yang tidak sepenuhnya bersih, sehingga tentu saja air yang ada di bak tersebut terlihat keruh, tidak jernih. Air yang tidak jernih akan mengganggu pandangan kita dan bisa jadi menimbulkan kesalahan dalam memberikan pandangan/opini bila kita diminta untuk memberikannya.

Demikian pula halnya bila kita baru saja mengalami suatu kejadian yang menimbulkan banyak rasa di dalamnya.  Kita perlu mengendapkan dulu agar perasaan dan fikiran kita tidak bercampur aduk tidak menentu. Setelah mengendap dan kita mampu melihat dengan jernih, barulah pengalaman itu bisa dibagikan dengan menyarikan hikmahnya terlebih dahulu. Tentu saja hasilnya akan menjadi lebih baik daripada bila kita membagikannya ketika tahapan prosesnya belum selesai. Ibarat barang jadi vs barang setengah jadi.

Terima kasih atas inspirasinya kawan.


Jakarta, 21 November 2017

Guru VS Murid

Suatu hari, di kelas presentasi :


Guru :
Bapak ibu, hari ini kita akan mempraktekkan teori-teori yang telah kita pelajari. Untuk menghemat waktu, saya akan bagi menjadi 4 kelompok, masing masing anggota kelompok akan mempresentasikan sesuatu kepada kelompok yang saya tunjuk, sementara anggota lain menilai orang-orang yang mempresentasikan sesuatu di kelompok tersebut. Tema presentasi bebas, putaran pertama silakan Bapak Ibu memilih yang terbaik dari masing-masing kelompok yang dinilai untuk tampil ke depan kelas, dan pada putaran kedua Bapak Ibu dipersilakan memilih 2 terbaik untuk tampil di depan kelas.
Maka secara bergiliran murid-murid mempresentasikan tema bebas yang dipilihnya dan dinilai oleh kelompok lain. Tibalah pengumunan penampil terbaik pilihan kelompok.
Guru :
Kelompok I memilih siapa?
Murid :
A
Guru :
Kelompok II memilih siapa?
Murid :
B
Guru :
Kelompok III memilih siapa?
Murid :
C
Guru :
Kelompok IV memilih siapa?
Murid :
D
Para penampil terbaik pilihan kelompok pun tampil ke depan mempresentasikan tugas mereka. Lalu dilakukan putaran kedua tampil di kelompok lain. Ada murid yang masih tetap menampilkan materi dengan tema yang sama, namun ada pula yang mengganti tema mereka. Setelah semua selesai mempresentasikan materinya, tibalah pengumunan penampil terbaik, kali ini Sang Guru meminta untuk memilih dua orang sekaligus dari tiap kelompok.
Guru :
Kelompok I memilih siapa?
Murid :
E dan F
Guru :
Kelompok II memilih siapa?
Murid :
G dan H
Guru :
Kelompok III memilih siapa?
Murid :
I dan J
Guru :
Kelompok IV memilih siapa?
Murid :
K dan L
Setelah peserta pilihan kelompok putaran kedua selesai tampil semua, seluruh kelas mengira bahwa saringan sudah selesai dan akan masuk ke tahap berikutnya, namun ternyata Sang Guru mendekati salah satu murid yang tidak terpilih oleh kelompok, untuk tampil ke depan menyampaikan presentasinya.

Seluruh kelas terdiam menunggu apa yang akan dipresentasikan oleh murid pilihan Sang Guru.
Murid :
Pak, bolehkan saya mengganti tema ?
Guru :
Boleh, silakan
Sang Murid pun mempresentasikan materinya dengan mengubah tema yang dia sampaikan pada presentasi kelompok. Dia menyadari bahwa tema yang disampaikan sebelumnya bukanlah tema yang dibutuhkan oleh kawan-kawannya di kelas tersebut. Di akhir penampilannya tepuk tangan bergemuruh terdengar dari seisi kelas.

Ketika diadakan voting pemilihan penampil terbaik di depan kelas, murid pilihan Sang Guru terpilih menjadi terbaik kedua, meninggalkan beberapa kawannya di belakang.
Ketika Sang Guru berpamitan untuk pulang, dengan rasa penasaran, murid pilihan Sang Guru pun bertanya :
Murid :
Pak, boleh tahu, mengapa Bapak memilih saya untuk tampil ke depan?
Sambil tersenyum Sang Guru menjawab :
Guru :
Saya melihat potensi.
Demikianlah, Sang Guru mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh murid-muridnya. Meskipun di awal Sang Guru telah menyampaikan sistem yang akan dipakainya, namun ketika ada hal yang perlu diubah dari sistem tersebut, dia melakukannya karena dia melihat sesuatu yang luput dilihat oleh orang lain.
Bintaro, 19 November 2017