Ujian

Tulisan SaungKemangi menggugah saya untuk melihat kembali kejadian demi kejadian saat masih anak-anak soal “Keberadaan Allah?” Saya, saat itu masih sekolah kelas VI SD ketika beberapa anak senang bermain dengan teman sebaya, saya juga termasuk yang “lebih” senang bermain daripada sholat. Karena saya masih anak-anak dan belum akil baliqh, jadi saya berpikir tidak ada kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah. Makanya ketika ada pertanyaan itupun, saya santai dan tidak berpikir jauh. Dan perilaku sehari-haripun meski belajar mengaji, puasa dan sholat tarawih dengan membawa buku catatan agar bisa menyimpulkan khotbah nya mengenai apa dan mendapat paraf dari khotib saat itu, tetap aja masih gak mikir “Dimana Allah itu”. Hingga lulus SD, SMP hingga SMA, saya bahkan banyak mengikut kegiatan rohis dan dengan wejangan-wejangan khas anak rohis, saya tetap aja masih belum mikir soal “Dimana Allah itu?” Karena saat SMA, saya punya motivasi ikut kegiatan ekstra kurikuler agar bisa dekat dengan siswi itu dan ini. Tanpa ikut kegiatan pun, sebenarnya malas juga disamping rumah juga sudah jauh di Bekasi. Selesai ikut kegiatan ekstra kurikuler hingga sore dan lanjut ke  persiapan perang ala “Bharatayudha” di gang batu antara sekolah saya, SMA 4 dan SMA 7, dimana saya tetap ikut terlibat. Kegiatan perang ini dilakukan secara reguler seperti minum obat. Jika tidak dilakukan, semacam ada kecanduan. Makanya gak berpengaruh juga jika saya ikut rohis pun, tetap melakukan hal-hal yang tidak baik. Saat masa SMA ini, motivasinya cuma ada 1, bagaimana lulus SMA dalam keadaan sehat dan selamat dan tidak cedera, nilai tidak menjadi prioritas. Suatu saat, saya terkena lemparan batako dari trotoar, saya lepas dari kejaran anak SMA 7, lolos dari kejaran polisi saat lari mulai dari taman masjid cut mutia hingga ke pertigaan pasar rumput. Pada saat itu saya mulai berpikir soal keberadaan Allah “Oh ternyata Allah itu ada, saya diselamatkan oleh Nya” Pikiran ini datang bertubi-tubi saat saya mengambil nafas dalam – dalam setelah dikejar-kejar oleh pelajar SMA 7 dan polisi. Beberapa teman ada yang tertangkap oleh polisi namun tidak ada yang tertangkap pelajar dari SMA 7.
          Seiring dengan berjalannya waktu, saya ikut acara perpisahan SMA hingga kuliah. Semasa kuliah semester akhir pun, saya sempet mencoba lari dari kampus untuk mencari keberadaan Allah. Muncul pertanyaan “Apakah saya sudah menjalani Islam dengan sempurna dan khaffah?” Pertanyaan ini juga belum terjawab hingga saya melalaikan skripsi saya yang molor lebih dari ketentuan kampus. Dan akhirnya, hanya pertanyaan simpel almarhumah ibu yang meluluhkan hati saya untuk selesaikan skripsi. “Kamu mau selesaikan skripsi ini atau tidak?” Saya terdiam, sambil berpikir bagaimana pencarian soal Allah ini parallel dengan penyelesaian skripsi ini. Akhirnya setelah 2 atau 3 hari berpikir diam, barulah saya menjawab akan selesaikan skripsi ini. Banyak pergulatan soal pencarian keberadaan Allah ini. Skripsi selesai dan setelah 2 tahun, saya diterima bekerja di Kementerian Keuangan (Departemen Keuangan). Pertama kali bekerja, saya langsung di tempatkan di daerah Sulawesi Tenggara. Saat berangkat di pelabuhan Tanjung Priok April 1999, saya baru berpikir kembali kenangan tentang keberadaan Allah. Sholat di kapal motor Bukit Siguntang dengan banyak penumpang dari berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, pekerjaan, suku, ras dan agama semakin membuat saya yakin bahwa Allah itu ada. Apalagi saat itu sedang mulai memuncaknya kerusuhan Ambon. Jadi banyak juga pasukan dari angkatan darat yang menaiki kapal motor itu dengan tujuan Ambon. 
       Sejak saat itu hingga saat ini, saya masih meyakini jika ingin lebih dekat dengan Allah atau Tuhan, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sudah diberikan ujian yang cukup oleh Allah? Gak perlu dijawab dan cukup kita renungi. Karena bentuknya ujian macam-macam. Ada yang dikasih ilmu tinggi dan diamalkan, dikasih kecukupan harta, dikasih keluarga yang sakinah, dikasih anak-anak yang sholeh dan sholehah, dikasih pasangan yang sholeh dan sholehah, dikasih orang tua yang lengkap sejak lahir, dikasih lengkap anggota tubuhnya, dikasih kemudahan di dunia, dikasih wajah yang ganteng dan cantik dan itu semua ujian atas hal-hal yang positif. Bagaimana jika kita dikasih yang kebalikan dari yang saya sebutkan tadi? Apakah kita akan tetap istiqomah? Apakah kita akan menyalahkan keadaan? Apakah kita akan tetap menjalankan sholat dan menanyakan keberadaan Allah? Apakah kita akan menanyakan soal keadilan? Jika memang sudah merasa banyak dikasih ujian, apakah kita sudah lulus ujian? Silahkan direnungkan oleh setiap diri kita. Jadi saya masih tetap meyakini bahwa jika sudah diberikan ujian yang sama atau paling tidak mendekati ujian Rasullah, maka barulah kita bisa meyakini Allah itu dekat dan pintu menuju surganya Allah semakin terbuka lebar. Jika mau analogi lain seperti naik gunung, jika ingin ke puncak, akan banyak ujian dan godaan untuk mencapai puncak gunung.  Semoga kita termasuk orang-orang yang lulus ujian hingga di akhir hayat.

Cerita dapat juga dibaca pada link berikut :

Menjemput Cinta (Bagian Keenam - Ending)

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Kinasih memasuki babak baru dalam episode kehidupannya menjadi seorang isteri. Kini, ia sedang menikmati masa kehamilan. Janin yang berada di dalam kandungannya merupakan buah cinta ia dan suaminya, Toni. Kandungan Kinasih kini sudah berusia 35 minggu, artinya, tidak lama lagi Kinasih akan menjalani proses persalinan. Semua perlengkapan untuk bersalin serta perlengkapan bayi sudah ia dan suaminya siapkan sejak dua bulan yang lalu. Hampir setiap bulan ia ditemani suaminya rutin memeriksakan kesehatan kandungannya. Memasuki bulan ke tujuh, janin yang berada didalam kandungan sudah diketahui jenis kelaminnya melalui proses pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Betapa bahagianya Kinasih dan Toni ketika dokter kandungan menyampaikan bahwa kandungan Kinasih diperkirakan berjenis kelamin perempuan. Air mata menetes dari dipipi Kinasih, begitupula Toni, berkali-kali lisannya mengucapkan rasa syukur.

Disuatu hari Jum'at setelah shalat Subuh, Kinasih melakukan aktifitas seperti biasa, menyediakan sarapan pagi. Merebus air untuk membuat kopi dan teh manis, serta mengukus pisang tanduk dan ubi jalar. setelah matang, Kinasih membawa pisang dan ubi ke meja makan, kemudian ia keluar dapur menuju kamar. Namun ketika ia tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti, Kinasih merasakan sakit diperutnya.

"Ya Allah, uh....hiks...aaah..." bersandar didinding sambil mengusap-usap perutnya.

Demi mendengar suara rintihan isterinya, Toni yang sedang berada di dalam kamar, segera keluar. Demikian pula dengan ayah dan Ibu Kinasih.

"Sayang, kamu kenapa?" cemas.

"Perutku sakit, Mas" terus mengusap-usap perutnya.

"Masya Allah, Kalau gitu, kamu duduk dulu ya, Mas segera menyiapkan perlengkapan bersalin, kita langsung berangkat ke Rumah Sakit".

Toni segera menuju kamar, lalu keluar denga membawa sebuah tas berukuran sedang. Iapun segera merangkul isterinya berjalan menuju halaman.

"Apa kamu kuat berjalan?.

"Insyaa Allah, kuat Mas!" berusaha meyakinkan. "O iya Mas, nanti tolong telepon Pakde Yanto, untuk memberitahu Ayah dan Ibu" kembali mengusap-usap perutnya.

"Iya, nanti Mas Telepon"

Keduanyapun kini sudah berada didalam kendaraan menuju Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, dengan dibantu oleh dua orang perawat, Kinasih langsung dibawa ke ruang khusus pemeriksaan kandungan. Didalam, dokter sudah bersiap memeriksa kandungan Kinasih. Dokter meminta Kinasih untuk merebahkan diri di atas tempat ranjang khusus pasien. Kemudian dokter melakukan tugasnya. Toni berdiri disisi ranjang, terus memegang tangan Kinasih sambil memperhatikan dokter kandungan yang sedang bekerja.

Alhamdulillaah, sudah pembukaan delapan, Insyaa Allah sebentar lagi Ibu akan melahirkan" dokter memberikan informasi kepada Kinasih dan juga Toni. "Suster, tolong siapkan perlengkapan bersalin". Dengan sigap dua orang perawat segera melakukan tugasnya. "oh ya, Bapak mau menemani Isteri dalam proses persalinan?" pertanyaan dokter mengagetkan Toni. Toni menganggukan kepala tanda setuju. Maka, sejak saat itu hingga satu jam kemudian Toni mendampingi Isterinya dalam proses persalinan.

Tidak perlu menunggu waktu lama, Kinasihpun melahirkan anak pertamanya. Seketika ruang persalinan pecah oleh suara tangis bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Toni menatap anaknya yang berada dalam dekapan dokter kandungan. Melihat dengan detil bagaimana dokter memutus tali ari-ari dari perut sang bayi. Memasukan selang kecil kedalam mulut untuk mengeluarkan sisa air ketuban yang masuk kedalam tubuh sang bayi. Kemudian Toni menatap Kinasih dengan penuh kasih sayang, mengusap kening Kinasih yang basah oleh butiran keringat. Tonipun menitikka air mata. Demikian pula dengan Kinasih, iapun tak henti mengucapkan easa syukur. Kebahagiaan sedang meliputi sepasang suami isteri tersebut.

***

Satu tahun berlalu, bayi mungil berjenis kelamin perempuan itu diberi nama Kinanti. Kinanti menjadi pelengkap kebahagiaan rumah rangga Kinasih dan Toni. Demikian pula dengan kakek dan neneknya, ayah dan ibu Kinasih yang telah memiliki seorang cucu perempuan yang cantik dan aktif.

Suatu pagi, ketika Kinasih dan Toni sedang menikmati sarapan pagi sebelum beraktifitas. Toni menyampaikan sesuatu kepada Kinasih. Toni bercerita bahwa ia mendapat tugas dari sekolah tempat ia mengajar untuk menghadiri acara Bimbingan Teknis Guru se-Indonesia yang bertempat di Jakarta. Mendengar penuturan suaminya, Kinasih memberikan restunya. Ia dan Kinanti akan baik-baik saja selama Toni bertugas.

Hari yang dijadwalkan pun tiba. Selepas shalat Subuh Toni sudah berpakaian dinas rapih. Ia akan berangkat ke Jakarta bersama rombongan guru dari beberapa sekolah di wilayah tempat tinggalnya. Sesuangguhnya, berat hati Toni meninggalkan isteri dan anak perempuannya. Namun sudah menjadi tugas, iapun menjalaninya.

Setelah mencium kening Kinasih, iapun masuk kedalam kamar untuk berpamitan dengan anak perempuannya yang masih terlelap tidur. "Ayah pamit ya sayang, selama ayah pergi, Kinanti yang anteng ya!jadi anak rajin, cerdas, sholehah, seperti Bunda!" kemudian tersenyum menatap Kinasih. Kinasih yang duduk dipinggir kasur membalas senyum suaminya. Tidak ada satupun firasat bahwa pagi itu merupakan pagi terakhir ia bisa menatap wajah suaminya.

Ya, dalam perjalanan menuju Jakarta, kendaraan Bis yang ia tumpangi bersama rombongan para guru diwilayahnya mengalami kecelakaan, terperosok kedalam jurang hingga mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, salah satunya Toni, belasan mengalami luka-luka.

***

Bram masih berdiri di halaman rumah, tatapannya lurus ke arah jalan raya. Kedua tangannya erat mendekap Kinanti, puteri Kinasih. Jika Ibu dan Ratih tidak menegur Kinanti, mungkin Bram akan terus terpaku dalam lamunannya.

"Eeeh... ada keponakan kecilku yang cantiiik, dedek Kinantiiii....., sini kakak gendong!" tutur Ratih kemudian mengambil Kinanti dari dekapan Bram. 

"Kamu ndak ke toko, Bram?" tanya Ibu sambil mengusap kepala Kinanti yang kini sudah dalam dekapan Ratih.

"Hari ini Bram mau di rumah saja, Bu. Tadi Bram sudah telepon Mas Yuda untuk menjaga toko. Ada yang ingin Bram bicarakan ke Ibu".

Ibu dan Bram berjalan menuju ruang tamu, sedangkan Ratih sudah asik bermain dengan Kinanti.

"Bu, Bram mohon izin untuk membicarakan tentang Kinasih..." menghela napas. "Sepeninggal Mas Toni. Kinasih kini menjalani hidup sebagai orangtua tunggal. Ia harus membanting tulang mencari nafkah untuk puterinya dan juga membantu perekonomian kedua orangtuanya. Melihat kondisi Kinasih dan juga Kinanti saat ini, Bram ndak tega Bu. Selain itu, Ibu pasti sudah tahu jika sampai detik ini... Bram masih mencintai Kinasih..." menundukkan kepala.

"Ya... Ibu merasakan kesedihan yang sama, Bram. Perempuan sebaik Kinasih, harus mendapat cobaan yang demikian berat. Sewaktu mereka sedang dalam masa-masa bahagia atas hadirnya buah hati mereka, suaminya wafat dengan cara yang mengenaskan. Itulah rahasia kematian, Bram. Tidak ada satupun makhluk-NYA yang mengetahui kapan kematian akan menjemputnya. Namun Ibu yakin, Kinasih adalah sosok perempuan yang kuat" menatap Bram penuh kasih sayang. "Lalu... apa rencanamu, Bram?" tanya Ibu kemudian.

Beberapa saat Bram merasakan dadanya bergemuruh. Apa yang akan ia sampaikan ke Ibunya adalah satu hal yang akan mengubah kehidupannya.

"Bram memohon do'a dan restu Ibu untuk melamar Kinasih...".

Mendengar permintaan putera kesayangannya, Ibunha tidak mampu membendung air mata.

"Lakukan apa yang menurut kamu itu adalah yang terbaik, Bram. Ibu pasti akan memberikan do'a dan restu. Lamarlah Kinasih sebagaimana dahulu kamu sangat menginginkannya untuk menjadi pendamping hidupmu. Ibu hanya berpesan, luruskanlah niatmu agar Gusti Allah pun Ridho dengan keputusanmu".

Bram mengecup tangan Ibu serta memeluknya erat. 

"Kapan kamu akan mengutarakan keinginanmu melamar Kinasih, Bram?"

Bram terdiam beberapa saat.

"Sore nanti, disini, ketika Kinasih pulang untuk menjemput Kinanti".

***

Pagi berganti siang, kemudian perlahan cahaya matahari mulai bergeser ke arah barat. Sore haripun menjelang. Bram, Ibu, dan Ratih sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut Kinasih. Sedangkan Kinanti, setelah ba'da Ashar ia sudah dimandikan oleh Ratih, dibaluri minyak telon dan juga bedak, dipakaikan pakaian yang sudah dititipkan oleh Ibunya, serta diberikan wewangian khas aroma bayi. Kinanti terlihat sangat cantik dan menggemaskan.

Semua sudah bersiap-siap di ruang tamu. Waktu yang dinantikanpun tiba. Kinasih muncul dihalaman rumah, melepaskan sepatu, lalu berjalan ke arah pintu. Diucapkannya salam, dan iapun terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ya... Bram, Ibu, Ratih, dan Kinanti sudah duduk di kursi menyambutnya dengan wajah ceria.

Ibu mempersilahkan Kinasih masuk dan duduk disampingnya. Sedangkan Bram, duduk bersebelahan dengan Ratih sambil mendekap Kinanti.


"Kinasih, kesini Nak, ada yang ingin Bram sampaikan ke kamu".

Kinasih duduk disamping Ibu dengan raut wajah bingung, namun ia berusaha tutupi dengan menyunggingkan senyum manisnya.

"Silahkan Bram, sampaikan niatanmu.kepada Kinasih" pinta Ibu kepada Bram.

"Dek, sejak pertama aku jumpa denganmu di toko, ada benih cinta yang tumbuh dihatiku. Namun, niatanku untuk menyampaikan perasaan itu harus aku simpan bahkan harus aku hapuskan karena Mas Yuda memberitahukan aku bahwa kamu pada saat itu sudah dilamar seorang pria. Kini, sore ini, aku berniat melamar kamu. Aku sayang Kinanti, aku sayang sama kamu. Aku ingin menjadi imam kamu, dan juga menjadi ayah dari Kinanti. Mudah-mudahan, niat baikku dapat kamu terima".

Mendengar penuturan Bram, Kinasih tidak dapat berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir dipipinya. Iapun menganggukan kepala sebagai tanda menerima lamaran Bram.

Ibu dan Ratih bergantian memeluk Kinasih, kemudian mencium pipi Kinanti berkali-kali.

Seminggu kemudian, akad nikah dilangsungkan secara sederhana sebagaimana permintaan Kinasih, namun tidak mengurangi kebahagiaaan sepasang pengantin beserta keluarga besarnya. Bram dan Kinasih bersanding dipelaminan, sedangkan Kinanti berada dalam dekapan Bram yang sibuk menerima ucapan dan do'a tamu yang hadir.

Demikianlah kisah cinta Bram dan Kinasih. Kini keduanya membangun rumah tangga yang diliputi dengan kebahagiaan. Menjadi keluarga yang Sakkinah, Mawaddah, dan Warohmah.


Sekian.


Terimakasih untuk semua yang telah menyimak cerita Menjemput Cinta part 1 s.d. 6, semoga cerita tersebut dapat berkesan dihati.