Tampilkan postingan dengan label mini fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mini fiksi. Tampilkan semua postingan

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN LELAKI ITU

"Melasi Ndhuk"* lirih Lelaki ini, dengan logat non Jawa-nya. Perempuan itu tidak peduli. Hangatnya pelukan Lelaki ini sudah cukup. Paling tidak, dia bisa berlabuh sesaat. Meluruhkan lelah, menumpahkan air mata. Perempuan itu juga tidak peduli, sudah berapa perempuan bersandar di sana. Baginya, saat ini Lelaki ini miliknya. Pemenang hatinya. Perempuan itu sadar, jalan hidupnya tidak sederhana. Apalagi cerita cintanya. Dia bukanlah puteri raja ataupun Cinderella. Tapi, apa tak pantas, sekali saja dalam hidupnya, menyerahkan hati kepada pemenangnya?. 

***

Di sudut lain dunia. Lelaki itu gelisah. Perempuan itu mulai tidak biasa. Telpon tak dijawab, pesan singkat tak berbalas. Arogansinya terganggu. Apa kekangnya sudah tak mempan?. Tapi ego-nya segera berbisik "sudahlah, bagaimanapun kamu tetap penakluknya, kamu pemiliknya". Bisikan yang menenangkannya. Menerbitkan sesungging senyum. Senyum kemenangan semu.

***

Ibarat syair lagu. Cinta Lelaki ini dan Perempuan itu bukan sekedar cinta biasa, yang sesaat dan trus hilang**. Tak terhitung hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tahun-tahun berganti. Ada masa dimana setangkai mawar putih dan sepotong coklat  menerbangkan diri. Ada saat diri hilang kendali. Lalu, asing. Namun, akarnya begitu kuat. Tak mati terpanggang panas timur matahari. Pun beku dalam salju abadi. Cinta mereka terhubung. Pesan rindu tersampaikan melalui mendung kelabu. Dahaga nafsu terpenuhi dalam deru hujan yang memburu. Mereka tak mencari akhir, karena memang tak perlu. Tak ada yang tahu.

***

Lelaki ini terus memeluk Perempuan itu. Erat. Hangat. Kemejanya sudah bersimbah air mata. Biar saja. Jika itu bisa mengurangi beban di dada. Andai bisa, jangankan kemeja, seluruh hatinya akan menampung semua air mata. Perempuan itu kesayangannya. Sosok sederhana namun sempurna. Meski ikhlasnya di luar nalar manusia, namun dia tempat sempurna untuk menghambakan cinta. Malam semakin tua. Gawai menjerit menyela romansa. "Mas, nyanyi dong" bisik Perempuan itu. Sedu reda goda menjelma. "Suara Mas sexy" rayunya. Lelaki ini hanya tergelak. Si gembil ini memang pintar merayu. Satu dua jangkrik mulai mengerik. Anak-anak muda bersantai di trotoar, menyesap kopi murahan dengan bahagia. Lelaki ini dan Perempuan itu tetap berpelukan, hingga masa tak kuasa lagi menunda. 


Jakarta, 25112022

* kasihan 

** Rasa Yang Tertinggal (ST-12)

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN BUNCAHAN RINDU

Lelaki ini rindu. Perempuan itu juga. Membuncah. Hujan mengalir tanpa spasi. Layaknya skripsi yang tak kunjung jadi. "Pakkkk....!", jengah Perempuan itu. Mata bulat indahnya melotot penuh. Alih-alih seram, malah menggemaskan. Lelaki ini tertawa. Jahil. "Whaaat...!?, balasnya. "Gak usah usaha deh", rajuk Perempuan itu. Lelaki ini tergelak lagi. Lelaki ini tau pasti. Dalam situasi yang berbeda, tatapannya tadi akan menciptakan medan magnet yang kuat. Perempuan itu akan menjadi seganas kobra memangsa korbannya. Tanpa dikomando Lelaki ini dan Perempuan itu terbahak. Mengundang tatap heran dari sekitar. Mereka tak peduli. Pipi Perempuan itu memerah. Bersungut-sungut menuntaskan gelato terakhirnya. Lelaki ini masih menahan tawa. Sungguh, rasanya sudah bukan ratusan purnama lagi mereka tak jumpa. 

Senja sudah semakin tua. Udara dingin mulai menyergap. Sisa-sisa hujan masih menyisakan genangan. Satu dua jangkrik sudah menuju pos jaga. Lelaki ini dan Perempuan itu masih di sana. Saling menatap tanpa kuasa menerjemahkan makna. Dua cup gelato dan secangkir americano tandas tak bersisa. Lalu mereka berebut bicara. "Bapak dulu aja", Perempuan itu mengalah. Menyebalkan memang. Perempuan itu selalu memanggil "Bapak". Kalau diprotes selalu jawabnya "kan emang Bapak sudah tua". Arrggh. "Bagaimana kalau .. Bagaimana kalau Bapak tidak baik-baik sajaaaaa?* Perempuan itu memotong kata-kata Lelaki ini dengan potongan sebait lagu. Lalu tergelak. Menggemaskan. 

Malam merangkak lelah. Menyaksikan polah manusia. Ada yang terkantuk-kantuk mencari nafkah. Banyak yang sudah lelap berselimut mimpi. Tak sedikit yang menikmati surga dunia. Lelaki ini dan Perempuan itu enggan beranjak. Tidak banyak kata malam itu. Resonansi rasa tercipta. Mereka tidak terpisah jarak ribuan kilo jauhnya. Pun, tidak pula tak saling berkabar. Tapi entah mengapa, jarak semakin membentang rasa. "Kamu tak rindu?" tanya Lelaki ini. "Hmm, ini perlu banget dijawab ya Pak?", Perempuan itu balik bertanya. Lalu kata-kata bertebaran di udara. Memenuhi ruang hampa dengan asa. 

"Kita mau seperti ini terus Pak?", tanya Perempuan itu sendu. Dingin mulai menelisik tulang. Malam ini mungkin menjadi malam terpanjang. Setan pun sudah enggan menggoda. Hanya duduk-duduk saja menatap rindu yang membuncah. Lelaki ini dan Perempuan itu tak lebih dari rekan kerja, mereka bicara tentang negara. Tapi, getaran rasa itu tak pernah sirna. Tidak oleh jarak. Tidak oleh waktu. Bahkan oleh diam yang membeku. Lelaki ini hanya diam. Percuma dijawab. Hanya berputar kata berakhir air mata. Hubungan ini ibarat jalan panjang tak berujung. Mereka tak butuh bertemu untuk bahagia. Tapi , mereka lebih bahagia jika bertemu. Tidak pula butuh kata-kata cinta. Karena, mereka bahkan bisa menuliskan kata cinta tanpa sedikitpun rasa. Jika begini saja bahagia, lalu untuk apa harus berubah? Jika rasa masih teresonansi dengan sempurna, lalu untuk apa hangatnya rasa?.

Lelaki ini dan Perempuan itu berdiam dalam khayalan rasa. Pengamen lusuh berjalan lesu. Menghitung receh entah berapa. "Bang, bisa pesan lagu?", iseng Lelaki ini kambuh. Pengamen sejenak kaget lalu mengangguk kuyu. Sekilas seperti mimpi melihat Perempuan itu bagai bidadari. Lalu mulai dengan suara serak basahnya memenuhi udara:

Bila asmaraku telah tibaMerenggut nafas dijiwaItu dia yang datang hadirkan cintaMenyebar ke dalam rasa
Dapatkah ku mengatakannyaPerasaan yang ku punyaUntuk dia mestinya ku ungkapkan sajaTuk dapat jawaban darinya
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal
Dapatkah dia merasakanSatu nafas yang tersimpanItu bukan cintaSekedar cinta biasaYang sesaat dan trus hilang
Dapatkah aku memeluknyaMenjadikan bintang di SurgaMemberikan warna yang bisaMenjadikan indahAku tak mampu mengatakanAku tak mampu tuk mengungkapkanHingga sampai saat iniPerasaan tlah tertinggal**

...

Jakarta, 08092022


*Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja, Judika

** Rasa yang tertinggal, ST12


LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN HUNJAMAN RINDU

Hujan. Lelaki ini suka hujan. Tak peduli di bulan Juni, November atau Januari. Seperti sore ini. Beberapa hari menjelang pergantian musim. Langit menumpahkan triliunan tirta. Berbaris rapi menuju bumi. Mendarat dengan tertib di atap-atap rumah, pohon, daun, dan tanah. Meluruhkan debu bagai sang ibu memandikan bayinya. Tidak tergesa, tidak pula terlena. Titik-titiknya terorkestrasi dengan indah. Menghadirkan rindu. Hujan yang awet, ujar Perempuan itu di suatu waktu. Lelaki ini teringat kembali waktu itu. Hujan yang sama. Lelaki ini dan Perempuan itu duduk di teras rumah. Secangkir kopi sachet dan semangkok mie, cukup sudah. Perempuan itu juga suka hujan. Tapi di bulan Juni. Aku selalu ingat saat pertama kita jumpa, jawab Perempuan itu ketika Lelaki ini bertanya kenapa. Saat itu bulan Juni, hari hampir berganti. Tapi hujannya tidak seperti ini. Bagaimana kalau tidak ada hujan di bulan Juni? Apakah lalu kamu tak ingat aku? kejar Lelaki ini. Perempuan itu merajuk. Bahkan saat hujan tak turun sepanjang tahun, Perempuan itu tetap tak bisa lupa. Betapa indah dicinta Lelaki ini. Betapa sakitnya saatnya harus berpisah.  

Lelaki ini tergagap. Petrikor menyerang seluruh indra-nya. Hujan sudah berhenti. Lama. Sekujur tubuh Lelaki ini basah. Tak hirau tatap heran orang yang lalu lalang. Lelaki ini berlama-lama di tengah taman. Mematung layaknya arca penjaga. Entah apa yang mengganggu jiwanya. Benteng kokoh yang tegar mulai rapuh. Serangan rindu tak kenal waktu. Entah kenapa, alam pun seolah membantu.

Perempuan itu tergugu. Fragmen itu ternyata ilusi. Bunga tidur yang mekar mewangi. Menarik namun tak bisa dipetik. Sekarang bukan bulan Juni. Meski hujan turun sepanjang hari. Hujan tak pernah sadar, dirinya tidak hanya membasahi bumi. Menyuburkan tanah, merimbunkan ilalang. Perempuan itu tidak menyalahkan hujan. Karena, ingatan itu tak meranggas walau kemarau. Perempuan itu menyalahkan takdir yang tak juga berpihak. Alih-alih berlayar ke barat, angin bertiup kencang ke selatan. Perempuan itu tahu, dia hanya perlu membuang sauh. Menunggu suar memancarkan rindu. Suar yang tak kunjung ketemu.

Lelaki ini dan Perempuan itu terpisah waktu. Sama merindu. Sama menunggu. Jalan takdir membawa mereka bertemu. Lelaki ini beranjak lunglai. Hujan mengering di badan. Lelaki ini tak hirau. Hujan tadi menggenangi segenap arteri-nya. Memenuhi ruang hatinya. Terkunci.  

...

And you can't fight the tears that ain't coming

Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah, you bleed just to know, you're alive*

Jakarta, 9 Desember 2021


*Iris, Goo Goo Dolls

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN DUA HATI YANG TAK LAGI SATU

Perempuan itu menuliskan hidupnya. Tintanya air mata, jeluangnya serpihan hati. Merangkai diksi dengan hati-hati. Penuh arti namun tetap tersembunyi. Perempuan itu tahu, tak mungkin bebas dari terungku. Tidak saat ini, disaat masih memperjuangkan buah hati. Entah nanti, meski dia tahu mungkin itu artinya mati. Perempuan itu lelah. Perjalanan melelahkan ini tak pernah terangan-angan olehnya. Namun semua  sudah tertulis, tiada daya kecuali berprasangka baik bahwa inilah yang terbaik. Perempuan itu juga sadar, dirinya tangguh, harus begitu. Tak boleh luluh. Tidak saat ini, saat cita-cita hampir diraih.

***

Di sudut lain kota, hanya berjarak sekian depa, lelaki ini terlucuti. Membaca cerita yang penuh drama. Seolah tak nyata namun penuh fakta. Ada tawa di sana, banyak juga air mata. Bagai piala, berpindah-pindah di tangan sang jawara. Lelaki ini terkadang bahagia, dirinya bukan satu-satunya. Tapi kisah-kisah itu memaksa untuk percaya bahwa dia-lah penyebab semua malapetaka.

***

"Kamu tahu gak?" rajuk perempuan itu. Lelaki ini hanya menunggu, sambil tetap menjaga kehangatan tubuh. Perempuan itu bercerita tentang sang ayah kebanggaannya. Ayahnya pernah berkata dia akan kaya dan bahagia. Lelaki ini hanya tertawa. Indeed, I always remember that your ambition is to be a shopisticated woman. Perempuan merengut dan membelalakkan mata. Dia bahkan sudah lupa, apakah dia pernah punya cita-cita.

***

Hidup memang tidak semakin mudah. Jiwa-jiwa dewasa yang menentukannya. Perempuan itu terus berkutat dengan air mata, yang mungkin hanya tinggal nama, karena telah mengering sekian lama. Cinta pertama ternyata tak menjanjikan bahagia, hanya cerca dan kata-kata hina. Apakah dia salah? Cinta tak pernah salah, hati manusia yang mudah berubah.

***

Lelaki ini sudah tak mau membuka kisah lama. Dulu, dia pernah bercerita tentang hari ini. Hari ini, dia bahkan tak ingin dulu itu ada. Sudah terlalu banyak babak. Tak mungkin mengulang roman lama. Lelaki ini tetap peduli, tapi tak mungkin untuk mengasihi. Hidup harus terus bergerak, entah di persimpangan ke berapa cinta kembali bersua, atau, mungkin tidak akan pernah. Menyerah bukanlah pilihan, tapi tak bijak memperjuangkan hati yang sudah lama merdeka.

Jakarta, 30S2021

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN ILUSI RASA

Lelaki ini sadar, mustahil melupakan masa lalu. Tidak yang satu ini. Yang dapat dilakukannya hanya mencoba untuk tidak mengingatnya. Tapi, lelaki ini juga tahu, tak mungkin dia mampu mengontrol ingatannya. Ingatan itu begitu membekas. Selalu datang, terang benderang bagai rekaman yang diputar ulang. Seberapa kuat lelaki ini bertahan, sekuat itu pula kenangan datang menyerang. Jelas dengan pernik rupa, kata dan rasa. Mewujud semudah pesulap mencipta bunga dari selampai. Dalam hati, mimpi bahkan deja vu. Lelaki ini merasa mungkin dia kurang berusaha, tapi mungkin juga karena sadar hal tersebut akan sia-sia.

***

Perempuan itu juga sama. Hatinya sudah terendam getirnya air mata. Berlumur cinta tanpa asa. Kalaulah ada pujangga menuliskan hati tersayat, terkoyak, luka atau apalah, mungkin harus terlahir kembali untuk mencari madah yang menggambarkan hati perempuan itu. Perempuan itu sadar, pertahanannya lemah. Hatinya tidak terjaga. Entah karena lelah, atau karena lelaki ini yang luar biasa. Perempuan itu juga sudah tak peduli, tak mau mencari tahu atau sekedar menyunting cerita. Semua tak sama lagi. Hidup harus dijalani  meski tak seindah mimpi dan semanis janji-janji, atau baiknya dia tak terjaga saja?. Perempuan menyimpan rasa dalam kotak pandora. Mengunci dan membuang anaknya, agar tidak merusak segalanya.

***

Hidup manusia layaknya 2 hari yang berbeda. Satu hari memihak kita, hari yang lainnya menentang kita. Di saat masa berpihak, semua terlihat baik-baik saja, indah bahkan luar biasa. Tidak ada yang salah, semua berjalan sesuai keinginan rasa. Tak terbayang akan ada hari lainnya, saat menyapa saja menjadi dosa apalagi bertatap muka. Merindu dalam hati tak ubah menitiki nadi dengan belati. Lelaki ini dan perempuan itu bukan tak tahu hal ini. Segala cara dicoba agar tak bertikas. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, manusia bukanlah pembuat rencana yang sempurna. Lelaki ini dan perempuan itu lupa, semua sudah tertulis oleh-NYA. Alih-alih dilawan, bergeser satu mili pun hanya tinggal rencana.

***

Lelaki ini masih disini. Terlihat utuh dan bahagia. Petualang tangguh yang sangat pongah. Perempuan itu masih disana. Bahagia dalam sangkar emas sang raja. Seolah tak pernah luka, terhina. Anggun layaknya Tamina. Lelaki ini dan perempuan itu tak mungkin membalik waktu ataupun punabbhava. Lelaki ini dan perempuan itu mungkin hanya bisa saling mendoakan, doa yang pastinya melukai hati. Apakah bahagiamu menjadi bahagiaku? Apakah bahagiaku menjadi bahagiamu? 

***

Entahlah. Lelaki ini tetap percaya, dirinya saat ini adalah akibat dirinya di masa lalu. Masa depan tak terlihat namun pasti di depan mata. Masa lalu selalu mengusik, tak ubah iringan rebana. Terkadang lembut mengayun, seringnya berderak-derak di dinding jiwa. Perempuan itu juga percaya, sebait kata sepenggal cerita mampu jadi pengobat luka. Penat akan selalu terasa, namun mungkin tak terlalu menyiksa.


Jakarta, 17092021  


Mini Fiksi

Pemuda itu melangkah gontai meninggalkan  wanita yang telah dicintainya sejak duduk di bangku kuliah.

Beberapa jam kemudian sebuah pesan singkat masuk kedalam telepon genggam si wanita yang mengabarkan bahwa si pemuda ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka menganga di pergelangan tangan kanannya.


****


Anak perempuan mungil berambut ikal tertawa geli ketika ayahnya yang berkumis tebal memeluk dan mencium tengkuknya berkali-kali sambil berkata bahwa ia amat mencintai puterinya. 

Ketika tersadar sosok ayahnya menghilang dihadapannya, anak perempuan itu mencari ayahnya dari satu ruang ke ruangan yang lain. Yang ia temukan hanya sebuah buku Yasin bergambar foto sang ayah dengan tulisan, "Mengenang 100 hari wafatnya Suami, Ayah kami tercinta...".

Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Kenangan Tersisa Abu

Perempuan itu berdiri, gelisah. Sejuknya pusat perbelanjaan mewah ini tak juga menenangkan hatinya. Terlihat sekali usaha kerasnya terlihat biasa. Mondar-mandir tak tentu arah. Membuang senyum menjawab sapa pramuniaga. Lelaki ini menatapinya dari jauh. Sudah 5 menit berlalu dari janji temu, tapi dia berusaha memastikan dulu. Pahatan memori bertahun lalu masih lengkap liku ukirnya. Perempuan itu dengan kuncir kuda dan ransel biru muda, kikuk menapaki dunia dewasa penuh serakah. Kasat mata tak banyak yang berubah. Tapi lelaki ini terlalu perasa untuk tak menduga. Perlahan didatanginya perempuan itu. "Assalamu'alaikum", salamnya lirih. Hanya sejengkal di belakang telinga. Perempuan itu terlonjak, menoleh untuk memastikan. "Wa'alaikumussalaam..." jawabnya setengah tercekat. Sedetik jeda sebelum lelaki ini memeluknya, diantara tatap praduga. Perempuan itu membalasnya. Sejenak tersengat karena ini kali pertama sepanjang persahabatan mereka. "Gaya bener lu ngajak ketemuan disini" seloroh perempuan itu menutupi jengah. Lelaki ini terbahak. "Kan elu masih jetlag kebanyakan keju, kalo gue ajak di warung indomie ntar mules lagi" balas lelaki ini tangkas. Lalu mereka tergelak. Ingat masa-masa dimana warung indomie adalah kemewahan yang hakiki. "Cari makan  yuk" lelaki ini memecah suasana. "Masakan itali doyan kan lu? gue punya resto itali favorit disini" lanjut lelaki ini sambil sedikit menarik tangan perempuan itu. Perempuan itu menatap aneh lelaki ini. Sekilat cemburu membersit di matanya. "Gue cewek ke berapa yang lu ajak kesini?" selidiknya. Gelak lelaki ini kembali pecah. Memalingkan beberapa kepala yang ingin tahu kenapa.

***

"Hidup gue hancur" perempuan itu memulai ceritanya. Sisa-sisa salad di piringnya diaduk tak tentu arah. Lelaki ini terkesiap. Tak tahu bagaimana meresponnya. Perlahan disodorkannya tisu untuk menahan titik-titik yang mulai tumpah. Perempuan itu dan lelaki ini sudah bersahabat lama. Persahabatan yang hampir sama tuanya dengan separoh hidup mereka. Tidak ada rahasia di antara mereka, kecuali mungkin rahasia hati yang tak jua mau jujur dibuka. Masih terbayang acara pernikahan yang mewah di gedung yang megah. Wajah-wajah sumringah, penuh cinta dan suka cita. Tak dinyana, bahkan sebelum hari H, sang suami sudah mendua. Lelaki ini bahkan sudah merasa, ada yang tak biasa di pemandangan mata. Tapi suka cita dan bahagia perempuan itu lebih bermakna dibanding rasa yang disangka cemburu semata.

***

Hentakan irama musik menghanyutkan segala lara. Melupakan sejenak duka dan luka. Perempuan itu meluapkan segalanya. Menikmati menit-menit terbebas dari segala nestapa. Merayakan rasa yang dulu dianggap salah. Pun, lelaki ini. Semua tertumpah. Lupa sudah masa-masa yang terjaga. Yang ada hanya sir panas membakar semua etika.


***

"I miss you", lelaki ini mengadu khilaf. Lama. "I don't", balas perempuan itu. Lelaki ini tersenyum. November ini hujan lagi. Setahun? dua tahun? entah sudah berapa lama. Tidak ada tanda-tanda dimana perempuan itu berada. Lelaki ini pun tak memaksa. Ikatan itu sudah cerai berai, tak mungkin dipintal ulang atau sekedar direntang. Benar adanya, semua datang dan pergi, memberi arti yang mungkin sulit untuk dipahami. Tidak ada yang menetap pasti, kecuali takdir yang berjanji.


Jakarta, 06112020


Pisah

Aku biarkan amarah bersemayam di dalam kedua bola matanya.
Setelah apa yang telah kulakulan, melulunlantakan pondasi kepercayaan yang telah dibangun sekian lama.
Di sebuah bangku taman usang, sekumpulan burung gereja berlompatan mencari makan.
Aneka warna warni bunga menarik pandangan.
Semua itu tak mampu menyuguhkan kebahagiaan, padaku yang terjebak dalam ruang kata.
Setelah kata-kata itu melesat lepas dari sepasang bibir merahnya dan menghujam tepat di jantung pertahananku; kita...pisah!

Seketika, langit menumpahkan air matanya.



Seporsi Mie Goreng Dingin, Pagi Itu


Jam tangan usang warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku menunjukkan waktu pukul 08.55 wib. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit pemerintah tipe A menuju pintu keluar. Ku sapu pandangan ke kanan, kiri, depan, mencari tempat nyaman untuk sekedar melepaskan penat.

Tak perlu waktu lama, aku menemukan lokasi beristirahat, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari halaman gedung ICU. Aku duduk disebuah kursi besi warna warni pelangi, dibawah pohon rindang yang menaungi beberapa keluarga pasien yang sudah duduk sebelum aku tiba. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ku buka resleting tas dan mengeluarkan sebuah tempat makan plastik.

Di dalam wadah makanan tersedia mie goreng bercampur nasi putih yang sudah mulai terasa dingin. Ku baca Basmallaah kemudian mulai memakannya sedikit demi sedikit meski pada suapan pertama, menu makanan yang sudah di lumat mulutku terasa sukar untuk melintasi rongga leher.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan aliran air yang terasa hangat merayap dari kelopak mataku, aku menangis.


Malam itu, aku bahagia sekali ketika menatap layar ponselku yang menyala karena kiriman pesan singkatmu, "Gimana besok pagi, jadi kan kita ketemu di depan minimarket simpang jalan? Ku jawab isi pesanmu dengan huruf kapital, menandakan betapa antusiasnya diriku untuk berjumpa denganmu, "JADI DOONGGG", disusul emoticon love.

Waktu beranjak naik, sudah pukul 10 malam namun mataku tak mau terpejam. Entah karena rindu yang menggebu atau karena secangkir kopi susu dingin yang ku minum 1 jam sebelumnya. Yang pasti, hatiku sedang berbunga-bunga.

Dia adalah sosok wanita pujaan. Menatap wajahnya meruntuhkan pertahanan jantungku. Tutur katanya ibarat air sejuk pegunungan himalaya yang mengaliri setiap dahaga. Ia adalah bunga kampus, yang kehadirannya selalu mencuri perhatian. Dan aku, adalah pria beruntung yang meraih cintanya dalam sebuah perjuangan panjang.

Pukul 12 malam, kedua mataku masih tak mau terpejam. Lantas, aku melangkah menuju kamar mandi tuk berwudhu, kemudian tak berapa lama 2 rakaat shalat sunnah syukrul wudhu aku lakukan. Beberapa menit kemudian, aku membaringkan tubuh dan perlahan menutup kedua mataku, pulas.

Kriiiiiinnggggg....... Alarm jam meja belajar disamping tempat tidurku berbunyi kencang. Perlahan kubuka kedua mataku kemudian bangkit dari tempat tidur dan mematikan alarm. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Dari speaker masjid yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kos-anku terdengar suara marbot masjid sedang melantunkan ayat suci alqur'an. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap-siap menuju ke masjid.
Ketika hendak membuka pintu kamar, layar ponselku menyala, ada notifikasi pesan darinya, kamu sudah bangun? Sudah siap-siap ke masjid kan?. Sebuah emoticon senyum terkirim kemudian, "Alhamdulillaah, ini baru aja mau buka pintu kamar. Aku shubuhan dulu ya...", disusul emoticon senyum.

Selesai melaksanakan ibadah shalat shubuh, aku bersegera kembali ke kamar kos untuk berganti pakaian. Pakaian spesial yang telah aku persiapkan untuk bertemu dengan sang pujaan. Selesai berpakaian, aku menuju dapur kecil di sudut kamar, mengambil dua bungkus mie goreng kesukaannya kemudian memasaknya hingga matang. Mie goreng yang telah matang, aku simpan di dalam wadah plastik, kemudian aku masukkan kedalam tas slempang. Aku dan dia sudah berjanji untuk menyantap bersama mie kesukaannya ketika bertemu nanti.

Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, udara terasa sejuk menyelimuti. Ku raih ponsel dari saku kemeja, kemudian mengirim pesan, "Bismillaah...aku jalan ya, sampai jumpa...kamu hati hati di jalan ya...".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".

Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di pinggir trotoar depan kos-an yang telah aku sewa semenjak masuk di perguruan tinggi setempat. 

Tak berapa lama, sebuah angkot berhenti di depanku, sang sopir menyapaku menawarkan jasanya. Tanpa berpikir panjang, akupun menaikinya. Waktu temluh dari lokasi kos ku dengan lokasi yang telah kami sepakati hanya berkisar 35 menit. Jam tangan menunjukkan waktu 06.10 pagi. Angkot yang aku naiki berhenti tepat di trotoar depan halaman minimarket yang telah dijanjikan. Setelah membayar ongkosnya, aku berdiri di trotoar, menatap seberang jalan. Orang yang aku cari belum tiba. Akupun mengeluarkan ponsel dari saku kemeja kemudian mengirim pesan, "Alhamdulillaah aku sudah tiba, kamu sudah sampai mana?". 
Beberapa detik kemudian pesan jawaban terkirim, "Alhamdulillaah, maaf aku telat, tapi sudah dekat kok. Terimakasih ya sudah sabar menunggu". Aku pun menjawab isi pesannya, "gak apa kok, aku juga baru aja tiba".

Beberapa menit kemudian, sebuah angkot di seberang jalan berhenti. Aku memperhatikan dengan seksama. Betapa bahagianya hatiku, karena orang yang aku tunggu dengan sepenuh hati tiba, dia melambaikan tangan. Tanpa membuang waktu, akupun berteriak kepadanya, "Tunggu disana, aku akan jemput kamu".
Namun sepertinya, ia tak menghiraukan teriakanku, tanpa berpikir panjang ia segera melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju ke arahku, dan............brakkk, dia terpental beberapa meter dengan kening membentur dinding trotoar jalan, kemudian hari terasa gelap seakan awan pekat menggelayut di langit kebahagiaan.