Tampilkan postingan dengan label Banjirkanal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banjirkanal. Tampilkan semua postingan

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

hujan

aku masih bingung
apakah aku yang beruntung disentuh rintikmu hujan, atau kau yang bahagia bisa membasahiku.
entahlah

dendam rindu

lelaki kecil dalam padang bulan
menerjang
menembus hujan.
malam ini dendam rindu harus segera terbalaskan
meski hanya melalui mimpi

sebab kau

aku tak bisa pergi jauh lagi
semenjak kusadari tepi fulan fehan yang tak terjangkau menutupi pandanganku
aku tersuruk.
dan savana liar di kepalaku,
sudah cukup untuk sebuah pemberontakan.

a d a s e n j a

ada kalanya senja berdebu
ada kalanya senja diam saja dalam kamar
ada kalanya senja berkeringat sebab berlarian di sepanjang lorong ini
ada kalanya juga ia bisu.
namun senja,
selalu saja terbelenggu mantra,
yang bernama "rindu"

R i n d u R i s a u

di sebuah petang di sekitaran embong miring sebelah wetan kota kecil L. di kaki mahameru. dengan jingga yang semakin tua.
aku masih terbang.

ingin sekali aku membacakan sajak yang kubuat siang tadi kepadamu. sajak tentang rimbunan angin. tentang asmaradhana.

kupicingkan mata. mencari-cari. sepertinya kau tak ada di sana.
tapi, siapa tau kau segera lewat. berkerudung putih berumbai-rumbai sambil mengayun. bersepeda.
di tangan kirimu membawa kembang-kembang. semoga kembang itu bertahan pada tangkainya. meski tiada apa (senyum) di antara kita.

lalu tangan lembut daun-daun pohon angsana menyapa kita. sambil membawa cendera mata seharga lima rupiah. yang bernama setya.

dan seketika pipiku merah muda. Dan pandanganmu terpapar di sepanjang garis sungai yang sedang berwarna keemasan. tak terputus. mengalir begitu saja.

dan sebab kita tak perlu kata lagi. maka, tak ada yang bersisa. biarlah rindu menyulut risau.

dan aku kembali terjaga. dikelilingi angin. dengan jingga yang semakin beku. aku masih di sini. masih saja terbang.


dan hei...., tiba tiba saja kau lewat.... dan tersenyum padaku.... Amboi.....