Sawi Hijau

Pagi ini saya melihat tanaman Sawi Hijau yang saya tanam beberapa waktu yang lalu dengan perasaan bahagia. Dari bawah tanah menyembul daun-daunnya tampak berwarna hijau tua, diterpa kilau mentari yang baru saja menampakkan sinarnya menyapu semesta ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan menanam jenis sayur ini.

Masih segar dalam ingatan saya, ketika saya kecil, setiap kali mama memasak sawi hijau dengan tahu, saya akan menggerutu karena menurut saya rasa sawi tersebut pahit dan tidak enak. Ah… mengapa mama masak sayur ini… ujarku setiap kali mama memasak sawi hijau.

Entah mulai kapan tepatnya, saya bisa menikmati rasa sayur sawi hijau ini, sehingga akhirnya saya pun tergerak untuk menanamnya di halaman rumah. Peralihan rasa tidak suka menjadi suka pun saya alami pada sayur pare. Ketika saya kecil saya tidak bisa merasakan nikmatnya rasa pare yang cenderung pahit tersebut. Bahkan, meskipun dimasak dengan udang yang menjadi salah satu lauk favorit saya, tetap saja, saya tidak bisa menikmatinya.

Namun dengan berjalannya waktu, akhirnya saya menyukai sayur pare tersebut. Justru rasa pahitnya itu yang menimbulkan rasa nikmat saat menyantapnya. Entah apa yang membuat saya akhirnya pada suatu masa tertentu justru bisa menemukan kenikmatan dari rasa-rasa pahit atau rasa tidak enak lainnya dari suatu makanan. Mungkin akhirnya saya menemukan rasa ‘nikmat’ tersebut setelah saya pun berevolusi untuk belajar menerima rasa manis dan rasa pahit dalam kehidupan saya.

Jakarta, 29 Maret 2018

Binar


(sebuah catatan di hari kelahirannya)


Delapan tahun lalu, saat menunggu kelahiran anak ketiga, kami menyiapkan nama untuknya Pikat Lintang Maheswari. Nama yang mewakili  sebuah harapan akan kelahiran anak perempuan yang dianugerahi paras dan tingkah yang jelita.

Dan,  15 Desember 2009, Tuhan mempunyai kehendak berbeda, Dia memberi kami seorang laki laki lagi. Bayi yang lahir menjelang pagi, saat cahaya matahari mulai menyamarkan cahaya bintang timur. Kami memberinya nama Pijar Lintang Timur. Sebagai pertanda akan waktu kelahirannya, sekaligus menyematkan doa dan harapan kami, agar  kelak dia menjadi bintang dari negeri timur yang akan berpijar,terus berpijar


Lima tahun kemudian,

Untuk ke empat kali,Tuhan menganugerahi kami seorang anak  laki-laki lagi. Laki laki yang lahir saat kami lagi dirundung duka. Kelahirannnya hanya berselang tiga hari setelah Ibu berpulang, setelah sekian waktu bertahan melawan penyakitnya. Kami meyakini setiap kali Tuhan mencoba kami dengan suatu peristiwa besar, Dia tengah menyiapkan pemberian besar untuk kami. Dan anak kami lahir bagai prasasti untuk menandai peristiwa itu. Itulah sebabnya, kami memberinya nama Isyarah Samudera Rizky.

ada satu momen setelah proses persalinan yang setiap mengingat dan menceritakannya saya sering tersenyum. Karena besarnya harapan kami akan lahirnya bayi perempuan, hal yang pertama di tanyakan oleh istri saya setelah proses persalinan adalah perempuan? Saat itu saya menjawab sambil tersenyum, belum. Belum di lihat apa belum perempuan? tanya istri saya. saya gak menjawab sampai akhirnya istri saya tahu sendiri bahwa anak kami ke empat masih laki laki...


saat kemudian sembilan bulan lalu, isteri saya kembali hamil,  harapan dan lafal doa kami kerap tak berjeda, bahwa kali ini Allah akan menganugerahi kami anak perempuan. Harapan yang juga kadangkala menghadirkan  kecemasan pada saat menjelang jadwal  kunjungan ke dokter. Lucunya, seakan ingin menggoda kami, debay kami, baru mau memperlihatkan "jenisnya" setelah usg yang kesekian kalinya. Kami bahagia, dari hasil usg terakhir  anak kami perempuan, meskipun kadang masih muncul rasa cemas juga, karena beberapa teman punya pengalaman bahwa jenis kelamin bayi nya berbeda dengan hasil usg-nya.


Hingga akhirnya, Alhamdulillah,

hari ini di penghujung bulan penuh berkah, Allah menghadiahkan kami seorang bayi perempuan. Dada kami membuncah dengan rasa bahagia, seiring ucap syukur atas karunia Nya, kami bermohon semoga kami dapat menjaga amanat ini dengan baik, anak kami tumbuh menjadi anak sholihah, sehat, cerdas dan berbakti


bekasi, 24 juni 2017

Ketika Perang Mencapai Puncaknya: Ironi dari transportasi online



Terus terang saya lagi malas nulis, tapi daripada ada sesuatu yang bikin ganjal di kepala ya lebih baik dibuang dulu lah ganjalannya ke baskom.
Fenomena transportasi daring sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat, bahkan dapat dikatakan moda transportasi seperti ini sudah menjadi kebutuhan. Kita bisa lihat di stasiun, mal, apartemen, perumahan bahkan pinggiran jalan, selalu saja ada orang yang mengeluarkan gadget terus ketal ketul, sesudah itu menerima telepon, lihat kiri-kanan dan jemputan pun datang. Semakin maraknya penggunaan transportasi daring tidak terlepas dari keamanan dan kenyaman yang diperoleh konsumen dan tentu saja harga yang relative murah, tanpa tawar menawar dan mudah. Sehingga tidak heran jika transportasi daring ini semakin populer terutama di daerah perkotaan.

Pada awalnya moda ini dipelopori oleh Uber di Amerika Serikat dimana sang pendiri perusahaan tersebut hanya bermaksud untuk membuat aplikasi Shared ride dimana orang yang membutuhkan tumpangan untuk pergi ke suatu tujuan dapat bertemu dengan pengendara mobil yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, dengan si penumpang tersebut membayar dengan harga wajar kepada si pengendara. Hal inilah yang beberapa ahli mengkategorikan fenomena ini sebagai sharing economy dimana tujuannya adalah mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh setiap individu supaya lebih produktif.

Fenomena ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, fenomena tranportasi daring ini beradaptasi dengan kondisi lokal dimana transportasi roda dua terlihat sangat efektif untuk bisa menembus kemacetan di perkotaan sehingga dapat menghemat waktu tempuh. Munculah Gojek sebagai pionir dari transportasi daring roda dua dimana tidak lama munculah para penirunya yah sebutlah blue-jek, lady jek, ojek syari, dan lain-lain. Dari negeri jiran, datanglah Grab, tetapi perusahaan Grab ini pada awalnya hanya memiliki pelayanan untuk memangil taxi atau grabtaxi dimana yang dipanggil adalah para pengemudi taxi yang memilik aplikasi grab di smartphone mereka.

Gojek muncul dengan konsep sebagai penghubung antara tukang ojek dengan konsumennya. Dari sinilah mulai terjadi standarisasi pelayanan ojek dari yang mulai mengenakan tariff semena-mena menjadi tariff pasti dan transparan, dari penampilan tukang ojek yang kumel dan gak pernah bawa helm untuk penumpang menjadi tukang ojek yang berseragam rapi dan selalu membawa helm untuk penumpang bahkan masker dan penutup rambut juga disediakan. Tetapi diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah metode promosi gojek yang memang fantastis, dimana kita cukup unduh aplikasi gojek, daftar email dan kita bisa naik ojek gratis beberapa kali. Hal ini jelas membuat Gojek semakin populer dan peminatnya pun semakin banyak.

Apakah pengemudi di rugikan? Tentu tidak. Gojek menerapkan standar tariff kepada penumpang dimana pengemudi juga tahu berapa yang harus dibayar penumpang. Ini jugalah yang menjadi kelebihan Gojek yaitu system pembayaran yang cashless terutama kepada pengemudi. Walaupun penumpang gak bayar se rupiah pun, pengemudi tetap mendapat bayaran sesuai tariff yang berlaku dari Gojek yang di transfer ke rekening bank mereka. Sebuah system yang win-win, penumpang untung, pengemudi untung, Gojek pun untung karena pangsa pasar mereka membesar.

Bagaimana dengan perusahaan ojek daring yang lain? Yah, inilah yang disebut sebagai kompetisi pasar atau mungkin lebih tepatnya seleksi alam. Persaingan di dunia bisnis sangat ketat, kalau tidak sanggup bersaing sudah pasti tergilas. Perlahan tapi pasti para ‘jek’ yang lain tersingkir. Aplikasi mereka mungkin masih ada di playstore tapi jangan harap ketika kita memakai layanannya terus ada yang datang. Dengan metode promosi Gojek yang jor-joran tentu saja, operator tranportasi daring yang lain pun berguguran, kalah terhadap hagemoni Gojek.

Anda pasti pernah mendengar istilah ‘melawan api dengan api’ kalau ingin melawan Gojek yang bermodal kuat, maka lawannyapun harus bermodal kuat juga. Dan inilah yang terjadi ketika Grab masuk ke pangsa roda dua dengan layanan grabbike nya. Dalam sekejap terjadilah perang tariff yang dahsyat antar kedua perusahaan apps ini. Sebagai pengguna layanan transportasi online tentu kita sebagai konsumen yang di untungkan. Baik Gojek maupun Grab menyodorkan diskon yang luar biasa kepada konsumen seperti diskon Rp10 ribu, gratis 5x perjalanan dan lain-lain.

Masuknya Uber ke Indonesia pada awalnya hanya memberi layanan taxi daring dan otomatis pesaing mereka adalah taxi konvensional dan angkot yang huru-haranya kerap terjadi dalam 3 tahun terakhir. Semua berubah ketika Grab membuka layanan grabcar dan grabbike. Dalam hal ini, Grab seakan ingin menantang hagemoni Gojek di roda dua sekaligus menyingkirkan Uber di roda empat. Mulailah perang tariff di kumandangkan untuk sektor transportasi daring. Perang ini pun semakin seru ketika Uber membuka layanan ubermotor dan Gojek membuka layanan gocar. Ibarat api ungun di siram bensin, nyala perang tariff pun semakin besar, wow banged.

Tentu saja, kita sebagai konsumen semakin diuntungkan. Pilihan transportasi banyak, tinggal lihat saja mana yang mau kasih diskon paling gede, itulah yang kita pilih. Bagaimana dengan pengemudi? Tentu saja mereka juga tidak dirugikan. Perang tariff yang terjadi justru direspon positif baik oleh operator maupun pengemudi. Para operator pun paham bahwa tidak ada gunanya bagi mereka menawarkan diskon kepada penumpang apabila tidak ada pengemudi yang datang, makanya mereka berani memberi bonus kepada pengemudi, seperti bonus Rp50 ribu untuk jarak dekat atau bonus Rp100 ribu apabila menyelesaikan sekian order. Hal ini untuk memastikan para pengemudi online ini akan menjawab panggilan konsumen sehingga dapat menjaga tingkat keandalan si operator sendiri.

Pengemudi pun juga di untungkan dengan perang tariff ini, karena mereka bisa bermain di aplikasi manapun. Dari beberapa kali saya berbicara dengan supir transportasi online, banyak dari mereka yang memang bermain di setidaknya dua kaki, walaupun ada juga yang setia hanya kepada satu aplikasi. Tapi sayangnya kemewahan untuk bermain di beberapa aplikasi ini tidak dapat dinikmati oleh pengemudi roda dua, mungkin karena factor jaket dan helm yang menjadi identitas mereka. Walaupun ada juga yang berpindah aplikasi, mereka cenderung loyal terhadap aplikasi mereka. Selain itu jumlah pengemudi roda dua juga sangat banyak dan mereka cenderung berkumpul dengan kelompoknya sendiri sesama pengemudi daring roda dua tanpa melihat jaket apa yang mereka kenakan.

Dari beberapa kali interview sama pengemudi daring roda dua, mereka memang harus bekerja keras supaya bisa mendapat bonus mereka. Semakin lama, system bonus merekapun semakin di persulit dengan memberikan sanksi pembatalan bonus dimana sanksi tersebut diberikan apabila target tidak tercapai atau pengemudi dengan sengaja membatalkan order yang diterima. Bahkan semakin lama, pemberian sanksi pun semakin dipermudah yaitu ketika konsumen membatalkan order yang diterima pengemudi maka bonus pun batal.

Semakin lama, fenomena perang tariff antar tiga raksasa ini seakan menjauhkan mereka dari filosofi awal berdirinya ride sharing ini yaitu share economy untuk mengoptimalkan asset yang dimiliki setiap individu. Selain menjauh dari filosofi tersebut, justru yang terjadi adalah fenomena kapitalisme abad 19 dimana buruh dieksploitasi sedemikian rupa demi keuntungan kaum menengah dan aristocrat. Dalam kasus transportasi daring ini, buruhnya adalah para pengemudi, kaum menengahnya adalah konsumen dan aristokratnya adalah si tiga besar tersebut.

Tapi tidak ada perang yang terjadi selamanya, perang dunia berakhir, perang dingin berakhir, perang teluk berakhir, perang tariff pun pasti berakhir. Uber akhirnya lempar handuk di bulan Maret 2018 dan memberikan mahkota kerajaannya di Indonesia (dan Asia Tenggara) kepada Grab dengan kata lain akuisisi Uber oleh Grab membuat Grab memiliki valuasi lebih besar daripada Gojek.

Tetapi seperti perang yang lain yang menghabiskan sumber daya ketika perang berlangsung, perang ini pun menghasilkan hal yang serupa. Ketika perang sudah mencapai titik jenuh tapi masih belum kelihatan siapa pemenangnya, maka yang bisa dikorbankan adalah yang paling lemah posisinya. Ibaratnya kalau perang beneran yang dikorbankan mungkin daerah yang tidak signifikan atau prajurit-prajurit kroco yang bisa direkrut lagi di lain tempat. Ya, kalau perang tariff ini, yang bisa dikorbankan paling awal ketika sumber daya sudah mulai habis ya para pengemudi lah. Pengetatan sanksi pembatalan bonus merupakan tanda-tanda awal dan sekarang diikuti dengan turunnya tariff per kilometre yang akhirnya diikuti dengan turunnya penghasilan pengemudi.

Saya tidak heran ketika para pengemudi online ini berdemo besar-besaran bahkan menuntut kenaikan tariff per kilometre sampai pembatalan bonus. Untuk apa di sediakan bonus apabila untuk mendapatkannya sangat sulit bahkan harus berkorban kesehatan diri sendiri (saya beberapa kali naik ojek daring dimana pengemudinya belum makan apapun sejak siang, padahal itu sudah jam 10 malam, bahkan pernah pengemudinya ngantuk-ngantuk sampai harus saya ajak ngobrol terus sepanjang jalan).

Sangat ironis bahwa ketika niat untuk memulai adalah niat yang mulia untuk membantu meningkatkan taraf hidup para pengemudi tapi pada akhirnya keserakahan pula yang mengorbankan mereka yang sebenarnya ingin dibantu.

Sangat ironis nasib pengemudi daring, di gemari konsumen tapi di musuhi pesaing konvensional, di cari konsumen tapi di anggap illegal oleh pemerintah dan di butuhkan konsumen tapi di tekan oleh sang operatornya sendiri.

Wamena, Suatu ketika


Satu
“Yogotak Hubuluk Motok Honorogo”

Salah satu wa group yang ada di hp saya adalah Forum Ex wamena. Tempat kumpulnya atau kata pak ustadz tempat silaturakhimnya orang orang yang pernah bertugas di Wamena, Papua (ibu kota Kabupaten Jayawijaya). Tak jauh beda dengan group lain yang saya ikuti, group ini terasa ramai kalau lagi ada yang ulang tahun atau berduka, rame copy paste. Hingga ada seorang teman yang berseloroh, katanya group wa itu group habede dan group kedukaan. Meski demikian, hal yang mengasyikan bagi kami di group ini adalah kadang kala kami dibawa pada kenangan masa penugasan karena postingan cerita-cerita masa penugasan di wamena. Kalau kebetulan cerita itu berkaitan dengan peristiwa yang kami alami bersama, group menjadi semarak dengan komentar dan tanggapan kami yang terlibat, sesuai peran dan versi kami masing-masing. Terlebih kalau cerita yang disampaikan  berkaitan dengan sesuatu yang dialami oleh seseorang atau sebagian saja  dari kami, dan pada masa lalu menjadi sebuah “rahasia kecil”. Seperti jadi kesepakatan tidak tertulis,  rahasia kecil itu biasa dibeberkan di group, tanpa ada ketakutan itu akan mempermalukan atau menyudutkan salah satu dari kami. Biasanya kami akan saling ledek,saling cela dan mengirimkan emoji tertawa, tersenyum atau lari. Semua yang kami alami pada saat itu, sedih dan gembira, sakit hati  dan simpati, marah dan tertawa  menjadi sesuatu yang  menarik dan indah untuk di kenang dan dibicarakan.

Kadang terbersit keinginan untuk mencatatkan cerita-cerita masa penugasan itu. kalaupun tidak untuk orang lain, mungkin berguna untuk saya sendiri, menjadi prasati yang tegak buat  sekali waktu menziarahi masa lalu, belajar dari kepahitan dan sisi gemilangnya (kalau ada).Kalau tidak, minimal sebagai pengingat saat ingin bercerita pada anak cucu saya kelak. Namun demikian, sampai lebih dari dua belas tahun saya meninggalkan wamena, keinginan tersebut belum dapat saya wujudkan. Banyak ide di kepala saya, tapi hanya berhenti sebatas ide,  tak tahu harus memulai dari mana.

Dan, sore kemarin,
saya bertamu ke “bukan nota dinas”, sebuah rumah yang konon oleh para pendirinya digunakan sebagai tempat berkumpulnya para penghuni sutikno slamet menuangkan ide melalui tulisan. Datang, singgah dan menjalani ritual  menghitung penghuninya, membandingkannnya dengan kunjungan terakhir, menjadi penikmat dari banyak gaya bertutur, menjadi pengagum pada ragam ide dan kreatifitas atau sesekali mengutuki ketidak mampuan diri menjadi bagian dari rumah itu.

saat lelarian saya sampai pada tulisan “membeli masa lalu” nya  Mas Bro Indra  dan “kenangan di pangkal pinang”nya Mbak Sedar. Tulisan itu, seperti memantik kembali keinginan menuliskan tentang Wamena. Hadir bersliweran cerita tentang masa masa di Wamena, seakan akan semua seperti baru dialami kemarin. Tetiba saya seperti di beri keberanian untuk memulainya.

“Dulu ada satu bahan, yang bukan dasar perhitungan kini” 
kata Chairil anwar dalam salah satu puisinya. Dua belas tahun meninggalkan wamena tentu banyak hal telah berubah. Apalagi  motto yang tertulis di lambang kabupaten jayawijaya adalah Yogotak Hubuluk Motok Honorogo yang artinya hari esok lebih baik dari hari ini. Sebuah motto yang membangkitkan optimisme warga Wamena bahwa dari waktu ke waktu Wamena akan berubah  menjadi lebih baik. Apalagi di era Pakde Jokowi, keliatannya beliau sangat memperhatikan pembangunan di wilayah timur dan daerah perbatasan.  Sehinga bisa jadi, bagi mereka yang melihat kondisi Wamena sekarang mungkin cerita saya tentang Wamena seakan akan sesuatu yang tidak pernah terjadi, seperti sebuah kisah fiksi. Tapi  itulah Wamena 12 tahun lalu, Wamena yang yang saya lihat, dengar, rasakan dan alami dalam penugasan saya yang relatif singkat.

Dua
“Negeri yang tak ada di Peta”

Sebagai organisasi yang mempunyai banyak instansi vertikal dan kebijakan mutasi yang berlaku nasional, mutasi antar kota, antar provinsi dan antar pulau bagi pegawai Ditjen Perbendaharaan adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bagi kami  sangat kami sadari. Sehingga  siap ataupun tidak, rela atau tidak rela, berat atau ringan mutasi itu selalu akan kami alami. Kecuali bagi orang orang tertentu yang punya keistimewaan (bisa berupa kecerdasan, kedekatan dengan pengambil keputusan, keistimewaan garis tangan).
Meski mutasi adalah hal yang biasa, kemunculan SK mutasi selalu menimbulkan kehebohan, karena dalam beberapa kesempatan kami tidak pernah bisa memprediksi kapan SK itu muncul dan kemana kami akan pergi lagi. Konon kabarnya, sebenarnya ada aturan main untuk durasi seorang pelaksana bertugas di suatu tempat dan rumus penempatannya. seorang pelaksana akan bertugas di suatu tempat maksimal empat atau lima tahun (untuk daerah tertentu bisa lebih cepat), dan bagi yang bertugas di daerah remote akan berpindah ke daerah non remote. Namun dalam prakteknya, SK mutasi kadang datang setelah lima atau enam tahun bertugas (bahkan ada teman yang mutasi setelah delapan tahun  tahun bertugas) dengan tempat pindah yang bervariasi  dari daerah non remote ke daerah remote, dari daerah remote ke daerah non remote, tapi ada juga yang punya “spesialisasi” bertugas di daerah remote atau non remote. Mungkin inilah yang sering disebut sebagai garis tangan atau nasib.

Sehingga tak aneh setiap ada SK mutasi, maka printout SK atau file pdf SK menjadi barang yang paling dicari oleh banyak  pegawai untuk menjawab rasa penasaran akan tempat tugas berikut bagi dirinya, suami, istri,pacar, teman atau  kenalannya. Aktifitas pelayanan kantor seperti terhenti . Sebagian pegawai terlarut dalam rasa gembira atau sedih karena SK mutasi sesuai harapan atau sebaliknya, sibuk memberikan kabar, ucapan selamat, simpati atau penghiburan kepada orang orang terdekatnya atau sekedar memperbincangkannya. Ada seloroh bahwa sebagian larut dalam kegembiraan karena melihat orang lain sedih, atau sedih karena melihat orang lain gembira. Fenomena mencari daftar SK mutasi pada Ditjen sebelah, berkerumun memperbincangkannya, masih kami temui meskipun kami telah menyeberang Ke DJA. Saya tak tahu pasti apakah itu karena alasan penasaran, simpati, empati ataukah juga alasan terakhir yang senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Kehebohan serupa, juga kami alami pada hari beredarnya SK mutasi saya dari Bandung ke  Wamena.  Jika tidak salah mengingat, SK tersebut beredar di kantor kami pada Bulan September 2006. Berbeda dengan teman teman seangkatan yang sudah membaca dan melihat SK tersebut selepas istirahat siang, saya dan salah satu teman saya baru melihat dan tahu kalau kami pindah justru menjelang jam pulang. Lucunya, sejak  siang hari kami menerima ucapan selamat dari teman teman kantor,  karena nama kami berdua tidak terdaftar dalam SK mutasi yang beredar, yang artinya kami masih tetap bertugas di Bandung, masih bisa kumpul dengan keluarga dan teman teman yang tidak pindah. Tapi saat sore hari, teman-teman menyampaikan bahwa selain SK mutasi yang beredar sejak siang, ada SK lain untuk level koordinator pelaksana.

Saya lupa, apakah saat itu kami bahagia atau sedih, atau bahagia campur sedih  saat kami tahu nama kami tercantum dalam SK koordinator pelaksana tapi dengan tempat tugas Wamena, tujuan yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. Beberapa teman yang dekat dengan kami, menggoda kami bahwa sangking “remote “nya  Wamena ini, Wamena tidak ada dalam Peta Indonesia.
Kurang lebih sebulan setelah menerima SK tersebut, kami berdua berangkat ke Wamena. Keberangkatan yang terhitung terlambat, karena rata-rata teman lain sudah mulai melaporkan diri seminggu atau dua minggu setelah SK di terima.(cerita tentang alasan keterlambatan ini, akan saya ceritakan dalam bagian terpisah).seingat saya, kami berangkat tengah malam dengan diantar keluarga kami masing-masing sampai bandara Bandara Soekarno Jakarta.   

Tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Wamena, hanya tersedia rute dari jakarta ke Jayapura, dan dilanjutkan rute Jayapura Wamena.Penerbangan dari jakarta ke Jayapura kami tempuh dalam waktu kurang lebih tujuh  jam, termasuk dua kali transit di Makasar dan Ambon. Kami sampai di Jayapura sekitar jam 7 pagi dan menyempatkan diri singgah di Kanwil DJPBN Jayapura dan baru meneruskan perjalanan ke Wamena pada hari berikutnya.
Dari Jayapura kami menumpang pesawat ATR42 milik maskapai Trigana air, pesawat berbaling baling ganda yang bisa memuat kurang lebih 48 orang. Kurangnya  informasi yang kami kumpulkan sebelumnya, membuat kami tidak tahu kalau ada batasan berat dan ukuran barang bawaan penumpang Pesawat ATR 42. Sehingga  sebagian barang bawaan kami, tidak dapat kami bawa dan harus diangkut dengan pesawat kargo pada hari berikutnya.

Pengalaman pertama naik pesawat kecil  dan cerita  yang kami dengar tentang kecelakaan pesawat sejenis yang mengangkut muspida papua beberapa waktu sebelumnya,  membuat penerbangan Jayapura Wamena menjadi penerbangan yang menakutkan. Setiap kali pesawat berguncang, jantung kami seperti berhenti berdetak,...Ketakutan yang menjadikan saya tak sempat berfikir dan melihat keluar jendela. sesuatu yang biasanya dilakukan seseorang saat bepergian ke tempat yang baru.
Akhirnya setelah 45 menit, cerita horor itu berakhir...
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Wamena sekitar jam 11 pagi. Meskipun hari sudah cukup siang, saat keluar pesawat kami disambut dengan udara yang sangat dingin. 

Udara dingin yang membuat saya menggigil, namun tak cukup membuat saya segera terjaga bahwa:
“saya menempuh beratus ratus kilometer dari rumah, ke sebuah tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, ke sebuah tempat yang katanya tidak ada di peta, adalah benar benar nyata...bukan sekedar mimpi semata “
(bersambung)