Tampilkan postingan dengan label Cerpens (Cerita pendek sekali). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpens (Cerita pendek sekali). Tampilkan semua postingan

LDR

Kalau kau tahu semua ketakutan yang kurasakan saat ini, aku yakin kau tak akan pergi dariku walau sedetik saja.


Lembaran akhir buku harian kedua miliknya yang kubaca. Buku harian yang masih sama dengan buku harian sebelumnya. Sebuah buku biru berukuran sedang dengan gembok kecil di sisi luarnya.

Belum usai perasaan syahdu yg menerpaku ketika kubaca buku harian pertama yg ditinggalkannya, ini bagai badai kedua yang hempasannya tak dapat ku tahan lagi. Air mataku tumpah bagai aliran sungai tanpa batas, memuntahkan semua emosi penyesalan dan rasa bersalah yang tercipta. Aku terkulai lemas di atas bekas meja kerjanya, bercengkrama bersama hayalan, mencoba meraih kenangan kembali bersamanya.

Hatiku lumpuh, badanku runtuh, tak ada tenaga yang tersisa lagi untuk membuka lembaran berikutnya, hanya isak tangis yg terdengar bagai rangkaian nada yang tak beraturan.
Aku ingin teriak memanggil namanya. Tapi apakah dia masih mendengarnya? Apakah sang waktu mau menyampaikan maaf dan kerinduanku padanya?

Kupeluk erat meja kerja yang membisu sedari tadi. Pelukan hangat penuh cinta yang lalai kuberikan padanya saat kami masih bersama. Air mataku menghiba pada Tuhan agar memberikan pelukan hangat pada kekasihku yang tersenyum di sisi Nya.

 

KOS di WBC

(Kumpulan Obrolan Santuy di Warung Bang Casman)


Ibuku Tak Sempurna


 


Ibuku bukanlah ibu yang sempurna. Dia tidak mempelajari ilmu parenting. Tidak juga memakai tips bagaimana mendidik anak. Bukan pula ibu yang mengganti kata 'jangan' dengan 'sebaiknya'.


 Seringkali ibuku juga bersikap keras pada anak-anaknya.Yang kadang tak bisa kunalar dengan pikiran kritisku. Ibuku juga sering membiarkan anaknya mencari penyelesaian atas masalahnya sendiri walau di satu sisi ingin juga ikut campur kehidupan anak-anaknya.


Walaupun tak sempurna bukan berarti ibuku tak pernah melakukan sesuatu yang heroik bagi anak-anaknya. Ibuku tak pernah membelikan anak-anaknya baju baru tapi ia menjahitnya untuk kami dengan renda bertuliskan nama kami di baju.  Tak pernah juga memberi uang untuk pergi ke salon untuk sekedar memotong rambut tapi ia memotong sendiri rambut anak-anaknya. Tak juga sanggup memberikan uang jajan berlebih tapi ia selalu memasak dan membuatkan cemilan untuk kami.


Ternyata aku mendapatkan masa kecil yang bahagia di tengah keterbatasan walau dulu tak pernah kusadari. Aku sering membandingkan dengan kehidupan anak lain yang lebih hebat menurutku, yang bisa menyombongkan diri ketika membeli baju baru, atau pergi ke salon atau juga makan di restoran mewah. Andai aku bisa kembali ke masa itu, tentu aku akan lebih mensyukuri apa yang kupunya saat itu.


Setiap anak pasti memiliki kenangan tersendiri tentang ibunya masing-masing. Bersyukur adalah cara terbaik ketika kita masih memiliki ibu. Saat ini hanya doa yang bisa kulafalkan dalam setiap helaan nafasku, agar ibuku, ibu mertuaku dan juga ibu-ibu lainnya selalu sehat dan bahagia. Selamat Hari Ibu untuk semua Ibu....❤️❤️


Depok,  22 Desember 2020

LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN GUGATAN MASA LALU


Lelaki ini terperenyak. Sederet aksara bersungkup rahasia menggugat bayangannya. Menyeret paksa luka-luka lama, menggenangi diri dengan darah basi. Menggurati hati yang bahkan sudah tidak ada spasi. Lelaki ini tak tahu lagi. Harus tertawa geli atau menangis sedih. Cinta coba-coba, mencumbu nafsu di sudut-sudut kota adalah masa lalu yang sudah terbingkai rapi. Terpajang di bilik-bilik sunyi patala[1]. Menggugahnya tak ubah memicu daiwi astra[2], akan menghancurkan bahkan yang tak berdosa. 

*
"Ini kupat tahu paling enak se-Asia Tenggara" bual Perempuan itu lucu. Lelaki ini hanya tertawa. Mana ada kupat tahu diperingkat layaknya sekolah. Kupat tahu itu mungkin bukan yang terenak seperti bualannya, tapi menikmatinya akan selalu dirindui bertahun-tahun setelahnya. "Coba lihat tumpukan bunga-bunga ungu itu!" Perempuan itu sudah berpindah lagi. Cepat sekali layaknya gonta ganti kanal televisi. Dilihat sekilas, tak suka lalu ganti. Lelaki ini cuma geleng-geleng kepala. Cekrek...cekrek...We keep this love in photograph, we made these memories four ourselves[3]. Bagai puzzle yang saling melengkapi. Tuhan menciptakan keindahan Perempuan itu bagai tumbu ketemu tutup dengan hamparan ungu guguran bunga yang jatuh. Lelaki ini membeku, terhipnotis pantulan prisma yang tak terduga. Jalanan kota perjuangan ini memang selalu hangat. Meski tak sehangat dulu saat wedhus gembel masih nyaman berkubang lava. "Keretamu nanti jam berapa?" tanya Perempuan itu, entah yang ke berapa. Lelaki ini hanya membalas dengan tawa, "nanti juga jumpa" sambungnya. Perempuan itu terlihat mempesona, dalam balutan cardigan abu. Kontras dengan rambutnya yang berwarna ungu. "Dingin ya?" tegur Perempuan itu sambil mengurangi suhu pendingin udara. Lelaki ini cuma tersenyum. Kecanggungan merayapi ruangan sempit itu. Seminggu terasa cepat sekali berlalu, menyisakan deru nafas memburu siang malam tak kenal waktu.

*
Lelaki ini masih menatapi gugatan aksara itu. Tidak lupa tapi tidak benar-benar ingat yang mana. Waktu adalah senjata yang ampuh, menggilas angkuh makhluk-makhluk fana. Tak terkecuali rasa. Dibukanya sebuah layar baru, lalu mulai menuliskan kata "Aku adalah sekarang, laluku mungkin sama dengan lalumu, tapi tidak kemana aku akan menuju".


Jakarta, 27062020




[1] Alam bawah
[2] Senjata para dewa
[3] Photograph, Ed Sheeran

Lelaki Ini Dan Perempuan Itu Dan Waktu Yang Tak Mau Berhenti


Hujan. Lagi. Namun tak seramai tadi. Pasukan tirta terjun lembut bagai prajurit berparasut. Mendarat lalu berebut mencari lubang semut. Lelaki ini memejamkan matanya. Menangkap hening, mencoba menyerap hembusan nafas-nafas yang mendengkur halus. Mendengarkan derap kaki kelabang yang tergopoh menghindar tenggelam.

Layar monitor itu masih kosong. Hanya tertulis Document1-Word. Dan kursor yang tak lelah berkedip menggoda. Sesekali terlihat mencela “ayooo…mana tintamu? Hentakkan jemarimu…tidakkah kau lihat aku sudah menunggu lama?”. Lelaki ini tak acuh. Diraihnya cangkir kopi, sial tinggal tetesan terakhir. Cangkir ketiga dalam 3 jam 25 menit ini. Bercak coklat kehitaman membekas. Lelaki ini sedetik tergidik, membayangkan bercak yang sama di lambungnya.

Lelaki ini masih terdiam di kelengangan. Tak ada angin, hujan pun sudah sudah lelah turun. Menyisakan gigil dan petrichor. Tadinya lelaki ini ingin membuat puisi. Menyamarkan rasa dalam kata-kata berima. Mengisyaratkan cinta dibalik kata-kata penuh makna. Makin dicoba makin buntu rasanya. Saat diam kata-kata indah menyeruak kepala. Saat tertumpah yang keluar sumpah serapah. 4 jam 5 menit. Malam sudah 2/3. Satu dua suara mulai terdengar. Lelaki ini sungguh berharap waktu berhenti. Agar dapat menyelesaikan puisi ini sebelum pagi. Dilemaskannya jemari, dikerutkan kening memicing mata. Harus selesai sebelum pagi. Layaknya janji Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang. Tepat sebelum ayam tetangga berbunyi, puisi itu jadi. Lelaki ini menghembus nafas lega. Diregangkan punggungnya, rebah seadanya mengusir lelah.

***
Disudut lain kota. Perempuan itu terjaga denting lembut gawai di atas meja. Jam 04.12. Setengah kantuk dibacanya pesan masuk : Aku Rindu. Selarik senyum tipis, lalu kembali menyuruk ke balik selimut. Menghangatkan diri menenangkan hati di sela dengkur kekasih hati.

Jakarta, 06052020


Trauma

Ketika matahari baru menampakkan diri, ia berjalan menuju pantai seraya mengukur batas cakrawala. Hari ini cerah, batinnya. Sedikit sisa angin malam melewatinya lalu pergi terusir matahari yg kian tinggi.

Ombak datang dan pergi mengiringi langkah laki-laki itu. Setiap kali ia menjejakkan kaki, ombak datang menghampiri, menghapusnya. Sesekali ia menoleh ke belakang menyaksikan jejak-jejaknya yg hilang. Dalam diam pikirannya berkata, 'Ah, seandainya semudah itu menghapus semua kenangan ini'

Pantai itu indah, juga tenang. Sedikit sepi karena tempatnya yg tersembunyi. Tempat yg cocok untuk menentramkan diri atau mencari inspirasi. Namun laki-laki itu sepertinya bukan berada diantara keduanya karena ia hanya berjalan tak lama lalu pergi entah kemana.

Sorenya ia kembali. Tak lagi berjalan, ia hanya duduk di pinggir pantai. Hanyut dalam lamunan. Terkadang bibirnya terlihat bergerak mengucap kata yg entah apa. Tampaknya ia tengah membiarkan berbagai kenangan muncul bergantian di layar ingatan.

Tiba-tiba ia mengeluarkan sepotong kertas dan pena. Menuliskan sesuatu. Matahari jingga mulai melukis cakrawala. Waktunya tak lama lagi. Ketika kalimat terakhir dituliskannya, senja telah temaram. Segala warna mulai terhisap kegelapan.

Perlahan ia memisahkan pena dari kertas yg ditulisnya. Angin datang bergantian semakin kencang. Lalu Ia berdiri sambil memegang kertas catatannya dengan dua jari. Dan pada hembusan angin terkencang yg dirasakannya, jarinya membuka. Kertas itu pun melayang. Dan sebelum ia jatuh menyentuh lautan, lelaki itu telah membalikkan badan.

Gelap lalu berkongsi dengan sepi ketika lelaki itu pergi. Kertas yg ditulisnya telah tenggelam bersama buih dan tarikan gelombang. Di antara pasir dan karang, lautan menyerap tulisan laki-laki itu. 'Segala peristiwa yg datang dan pergi, tak bisa menghapus kenangan akannya. Semakin kulawan semakin aku merasa terus berhadapan. Pernah kutitipkan ingatan ini pada mentari senja, ia hanya menyimpannya dalam malam untuk kemudian mentari pagi membawakannya padaku kembali. Hari ini aku serahkan ingatan ini padamu wahai lautan. Seperti sungai-sungai kotor yg mengalir dan larut denganmu. Jika ia ingin kembali, biarlah ia datang sebagai hujan. Ia tetap ada tapi aku mengingatnya dengan cara berbeda agar hidup tak lagi hanya berputar di jalan yg sama.'

Lalu laut pasang. Kertas itu semakin dalam tenggelam. Ada tetapi telah entah dimana. Seperti harapan lelaki itu pada ingatan buruknya.

END